Share

8. Cicak di Ranjang

Author: Aloegreen
last update Last Updated: 2025-01-09 18:37:09

Hatinya terbakar saat Shaka mengaku. Sedetik kemudian Shaka memeluknya membuat Nayla hampir tak bernyawa. Dia terkejut bukan kepalang sampai jantungnya berhenti berdetak. 

"Tapi ... aku tetap suamimu. Tolong jangan jauhi aku." Shaka menggosokkan wajahnya di pipi Nayla kemudian menjadikan pundak Nayla seperti bantal. Dia pun tertidur di sana. 

Mata Nayla terbuka dan napasnya berpacu tak karuan. Melirik Shaka seolah ingin mencongkel matanya saja. 

Sikap egois itu membuatnya ingin memukul kepala Shaka. Orang itu benar-benar membuatnya marah hampir gila. 

Sayangnya kepalan tangan yang hampir melayang ke wajah tampan itu kembali lemas. Nayla tidak akan pernah mampu memukul Shaka sampai kapanpun. Apalagi sekarang laki-laki itu sedang melilitnya seperti ular. Untuk bergerak saja Nayla kesusahan. Dia hanya bisa terus bersandiwara hingga akhirnya benar-benar terlelap. 

Keesokan paginya adalah pagi terheboh yang pernah ada dalam sejarah mereka. 

"Aaaa, aku megang Cicak!" Nayla berteriak menatap tangannya sampai Shaka terjingkat duduk mengerjap cepat.

"Aaa, Cicak! Ci-cicak apa yang kamu maksud?" Shaka panik sampai suaranya melengking. 

Nayla menatap tangannya dan muka Shaka bergantian sambil mengeratkan gigi. 

"Ya, Cicaknya kamu!" pekik Nayla. 

"Hah?! Maksudnya?!" Shaka menunjuk diri sendiri selagi Nayla bergidik. 

Lalu, dia langsung paham dan menunduk menyilang kakinya. "Maksud kamu a-aku ... ini ... argh, kamu ngomong apa, sih?!" 

Nayla berdecak, "Kenapa kamu peluk-peluk aku?! Geseran dikit, 'kan, bisa. Badan kamu gede jangan makan tempat!" 

Shaka menganga, "Emangnya aku meluk kamu?" 

Sesaat dia sadar dan menepuk dahinya keras sampai Nayla merinding. Dia ingat apa yang telah terjadi. 

"Emangnya kenapa kalau aku meluk kamu? Nggak boleh?" tanya Shaka yang sudah tenang. 

"Nggak boleh! Kamu nggak berhak buat dekat-dekat sama aku! Meskipun itu dalam mimpi sekalipun!" kecam Nayla. 

Shaka mendelik, "Kenapa? Aku, 'kan, suami kamu." 

"Karena kamu sukanya ke orang lain bukan sama aku!" refleks Nayla menunjuk batang hidung Shaka membuat empunya kembali terkejut. 

"Kamu ... dengar aku?" suara Shaka memelan. 

Nayla melengos acuh, "Aku dengar semuanya. Tadinya mau pukul kepala kamu biar kamu lupa ingatan, tapi karena aku terlalu baik jadi aku lepaskan kamu. Aku bahkan biarin kamu meluk aku waktu tidur! Badan aku sesak tau!" 

Shaka diam saja mendengar ocehan Nayla. Shaka tahu sebenarnya itu keluh kesah Nayla, bukan protes biasa. 

"Maafin aku, Nayla," lirih Shaka. 

Kerutan di dahi Nayla menghilang. 

Shaka mendengkus panjang, "Aku mungkin masih belum melupakan Verlin, tapi kamu adalah istriku. Aku memilihmu tanpa ragu. Tolong percayalah. Aku sendiri nggak tau apakah perasaanku pada Verlin itu cinta atau sekadar belum bisa Move On, tapi yang jelas aku ingin bersamamu." 

Nayla menyeringai, "Cinta, ya? Merepotkan sekali! Dibilang aku mencintaimu juga tidak, tapi aku sayang sama kamu. Ck, pahitnya! Berasa perasaanku bertepuk sebelah tangan, tapi bukan cinta. Apa, ya? Bagaimana cara bilangnya, ya? Aku rasa sudah menyukaimu sejak dulu, sih." 

