Share

Bab 7. Pil KB

Sinar matahari kini sudah naik cukup tinggi. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 08.12 pagi. Nara terbangun dari tidurnya, dia merasa seluruh tubuhnya remuk, terutama di bagian bawah perutnya. Saking sakitnya dia bahkan tidak bisa bergerak sedikit. pun.

Nara mencoba untuk bangun dan duduk di atas tempat tidur, dia menutupi tubuh polosnya dengan selimut berwarna putih. Saat Nara menarik selimut itu untuk menutupi tubuhnya, dia melihat noda darah yang begitu banyak menodai warna seprei yang awalnya seputih salju.

Air mata Nara kembali menetes ketika melihat noda darah itu. Dirinya sudah ternodai oleh seorang suami yang hanya menganggapnya sebagai boneka ranjangnya tidak lebih dari itu.

“Nona, Anda sudah bangun?” tanya pelayan Sari yang memang menjadi penanggung jawab Nara di rumah Zico.

Nara tidak menjawab pertanyaan pelayan Sari, dia hanya menundukkan wajahnya dengan lelah dan lesu.

“Tuan sudah pergi ke kantor sejak pagi tadi Nona.” Sari memberitahukan hal yang tidak Nara tanyakan, bahkan sangat tidak ingin dia tanyakan.

“Sebelum pergi, Tuan menitipkan ini kepada saya. Katanya Nona harus selalu meminumnya setelah berhubungan dengannya.”

Pelayan sari memberikan sebuah bungkus tablet obat kepada Nara, dengan ragunya Nara pun mengambil bungkus itu dan betapa terkejutnya dia saat melihat bungkus itu. Ternyata bungkus itu berisi sebuah tablet pil kontrasepsi yang harus Nara minum setelah melakukan hubungan dengan Zico.

'Jadi dia ingin aku meminum ini? Baiklah, aku juga tidak mau memiliki anak dari seorang iblis. Walaupun dia tidak memberikan ini padaku pun, aku akan tetap membeli dan meminum pil ini,' ucapnya dalam hati.

“Saya akan meminumnya,” jawabnya.

Nara pun membuka tablet itu dan meminum satu pil KB sesuai dengan apa yang Zico perintahkan.

“Saya sudah meminumnya, sekarang saya ingin mandi. Jadi bisakah kau keluar!”

“Itu Nona, tapi ... apa Anda tidak butuh bantuan saya?” Sari merasa tidak yakin, bahwa Nara akan bisa berjalan sampai ke kamar mandi sendirian. Dilihat dari keadaannya, sepertinya tuannya semalam telah menyiksanya dengan sangat parah. Sari pun yakin, nonanya ini pasti tidak bisa berjalan bahkan sedikit pun.

“Saya tidak papa, tolong keluarlah!”

“Baiklah kalau begitu Nona, saya permisi keluar. Baju-baju Anda sudah saya persiapkan semua di lemari sebelah sana.” Sari menunjukkan sebuah lemari berwarna putih dengan 6 pintu yang ada di sisi sebelah kanannya, Sari pun lalu membungkukkan badannya dan pergi keluar dari kamar Nara.

Setelah kepergian Sari, Nara mencoba sekuat tenaganya untuk bangun dari tempat tidur. Namun, rasa sakit yang amat terasa ini benar-benar membuatnya harus mencoba beberapa kali, hingga akhirnya secara perlahan Nara pun bisa turun dari tempat tidur walaupun mulutnya selalu mengeluarkan suara rintihan kesakitan.

“Ahhh sakit sekali, badanku rasanya remuk. Dan bagian bawah perutku, benar-benar sangat sakit,” ucapnya.

Nara mencoba melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit menuju kamar mandi. Hingga sesampainya di saba, Nara berdiri di depan sebuah cermin, dia melihat pantulannya yang ada di hadapannya. Nara memperhatikan semua bagian tubuhnya yang dipenuhi dengan bekas merah.

Clakkk, air matanya kembali menetes saat dia mengingat bagaimana Zico semalaman menyiksanya, Zico menyalurkan nafsunya seperti binatang buas, tidak! Lebih tepatnya seperti iblis.

Nara lalu melangkahkan kakinya menuju shower, dia memutar kran shower itu dengan tangan yang masih bergetar karena menahan rasa sakit. Air pun turun membasahi kepalanya dan secara perlahan membasahi seluruh tubuhnya. Air mata Nara terjatuh dan bercampur dengan air shower yang juga membasahi pipinya.

“Pa, ma Nara ingin menyusul kalian. Tolong bawa Nara juga bersama kalian hiks hiks,” tangisnya.

