Share

Bab 3. Bertemu teman lama.

"Evan, is that you?" Bola mata Wilda membulat menandakan dia sangat terkejut mendapati Evan duduk di hadapannya. Lebih tepatnya, di kursi para mahasiswa barunya. Evan, teman lama yang pernah menjalin kasih dengannya, selama masih duduk di bangku kuliah. Mengapa dia ada di sana? Apa Evan melanjutkan sekolah mengambil pascasarjana lagi? Pikirnya di dalam hati.

Wilda sampai tidak menyadari orang-orang sedang menatapnya bingung. Mungkin Arsy juga, karena nama yang disebutkan Wilda itu adalah mama pria yang sekarang duduk di kursi belakangnya, alias pria yang baru saja direkrut ayahnya menjadi ajudan pribadinya.

Sedangkan yang dipanggil hanya tersenyum kecil. Dia juga sebenarnya terkejut. Bertemu Wilda lagi di sebuah tempat yang tidak terpikirkan adalah hal yang langka. Namun dia mencoba untuk tidak terlalu mencolok. Dengan gesture tangannya, dia mempersilakan Wilda untuk melanjutkan perkenalan dirinya.

Suasana ruangan itu sedikit awkward setelahnya. Wilda menjadi sedikit canggung lantaran ada Evan di hadapannya, begitu pun dengan Evan yang tidak bisa menguasai dirinya untuk tidak senyum-senyum sendiri selama wanita itu memberikan materi pelajaran. Di sisi lain, para mahasiswa pun menjadi tidak fokus karena mereka sibuk mengawasi Wilda dan Evan.

"Sy, pacar lo bukan sih? Kok matanya nggak bisa kontrol lihat cewek lain?" Bagas tidak tahan untuk tidak berkomentar. Jika memang laki-laki tampan berwajah matang itu adalah kekasih temannya, mana mungkin dia akan memperhatikan dosen pengganti mereka dengan mata yang sangat kelaparan itu.

"Ssst ... aku udah bilang jangan bikin gosip. Kamu liat sendiri 'kan, sepertinya mereka saling mengenal." Arsy balas berbisik di dekat bahu Bagas.

"Berarti lo masih available ya??" tanya Bagas lagi dengan semakin semangat.

"Ck!" Arsy berdecak. Kembali fokus pada layar monitor di hadapannya. Namun Bagas masih tidak puas. Dia menarik-narik rambut Arsy yang sedang terjuntai di pundaknya.

"Sy ... jawab dong, masih available nggak?"

Arsy menggendikkan bahunya tanpa menoleh ke arah Bagas.

"Ehm ..." tiba-tiba suara pria yang duduk di belakang Arsy itu terdengar. Hanya sebuah deheman, namun Bagas cukup tau jika pria dewasa itu sedang memperingatinya.

Bagas berbalik dan memamerkan wajah malasnya. Dia pun menyerah menggoda Arsy yang benar-benar serius mengikuti penjelasan dari Wilda.

Sementara Wilda sendiri ... sekalipun dia terlihat serius dalam menjelaskan materi belajar, dia sama sekali tidak melewatkan pemandangan aneh di depan sana. Saat Evan yang tadinya sedang menatap dirinya tiba-tiba teralih kepada dua anak remaja tanggung di kursi depannya. Evan mengawasi mereka yang terlihat sibuk berbisik-bisik entah sedang membahas apa.

Kemudian, saat si anak perempuan kembali fokus mendengarkan materi mata kuliah, si anak laki-laki masih tetap berusaha mengganggunya. Lalu tiba-tiba saja Evan berdehem. Memberi tatapan peringatan kepada anak laki-laki itu. Ajaibnya anak kecil itu terlihat takut setelahnya.

Apakah Evan merasa terganggu melihat anak laki-laki itu mengganggu si anak perempuan? Kalau iya, kenapa? Apakah Evan menyukai anak gadis itu? Jika tidak, apakah Evan hanya tidak suka konsentrasinya terganggu gara-gara mereka?