Mulut Shaka membulat mendengarnya. 

"Kenapa? Sakitnya berasa sampai ke ulu hati, ya?" sindir Nayla, "Perasaan memang selalu menyulitkan seseorang sampai membutakan akal sehat. Tapi aku nggak mau bahas itu sekarang. Aku mau kerja. Terserah kamu kalau balikan lagi sama mantanmu aku nggak peduli. Aku udah biasa hidup kayak gini. Sendiri tanpa ada bayang-bayang yang menemani. Anggap aja pernikahan kita cuma status belaka. Sejak awal kita memang nggak wajar." 

Nayla turun dari ranjang, tetapi Shaka mencekal tangannya. 

"Lepasin aku!" 

"Apa separah itu kamu sampai nggak percaya sama laki-laki padahal ini aku sendiri?" 

Nayla terpaku dengan ekspresi serius Shaka. 

"Traumamu, gejala, awal mula, semua yang kamu alami sejak aku pindah ke Jakarta, katakan semuanya, Nayla. Ceritain semuanya ke aku. Sekarang!" tuntut Shaka sudah seperti di pengadilan. 

Nayla tertawa kaku, "Apa-apaan tiba-tiba jadi ke situ? Kita lagi bahas betapa buayanya kamu, ya. Aku sampai lalai tidur dekat banget sama kamu sampai aku nggak sengaja megang barang pribadi kamu!" balas Nayla menunjuk kaki Shaka. 

Sontak Shaka berdecak dan menutupi pinggang hingga kakinya dengan selimut. 

"Nayla, kamu! Aku ternodai!" pekik Shaka kesal. 

"Tanganku jauh ternodai!" balas Nayla tak mau kalah membuat Shaka menganga lagi. 

"Gimana bisa kamu nyentuh aku di bagian itu? Tanganmu memangnya merayap ke mana-mana? Cicak? Kamu sebut aku Cicak?!" Shaka syok berat. 

"Ya, ya, Cicak kurang ajar yang mainin jiwa sama raga aku! Kalau bukan gara-gara kamu meluk aku, tanganku nggak mungkin bisa terperangkap di situ." Nayla melengkungkan bibir bawahnya.

"Kamu!" Shaka tidak bisa berkata-kata. Telinganya memerah menahan malu. "Aku nyium kamu aja nggak pernah tapi kamu malah menodaiku," sok sedih. 

"Tunggu, jangan pernah berharap bisa menciumku, Dasar Cicak Jelek!" maki Nayla heran ternyata Shaka lebih dramatis daripada dirinya.

"Oh, masih menganggapku Cicak?" Shaka sengaja menarik-narik tangan Nayla supaya kembali jatuh ke ranjang.

"Eh, eh!" Nayla sekuat tenaga menahan diri. 

"Apa mau dibuktikan saja?" Shaka mengarahkan tangan Nayla ke bawah. 

Sontak Nayla menjerit ingin menampar Shaka dengan tangan satunya, tapi Shaka kemabli berhasil menahannya. 

"Apa yang kamu lakukan? Kalau aku mau udah aku lakuin dari dulu." celetuk Nayla asal yang mampu memerahkan wajah Shaka. 

"Kamu! Nggak sopan banget jadi cewek. Aku udah minta maaf, kalau nggak terima sini biar aku balas." Shaka menarik Nayla hingga kembali jatuh ke ranjang.

"Aaa, jangan buli aku, dong! Kamu kayak temen SMP aku tau nggak yang sering buli aku!" kesal Nayla merajuk membuat Shaka mendekat tanpa melepaskan genggamannya pada tangan Nayla. 

"Apa? Siapa? SMP? Buli?" Shaka menekan keberanian Nayla, "Siapa saja pelakunya? Bagaimana dan kapan mereka mulai mencelakai kamu?" 

Nayla sedikit kesulitan bicara apalagi saat Shaka sudah menyatukan alisnya. Mata laki-laki itu menjadi semakin tajam menakutkan. Keseriusan Shaka tidak bisa dilanggar. 