***

Tan Group.

Zico duduk di kursi kerjanya, tangannya memainkan sebuah bolpen yang dia putar-putar sejak tadi. Arah pandangannya lurus pada sebuah bingkai foto dirinya dan kedua orang tuanya.

Saat ini pikiran Zico melayang jauh pada kejadian semalam, dimana dia telah menyiksa seorang putri dari penghianat Aryo Suharja. Dia yakin, bahwa Aryo Suharja sekarang sedang menangis melihat bagaimana putrinya menderita.

Hingga suara ketukan pintu terdengar dari luar ruangan Zico yang membuyarkan semua pikirannya. “Masuk!” serunya dingin.

Pintu pun terbuka dan terlihatlah Jo yang masuk ke dalam. “Tuan, sudah saatnya kita pergi ke ruang meeting.”

Tanpa banyak bicara, Zico pun berdiri dan melangkahkan kakinya keluar mendahului Jo yang kemudian diikuti oleh Jo di belakangnya.

***

Sementara itu di ruang rapat, semua karyawan yang sudah berada di sana langsung kisruh saat melihat kedatangan Zico dan Jo yang hampir sampai. Mereka semua saling mengingatkan satu sama lain bagaimana sikap mereka pada kegiatan rapat yang akan dilakukan sebentar lagi.

Ceklek! Jo membuka pintu ruang rapat. Dan semua pegawai yang tadi ramai saling mengingatkan langsung terdiam seketika, saat Zico memasuki ruang rapat.

Zico duduk di kursi kebesarannya, setelah itu para pegawai di sana pun ikut terduduk. Sedangkan Jo, dia hanya berdiri di samping Zico.

“Mulai!” titah Zico dengan suara dinginnya.

Glek! Suara menelan saliva dari salah seorang pegawai yang hendak melakukan presentasi itu terdengar hingga ke telinga Zico, pegawai itu sepertinya sangat gugup setelah mendengar suara dingin Zico yang meminta rapat untuk dimulai.

“Apa kau gugup?” tanya Zico masih dengan suara dinginnya.

Pegawai itu tidak menjawab pertanyaan Zico, karena saking gugupnya dia bahkan sampai tidak bisa mengeluarkan suaranya.

“Pergi dari kantorku!” bentak Zico tiba-tiba.

Semua pegawai yang ada di sana pun langsung tersentak mendengar bentakan Zico pada salah satu pegawai yang ingin melakukan presentasi.

“Aku tidak membutuhkan pegawai yang bermental tipis sepertimu! Apa kau ingin menghancurkan perusahaanku, hah? Kau tidak tahu bagaimana aku membangun perusahaan keluargaku lagi di usiaku yang masih muda dulu, apa kau sedang memperolokku!” Zico terlihat sangat marah, dia memang sangat sensitif jika itu berhubungan dengan perusahaannya. Karena setelah perusahaannya hancur dulu karena meninggalnya papanya, Zico diwajibkan untuk membangun kembali perusahaannya di usianya yang masih menginjak 19 tahun.

“Ti-tidak Tuan, ma-maafkan saya. Sa-saya akan memulai presentasinya sekarang,” jawab pegawai bernama Santi itu dengan terbata-bata.

“Terlambat, pergi dari kantorku sekarang juga. Kau tidak di terima di sini!”

“Tu-Tuan saya mohon jangan.” Santi memohon kepada Zico dengan air matanya yang sudah berurai agar dirinya tidak dipecat.

“Jo!”

“Baik Tuan.”

Jo menghampiri Santi dan memaksanya untuk keluar dari ruang rapat. Santi masih berusaha untuk memohon kepada Zico di sela-sela tangisannya dan paksaan dari Jo yang membawanya untuk keluar dari ruang rapat.

Zico lalu melihat ke arah semua pegawai yang sekarang berdiri, dia menatap satu persatu pegawai di ruang rapat itu yang berjumlah 10 orang dengan tatapan tajam. “Kalian lihat! Jika kalian tidak ingin keluar dari perusahaanku, maka tunjukan kualitas kalian. Aku hanya menerima orang-orang yang memiliki kualitas tinggi di sini!”

“Baik Tuan,” jawab mereka semua bersamaan.

Setelah itu, Zico langsung keluar dari ruang rapat dengan perasaan marah, gara-gara kejadian tadi waktu berharganya hilang. Dan rapat yang harusnya menghasilkan sebuah ide untuk lebih memajukan perusahaannya malah gagal karena pegawai yang menurut Zico tidak becus dan bermental tipis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status