‘Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?’
Pertanyaan Laras semalam, membuat Alfian termenung. Jujur saja, ia merasa kagum dengan semangat kerja yang Laras punya. Alfian tak menyangka Laras sudah banyak berubah.
Perempuan manja itu tumbuh menjadi wanita pekerja keras dan bertanggung jawab pada keluarga. Hanya wajah jutek dan galaknya saja yang tak berubah.
Di saat Alfian memberi Laras pilihan agar tetap di rumah dan melakukan hal apa pun yang ia suka, ia menolak. Alasannya cukup masuk akal, Laras sudah terbiasa bekerja. Kalau begitu, Alfian tak bisa melarang. Lagipula pernikahan ini tidak didasari oleh rasa cinta. Tidak ada yang namanya istri berbakti pada suami, sehingga sesuai perjanjian kontrak, Alfian membebaskan Laras. Asal Laras tahu batasan, menaati perjanjian termasuk menjaga nama baik Alfian dan keluarga.
Laras mengetuk kaca pintu mobil lumayan kencang. Membuat Alfian sadar dari lamunan. Segera Alfian membuka kunci pintu mobil dan mempersilahkannya masuk.
"Kok lama bukanya?" tanya Laras sambil mengipas wajah dengan tangan.
"Sori, lagi ngelamun tadi," jawab Alfian jujur. Laras tak membalas lagi.
Jakarta siang ini panas sekali. Kalau bukan undangan makan malam mamih yang dadakan, Alfian juga enggan pergi. Ia banyak kerjaan, apalagi ia baru masuk kentor dan harus banyak belajar adaptasi.
Laras tak keberatan. Tapi yang jadi masalah, Laras tak punya baju atau gaun yang layak. Ia takut akan mempermalukan Alfian nanti. Maka Alfian mengajak Laras untuk pergi ke butik sekalian makan siang bersama.
Alfian berniat akan mengajak Laras ke butik milik istri temannya saat kuliah di UGM dulu. Jarak yang ditempuh dari Kafe Rinjani ke butik tak begitu jauh, sehingga mereka bisa menghemat waktu.
"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" ujar salah satu pramuniaga di butik.
"Siang, Mbak. Saya Alfian, sudah ada janji dengan Amar." Alfian memang sudah menghubungi Amar, temannya terlebih dahulu. Kebetulan, Amar memang sedang berada di butik milik istrinya.
"Oh, ini dengan Pak Alfian ya? Bapak sudah ditunggu Pak Amar di lantai 2 ya," ujar gadis belia itu.
Alfian menggandeng tangan Laras lalu berjalan menuju lantai atas. Dilihatnya Laras sedang menatap takjub pakaian-pakaian yang tergantung di etalase kaca besar.
"Lo suka baju-bajunya?" tanya Alfian dengan nada lembut.
Laras melirik sebentar ke arah Alfian, kemudian ia mengangguk malu. "I-iya."
"Syukur deh kalau gitu. Ini butik punya istri teman gue," jelas Alfian.
"Oh, gitu." Laras bermonolog sendiri.
Mereka kembali melangkahkan kaki menaiki tangga. Suasana canggung seperti ini sudah biasa terjadi di antara keduanya. Entah karena mereka malu atau memang merasa belum sedekat itu.
"Hai, bro!" sapa Amar antusias. Ia berjalan mendekat lalu memeluk Alfian. "Apa kabar, lo?"
"Baik-baik. Lo makin subur aja, Mar," ujar Alfian yang membuat gelak tawa keduanya.
"Eh, ini calon bini lo nih?" tanya Amar dengan nada menggoda.
Alfian mengangguk sembari memperkenalkan Laras di sampingnya. "Kenalin, Mar. Ini Laras. Laras, ini Amar."
Amar dan Laras berjabat tangan. Lalu, Amar mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi depan kaca besar.
"By the way, selamat ya. Lo udah mau jadi ayah. Sori juga, gue nggak bisa dateng waktu lo nikahan."
"Thank you, Al. Ya elah! Santai aja kali. Tahun lalu kan lo lagi ambil master di LN," jawab Amar maklum.
Alfian dan Amar terlibat dalam obrolan khas temu kangen teman lama. Mereka bernostalgia ke tujuh tahun lalu saat mereka sama-sama masih mengenyam penidikan sarjana. Laras terkadang menimpali obrolan mereka, sesekali melemparkan candaan yang membuat obrolan makin seru saja.
Gelak tawa ketiganya membuat istri Amar keluar dari kamar. "Waduh, waduh. Ternyata ada tamu, seru banget nih."
Kehadiran istri Amar sontak saja membuat tawa mereka terhenti sejenak. Wanita yang sedang hamil itu tersenyum ramah, lalu duduk di samping kursi suaminya.
