Share

Bagian 6 : Terpesona

‘Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?’

Pertanyaan Laras semalam, membuat Alfian termenung. Jujur saja, ia merasa kagum dengan semangat kerja yang Laras punya. Alfian tak menyangka Laras sudah banyak berubah.

Perempuan manja itu tumbuh menjadi wanita pekerja keras dan bertanggung jawab pada keluarga. Hanya wajah jutek dan galaknya saja yang tak berubah.

Di saat Alfian memberi Laras pilihan agar tetap di rumah dan melakukan hal apa pun yang ia suka, ia menolak. Alasannya cukup masuk akal, Laras sudah terbiasa bekerja. Kalau begitu, Alfian tak bisa melarang. Lagipula pernikahan ini tidak didasari oleh rasa cinta. Tidak ada yang namanya istri berbakti pada suami, sehingga sesuai perjanjian kontrak, Alfian membebaskan Laras. Asal Laras tahu batasan, menaati perjanjian termasuk menjaga nama baik Alfian dan keluarga.

Laras mengetuk kaca pintu mobil lumayan kencang. Membuat Alfian sadar dari lamunan. Segera Alfian membuka kunci pintu mobil dan mempersilahkannya masuk.

"Kok lama bukanya?" tanya Laras sambil mengipas wajah dengan tangan.

"Sori, lagi ngelamun tadi," jawab Alfian jujur. Laras tak membalas lagi.

Jakarta siang ini panas sekali. Kalau bukan undangan makan malam mamih yang dadakan, Alfian juga enggan pergi. Ia banyak kerjaan, apalagi ia baru masuk kentor dan harus banyak belajar adaptasi.

Laras tak keberatan. Tapi yang jadi masalah, Laras tak punya baju atau gaun yang layak. Ia takut akan mempermalukan Alfian nanti. Maka Alfian mengajak Laras untuk pergi ke butik sekalian makan siang bersama.

Alfian berniat akan mengajak Laras ke butik milik istri temannya saat kuliah di UGM dulu. Jarak yang ditempuh dari Kafe Rinjani ke butik tak begitu jauh, sehingga mereka bisa menghemat waktu.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" ujar salah satu pramuniaga di butik.

"Siang, Mbak. Saya Alfian, sudah ada janji dengan Amar." Alfian memang sudah menghubungi Amar, temannya terlebih dahulu. Kebetulan, Amar memang sedang berada di butik milik istrinya.

"Oh, ini dengan Pak Alfian ya? Bapak sudah ditunggu Pak Amar di lantai 2 ya," ujar gadis belia itu.

Alfian menggandeng tangan Laras lalu berjalan menuju lantai atas. Dilihatnya Laras sedang menatap takjub pakaian-pakaian yang tergantung di etalase kaca besar.

"Lo suka baju-bajunya?" tanya Alfian dengan nada lembut.

Laras melirik sebentar ke arah Alfian, kemudian ia mengangguk malu. "I-iya."

"Syukur deh kalau gitu. Ini butik punya istri teman gue," jelas Alfian.

"Oh, gitu." Laras bermonolog sendiri.

Mereka kembali melangkahkan kaki menaiki tangga. Suasana canggung seperti ini sudah biasa terjadi di antara keduanya. Entah karena mereka malu atau memang merasa belum sedekat itu.

"Hai, bro!" sapa Amar antusias. Ia berjalan mendekat lalu memeluk Alfian. "Apa kabar, lo?"

"Baik-baik. Lo makin subur aja, Mar," ujar Alfian yang membuat gelak tawa keduanya.

"Eh, ini calon bini lo nih?" tanya Amar dengan nada menggoda.

Alfian mengangguk sembari memperkenalkan Laras di sampingnya. "Kenalin, Mar. Ini Laras. Laras, ini Amar."

Amar dan Laras berjabat tangan. Lalu, Amar mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi depan kaca besar.

"By the way, selamat ya. Lo udah mau jadi ayah. Sori juga, gue nggak bisa dateng waktu lo nikahan."

"Thank you, Al. Ya elah! Santai aja kali. Tahun lalu kan lo lagi ambil master di LN," jawab Amar maklum.

Alfian dan Amar terlibat dalam obrolan khas temu kangen teman lama. Mereka bernostalgia ke tujuh tahun lalu saat mereka sama-sama masih mengenyam penidikan sarjana. Laras terkadang menimpali obrolan mereka, sesekali melemparkan candaan yang membuat obrolan makin seru saja.

Gelak tawa ketiganya membuat istri Amar keluar dari kamar. "Waduh, waduh. Ternyata ada tamu, seru banget nih."

Kehadiran istri Amar sontak saja membuat tawa mereka terhenti sejenak. Wanita yang sedang hamil itu tersenyum ramah, lalu duduk di samping kursi suaminya.

Amar langsung memperkenalkan Sonia, istrinya. Sonia sedang hamil anak pertama, usia kandungannya sudah memasuki trimester ketiga. Kelahiran Sonia diperkirakan 2-3 minggu lagi.

Amar dan Sonia membagikan cerita bahagia sebagai pengantin baru dan calon orang tua. Mereka sempat putus-nyambung dalam menjalin asmara, apalagi saat mereka LDR (long distance relationship). Namun, perjuangan selama 10 tahun terbayar sudah. Tepatnya tahun lalu, saat Amar mantap untuk melamar Sonia dan menikahinya.

Mendengar cerita Amar membuat Alfian teringat dengan Mita. Seharusnya, Alfian menikah dengan wanita yang ia cinta. Namuan, terkadang harapan hanya tinggal harapan. Bagi Alfian, kehilangan Mita adalah hal terburuk dalam hidup.

Laras merespon dengan binar wajah haru campur sendu. Cerita Amar dan Sonia menyentuh hatinya. Laras ingin juga merasakan Bahagia, menikah dengan pria yang ia cintai. Tapi ia harus rela menyampingkan impiannya demi keluarga.

"Ras, udah pilih belum mau dress yang mana?"

Pertanyaan Sonia menyadarkan Laras yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia berdeham kecil, berusaha tenang dan memasang senyum palsu. "Belum. Tadi langsung ke atas soalnya," jawab Laras senatural mungkin.

"Oh, ya udah yuk, kita lihat-lihat ke bawah," ajak Sonia mengandeng tangan Laras.

Laras menahan pelan tangan Sonia, ia melirik Alfian untuk meminta persetujuan.

"Ya elah, pakai izin segala sama calon suami." Sonia terkekeh pelan.

"Iya nih. Emang si Alfian emang posesif, Ras?" timpal Amar.

Alfian langsung mengelak dugaan Amar. "Nggak ya. Si Laras ini kalau beli sesuatu memang pasti minta pendapat gue dulu." Alfian berdeham sembari membetulkan posisi duduknya. "Kali ini, kamu milih baju sama desigenernya langsung aja ya sayang. Aku setuju-setuju aja," ujar Alfian dengan senyum palsu.

Laras memutar bola matanya malas. Ia tak menyangka saja, seorang Alfian, si pria culun bisa akting berlagak jadi calon suami idaman.

Di sebelah, Sonia sudah mengeluh-eluhkan sikap Alfian yang terlihat seperti calon suami idaman.

"Ya udah, yuk," ajak Sonia menuruni anak tangga, meninggalkan para lelaki untuk lanjut bernostalgia.

Sonia mengeluarkan dress koleksi terbaik. Baru memegang bahannya saja Laras tahu, bahwa bahannya dari kualitas premium. Dari tiga pilihan Sonia, Laras memilih sleeveless one-shoulder dress warna merah.

"Wah, selera lo bagus juga, Ras." Sonia berdecak kagum. "Kulit lo putih, makin bersinar deh kalau pakai warna merah," sambungnya antusias.

"Tapi menurut lo, agak terbuka nggak sih?" tanya Laras sambil mengankat hanger dress merah pilihan.

"Kalau menurut gue sih nggak ya. Apalagi ini kan acara resmi gitu," jawab Sonia seobjektif mungkin.

Tak sabaran, Sonia langsung meminta Laras segera mencoba dress itu di ruang ganti.

Laras memakai dress merah itu pelan-pelan. Ia takut rusak dan tak sanggup mengganti. Tanpa melihat tag harga pun Laras tahu, harga dress ini hampir satu bulan gajinya di kafe.

Dari pantulan kaca, Laras menatap kagum dirinya. Sonia benar, warna merah memberikan efek cerah pada kulitnya yang putih.

"Udah belum, Ras?" seru Sonia dari luar ruang ganti.

Laras menyibak gorden kamar. Dengan malu-malu ia keluar dari ruang ganti.

Sonia membekap mulut dengan tangan. Ia bahkan sampai takjub menggelengkan kepala melihat penampilan Laras. “Tuh kan cocok banget sama lo, Ras. Please ya, ini tuh lo belum make-up. Makin cetar deh pasti nanti.”

Laras menggaruk tengkuk leher yang tak gatal. Pujian Sonia membuat ia menjadi percaya diri.

Langkah kaki yang sedang menuruni anak tangga terdengar. Sepertinya Alfian sudah selesai bernostalgia. Tak sengaja mata Alfian dan Laras bertemu.

Alfian terpesona. Kulit lengan Laras yang putih bersih terekspos jelas, membuat ia berkali-kali meneguk ludah.

“Ekhm, sampai terpana gitu sih, Pak,” goda Sonia.

Hal itu membuat Alfian dan Laras jadi salah tingkah. Buru-buru Alfian memalingkan pandangan kesembarang arah agar bisa menutupi wajahnya yang sudah merah padam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status