Share

SEPULUH

Attar tidak ingin malam ini berakhir terlalu cepat. Di depannya, berdiri seorang wanita cantik bak bidadari tengah bernyanyi dengan suara merdu. Heran, mengapa perempuan itu masih bertahan menjadi bukan Beyonce, dengan kualitas suara sebagus itu!

Ia melirik gelas wine yang masih terisi penuh. Ya ampun. Suara Ruby benar-benar mengalihkan dunianya. Attar tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya setelah menikah dengan perempuan itu.

Perempuan cantik memang banyak, tapi tidak ada yang seperti Ruby. Cantik, pintar, dan berani. Attar menganggap kekasaran perempuan itu sebuah keberanian. Maklum, tidak ada yang pernah sekasar itu pada Attar Hardana.

Dibesarkan di keluarga yang memiliki kekayaan berlimpah, dianugrahi otak yang jenius, itu sudah cukup bagi Attar. Dari SD sampai SMA ia selalu meraih ranking satu. Ketika lulus dari Stanford, ia juga mendapat predikat maxima kum laude. Untuk seseorang sesantai dirinya, itu sudah lebih dari cukup. Dan sekarang… ia akan diberikan seorang istri yang sangat cantik. Bukan hanya cantik, di matanya Ruby adalah sosok yang sempurna.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan padanya.

“Kamu melamun?”

Sadar-sadar Ruby sudah duduk berhadapan dengannya. Attar tersenyum. “Kamu hanya dikontrak satu jam saja? O, please!”

“Ya, dan kurasa orang-orang di sini juga tidak terlalu menikmatinya.” Ruby memanggil pelayan dan memesan bir.

“Kamu terlalu rendah diri, Nia. Mengapa tidak mencoba  international singer seperti Anggun?”

“Anggun C. Sasmi maksudmu? Hah, aku tidak memiliki kualitas seperti dirinya. Dia terlalu hebat. Dan aku tidak memiliki karakter yang khas.”

“Kamu tidak memiliki karakter yang khas?” Salah satu alis Attar terangkat. “Kasar, nakal, pemabuk, itu bukan karaktermu?”

“Maaf—kurasa?” Ruby tersenyum, bersalah. “Kasar, nakal, mungkin itu diriku. Tapi pemabuk? Aku sudah kebal dengan segala minuman keras, Attar. Ingin kubuktikan?”

Attar menyipitkan matanya. “Aku percaya kamu bersungguh-sungguh dengan ucapanmu, Nia.”

“Attar.”

“Ya, Ruby?”

“Aku ingin bertanya padamu. Ketika kita berada di Madison Avenue, aku sempat merenung. Apakah kamu sungguh-sungguh ingin menikah denganku? Kamu tidak usah menjawabnya sekarang.”

“Kamu tidak sedang melamarku, kan?”

“Hanya bertanya saja. Aku sudah melihat riwayat hidupmu di Wikipedia, dan..” Ruby menunjukkan dua jempolnya, dan mengedipkan salah satu matanya. “Kamu keren. Kamu membuat program beasiswa untuk anak-anak yatim-piatu yang berprestasi. Selain itu aku juga melihat artikel mengenai kegiatan sosialmu. Aku tidak menyangka..”

“Orang brengsek sepertiku bisa memiliki hati yang baik?” Attar melengkapi kalimat itu untuk Ruby. “Terus terang di balik kebaikanku ada alasan tertentu. Salah satunya, aku adalah pria lajang yang tidak tahu harus menghabiskan uang untuk apa selain berbagi untuk kaum yang tidak mampu. Daripada menghabiskan uang untuk membeli mobil mahal yang tak puguh, lebih baik kumanfaatkan untuk orang yang lebih membutuhkan.”

“Benarkah? Kalau kuingat, kamu yang memakai mobil Maybach pada saat ultahku yang ke tujuh belas, kan?”

Oh, kalau menyangkut barang mewah, kamu selalu tahu ya, Cantik? Attar teringat pada saat yang dimaksud Ruby. Saat itu ia berusia dua puluh satu tahun dan baru saja mendapat hadiah dari kakeknya karena berhasil lulus dari Stanford kurang dari empat tahun. Tidak heran ia memamerkan hadiah yang diperolehnya ke pesta-pesta sosialita, termasuk saat pesta ulang tahun adik Edo. Karena pada saat itulah orang-orang akan bertanya, “Kok bisa ya umur semuda dia bisa punya mobil semewah itu?” Dan yang lain akan menyahut, “Dia kan baru saja lulus dari Stanford!” Entahlah, mungkin terdengar takabur, tapi ada kepuasan tersendiri untuk Attar mendengarnya.

“Aku senang kamu masih mengingatku, di masa lalu,” sahut Attar.

“Tentu saja aku mengingatmu. Bagaimana tidak? Semua teman-temanku yang tadinya suka sama Edo jadi suka padamu, Attar. Bahkan tak kurang dari mereka mendesakku untuk mendekatkan mereka padamu. Tapi aku sih ogah. Kalau sudah cinta, nggak perlu deh pakai mak comblang segala!”

“Apakah kamu dulu juga menyukaiku?”

“Aku? Suka kamu?” Ruby menggeleng. “Saat itu hanya Adam yang aku idamkan. Maaf, sebenarnya pada malam di Delmonico’s aku sudah mengenalimu, tapi aku sedikit ragu karena Attar yang kukenal dulu beda dengan yang kulihat sekarang.”

“Sekarang aku bajingan, kan?”

Sekali lagi Ruby menggeleng. “Bukan maksudku menganggapmu bajingan. Dulu aku menganggapmu seperti Edo. Tapi sekarang…lain. Kamu berubah menjadi pria yang matang dan playboy, itulah yang kulihat sekarang. Apakah kamu sudah tahu, di F******k ada group yang namanya Attar Hardana’s Haters? Aku baru saja melihatnya dari G****e. Di sana banyak perempuan yang patah hati karena tweet mereka di Twitter tidak pernah dibalas olehmu.”

Kini giliran Attar yang tergelak. “Oh, benarkah? Hanya karena itu kamu menganggapku playboy?” Attar berdecak tak percaya. “Kalau aku memiliki lebih dari satu kekasih, bolehlah kamu menganggapku begitu, Ruby.”

Ruby mengangkat bahu, tak lama kemudian pelayan mengantarkan bir pesanannya. Ia membuka kaleng bir itu dan meneguknya perlahan. “Aku ragu kamu bisa membuatku lupa dengan Adam dalam waktu seminggu.”

“Kenapa?” tanya Attar penasaran. Ya ampun, apakah itu karena dirinya yang tidak bisa sehangat Adam, sehingga perempuan itu belum bisa melupakan pria workaholic itu?

“Kukira kamu bisa melakukannya kurang dari tujuh hari, Attar.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status