Amar langsung memperkenalkan Sonia, istrinya. Sonia sedang hamil anak pertama, usia kandungannya sudah memasuki trimester ketiga. Kelahiran Sonia diperkirakan 2-3 minggu lagi.
Amar dan Sonia membagikan cerita bahagia sebagai pengantin baru dan calon orang tua. Mereka sempat putus-nyambung dalam menjalin asmara, apalagi saat mereka LDR (long distance relationship). Namun, perjuangan selama 10 tahun terbayar sudah. Tepatnya tahun lalu, saat Amar mantap untuk melamar Sonia dan menikahinya.
Mendengar cerita Amar membuat Alfian teringat dengan Mita. Seharusnya, Alfian menikah dengan wanita yang ia cinta. Namuan, terkadang harapan hanya tinggal harapan. Bagi Alfian, kehilangan Mita adalah hal terburuk dalam hidup.
Laras merespon dengan binar wajah haru campur sendu. Cerita Amar dan Sonia menyentuh hatinya. Laras ingin juga merasakan Bahagia, menikah dengan pria yang ia cintai. Tapi ia harus rela menyampingkan impiannya demi keluarga.
"Ras, udah pilih belum mau dress yang mana?"
Pertanyaan Sonia menyadarkan Laras yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia berdeham kecil, berusaha tenang dan memasang senyum palsu. "Belum. Tadi langsung ke atas soalnya," jawab Laras senatural mungkin.
"Oh, ya udah yuk, kita lihat-lihat ke bawah," ajak Sonia mengandeng tangan Laras.
Laras menahan pelan tangan Sonia, ia melirik Alfian untuk meminta persetujuan.
"Ya elah, pakai izin segala sama calon suami." Sonia terkekeh pelan.
"Iya nih. Emang si Alfian emang posesif, Ras?" timpal Amar.
Alfian langsung mengelak dugaan Amar. "Nggak ya. Si Laras ini kalau beli sesuatu memang pasti minta pendapat gue dulu." Alfian berdeham sembari membetulkan posisi duduknya. "Kali ini, kamu milih baju sama desigenernya langsung aja ya sayang. Aku setuju-setuju aja," ujar Alfian dengan senyum palsu.
Laras memutar bola matanya malas. Ia tak menyangka saja, seorang Alfian, si pria culun bisa akting berlagak jadi calon suami idaman.
Di sebelah, Sonia sudah mengeluh-eluhkan sikap Alfian yang terlihat seperti calon suami idaman.
"Ya udah, yuk," ajak Sonia menuruni anak tangga, meninggalkan para lelaki untuk lanjut bernostalgia.
Sonia mengeluarkan dress koleksi terbaik. Baru memegang bahannya saja Laras tahu, bahwa bahannya dari kualitas premium. Dari tiga pilihan Sonia, Laras memilih sleeveless one-shoulder dress warna merah.
"Wah, selera lo bagus juga, Ras." Sonia berdecak kagum. "Kulit lo putih, makin bersinar deh kalau pakai warna merah," sambungnya antusias.
"Tapi menurut lo, agak terbuka nggak sih?" tanya Laras sambil mengankat hanger dress merah pilihan.
"Kalau menurut gue sih nggak ya. Apalagi ini kan acara resmi gitu," jawab Sonia seobjektif mungkin.
Tak sabaran, Sonia langsung meminta Laras segera mencoba dress itu di ruang ganti.
Laras memakai dress merah itu pelan-pelan. Ia takut rusak dan tak sanggup mengganti. Tanpa melihat tag harga pun Laras tahu, harga dress ini hampir satu bulan gajinya di kafe.
Dari pantulan kaca, Laras menatap kagum dirinya. Sonia benar, warna merah memberikan efek cerah pada kulitnya yang putih.
"Udah belum, Ras?" seru Sonia dari luar ruang ganti.
Laras menyibak gorden kamar. Dengan malu-malu ia keluar dari ruang ganti.
Sonia membekap mulut dengan tangan. Ia bahkan sampai takjub menggelengkan kepala melihat penampilan Laras. “Tuh kan cocok banget sama lo, Ras. Please ya, ini tuh lo belum make-up. Makin cetar deh pasti nanti.”
Laras menggaruk tengkuk leher yang tak gatal. Pujian Sonia membuat ia menjadi percaya diri.
Langkah kaki yang sedang menuruni anak tangga terdengar. Sepertinya Alfian sudah selesai bernostalgia. Tak sengaja mata Alfian dan Laras bertemu.
Alfian terpesona. Kulit lengan Laras yang putih bersih terekspos jelas, membuat ia berkali-kali meneguk ludah.
“Ekhm, sampai terpana gitu sih, Pak,” goda Sonia.
Hal itu membuat Alfian dan Laras jadi salah tingkah. Buru-buru Alfian memalingkan pandangan kesembarang arah agar bisa menutupi wajahnya yang sudah merah padam.
Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam
Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r
Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"
"Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per
"Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj