Share

Bab 2. Day 1.

"Nah, Van, itu Arsy ...!"

Evan tetap tidak menoleh ke belakangnya meskipun Sarah, wanita paruh baya itu, sudah mencoba mencuri perhatiannya dengan menyebutkan nama Arsy.

"Siapa, Ma?" Arsy yang baru saja turun langsung mendekati meja makan dan berakhir di sebelah Evan. Dia sedikit tertarik kala mendapati seorang pria tampan sedang duduk di sana, yang sejatinya adalah tempat khusus untuk keluarga inti mereka saja. Apakah dia keluarga jauh mereka? Tapi kenapa sepertinya tidak familiar?

"Tuh, Sy. Kenalin, bodyguard kamu. Ganteng kan?"

Bo-dy-guard?

Kedua bola mata Arsy pun langsung membesar. Ternyata orang tuanya sangat serius perihal mempekerjakan pengawal untuknya. Sekarang, yang bersangkutan bahkan sudah benar-benar ada di depan matanya. Orang tuanya memang gila!

"Papa Mama serius? Astaga. Asli deh ya? Aku 'kan udah bilang nggak mau!" Penolakan Arsy masih tetap terdengar sekalipun orang yang ia maksud ada sana. Suaranya yang berubah ke nada do tinggi sungguh sangat menjatuhkan harga diri Evan. Dia hanya melihat Arsy sekilas dengan tatapan datar dan juga dinginnya.

Satu bagian di wajah gadis itu langsung menarik perhatian Evan. Bibirnya. Bibir Arsy yang tipis membuat Evan mengingat perkataan orang-orang tua jaman dahulu. Perempuan dengan bibir tipis itu katanya biasanya cerewet. Awalnya Evan tidak merasa ada korelasi antara keduanya, namun kali ini pria itu percaya. Buktinya kini jelas-jelas ada di depan mata.

"Arsy! Mama nggak pernah ajarin kamu nggak sopan kayak gini loh ya!" Sarah tidak menyangka puteri pendiamnya itu akan berani menolak Evan dengan terang-terangan. Sarah sangat malu.

"Mama sama Papa yang mulai duluan! Aku udah dua puluh empat tahun, Ma! Bukan anak kecil yang  harus dikawal kemana-mana. Kalian merenggut kebebasan aku, tau nggak?" Mood Arsy langsung hilang. Lagi-lagi pembicaraan tentang bodyguard itu menguras emosinya sampai ke ubun-ubun. Tubuhnya refleks berbalik dan berlari meninggalkan kedua orang tuanya dan pria berwajah dingin itu.

"Arsy! Mau kemana kamu?" Demian yang sejak tadi diam, kini mengeluarkan suara menggelegarnya. Ini adalah kali kedua Arsy meninggalkan pembicaraan dengan cara yang tidak sopan. Tidak bisa dibiarkan. Suara tingginya itu pun berhasil membuat langkah Arsy terhenti.

"Apaan sih ribut-ribut?" Arsen pun turun dari lantai dua karena mendengar suara ayahnya yang cukup keras. Arsen turun sudah dengan mengenakan setelan kantornya.

"Ini loh, soal pengawal adik kamu yang mama bilang kemarin. Dia  nggak mau." Sarah langsung mengadu.

"Hei, Bro. Gue Arsen ..." Arsen langsung memperkenalkan dirinya kepada seseorang yang baru pertama kali dia lihat di rumah ini. Mungkin pengawal yang disebut mamanya tadi adalah dia, batin Arsen.

"Evan, Mas." Evan menjawab dengan sopan. Dia sebenarnya bisa menebak usia Arsen yang masih lebih muda darinya. Namun dia tetap bersikap sopan karena Arsen pun sudah terlebih dulu menyapanya dengan cara yang akrab. Sangat jauh berbeda dengan adiknya.

Arsen melirik ke arah Arsy yang berhenti tidak jauh dari meja, sudah dengan wajah yang tidak enak dipandang. Laki-laki itu pun langsung merasa iba melihat adiknya. "Ya sudah, jangan dipaksa, Ma. Kasihan kalau nggak nyaman. Mas Evan juga takut nggak betah nanti," ujar Arsen memberi saran. Dia mengambil posisi duduk di sebelah Evan.

"Kamu harusnya bisa lebih sopan, Sy! Nggak begitu caranya...." kini suara Demian sudah merendah. Dia melihat wajah Arsy yang sedang memerah menahan tangis. Sebenarnya, jarang sekali puterinya itu berani meluapkan perasaannya. Demian menjadi sedikit merasa bersalah.

Arsy masih hanya diam di posisinya. Dia terlihat mulai sesenggukan. Membuat Sarah jadi merasa iba. Jika Arsy yang pendiam itu sudah mulai menangis, itu artinya dia sedang tidak nyaman dengan apa yang sedang dia rasakan. Sarah cepat-cepat menghampiri anak gadisnya itu untuk meminta maaf.

