Hatinya terbakar saat Shaka mengaku. Sedetik kemudian Shaka memeluknya membuat Nayla hampir tak bernyawa. Dia terkejut bukan kepalang sampai jantungnya berhenti berdetak.
"Tapi ... aku tetap suamimu. Tolong jangan jauhi aku." Shaka menggosokkan wajahnya di pipi Nayla kemudian menjadikan pundak Nayla seperti bantal. Dia pun tertidur di sana.
Mata Nayla terbuka dan napasnya berpacu tak karuan. Melirik Shaka seolah ingin mencongkel matanya saja.
Sikap egois itu membuatnya ingin memukul kepala Shaka. Orang itu benar-benar membuatnya marah hampir gila.
Sayangnya kepalan tangan yang hampir melayang ke wajah tampan itu kembali lemas. Nayla tidak akan pernah mampu memukul Shaka sampai kapanpun. Apalagi sekarang laki-laki itu sedang melilitnya seperti ular. Untuk bergerak saja Nayla kesusahan. Dia hanya bisa terus bersandiwara hingga akhirnya benar-benar terlelap.
Keesokan paginya adalah pagi terheboh yang pernah ada dalam sejarah mereka.
"Aaaa, aku megang Cicak!" Nayla berteriak menatap tangannya sampai Shaka terjingkat duduk mengerjap cepat.
"Aaa, Cicak! Ci-cicak apa yang kamu maksud?" Shaka panik sampai suaranya melengking.
Nayla menatap tangannya dan muka Shaka bergantian sambil mengeratkan gigi.
"Ya, Cicaknya kamu!" pekik Nayla.
"Hah?! Maksudnya?!" Shaka menunjuk diri sendiri selagi Nayla bergidik.
Lalu, dia langsung paham dan menunduk menyilang kakinya. "Maksud kamu a-aku ... ini ... argh, kamu ngomong apa, sih?!"
Nayla berdecak, "Kenapa kamu peluk-peluk aku?! Geseran dikit, 'kan, bisa. Badan kamu gede jangan makan tempat!"
Shaka menganga, "Emangnya aku meluk kamu?"
Sesaat dia sadar dan menepuk dahinya keras sampai Nayla merinding. Dia ingat apa yang telah terjadi.
"Emangnya kenapa kalau aku meluk kamu? Nggak boleh?" tanya Shaka yang sudah tenang.
"Nggak boleh! Kamu nggak berhak buat dekat-dekat sama aku! Meskipun itu dalam mimpi sekalipun!" kecam Nayla.
Shaka mendelik, "Kenapa? Aku, 'kan, suami kamu."
"Karena kamu sukanya ke orang lain bukan sama aku!" refleks Nayla menunjuk batang hidung Shaka membuat empunya kembali terkejut.
"Kamu ... dengar aku?" suara Shaka memelan.
Nayla melengos acuh, "Aku dengar semuanya. Tadinya mau pukul kepala kamu biar kamu lupa ingatan, tapi karena aku terlalu baik jadi aku lepaskan kamu. Aku bahkan biarin kamu meluk aku waktu tidur! Badan aku sesak tau!"
Shaka diam saja mendengar ocehan Nayla. Shaka tahu sebenarnya itu keluh kesah Nayla, bukan protes biasa.
"Maafin aku, Nayla," lirih Shaka.
Kerutan di dahi Nayla menghilang.
Shaka mendengkus panjang, "Aku mungkin masih belum melupakan Verlin, tapi kamu adalah istriku. Aku memilihmu tanpa ragu. Tolong percayalah. Aku sendiri nggak tau apakah perasaanku pada Verlin itu cinta atau sekadar belum bisa Move On, tapi yang jelas aku ingin bersamamu."
Nayla menyeringai, "Cinta, ya? Merepotkan sekali! Dibilang aku mencintaimu juga tidak, tapi aku sayang sama kamu. Ck, pahitnya! Berasa perasaanku bertepuk sebelah tangan, tapi bukan cinta. Apa, ya? Bagaimana cara bilangnya, ya? Aku rasa sudah menyukaimu sejak dulu, sih."
Mulut Shaka membulat mendengarnya.
"Kenapa? Sakitnya berasa sampai ke ulu hati, ya?" sindir Nayla, "Perasaan memang selalu menyulitkan seseorang sampai membutakan akal sehat. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang. Aku mau kerja. Terserah kamu kalau balikan lagi sama mantanmu aku nggak peduli. Aku udah biasa hidup kayak gini. Sendiri tanpa ada bayang-bayang yang menemani. Anggap aja pernikahan kita cuma status belaka. Sejak awal kita memang nggak wajar."
Nayla turun dari ranjang, tetapi Shaka mencekal tangannya.
"Lepasin aku!"
"Apa separah itu kamu sampai nggak percaya sama laki-laki padahal ini aku sendiri?"
Nayla terpaku dengan ekspresi serius Shaka.
"Traumamu, gejala, awal mula, semua yang kamu alami sejak aku pindah ke Jakarta, katakan semuanya, Nayla. Ceritain semuanya ke aku. Sekarang!" tuntut Shaka sudah seperti di pengadilan.
Nayla tertawa kaku, "Apa-apaan tiba-tiba jadi ke situ? Kita lagi bahas betapa buayanya kamu, ya. Aku sampai lalai tidur dekat banget sama kamu sampai aku nggak sengaja megang barang pribadi kamu!" balas Nayla menunjuk kaki Shaka.
Sontak Shaka berdecak dan menutupi pinggang hingga kakinya dengan selimut.
"Nayla, kamu! Aku ternodai!" pekik Shaka kesal.
"Tanganku jauh ternodai!" balas Nayla tak mau kalah membuat Shaka menganga lagi.
"Gimana bisa kamu nyentuh aku di bagian itu? Tanganmu memangnya merayap ke mana-mana? Cicak? Kamu sebut aku Cicak?!" Shaka syok berat.
"Ya, ya, Cicak kurang ajar yang mainin jiwa sama raga aku! Kalau bukan gara-gara kamu meluk aku, tanganku nggak mungkin bisa terperangkap di situ." Nayla melengkungkan bibir bawahnya.
"Kamu!" Shaka tidak bisa berkata-kata. Telinganya memerah menahan malu. "Aku nyium kamu aja nggak pernah tapi kamu malah menodaiku," sok sedih.
"Tunggu, jangan pernah berharap bisa menciumku, Dasar Cicak Jelek!" maki Nayla heran ternyata Shaka lebih dramatis daripada dirinya.
"Oh, masih menganggapku Cicak?" Shaka sengaja menarik-narik tangan Nayla supaya kembali jatuh ke ranjang.
"Eh, eh!" Nayla sekuat tenaga menahan diri.
"Apa mau dibuktikan saja?" Shaka mengarahkan tangan Nayla ke bawah.
Sontak Nayla menjerit ingin menampar Shaka dengan tangan satunya, tapi Shaka kemabli berhasil menahannya.
"Apa yang kamu lakukan? Kalau aku mau udah aku lakuin dari dulu." celetuk Nayla asal yang mampu memerahkan wajah Shaka.
"Kamu! Nggak sopan banget jadi cewek. Aku udah minta maaf, kalau nggak terima sini biar aku balas." Shaka menarik Nayla hingga kembali jatuh ke ranjang.
"Aaa, jangan buli aku, dong! Kamu kayak temen SMP aku tau nggak yang sering buli aku!" kesal Nayla merajuk membuat Shaka mendekat tanpa melepaskan genggamannya pada tangan Nayla.
"Apa? Siapa? SMP? Buli?" Shaka menekan keberanian Nayla, "Siapa saja pelakunya? Bagaimana dan kapan mereka mulai mencelakai kamu?"