Pada akhirnya Wilda kehilangan sedikit fokusnya karena pikirnya sudah bercabang ke mana-mana.

*****

Jam mata kuliah yang dibawakan Wilda akhirnya selesai. Perempuan itu sangat ingin menghampiri Evan, tapi dia ragu-ragu. Berharap Evan sendiri yang menghampirinya. Dengan gerakan lambat, dia membereskan barang bawaannya dengan ekor mata yang tak pernah lepas dari sosok Evan. Laki-laki yang masih tetap duduk diam di kursinya.

Sesaat kemudian, pria itu terlihat berdiri, berjalan sedikit lalu berhenti lagi setelah gadis di depannya ikut berdiri. Kemudian dia lanjut berjalan saat gadis itu pun berjalan di depannya. Wilda mempersiapkan diri karena dia yakin Evan akan menyapanya.

"Wilda, glad to see you again. Sampai ketemu lagi ya ..."

Itu saja!!!

Itu sa-ja??

Evan memang menyapanya, tapi tidak berhenti sama sekali. Laki-laki itu hanya berbicara sambil tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya, lalu pergi begitu saja mengikuti gadis yang tadi.

Wilda merasa terabaikan. Bukankah dulu Evan dikenal sebagai sosok yang ramah dan luwes? Kenapa sekarang dia bisa menyapa seseorang sambil berjalan seperti anak SD yang sedang pamit kepada gurunya? Anak SD saja ada tradisi cium tangan malahan.

Siapa gadis itu? Apakah pacar Evan? Tapi mengapa terlihat sangat muda? Sungguh tidak sepadan dengan laki-laki itu, batin Wilda penasaran.

Meanwhile di loby fakultas ....

Arsy sedang ada keperluan dengan dosen pembimbing untuk thesis-nya. Lagi-lagi dia sangat risih dengan ekor yang selalu mengikutinya sekarang. Dia tiba-tiba berbalik saat posisi Evan hanya berjarak ting langkah kecil darinya.

Bugh!

Mereka sukses bertubrukan. Dagu evan membentur pucak kepala Arsy yang kecil. Wanita itu langsung mendesis kesakitan.

"Maafkan saya, Nona. Saya tidak sengaja." Evan refleks memegang kepala Arsy sambil meminta maaf dengan sopan.

"Aku tadi mau bilang, kamu di sini saja. Nggak perlu ikutin aku terus. Aku nggak nyaman sama semua orang." Suara dingin Arsy menunjukkan dengan jelas jika dia ingin Evan jauh-jauh darinya. Dia merasa seperti orang asing sekarang. Semua mahasiswa tidak berhenti memandangnya dan Evan sejak tadi. Mungkin dikira mereka sepasang kekasih.

"Maaf, Nona. Sa_"

"Ini perintah!"

Evan langsung terkejut mendengar Arsy membentaknya. Iya, anak kecil itu membuat suara tingginya barusan. Memerintahnya layaknya majikan yang sesungguhnya. Darah Evan mendidih. Harga dirinya seperti diinjak oleh anak kecil tengil sok berkuasa seperti Arsy. Egonya tersentil, ingin membalas dengan kata-kata yang menggambarkan amarahnya. Namun tentu saja dia harus menahannya bukan?

Anggap saja Arsy sama seperti anak bosnya di kantor yang bernama Delisha. Yang mirip sekali dengan Arsy dari sifatnya yang manja dan kekanak-kanakan. Setiap Delisha memerintah, semua orang mau tidak mau harus menurut. Tidak peduli bagaimana tidak sopannya dia memberi perintah, semua orang harus bersabar karena mereka digaji. Anggap saja dengan Arsy sekarang pun begitu. Apalagi gajinya empat kali lipat dari biasanya. Jiwa dan raganya sepenuhnya milik nona besar itu sekarang.