"Ya sudah, nggak jadi pakai bodyguard. Maafin Mama sama Papa ya, Nak." Sarah langsung menarik semua keputusannya begitu saja. Mungkin untuk saat ini, mempekerjakan seorang pengawal demi menjaga keamanan Arsy, bukanlah cara yang tepat. Mereka akan memikirkannya lagi nanti. Sarah memeluk Arsy yang saat itu lebih memilih untuk diam.

Evan sama sekali tidak tertarik atas drama keluarga orang kaya yang sedang berlangsung di hadapannya. Dia hanya diam tanpa berniat melihat ke arah sepasang ibu dan anak yang sedang berpelukan itu. Huh! Ini hanya akan membuang-buang waktunya. Jika memang rencana ini batal, seharusnya dia masih sempat kabur ke kantor untuk menarik kembali surat resign yang sudah terlanjur dia buat kemarin sore, sebelum terlanjur di-input oleh HRD.

"Tapi Evan sudah terlanjur tanda tangan kontrak, Sy. Setidaknya biar dia antar kamu hari ini, biar gajinya tetap masuk. Kasihan, sudah terlanjur resign demi kamu." Demian menengahi lagi interaksi Arsy dan istrinya. Dia yakin Sarah hampir melupakan Evan yang sudah duduk di sana sejak tadi, sehingga dia dengan mudahnya membatalkan kontrak dengan anak muda itu.

Pada akhirnya Arsy menuruti kemauan ayahnya. Dia akan diantar Evan pagi ini.

"Sebelumnya kerja di mana Mas?" Saat mereka sedang sarapan, Arsen sebisa mungkin membuat suasana tetap hangat. Dia membuka obrolan dengan Evan yang sesekali ditimbrungi oleh Demian. Sedangkan Arsy dan Sarah, mereka pasti sedang merasa kikuk sekarang.

"Di BPR Bramudya Sentosa, Mas."

"Panggil nama aja, Mas. Kayaknya aku umurnya masih di bawah Mas Evan. Oh, BPR Bramudya. Gede loh itu, Mas."

"Biasa aja, Mas. Mas Arsen sendiri kerja di mana?"

"Saya kuli, Mas. Kuli gambar alias arsitek," jawab Arsen sedikit bercanda.

"Kamu nggak mau kerja di tempat saya, Van?" Kini  Demian yang berbicara sambil menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Lah, ini kan lagi, Pak," Evan menyahut dengan nada sedikit bercanda. Benar kan? Dia juga sedang bekerja untuk Demian kan sekarang??

"Maksud saya besok, 'kan Arsy udah nggak mau," lanjut Demian.

"Iya, Van. Kebetulan kita lagi butuh orang legal. Kemarin terakhir kamu legal manager ya? Bisa lah diatur nanti ..." Sarah tak kalah antusias.

"Wuihh, Mas. Udah level manager? Nah Sy, udah bela-belain resign loh dek. Sayang tau." Arsen kini berpaling pada Arsy yang hanya diam. Evan sendiri mengabaikan perkataan Arsen. Justru dia senang jika kontraknya batal saja.

"Terima kasih, Pak, Bu ... nanti akan saya pertimbangkan," jawab Evan dengan sopan, walaupun sebenarnya dia sama sekali tidak berniat melakukan apa yang barusan dia ucapkan.

Setelah itu pembicaraan mereka bergulir lagi sampai Arsy selesai makan. Evan yang sudah selesai duluan sebenarnya sangat tidak sabaran menunggu gadis kecil itu. Dia tidak suka segala sesuatu yang dilakukan dengan sangat lambat, apalagi posisinya ada yang sedang menunggumu. Sepertinya besok dia harus memastikan tidak akan kembali ke rumah ini lagi.

*****

Sekarang Arsy dan Evan sudah berada di dalam mobil yang sedang menuju ke kampus tempat Arsy menempuh kuliah pascasarjana, alias S2. Sejak keduanya meninggalkan rumah, mereka belum berbicara sedikitpun, kecuali saat Evan bertanya nama kampus gadis mungil itu. Mungkin mereka masih sama-sama kesal dengan situasi yang terjadi pagi ini, jadi keduanya memilih untuk diam dari pada melakukan basa-basi yang tidak penting.

Hampir setengah jam membelah jalan dan menyatu di kemacetan, akhirnya mereka pun tiba. Arsy ingin cepat-cepat turun, namun ternyata Evan mengunci pintu dari kendali yang ada di sebelahnya.

"Biar saya yang bukakan, Nona." Evan akhirnya bersuara sambil melepas seat belt-nya. Membuka pintu, keluar dan memutari mobil. Menuju pintu belakang yang ada di sebelah kiri. Saat dia membuka pintu, Arsy pun mengomel lagi.

"Ini berlebihan. Pastikan besok jangan ke rumah lagi."