Nayla sedikit kesulitan bicara apalagi saat Shaka sudah menyatukan alisnya. Mata laki-laki itu menjadi semakin tajam menakutkan. Keseriusan Shaka tidak bisa dilanggar.
"E-emangnya kalau aku cerita kamu bakal apa?" tantang Nayla.
"Aku bakal balas semua perbuatan biadab mereka." desis Shaka tanpa berkedip.
Genderang di dada Nayla kambuh.
"Balas ... dendam?" lidah Nayla pun kelu.
Di tengah kota, ada satu tempat yang tidak pernah Nayla kunjungi. Itu bernama Great Waterfall. Dan Shaka diundang di sana. Mengulak-ulik surat undangan dari kolega, jas kantor masih melekat di badan Shaka sore dini hari. Di meja dekat nakas ruang tamu Nayla menghampirinya dengan kondisi rambut basah habis mandi. "Apa itu?" Shaka terkejut tiba-tiba Nayla ada di sampingnya. Rambut Nayla masih sedikit basah. Handuk kecil tersampir di pundak. Aroma mawar merah muda mencuat kuat dari tubuhnya.Shaka terdiam sejenak."Nayla..." suaranya hampir berbisik, "Kenapa bisa basah begini?"Nayla meringis, "Kamu aja yang nggak langsung mandi. Habis pulang kerja enaknya tuh mendinginkan akal sehat di kamar mandi tau. Itu apa?"Shaka meneguk ludahnya pahit lalu menggeleng kecil, "Ini undangan dari kolega kantor.""Hmm? Undangan?" Nayla mengambil undangan itu sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecilnya, "Kok, bentuknya agak aneh?""Ya ... namanya emang agak aneh. Itu di ... Great Waterfall." Sh
Tepat satu jam setelah Shaka pulang, Nayla tiba di rumah. Namun, situasi sedang tidak baik-baik saja. Ini seperti perang dingin yang sangat membingungkan. Shaka tidak bertanya bagaimana Nayla bisa pulang. Kenapa tidak ada pembicaraan di antara mereka dan setiap kali Nayla mendekat Shaka selalu menghindar. Apakah Shaka benar-benar akan menunggu sampai jam dua belas malam? Nayla pun tidak habis pikir dengan laki-laki itu. "Baiklah kalau mau menunggu. Aku juga mau menunggu. Sambil tidur." Nayla meringkuk di sofa ruang tamu dan membiarkan TV menyala. Sayangnya, keduanya tidur sampai pagi menjemput di ruang yang berbeda. Sadar-sadar Nayla sudah bangun di pagi hari dan Shaka sudah tidak ada. Brak! "Astaga! Kenapa lagi ini anak? Datang-datang ngamuk meja?" Vira terjingkat sampai menghentikan tangannya yang menari di atas keyboard. Nayla cemberut, duduk di kursinya sambil menghidupkan komputer, "Shaka marah tau.""What?! Cowok setenang itu bisa marah?! Kamu apain?!" Vira sampai ikutan
Perasaan aneh muncul di setiap menit berkendara. Rasanya Nayla ingin putar arah dan melihat ke belakang. Pandangan kabut berasap di jalanan semakin menyibak penasaran. "Jangan-jangan Shaka benar-benar mau dihasut olehnya. Aku bukan takut Shaka mau direbut, tapi ... untuk jaga-jaga saja. Apa yang cewek itu lakukan ke Shaka." Akhirnya Nayla putar arah. Toko itu sepi, dinding seolah punya telinga, dan Nayla bersembunyi di balik pintu penyekat antara ruang depan dengan lorong menuju dapur dan ruangan kerja Verlin. Mata Nayla melebar kala melihat situasi Shaka yang semakin dekat dengan Verlin. Mereka tengah memantau rekaman cctv dari laptop. Bukan itu yang Nayla resahkan, tetapi jarak di antara yang begitu dekat. Semakin Nayla lihat semakin tak sadar tangannya menekan pada dinding tempat dia bersandar. Nayla heran mengapa dahi Shaka berkerut. Seharusnya rekaman cctv itu baik-baik saja bukan. Dia telah merekayasanya. "Tunggu! Hentikan adegan itu!" Shaka menunjuk layar laptop. "Yang
