"Kau merasakannya? Makan sendiri rantaimu ini!" Nayla menampar pipi Enna di sebelah lagi dengan ikatan rantai di pergelangan tangannya. Itu jauh lebih menyakitkan daripada ditampar berkali-kali. Lalu, Enna berdiri menunjuk Nayla sembari memegangi pipinya. "Aku sangat membencimu, Nayla!" Keluar dari penjara dan tak terlihat begitu saja tanpa mengunci pintu. Sebentar saja dia sudah kembali membawa seember air dingin menyerupai es dan mengguyur Nayla dengan air itu. "Aarrgghh!" Nayla mengerang kesakitan. Sekujur tubuhnya yang sakit apalagi luka-luka itu menjadi tambah sakit seperti digigit gergaji kecil. Erangan Nayla menggema. Tangannya mengepal tak kuasa menahan sakit. Enna tersenyum puas membanting ember itu dan melemparnya dia buah apel sebelum mengunci jeruji besi. Buah apel itu menggelinding menabrak tembok di sela napas Nayla yang memburu. "Makan itu dan tunggu aku kembali. Aku tidak akan membuatmu mati sia-sia. Aku akan menyiksamu sampai kau sekarat!" gelegar teriakan Enna
Keluarga Nayla dan Shaka pun panik. Satu jejak pun tidak dapat dicari. Mereka resah sampai datang berbondong-bondong ke rumah Shaka. Handphone Nayla yang dipegang Gilang berbunyi. Dia kaget karena tertulis nama orang tua Shaka di sana. "Aduh, keluarganya nelpon. Gimana, nih?" Gilang panik menyerahkan Handphone itu ke Vira. Meskipun terlibatnya pihak polisi juga telah disetujui oleh keluarga Shaka dan Nayla, tetap saja Gilang dan Vira bingung bagaimana cara berhubungan dengan mereka. Mereka akhirnya tahu jika ayah Shaka adalah pemilik perusahaan besar di Jakarta. "Eee, angkat, deh, siapa tau ada informasi. Kamu aja aku nggak mau ngomong. Takut." Vira mendorong Handphone itu ke Gilang. Gilang berdecak. Tak ada pilihan lain selain mengangkatnya dan dia terkejut karena mereka meminta dirinya dan Vira untuk datang ke rumah Shaka. Akhirnya mereka berdua menuruti kemauan orang tua Shaka dan ketika semua orang bertemu Gilang dan Vira diminati keterangan lagi. Benar saja, masalah semakin
Shaka terus mendorong besi-besi lurus itu. Matanya sudah memanas, "Lepaskan aku!" "Hahahaha! Menurutmu aku bodoh membawamu ke sini dengan tangan kosong?" perlahan Verlin mendekat hingga berada sangat dekat dengan Shaka, hanya besi-besi panjang itu lah yang menghalangi mereka bahkan Shaka bisa merasakan aura menekan dari napas Verlin. "Aku bukan lagi Verlin yang dulu yang selalu mengharapkanmu dengan lemah." desis Verlin tajam membalas tatapan tajam Shaka. "Kau kejam, Verlin." Shaka menggeleng lagi tak percaya. Hatinya benar-benar didudukkan dengan kenyataan yang tidak pernah dia bayangkan. "Ck, kejam? Kau seharusnya memikirkan Nayla lagi betapa kejamnya Enna menyiksanya. Kau pasti tidak akan bisa membayangkannya. Stay hal lagi, kau tidak berhak mengataiku kejam karena kau bahkan lebih parah dariku. Membuang orang ke jurang pembuangan sampah, meneror rumah dengan tumpukan sampah, mengurung orang di kamar mandi dan gudang berhari-hari dan meracuni seseorang dengan racun tikus apa it
Shaka mengingat-ingat kembali sampai otot di pelipisnya berkedut. Memang benar dirinya sedang berangkat kerja waktu itu, tetapi setelah melihat jalan raya bayangan memburam dan tidak mengingat apapun lagi. Itu berarti dia tertidur sampai pagi. "Lalu?" pinta Shaka. Verlin menatapnya sendu, "Lalu aku muncul dan bertengkar denganmu. Padahal aku ingin memelukmu." Shaka menghela napas panjang, "Kamu tidak boleh memelukku lagi." Verlin ingin membantah. Sepertinya dia mengurungkan niatnya. Tangannya justru terarah ingin membungkai wajah Shaka. Baru saja setengah jalan sudah Shaka matikan pergerakan itu. Shaka mendorong turun tangan Verlin tanpa berkedip. Jantung Verlin merasa sangat sakit. Dia ingin menangis lagi. Air matanya tergenang di pelupuk mata dan jatuh begitu saja tanpa suara. Shaka juga sakit melihatnya. Namun, dia juga tidak berdaya. "Lalu dari mana kau tau tentang pembalasan dendam kami?" Verlin menarik tangannya mundur, "Aku ... sejak insiden di club, karirku hancur, cit
Verlin tercengang. Mengapa Shaka terdengar sangat menyakitkan. Ini jauh berbeda dengan bayangannya. Dia membayangkan jika Shaka akan bangun dan bahagia memeluk dirinya erat ketika melihatnya di sisinya. Apalagi mereka berada di luar negeri, di mana tidak ada seorang pun yang bisa mengganggu mereka. "Kamu membenciku?" Verlin sudah berkaca-kaca ingin menangis. "Bukan begitu, tapi sepertinya aku tidak mempunyai perasaan lagi padamu," jawab Shaka jujur.Verlin memukul udara dan berteriak, "Apa karena Nayla kamu jadi berpaling dari aku, Shaka? Itu tidak mungkin! Katakan kalau kamu bohong. Dia mungkin memang istrimu, tapi aku adalah cintamu. Kamu tidak akan bisa berpisah denganku." "Itu hanya khayalan kamu saja, Verlin. Memang pertama aku menikah dengannya aku masih mencintaimu, tapi sekarang berbeda. Kamu sendiri yang mengubahnya. Kamu tidak menginginkan hatiku lagi, tapi hanya sosokku yang kamu idamkan. Bahkan Nayla sangat menghargai. Dia tidak pernah ingin menyentuhku walaupun aku men
Pakaiannya juga berubah. Dia meraba seluruh badannya, itu bukan pakaian yang dia pakai sebelumnya. Kepalanya pusing, putaran terakhir yang dia ingat seharusnya dia berada di jalan raya. Namun, kamar siapa ini. Dia bangkit dan berjalan tanpa alas kaki menuju jendela. Kala jendela itu dibukanya, angin musim semi menerpa wajah. Disuguhkan pemandangan alam dengan rumah-rumah yang sangat jauh di bawahnya. Juga pohon-pohon besar di sekitar rumah-rumah di depannya yang berbunga sangat aneh. Sangat berwarna-warni.Mulutnya terbuka tak mampu menggambarkan apa yang dia lihat. "Ini ... di mana?" Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan mata dan ketika sosok itu datang matanya membulat tidak percaya juga napasnya berhenti. Sosok itu tersenyum anggun menghampirinya dan dia mengejang kaku di tempat. Bibirnya yang indah itu berbicara dengan nada penuh tanya, tetapi juga berat. "Verlin?" Sudut bibir wanita itu semakin terangkat kala dia menyebutkan namanya dengan begitu fasih tanpa keraguan s