"Mungkin aku aja yang lagi banyak pikiran. Aku terlalu menganggapnya serius. Shaka cuma bercanda. Kenapa aku Moody's banget sama perilaku manis sekecil itu. Lidah laki-laki emang manis, tapi sebenarnya pahit."
Pada akhirnya Nayla tak mampu menunggu lagi di dalam kantor. Dia keluar dan mendapati angin menerpa bajunya sampai rok panjang yang dia kenakan hampir tersingkap.
"Wow, anginnya kencang banget."
Sebenarnya Nayla masih teringat dengan kata-kata Shaka di dalam mobil kemarin.
Dia menuju trotoar menunggu kala ada tukang ojek yang lewat. Namun, seolah terputus dengan gravitasi, langkah kaki Nayla berhenti tanpa berpijak.
Seluruh hembusan angin membekukan dirinya. Pandangan Nayla lurus tertuju pada sebuah toko roti yang terbuka. Kala pintu itu kembali tertutup, sosok itu pun menghilang.
Bibir Nayla perlahan menepis hawa dingin yang terus menerjang.
"Shaka?"
Perasaan Dejavu membuatnya gelisah. Untuk ke dua kalinya Shaka pergi ke toko roti itu bersama mantan kekasihnya.
Shaka tersenyum. Tersenyum sangat manis, mungkin jauh lebih manis dari waktu itu. Terlebih lagi tangan Shaka berada di pundak Verlin.
Nayla mencoba mengatur napas, "Apa yang mereka lakukan?"
Dia beranikan kakinya untuk mendekati toko roti itu. Mengendap layaknya pencuri hanya untuk melihat apa yang mereka lakukan dari luar.
Nayla terkejut karena mereka justru duduk dan menikmati beberapa roti isi dengan kopi.
Telinga Nayla seolah buntu karena terjangan angin. Sudah hampir lima menit Shaka tak kunjung keluar. Nayla merasa ada yang aneh dengan dirinya. Mengapa hatinya memanas. Bahkan suara detak jantungnya bisa terdengar.
Sebaiknya Nayla pergi sebelumnya situasi semakin parah. Takutnya hari semakin gelap dan Shaka akan menggunakan alasan lain untuk menutupi keterlambatannya.
"Jadi ... itu alasan mengapa dia terburu-buru tadi pagi dan akan terlambat menjemputku? Untuk bertemu Verlin?"
Nayla membekap mulutnya di samping pohon menunggu ojek online yang baru dia pesan. Tatapannya kosong pada setiap debu dan daun yang berterbangan.
Nayla tidak ingin mendengar kebohongan dari mulut Shaka. Itu akan menusuk hati dan kepercayaannya sedalam lautan.
Pikirannya terlalu kacau sampai tidak sadar jika ojek yang dia pesan sudah datang. Tanpa menunggu lama Nayla segera pulang .
Hari mulai gelap. Layaknya matahari yang ditelan bumi, cahaya di mata Nayla pun hilang berganti kegelisahan.
Tidak ada satu pun panggilan telepon dari Shaka, bahkan meninggalkan pesan saja tidak. Bagus, Nayla mulai merasakan sensasi aneh di hatinya. Inikah yang disebut selingkuh?
Gadis itu sedang merebus air untuk membuat mie instan. Saat hendak memasukkan mie tanpa sengaja dia juga memasukkan jarinya.
"Aw!"
Nayla segera memasukkan jari itu ke mulut dan sadar. Selama itu kah dia melamun, menahan sesikit sakit dan sedih yang membuat jantungnya berpacu tak menentu.
Sekarang Nayla menemukan jawabannya. Dia adalah orang ke tiga. Perebut masa depan Shaka. Jika Shaka masih merasa nyaman dan ingin kembali pada Verlin, Nayla harus merelakannya.
Memikirkan hal itu membuat air mata pun keluar.
"Tapi sakit!" cicitnya.
Senyum Shaka ketika memasuki toko roti masih membekas di benak Nayla.
