Share

SEMBILAN

Attar tidak keberatan jika perempuan itu mengajaknya ke neraka sekalipun, selama perempuan itu tetap bersamanya.

“Apakah kamu tahu ke mana tujuan kita?”

Dengan santai Ruby menggeleng. “Entahlah, aku sedang kesal. Sepertinya sebentar lagi aku akan menstruasi, dan aku harus banyak berjalan-jalan. Itu membuat stresku berkurang.”

Perempuan itu terlalu terang-terangan dalam bicara. Kalau bukan Ruby yang mengatakan “menstruasi”, mungkin Attar sudah risih. Pernah sekali adiknya, Asya, mengeluh kesakitan karena menstruasi yang dialaminya. Dan apa yang dilakukan Attar saat itu? Meninggalkan adiknya sejauh mungkin.

“Pantas saja kamu sangat emosional.”

“Aku biasa menjadi orang pemarah," kata Ruby datar.

“Tidak heran Adam meninggalkanmu.”

Ruby tidak menggubrisnya dan terus berjalan, seolah kata-kata Attar barusan adalah angin lalu. Dan sikap cuek yang dilakukan perempuan itu membuat Attar merasa bersalah. Bodoh sekali dirinya. Mengapa ia bisa mengatakan hal yang sangat sensitif pada perempuan itu?

“Maaf.”

“Untuk apa?” tanya Ruby. “Kamu memang benar.”

“Bodoh sekali dia,” desis Attar.

Ruby berhenti berjalan, menatap pria itu dengan tidak percaya. “Maksudmu?”

“Tidak. Ingin kubawakan belanjaanmu?” Tanpa jawaban perempuan itu Attar meraih semua plastik belanjaan yang berada di lengan Ruby.

Well, aku baru tahu kamu suka mengalihkan pembicaraan.” Mereka melanjutkan perjalanan mereka.

“Tidak, aku tidak suka melakukannya. Hanya saja, kamu tidak sadar, ya? Adam itu tipe pria yang bodoh. Ia menolak anugrah yang diberikan Tuhan padanya, yaitu dirimu, Nia. Dia memilih pekerjaannya daripada seorang perempuan yang sangat mencintainya. Apakah itu tidak terdengar bodoh?”

“Untuk orang yang workaholic, mungkin saja tidak.”

“Lelaki juga memiliki hati, Nia. Aku yakin, kurang dari setahun ini ia akan menghubungimu karena ia hampir mati kesepian. Dan aku jamin, pada saat itu kamu tidak membutuhkan dirinya lagi.”

“Karena kita akan menikah?”

“Tidak, Sayangku, tapi karena kamu sudah tidak mencintainya lagi. Percayalah padaku, pria seperti Adam sangat mudah untuk dilupakan.”

“Aku harap begitu.”

“Jadi, di mana kita sekarang?”

“Di Rector St, kurasa.”

Di mana hubungan kita? Kalau bukan demi kakeknya serta warisannya yang menggiurkan, terus terang Attar ingin menyerah. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan apapun terhadap Rubinia. Yang ada hanya perasaan tertantang. Tertantang untuk mendapatkan perempuan keras kepala itu.

Langkah mereka berhenti di Broadway. Attar mengerutkan dahinya, menatap bingung pada Ruby.

“Maafkan aku, tidak seharusnya aku mengajakmu ke sini.”

“Memangnya, kita berada di mana?” tanya Attar.

“Itu adalah kantor Adam.” Ruby menunjuk salah satu gedung. “Aku biasa ke sana setiap hari, dan aku tidak bisa melakukan itu lagi. Aku hanya bisa melakukannya setiap akhir pekan, ketika ia libur.”

“Kenapa kamu tidak telepon dia? Barangkali dia sedang di kantornya. Katamu dia workaholic, kan?”

“Lalu dia akan marah karena aku mengganggu jam kerjanya. Terima kasih atas sarannya.”

Ruby kembali berjalan, entah ke mana. “Oh, please!” geram Attar di belakangnya. “Don’t tell me you are such a coward person. Kamu tidak ingin dilepeh, begitu maksudmu, kan?”

Yang mendengar menoleh dengan pupil mata yang lebar. “Aku bukanlah orang yang penakut, asshole.” Kemudian perempuan itu meraih ponselnya dari tas Gucci-nya.

Asshole? Kasar sekali perempuan ini. Ah, bukankah Attar yang cari mati, lantaran membuat perempuan itu kesal di saat haidnya akan datang? Tapi tetap saja. Tidak ada yang pernah memanggilnya dengan sebutan sekasar itu. Dan Attar memastikan, hanya perempuan inilah yang pertama dan terakhir yang memanggilnya dengan sebutan asshole.

Huh. Percuma juga kesal. Attar tidak bisa menyalahkan orang yang sedang patah hati, terlebih lagi ia ingin memanfaatkan Ruby sebagai sarana mendapatkan warisan kakeknya.

Perempuan itu tengah mendengar sesuatu dari ponselnya. Attar dapat menebak, mantan kekasih perempuan itu pasti enggan mengangkat teleponnya. Mungkin juga pria itu lega berpisah dengan perempuan yang memiliki hati batu itu.

Klik. Ruby menutup sambungan.

So…..?” tanya Attar penasaran.

Ruby mengangkat bahu. Jawaban perempuan itu sesuai dugaan Attar. “Dia nggak ingin bicara padaku, sepertinya.”

O, kasihan sekali nasib si cantik ini. Mungkin aku bisa membantunya untuk kembali dengan pria pujaanmu, Sayang, pikir Attar sinis. Tapi buat apa? Tidak ada keuntungannya untukku, kan?

Lagipula sayang kalau Ruby harus kembali pada pria bajingan itu (hah, memangnya dia bukan bajingan?). Meski luarnya terlihat kasar dan sombong, Attar tahu, di balik semua itu ada kesakitan yang tak terperi, yang hanya Ruby merasakannya.

Sedih karena diputusi setelah bertahun-tahun pacaran? Bah! Anak kecil sekali. Tanyalah pada Attar, sudah berapa kali ia mematahan hati wanita, dan tidak ada yang dendam padanya (setidaknya, itulah yang ia tahu), dan Attar tidak pernah sedih setelah berpisah dengan siapapun.

Ruby tidak seharusnya patah hati karena pria yang tidak memiliki hati itu. Atau, Attar-lah yang tidak memiliki hati? Karena ia sama sekali tidak merasakan kesedihan Ruby, atau perempuan itu tidak merasa sedih?

“Dia mungkin sibuk dengan pekerjaannya,” hibur Attar.

“Bahkan untuk mengangkat telepon saja?” Ruby menggeleng. “Sebaiknya kuantarkan kamu pulang.”

Mengantarku pulang? Kamu kira aku pria apaan? “Tidak usah, justru seharusnya aku yang mengantarmu pulang.”

Tanpa menunggu jawaban perempuan itu, Attar menarik tangan Ruby dan mengajaknya berjalan-jalan mengitari kota New York.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status