"E-emangnya kalau aku cerita kamu bakal apa?" tantang Nayla. 

"Aku bakal balas semua perbuatan biadab mereka." desis Shaka tanpa berkedip. 

Genderang di dada Nayla kambuh. 

"Balas ... dendam?" lidah Nayla pun kelu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Married to My Childhood Friend   127. Shaka Menghilang

    Siapa tahu Shaka masih ada di situ. Sembari menyusuri tiap lorong dia membuka pintu yang bisa dibuka sambil menelepon Shaka. "Shaka, ayo angkat teleponnya." panik Nayla. Namun, tidak ada jawaban. Kalau begitu Nayla pulang. Dia ngebut tidak peduli lagi dengan peraturan lalu lintas asalkan bisa sampai rumah dengan cepat dan ternyata pintu rumahnya masih terkunci. Tidak ada mobil Shaka juga di sana. "Shaka?!" Nayla membuka pintunya dan berteriak, tetapi kosong. Sosok yang dia cari seakan menghilang tanpa jejak. Nayla gelisah menepuk dahi dengan sangat keras. "Kenapa aku nggak bisa nemuin kamu di mana-mana? Kenapa kamu nggak ada kabar seharian?" Suaranya sudah jatuh seperti langit saat ini. Angin menambah beban Nayla. Ia menyerang membuat pusaran di langit dan mengacaukan sekitar. Dedaunan mulai berterbangan bahkan suaranya berdengung di telinga Nayla. Dia menoleh ke segala arah. Kondisinya makin parah, detak jantungnya tak karuan, dan dia bingung. "Shaka ...," terus menggunakan n

  • Married to My Childhood Friend   126. Dessert

    "Kenapa nanya begitu? Mbak pikir aku orangnya kejam, ya, sampai nyuruh-nyuruh cewek yang aku suka? Ngomong-ngomong aku udah putus, loh, sama pacarku." Gilang syok. "Eits, nggak usah panik, tenang, tenang. Aku cuma nanya doang apa salahnya?" Nayla menyodorkan segelas air dingin kepada Gilang dan Gilang menerimanya dengan senang hati meskipun tatapannya masih memicing tajam. "Jangan-jangan ada motif tersembunyi." Gilang sudah payah menelan airnya. Beberapa detik saling pandang tanpa menemukan titik terang. Nayla tetap bersikeras berkata hanya ingin tahu. "Okay, kalau cuma itu gampang. Tapi hadiahnya segini banyak bukannya berlebihan apa?" mulut berbicara demikian, tapi tangan lain jawaban. Sibuk mencongkel es krim di dalam gelas. Wajahnya seketika membeku karena dinginnya es krim yang lumer di mulut. Dia bahagia sekali. "Ah, nggak apa-apa udah nikmatin aja. Buruan jawab keburu malam," singkat Nayla. Gilang berdecak pelan sambil berpikir, "Eee, kalau aku punya cewek yang cantik, s

  • Married to My Childhood Friend   125. Upaya Nayla Belum Usai

    Ingin dibilang rindu, tapi kebosanan lebih cenderung mendominasi, "Aku cuma bosan, bukan frustasi." Hanya mendengar sebaris pembelaan itu saja mata Shaka sudah terpejam. "Astaga! Cepet banget tidurnya. Dia pasti kecapean banget." perlahan Nayla menarik Shaka agar kepalanya dapat menyentuh bantal. Dia menyelimuti pria yang telah menjadi suaminya itu dengan hati-hati. Nayla terkikik sendiri, "Ternyata membuatmu senang itu terlalu mudah."Kemudian, dia ikut tidur dalam selimut yang sama. ~~~Nayla baru mengembalikan kamera ke Gilang karena kemarin lupa. Lagipula Gilang juga seharian tidak ada di kantor kemarin. "Makasih, ya, kameranya." dengan senyum lebar Nayla mengembalikannya. Gilang berdecak mengecek kameranya, "Kenapa mesti pinjam aku, sih? Mas Shaka juga pasti punya." "Hah, dia mana punya." Nayla mengibaskan tangannya. Gilang tidak percaya, "Mana mungkin nggak punya. Orang kaya begitu." "Shaka bukan tipikal cowok pengumpul barang-barang kaya gitu. Dah, ah, Bye-bye!" Nayla m