Bagaimana bisa Shaka berbohong. Kalau ingin berkencan dengan perempuan itu kenapa lokasinya harus berdekatan dengan kantor Nayla. Apa Shaka sudah hilang akal?
Brakk!
"Nayla! Kamu udah pulang?!"
Pintu didobrak sang pemilik rumah sambil terengah dengan wajah panik. Dia berlarian mencari Nayla dan mendapati Nayla sedang memasak mie sampai asapnya mengepul.
Shaka melotot segera mematikan kompor itu membuat Nayla menoleh kaget.
"Astaga, Nay, itu airnya sampai habis! Kalau gosong gimana? Kamu melamun?"
Mata Nayla membulat bertatapan dengan manik hitam itu. Seketika Nayla mundur membuat Shaka mengernyit.
"Ma-maafkan aku, aku terlambat. Tapi udah aku bilang, 'kan, tunggu aja di kantor nanti kalau kerjaanku udah selesai aku jemput kamu." Nayla justru menjauh saat Shaka ingin meraih tangannya.
Tatapan Nayla perlahan-lahan mulai menajam. Deru dadanya terdengar semakin memompa udara. Namun, dia tetap bisa tenang.
Hanya satu hal yang terlintas di benak Nayla.
"Kamu ... masih mencintai Verlin?" Nayla mengatakannya.
Shaka tersentak diam tak bergeming. Kerlingan matanya menunjukkan sesuatu yang dia tutup-tutupi.
Nayla tersenyum miring, "Ternyata aku yang bodoh sudah termakan omongan manis kamu."
Shaka semakin mengerutkan dahi.
"Kamu pikir aku gadis polos yang mudah dibutakan oleh senyum palsu? Maaf, aku tumbuh di atas duri sejak kecil. Perihal bodoh seperti cinta tidak akan bisa mengusik diriku. Hanya saja ... aku tidak suka dibodohi." tajam Nayla membuat Shaka kian tercengang. Tidak menduga kata-kata itu keluar dari mulut Nayla.
Laki-laki itu tidak mengelak. Artinya tuduhannya benar?
"Shaka ... kita cukup sampai di sini," ujarnya sesak.
"Apa? Nayla, tunggu!"
Nayla pergi dalam keadaan marah. Shaka mengejar mencoba menghentikannya, tetapi ucapan Nayla seolah membuat kakinya lumpuh. Shaka hanya bisa menatap kepergian Nayla di ambang pintu.
~~~
Isak tangis membanjiri bangku taman kompleks. Tidak jauh dari rumah Shaka. Sepi dan temaram. Nayla menumpahkan segala kegelisahannya di sana. Tanpa sadar acara tangis itu berlangsung selama satu jam. Lelah pun menyerang, akhirnya Nayla tertidur di sana.
Sebuah langkah kaki mendatangi tempat duduk itu. Dia menghela napas dan menutupi tubuh itu dengan selimut. Kemudian, lengan kokoh itu menggendongnya seperti anak kecil.
Shaka tersenyum tipis memandang ketenangan di pelupuk mata istrinya yang tertutup.
"Ayo kita pulang."
Kamar terasa dingin karena angin malam yang menembus ventilasi. Shaka merebahkan Nayla pelan di ranjang, lalu mematikan AC serta menutup jendela dan tirai.
Dia melepas kemeja dan celana kerjanya dan diganti dengan kaos oblong serta celana olahraga. Setelah pikiran dan tubuhnya merasa tenang dia ikut merebahkan diri di samping Nayla. Sangat dekat bahkan tubuh mereka hampir bersentuhan.
Senyum Shaka kembali muncul. Tangan besarnya membelai rambut Nayla yang dingin nan kasar akibat udara malam di luar. Namun, tidak masalah. Shaka menyukainya.
Itu rambut seseorang yang telah menemaninya dari dulu bahkan masih tulus sampai ke jenjang sakral sekarang.
Meskipun begitu, hati Shaka tidak bisa berbohong. Raut wajahnya menjadi redup. Rasa bingung menyelimuti di setiap pandangan.
"Maafkan aku, Nayla," ujarnya halus seiring belaian tangannya semakin lembut.
Shaka menunduk, "Aku memang masih menyukai Verlin."
Dalam hati Nayla seakan disambar petir. Shaka tidak tahu jika gadis itu sudah terbangun sejak dia menggendongnya. Nayla hanya pura-pura tidur karena ingin melihat apa yang Shaka lakukan.
"Bagaimana bisa mereka keracunan?! Siapa yang berani melaporkan tuduhan itu?! Kenapa berita bodoh ini langsung menyebar ke seluruh kota?!" Verlin marah besar. Semua karyawannya menunduk bingung sekaligus takut. Ini pertama kalinya Verlin marah sejak menjabat sebagai bos baru. Belum lagi di luar terjadi kericuhan. Petugas dari balai pengawas obat dan makanan datang untuk memeriksa beserta beberapa instansi lainnya. Tidak sedikit pula para pelanggan semalam yang tidak terima karena dibuat sakit perut selama tiga jam. Mereka bahkan membawa surat keterangan dari rumah sakit. "Sshhh, jangan diam saja lakukan sesuatu!" Verlin mondar-mandir naik darah. "Eee, meskipun sakitnya hanya tiga jam, tetapi nama kita sudah tercemar," ujar salah satu karyawan takut-takut. "Se-semua pelanggan juga mengalami hal yang sama. Du-durasi yang sama pula," sahut temannya. "Kita harus bagaimana, Nona? Pihak berwajib di depan sudah tidak tahan ingin kita membuka pintu. Kalau mereka terus memaksa pintunya b
Mencari begitu lama, Nayla akhirnya memberitahu bahwa dia ingin catatan biografi Verlin dengan alasan untuk belajar. Tidak tahu bodoh atau lugu mahasiswi itu memberikan semua catatan umum Verlin kepada Nayla. Ketika membacanya, Nayla bagai tertiban reruntuhan emas. Identitas asli Verlin lebih menakutkan dari yang dia kira. Ternyata wanita itu adalah keturunan konglomerat. Tidak heran takdirnya bisa sesukses dan sekaya itu. Uang sudah seperti debu baginya. Tanpa dicari pun kepopuleran dan harta akan datang dalam genggamannya. Nayla menutup semua buku itu sembari menarik napas dalam. "Aku mengerti sekarang. Dia bukan lawan yang bisa dihadapi sembarangan," gumam Nayla tanpa sengaja mengutarakan isi pikirannya. "Hmm? Kamu bilang sesuatu?" mahasiswi itu tiba-tiba bingung mendengar Nayla di saat sedang sibuk membaca. "Oh, bukan apa-apa. Terima kasih, ya, kau sangat membantu. Aku sudah merekap beberapa inti yang kuanggap penting. Kurasa aku tau apa yang harus kulakukan." Nayla menggoya
"Hahaha, terima kasih atas traktirannya. Jadi merasa tidak enak," kata orang ke satu. "Haha, jangan sungkan. Kita sama-sama berteduh, hahaha. Oh, iya, tadi kalian bilang pemilik toko ini seorang model, ya? Aku karyawan di kantor itu. Kami sedang mencari model yang pas untuk mengiklankan produk terbaru kami. Mungkin saja pemilik toko ini bisa membantu." senyum tulus Nayla bahkan tercermin di matanya. Nayla tidak ragu-ragu untuk berakting bahkan merogoh isi dompet untuk mentraktir dua orang asing itu dengan kopi dan roti. Orang ke satu mendesah, "Takutnya kalian tidak akan bisa mengatur kontrak dengannya." Nayla berkedip, "Kenapa?" "Aku tau dari berita dia sangat mahal dan jarang terikat dengan kontrak. Siapa juga yang membutuhkan banyak pekerjaan kalau sudah kaya. Bukankah toko ini terlalu sukses?" orang pertama itu mengendikkan bahu menyindir terang-terangan. Nayla mengangguk dan bersandar kursi. Membiarkan kedua orang itu menikmati kopinya. "Hmm, benar juga. Hah, sayangnya men
Pandangan rapuh nan teduh itu seperti helaian sutera yang terbang di udara. Jari-jemari Nayla merasakannya. Bagaimana bisa rambut seorang pria bisa sehalus itu. Padahal shampo yang mereka kenakan sama. Senyum Nayla tak pernah pudar melihat wajah lugu Shaka tertidur di sampingnya. Seolah-olah kursi kecil itu ikut menanggung lelah yang Shaka derita. "Ganteng banget," gumam Nayla. Pikirnya pantas saja Verlin mengejar Shaka setengah mati."Huft, Verlin, ya?" terus bermain dengan rambut Shaka. Sorotan mata terarah ke langit-langit putih tulang. "Aku harus lakuin sesuatu ke dia. Kayaknya ... dimulai dari mencari informasi tentang dia. Siapa dan apa latar belakang cewek kejam itu yang sebenarnya." Kondisi mulai stabil. Lelah sepertinya tidak bisa bilang, tetapi kata dokter Nayla sudah boleh pulang. ~~~Pagi telah berubah. Matahari menyembunyikan sinarnya. "Hah? Pagi-pagi begini udah turun hujan aja." Bibir merah sakura mencondong dengan tangan menampung rintikan air yang turun. "Uda
Napas lega bisa Nayla hela sekarang. Akhirnya truk itu kembali dengan kosong. Pihak perusahaan yang diajak kerjasama juga telah memberi balasan dan menerima dua persen dari penjualan. Suara pukulan ringan di cermin wastafel kamar mandi terdengar bersamaan helaan napas."Akhirnya selesai juga." Badan sudah hampir ambruk sampai mati rasa, tetapi mental dipaksa berdiri bagaimanapun caranya. "Akhirnya aku bisa tidur sekarang. Beruntung perusahaan itu punya banyak wadah yang bisa mendistribusikan semuanya." Pantulan cermin sudah bukan seperti dirinya. Wajah yang gelap, kantung mata menghitam, dan bibir kering pucat seperti mayat hidup. Nayla membasuh wajahnya berkali-kali sampai matanya perih kemasukan air. Lepas itu dia pergi menjelaskan segalanya kepada sang atasan hingga hasil pendapatan pun diterima. "Wah, Nayla, kamu melakukan semua ini sendirian? Hanya dengan satu hari satu malam? Wah, kamu jenius atau apa?" "Gila! Dia benar-benar gila! Bisa membolak-balikkan fakta sekejap itu
"Ssttt, kecilkan suaramu. Ntar kalau kedengeran orang lain gimana?" Nayla menaruh telunjuk di bibir. Seketika Vira membungkam mulutnya. Dia celingukan ke segala arah. Tidak ada orang lain di kamar mandi selain mereka, Vira rasa aman. "Eh, kasih tau aku semuanya cepetan. Kamu habis dari mana aja? Satu kantor heboh pusing tau nggak gara-gara kamu." desisan Vira haus informasi. Helaan napas lelah Nayla muncul bersama kerutan dahi yang seolah enggan menghilang sejak pagi. "Aku ... pergi ke kantor itu. Aku nekat minta bantuan buat mendistribusikan produk kita ke tempat lain dengan syarat penjualan naik dua persen. Dan dua persen itu sepenuhnya untuk mereka. Perusahaan kita cuma bakal dapat harga yang ditetapkan sebelumnya aja," jelas Nayla kelelahan. "What?! Astaga, kamu nekat sampai kayak gitu?! Parah, parah, aku makin pusing. Ini beneran?! Kamu ke luar kota buat atur sendiri kelanjutan Problem hantu itu?!" "Hantu?" Kening Nayla berkerut."Iya, hantu, 'kan, tiba-tiba muncul aja gitu