"Baik, Nona. Saya akan menunggu di sini." Akhirnya Evan mengalah. Tentu saja setelah kewarasannya berhasil mengambil alih kontrol atas dirinya. Tangannya diupayakan agar tidak mengepal dengan begitu keras, karena Arsy bisa saja melihatnya.

Tanpa menjawab, Arsy langsung berbalik lagi. Dia geleng-geleng kepala saat menyadari barusan dia sudah membentak seseorang lagi. Hari ini dia sudah melakukan hal itu sebanyak dua kali. Satu kali terhadap Sarah, ibunya, satu kalinya lagi barusan, terhadap Evan. Ini bukan dirinya. Dia tidak pernah merasa sampai sekesal itu pada orang lain.

Sesampainya di ruang dosen pembimbingnya, dia menunggu bersama dengan anak didik lainnya.

"Sy!"

Arsy menoleh lalu tersenyum. Berjalan mendekati seseorany yang melambaikan tangan kepadanya. Itu Tere, mahasiswa yang satu dosen pembimbing dengan Arsy.

"Pak Wira masih lama nggak Ter?" tanyanya seraya ikut duduk di sebelah Tere, di dekat kaca transparan. Dia menanyakan keberadaan bapak dosen yang dia kira sudah stand by di ruangannya.

"Masih ngajar sampai jam sebelas. Dua puluh menit lagi lah," jawab Tere seraya melihat jam tangannya.

"Ohh ... i see. Kamu udah lama di sini?"

"Lumayan. Pokoknya aku nggak melewatkan momen penting mu dari atas sini ..." Tere mencolek dagu Arsy sambil menggoda.

"Apaan maksudnya?"

Tere memberi kode dengan menunjuk ke arah bawah dari jendela transparan. Arsy pun mengikuti. Lalu dia langsung mengerti jawabannya.

"Astaga. Kamu ngeliat aku sama dia?"

Tere mengangguk. "Kalian berdua lagi marahan? Siapanya kamu, Sy? Dari tadi anak-anak pada bahas soal pacar barumu."

"Ah, aku malas membahas ini. Tapi dia itu ajudan aku. Bodyguard gitu. Entah kenapa papa tiba-tiba kasih aku bodyguard. Katanya buat memastikan aku nggak diganggu laki-laki yang suka godain aku. Terlalu berlebihan." Arsy menceritakan semuanya kepada Tere. Rasanya lega bisa terbuka pada seseorang tentang sesuatu hal yang sudah dipendam cukup lama.

"Ha? Bodyguard? Hari gini?? Eh tapi dapat dari mana cowok cakep gitu, Sy? Kayaknya matang banget orangnya." Tere tidak segan-segan mengagumi Evan yang ada di bawah sana. Eh, kenapa dia sedang mengobrol dengan perempuan lain sekarang?

"Memang udah berumur, Ter. Delapan tahun di atas aku. Makanya aku merasa aneh banget, kayak diikuti om-om."

"Eh tapi om-om kamu itu lagi digodain cewek tau? Lihat." Tere menunjuk lagi ke bawah. Ke tempat dimana Evan dan seseorang sedang bercengkerama di loby fakultas.

"Oh, itu ibu Wilda. Dosen pengganti bu Retno. Kamu nggak ambil mata kuliah bu Retno ya?"

Tere menggeleng. "Oh, terus, kok kayaknya dia kenal sama si bodyguard-mu?"

"Iya. Kayaknya kawan lama yang baru bertemu kembali. Tadi juga ibu Wilda shock ngeliat dia ada di ruangan. Sampai nggak sadar nyebutin nama dia. Dari nadanya sih sepertinya mereka teman akrab dulu." Arsy berucap sambil memperhatikan interaksi Evan dan Wilda dari atas. Sepertinya tadi Evan baru menyapa Wilda sekilas lantaran buru-buru mengikuti dirinya. 

See? Belum apa-apa dirinya sudah merepotkan Evan.

*****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nellaevi
Evan...sabar yaaa,nanti Arsy jd jodohmu ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status