"Bagaimana bisa mereka keracunan?! Siapa yang berani melaporkan tuduhan itu?! Kenapa berita bodoh ini langsung menyebar ke seluruh kota?!" Verlin marah besar. Semua karyawannya menunduk bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya Verlin marah sejak menjabat sebagai bos baru. Belum lagi di luar terjadi kericuhan. Petugas dari balai pengawas obat dan makanan datang untuk memeriksa beserta beberapa instansi lainnya. Tidak sedikit pula para pelanggan semalam yang tidak terima karena dibuat sakit perut selama tiga jam. Mereka bahkan membawa surat keterangan dari rumah sakit. "Sshhh, jangan diam saja lakukan sesuatu!" Verlin mondar-mandir naik darah. "Eee, meskipun sakitnya hanya tiga jam, tetapi nama kita sudah tercemar," ujar salah satu karyawan takut-takut. "Se-semua pelanggan juga mengalami hal yang sama. Du-durasi yang sama pula," sahut temannya. "Kita harus bagaimana, Nona? Pihak berwajib di depan sudah tidak tahan ingin kita membuka pintu. Kalau mereka terus memaksa pintunya b
Mencari begitu lama, Nayla akhirnya memberitahu bahwa dia ingin catatan biografi Verlin dengan alasan untuk belajar. Tidak tahu bodoh atau lugu mahasiswi itu memberikan semua catatan umum Verlin kepada Nayla. Ketika membacanya, Nayla bagai tertiban reruntuhan emas. Identitas asli Verlin lebih menakutkan dari yang dia kira. Ternyata wanita itu adalah keturunan konglomerat. Tidak heran takdirnya bisa sesukses dan sekaya itu. Uang sudah seperti debu baginya. Tanpa dicari pun kepopuleran dan harta akan datang dalam genggamannya. Nayla menutup semua buku itu sembari menarik napas dalam. "Aku mengerti sekarang. Dia bukan lawan yang bisa dihadapi sembarangan," gumam Nayla tanpa sengaja mengutarakan isi pikirannya. "Hmm? Kamu bilang sesuatu?" mahasiswi itu tiba-tiba bingung mendengar Nayla di saat sedang sibuk membaca. "Oh, bukan apa-apa. Terima kasih, ya, kau sangat membantu. Aku sudah merekap beberapa inti yang kuanggap penting. Kurasa aku tau apa yang harus kulakukan." Nayla menggoya
"Hahaha, terima kasih atas traktirannya. Jadi merasa tidak enak," kata orang ke satu. "Haha, jangan sungkan. Kita sama-sama berteduh, hahaha. Oh, iya, tadi kalian bilang pemilik toko ini seorang model, ya? Aku karyawan di kantor itu. Kami sedang mencari model yang pas untuk mengiklankan produk terbaru kami. Mungkin saja pemilik toko ini bisa membantu." senyum tulus Nayla bahkan tercermin di matanya. Nayla tidak ragu-ragu untuk berakting bahkan merogoh isi dompet untuk mentraktir dua orang asing itu dengan kopi dan roti. Orang ke satu mendesah, "Takutnya kalian tidak akan bisa mengatur kontrak dengannya." Nayla berkedip, "Kenapa?" "Aku tau dari berita dia sangat mahal dan jarang terikat dengan kontrak. Siapa juga yang membutuhkan banyak pekerjaan kalau sudah kaya. Bukankah toko ini terlalu sukses?" orang pertama itu mengendikkan bahu menyindir terang-terangan. Nayla mengangguk dan bersandar kursi. Membiarkan kedua orang itu menikmati kopinya. "Hmm, benar juga. Hah, sayangnya men