~🖤~
Tiba-tiba datang seperti hujan badai
Di manakah aku berteduh ?***
Hari ini benar-benar melelahkan, setelah pulang dari kampus, Diana harus mengunjungi kedai kecilnya. Sejak dari tadi, mbak Kikan selaku managernya menelpon, pasti terjadi sesuatu. Yaa, wanita itu tidak mungkin menelponnya sampai puluhan kali. Diana mengendarai mobil yang baru saja sebulan dibelinya dengan sedikit mengebut. Diana sudah berhasil membeli mobil hasil dari jerih payahnya sendiri. Meskipun baru beberapa bulan belajar, gadis itu sudah terlihat mahir dalam berkendara. Bahkan ia membuat SIM card-nya tanpa menyuap.
Cuaca sore ini cukup terang ditambah kemacetan membuat Diana gerah. Kota ini memang lumayan padat, ia sedikit memakluminya. Ia menyesal karena tidak membawa ikat rambut di tas hitamnya, biasanya ikat rambut itu selalu berserakan di dashboard, tapi kali ini tidak ada.
20 menit kemudian
Akhirnya Diana sampai di depan halaman parkir kedainya, suasana siang ini cukup ramai. Soal harga, Diana tidak terlalu banyak mengambil untung, ia memasang harga sesuai dengan kualitas masakannya, maka tak heran yang datang adalah orang-orang dari berbagai kalangan. