Minggu yang sendu. Melihat siaran televisi yang isinya bencana alam dimana-mana. Namun, yang menonton justru melamun."Kamu kenapa?" Shaka sedang membuat olahan mie baru dari resep di Handphone di dapur. Jarang-jarang mereka bisa bersantai dan makan mie lagi. "Aku cuma kangen sama Gilang," celetuk Nayla begitu saja. Shaka memicing. Mengetahui itu Nayla sedikit berdeham, "Apa? Dia nggak kelihatan hampir sebulan lebih. Katanya setiap hari promosi sana-sini. Jangankan lubang hidungnya, baunya aja aku nggak ada. Jelas, lah, aku kangen dia." Shaka mengangguk-angguk, "Gimanapun juga dia satu-satunya teman laki-laki kamu." Nayla menoleh datar, "Hei, kamu juga teman laki-lakiku. Lebih lama dari dia." "Tapi aku suamimu," balas Shaka enteng dan mematahkan kata-kata Nayla. "Ehm, ehm, iya juga." Nayla mengganti saluran televisi menjadi tayangan film dari luar negeri. Nayla tidak paham apa artinya meskipun ada terjemahan di bawahnya. "Kalau udah ketemu Gilang kamu mau apa?" tanya Shaka dari
Di dalam mobil Shaka bersandar dan melamun santai menatap puas bagaimana wanita itu menyesal di hadapan Nayla. Tidak Shaka sangka orang itu akan menurunkan harga diri di depan kaki Nayla. Sedangkan Nayla masih bingung dengan teror macam apa yang Rina maksud. Dia tidak mengindahkan permintaan maaf itu karena sudah tahu jika Rina akan meminta maaf padanya. "Ba-bangun, jangan kayak gini. Malu dilihat orang." Nayla mencoba mengajak Rina berdiri, tetapi Rina tidak mau. Dia bersikeras untuk tetap duduk di kakinya sampai Nayla memaafkannya. Nayla menghela napas berat. Mengingat beberapa hal buruk yang telah orang itu lakukan padanya, "Dulu kamu yang paling jahat padaku. Bahkan Enna saja masih bisa bicara lembut, tapi kamu pemarah dan sangat arogan." "Aku tau aku salah. Aku sudah menebusnya. Aku minta maaf," isak tangis Rina seakan tidak ada redanya. Perlahan Nayla ikut duduk dan tinggi mereka menjadi setara, "Apa yang suamiku lakukan ke kamu?" Rina pun mendongak dan menggeleng, "Aku ti
Karena teror itu Rina semakin menggila. Dia kacau, terpuruk dalam kebusukan yang seolah tidak pernah pergi darinya. Seolah ditakdirkan untuknya. Uang sudah habis untuk mencari bantuan demi membersihkan rumahnya dari sampah-sampah itu. Bisik-bisik rumor mulai menyebar. Citranya memburuk dan kondisi Rina pun hancur. Andai saja dia tahu siapa yang berani melakukan itu padanya dia akan marah, menuntut, hingga meminta ganti rugi, tetapi jangankan orangnya, truk yang menyiram rumahnya dengan sampah itu saja Rina tak pernah tahu. Orang itu pintar mencari waktu yang tepat ketika dia pergi ataupun tidur untuk melancarkan aksi. Karena sudah dalam keadaan terpuruk, Rina pun menemui Luna yang rumahnya tak terlalu jauh darinya. Dia mengadu, menangis dengan sekujur tubuh berbau busuk. Di mana ketegasan Rina ketika diperingatkan untuk berhati-hati waktu itu, kini berubah menjadi tangis permohonan meminta agar membantunya mengurus sampah-sampah itu.Luna tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Rina pe
Catatan di bank yang sama tempat Rina bekerja kini ada dalam genggaman Shaka. Wanita itu mungkin bekerja sangat rajin sampai-sampai tidak pulang walau larut malam demi menghindari pengejaran Shaka, tetapi Shaka tidak mencarinya di lapangan, melainkan di kantor bank itu sendiri dan membuat keributan. "Wah, dia tampan sekali!" "Apa dia nasabah?" "Biar aku saja yang tangani!" Begitu banyak petugas perempuan di dalam kantor yang terpesona akan Laras rupawan Shaka dan berebut ingin melayani keluhan Shaka. Namun, pada akhirnya hanya satu dari mereka yang bisa datang. "Permisi, Pak, ada yang bisa kami bantu?" mata wanita itu berbinar terlebih lagi Shaka sedang tersenyum sopan. "Aku mencari Rina." satu nama yang diucap Shaka membuat senyum semua orang luntur. "Eee, apakah Anda nasabahnya?" tanya wanita itu lagi. Shaka menggeleng, "Hanya ingin menyelesaikan beberapa masalah." Lalu, Shaka menyerahkan sederet rincian tentang penggelapan dana pembayaran hutang nasabah yang dia ambil sela
Satu pekan pun berlalu. Udara lembab terbang mengikuti hembusan angin. Daun-daun berguguran memenuhi sepanjang jalan. Cuaca masih mendung, tetapi tidak ada tanda-tanda akan hujan. Selama satu pekan itu Nayla tidak bertanya tentang pembalasan dendam itu. Dia hanya terpesona pada aroma hujan setiap hari, terlebih lagi hujan lebih memikat di malam hari. Karena hujan itu mereka bisa berada di bawah selimut yang sama hingga lagi. Di kantor, cafetaria pukul dua belas siang, segelas es teh hanya dimainkan tanpa diminum seteguk pun, padahal ini sudah lebih dari setengah jam. Vira sampai bosan menatapnya, "Hei, berikan padaku." Nayla terkesiap segera meminum es itu, "Kamu pesan aja lagi." "Ck, kamu makin hari makin aneh tau. Aku penasaran, jadi makin yakin kalau kamu habis bertengkar sama Shaka sejak pesta pernikahan tempo lalu, terus belajangn ini kalian akrab lagi. Oh, aku paham. Kamu nggak mau cerita sama aku, ya, udah, aku nggak mau makan bareng lagi sama kamu." ancam Vira merajuk men
Shower menghujani tubuh polos Nayla. Air terus mengalir seakan meluruhkan beban di pikiran yang dia buat sendiri. Itu berlangsung cukup lama. Hampir satu jam Nayla tak kunjung keluar dari kamar mandi. Shaka menjadi khawatir. Dia mengetuk pintu kamar mandi dan bertanya, "Nayla? Kamu masih di sana? Kok, lama banget, kamu pingsan?" Sekejap pintu terhantam oleh botok shampo menghasilkan bunyi benturan yang sangat keras. Shaka terjingkat mundur. "Dasar mesum! Ngapain kamu berdiri di situ pas aku lagi mandi?! Buruan pergi sana!" teriak Nayla marah-marah. Suaranya menggema karena teredam ruangan yang tertutup. Shaka bingung dan menggaruk tengkuknya, "Eee, aku cuma khawatir sama kamu." "Kamu masih berani diam di situ?! Pergiii!" teriak Nayla lebih marah lagi. "Iya, iya, aku pergi. Kamu ... buruan keluar!" Shaka lari terbirit-birit kembali ke kamar. Sesampai kamar dia hanya mempertahankan sipu malu di wajahnya. Nayla masuk ke kamar sambil marah-marah menunjuk Shaka dengan telunjuk ding