"Katakan padaku!" erangan Nayla sudah sangat marah. "Wah, wah, wah. Apa kau marah karena aku datang menangkapmu lagi?" Enna bermain dengan jarinya. Lalu, tatapannya menjadi tajam, "Atau karena kekasihmu menghilang." Kepalanya tangan Nayla bersimpuh darah akibat lecet yang kian parah ketika mendengar kalimat terakhir, "Bedebah kau, Enna." Enna tertawa lagi, "Suamimu itu ... bukan urusanku." Nayla tidak ingin terpancing sehingga dia sebisa mungkin meredakan getaran di tangannya jika tidak tangan dan kakinya bisa terputus. Tenaganya berkurang tanpa mengurangi niat buruk pada Enna. "Tidak mau menjawab?" Senyum keji di bibir Enna hilang tidak suka mendengar kata itu, "Kau diamlah di sini sampai membusuk. Tidak akan ada yang menolongmu." Belum selesai Enna berbicara, Nayla tersenyum pahit, "Jadi kau benar-benar datang untuk membalas dendam. Aku salah, kupikir setelah menjebloskanmu ke penjara semua akan damai, tapi aku salah langkah. Seharusnya aku membiarkanmu diamuk massa dan menye
Matahari sudah agak beranjak naik. Vira dan Gilang datang ke rumah Shaka sekadar untuk memeriksa. Seperti yang dibayangkan, rumah itu kosong dalam kondisi paska badai yang dibiarkan. Dalam sekali melihatnya saja sudah dapat dipastikan jika rumah ini tak tersentuh tangan kemarin. Desahan demi desahan gelisah keluar bergantian dari mulut mereka. "Ini, sih, bukan nggak ditinggali lagi, udah kayak rumah hantu. Baru juga semalaman mbak Nay," keluh Gilang prihatin. "Apa kita lapor polisi aja?" Vira masih menatap setiap sudut halaman rumah Nayla dan Shaka. Rasanya sangat sepi tidak ada kehadiran mereka. "Nanti mereka masuk daftar orang bilang? Nggak lucu." Gilang menggeleng. "Terus menurutmu? Nggak ada cara lagi yang bisa kita lakuin," kata Vira. "Musuhnya siapa? Perasaan udah nggak punya musuh lagi, 'kan?" Gilang ikut menimang. Lantas tidak ada yang bisa dilakukan. Kemudian Handphone Nayla berdering dengan nama mertuanya yang tertera di layar. Vira panik menyerahkan Handphone itu ke
Air menetes dari dedaunan membasahi bumi. Sisa-sisa kekacauan masih tercetak jelas di setiap sisi kota. Puing-puing kecil dan sampah berserakan, ranting dan dahan kayu menghalangi jalan, begitu pula genangan air yang masih membawa suasana pilu. Semua nuansa ini berpadu. Euforia berubah total. "Pemirsa, setelah badai yang menerjang semalam akibatnya banyak sekolah dan beberapa perusahaan libur. Karena kondisi lingkungan yang rusak parah sehingga sulit untuk menjalani aktivitas seperti biasanya." lagi, kali ini bahkan banyak wartawan melakukan siaran langsung di berbagai tempat dan Vira menyaksikannya bersama Gilang karena salah satu wartawan itu berada di depan kantor mereka sekarang. "Nayla masih nggak ada kabar sejak badai mulai. Aku khawatir banget." panik tercetak di wajah wanita itu. Menatap sekeliling di mana kantornya ditutup karena air yang menggenangi halaman dan lokasi parkiran. Seharusnya mereka masih dapat bekerja, tetapi atasan memberi keringanan untuk berlibur. Situasi
Setidaknya kurang lebih ada lima puluh panggilan tidak dijawab. Tangan yang semula kuat kini gemetar. Terisak, bayangan buruk mulai terlintas. Berharap orang-orang yang dikerahkan ayahnya Shaka dapat menemukannya. Sementara dirinya harus terkurung di kantor yang asing ini secara tiba-tiba. "Buka pintunya! Aku bilang buka pintunya! Siapapun tolong dengar aku! Ada aku di sini!" Nayla menggedor pintu lagi. Air matanya berderai membanjiri wajahnya tanpa penerangan apapun. "Sial!" Nayla mengumpat dalam pukulan terakhir yang membuat tangannya kesakitan. Badai di luar terlalu menghakimi. Siapapun tidak ada yang boleh keluar kecuali mereka ingin mati. Petir ikut meraung-raung di atas sana. Nayla berdiri, sekuat tenaga berdiri berpegang pada pintu. Apa yang ada di depan mata tercermin jelas di matanya. Bola matanya bergetar, memikirkan nasib suaminya. Bibirnya berguman, "Badai ini ... membawa bencana." Kilatan cahaya petir menyambar wajah gadis itu. Sesuatu terlintas dan itu bukanlah ide
Siapa tahu Shaka masih ada di situ. Sembari menyusuri tiap lorong dia membuka pintu yang bisa dibuka sambil menelepon Shaka. "Shaka, ayo angkat teleponnya." panik Nayla. Namun, tidak ada jawaban. Kalau begitu Nayla pulang. Dia ngebut tidak peduli lagi dengan peraturan lalu lintas asalkan bisa sampai rumah dengan cepat dan ternyata pintu rumahnya masih terkunci. Tidak ada mobil Shaka juga di sana. "Shaka?!" Nayla membuka pintunya dan berteriak, tetapi kosong. Sosok yang dia cari seakan menghilang tanpa jejak. Nayla gelisah menepuk dahi dengan sangat keras. "Kenapa aku nggak bisa nemuin kamu di mana-mana? Kenapa kamu nggak ada kabar seharian?" Suaranya sudah jatuh seperti langit saat ini. Angin menambah beban Nayla. Ia menyerang membuat pusaran di langit dan mengacaukan sekitar. Dedaunan mulai berterbangan bahkan suaranya berdengung di telinga Nayla. Dia menoleh ke segala arah. Kondisinya makin parah, detak jantungnya tak karuan, dan dia bingung. "Shaka ...," terus menggunakan n
"Kenapa nanya begitu? Mbak pikir aku orangnya kejam, ya, sampai nyuruh-nyuruh cewek yang aku suka? Ngomong-ngomong aku udah putus, loh, sama pacarku." Gilang syok. "Eits, nggak usah panik, tenang, tenang. Aku cuma nanya doang apa salahnya?" Nayla menyodorkan segelas air dingin kepada Gilang dan Gilang menerimanya dengan senang hati meskipun tatapannya masih memicing tajam. "Jangan-jangan ada motif tersembunyi." Gilang sudah payah menelan airnya. Beberapa detik saling pandang tanpa menemukan titik terang. Nayla tetap bersikeras berkata hanya ingin tahu. "Okay, kalau cuma itu gampang. Tapi hadiahnya segini banyak bukannya berlebihan apa?" mulut berbicara demikian, tapi tangan lain jawaban. Sibuk mencongkel es krim di dalam gelas. Wajahnya seketika membeku karena dinginnya es krim yang lumer di mulut. Dia bahagia sekali. "Ah, nggak apa-apa udah nikmatin aja. Buruan jawab keburu malam," singkat Nayla. Gilang berdecak pelan sambil berpikir, "Eee, kalau aku punya cewek yang cantik, s