  • Married to My Childhood Friend   124. Air Hangat

    Nayla pulang lebih dulu. Di rumah tidak ada orang, sangat sepi belum lagi Shaka mengirim pesan kalau dirinya lembur. Dia bosan dan tidak ada pekerjaan. Jadilah sisa-sisa penghujung hari ini dijadikan sesi bersih-bersih dadakan. Menyapu, membersihkan debu, mengepel lantai, sampai mencuci ulang pakaian dan piring yang sudah bersih. Tirai-tirai pun diganti dengan yang baru sehingga rumahnya terlihat seperti baru dibangun. Nayla tersenyum lebar puas dengan hasil kerja kerasnya dan tidak ada lagi yang bisa dikerjakan. Rambut hitamnya tergerai panjang, kaos putih yang agak kebesaran dan celana longgar selutut menjadi pilihan dalam hidup santainya. Di kamar Nayla hanya duduk bersandar ranjang dan menunggu. Memainkan Handphone sampai bosan sambil sesekali melirik jam. Bisa dibilang hampir setiap menit dia melirik jam. "Huft, kapan Shaka pulang?" Saat layar Handphone-nya mati karena terlalu lama dibiarkan, terlihat pantulan bayangan dari kalung kristal yang dia kenakan. Senyum Nayla ter

  • Married to My Childhood Friend   123. Ditunda

    Keesokan harinya Nayla sudah ketar-ketir bagaimana harinya dimulai nanti di pukul dua belas siang. Segala macam pikiran buruk mampir di benak Nayla. Seperti menyapu, mengepel lantai, meskipun dia melakukannya sehari-hari tetapi rasanya mendengar perintah disuruh dari mulut orang lain itu menyakitkan. Nayla tidak mau melakukan itu lagi. Dia sudah lelah menjadi babu. Namun, apa yang dia dapat bukanlah seperti apa yang dia bayangkan. Di jam istirahat di mana seharusnya Shaka mulai menuntut janjinya, Shaka justru memberi pesan jika sebaiknya ditunda hari minggu saja karena Shaka ada banyak pekerjaan hari ini. "Apa?!" Nayla berteriak di mejanya membuat semua orang menoleh kaget. Nayla tersenyum minta maaf sebelum kembali berkutat dengan Shaka. "Shaka, kamu udah bikin aku pusing tujuh keliling jangan asal main batalin aja, dingz" begitu balasnya ke pesan Shaka. Lalu, jawaban Shaka terlalu singkat yaitu sebuah kata maaf. Nayla ingin membanting Handphone rasanya, tetapi kasihan Handphone-

  • Married to My Childhood Friend   122. Selfie Terbaik

    Mendung tiba-tiba menjarah cerahnya langit. Kenapa setiap hal yang terlihat begitu baik harus dihapus sesegera mungkin. Nayla belum puas bermain apalagi foto jeleknya di Handphone Shaka belum berhasil dibuang. Nayla menatap awan-awan kelabu tua itu dengan sangat gelisah, "Apa bakal turun hujan ekstrim lagi?" Tanpa dia sadari Shaka menariknya untuk terlentang berdua. Nayla terkesiap dan lengan kokoh Shaka menjadi bantalannya. Nayla menoleh, wajahnya sangat dekat dengan Shaka sehingga dia kembali menatap langit. Tidak bisa bangkit juga meskipun Shaka tidak menahan. Itu terasa sangat tenang di bawah mendung yang erus menyibak langit biru. "Kita begini aja sebentar," suara Shaka berbisik di telinga Nayla. Nayla terasa geli dan anehnya dia tidak protes. Angin yang bertiup bukan terasa panas lagi, tetapi dingin. Dingin yang sejuk seperti aroma hujan. "Kalau kita kehujanan gimana?" tangan Nayla menengadah seolah dapat meraih salah satu awan yang mulai saling menyambung, "Aku bisa menci

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status