Rasa kesal gadis itu masih belum usai, kini sudah ditambah dengan aksi membukakan pintu oleh Evan. Sungguh memalukan. Dia pasti akan menjadi pusat perhatian sekarang.

Benar juga. Saat gadis itu turun, mahasiswa pascasarjana yang sedang berkeliaran di dekat lahan parkiran sedang memandang ke arahnya. Sepertinya mereka belum pernah melihat mobil mewah itu parkir di sana. Biasanya hanya mengantar Arsy, lalu pergi lagi. Dan siapa gerangan pria tampan yang membukakan pintu untuk wanita itu? Mereka sibuk bertanya-tanya.

Evan mengunci pintu dengan menekan remote control. Setelahnya dia mengikuti Arsy dari belakang.

Merasa diikuti oleh Evan, Arsy berhenti. Lalu berbalik dengan cepat. Lagi-lagi tatapannya tidak bisa dikatakan ramah. Dia seakan ingin menerkam Evan.

"Tunggu di kantin atau di mobil saja bisa?" katanya. Bukan bertanya, lebih ke memerintah. Tapi Evan bergeming. Dia membalas tatapan Arsy dengan datar.

"Saya hanya mengikuti perintah Bapak dan Ibu, Nona," balas pria itu pelan namun tegas.

"Ini nggak lucu. Aku nggak bisa belajar kalau kamu ada di dalam."

"Maaf, Nona. Jam kelas anda tinggal lima menit lagi." Evan pura-pura melihat jam tangannya.

Malas meladeni Evan, Arsy berbalik lagi, melangkah cepat menuju ruang kelasnya. Mengabaikan Evan yang juga ikut masuk ke dalam ruang belajarnya. Hah!

Kedatangan Arsy dan Evan langsung membuat efek dengungan di dalam kelas. Seperti ada sekelompok lebah yang sedang berkumpul dan mengoceh satu sama lain. Dengungan semakin keras kala Evan, yang awalnya mereka kira adalah seorang dosen itu, ternyata duduk di kursi yang ada di belakang Arsy.

"Sy, pacar lo?" tanya seorang pria yang tidak mengenal sebuah basa-basi kepada Arsy.

Arsy diam saja sambil membuka tasnya. Dia mengabaikan Evan yang duduk persis di belakangnya.

"Diam-diam lo udah punya pacar ternyata, pantas gue digantung mulu, heuu ..." pria itu masih lanjut menggoda Arsy yang masih terlihat kesal.

"Sstt, diam deh, Gas. Jangan menebar gosip yang enggak-enggak." Arsy membalas dengan ketus. Si Bagas ini laki-laki ember. Bisa-bisa setelah ini ada gosip tentang dia yang sudah punya pacar. Padahal boro-boro punya pacar, pedekate-an pun tidak punya.

Arsy biasanya masih mau berinteraksi dengan teman-temannya di dalam kelas. Seperti membalikkan tubuhnya menghadap ke belakang jika memang ingin mengobrol dengan teman yang ada di belakangnya. Tapi setelah dia tau ada bodyguard-nya di sana, dia hanya mengobrol seadanya dengan teman di kiri, kanan dan depannya saja.

Derap langkah kaki terdengar dari luar. Sepatu hak tinggi sedang beradu dengan lantai keramik yang sedikit licin. Mahasiswa di dalam kelas langsung memperbaiki posisi duduk mereka, termasuk Arsy.

Seorang wanita cantik kemudian masuk ke dalam ruangan kelas. Tubuhnya tinggi semampai. Dia memakai setelan mengajar yang rapi dan sopan. Dandanan wajah dan rambutnya juga sangat enak dipandang mata. Kakinya yang jenjang ditutupi rok span hingga ke bawah lutut. Di bawah sana kaki indahnya dipakaikan high heels dengan perkiraan tinggi hingga tujuh senti. Penampilannya sangat sempurna, membuat seluruh mahasiswi di kelas itu menjadi minder.

Bisik-bisik pun terdengar lagi. Perasaan, banyak sekali orang baru hari ini, pikir mereka.

"Selamat pagi. Perkenalkan, saya Wilda Arianti. Dosen pengganti sementara untuk mata kuliah ibu Retno. Hari ini ibu Retno harus berangkat ke Singapura untuk menjalani pengobatan sampai satu bulan ke depan. Saya minta kerja sama kita semua yang ada di_"

Kalimat Wilda terhenti. Matanya baru saja tertumpu pada satu orang mahasiswa yang sepertinya dia kenal. Ralat. Dia memang sangat mengenalnya. Tapi, kenapa dia bisa ada di kelas pascasarjana ini?

"Evan? Is that you?" tanyanya spontan, seperti tidak menyadari jika dia sedang berada di depan ruangan kelas.

*****

Komen (3)
goodnovel comment avatar
ida Sari
wah Wilda knl sama evan
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
senang sekali cerita ini
goodnovel comment avatar
Nellaevi
mas Evan, kawal akuuuh ajaaa wkwkwkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status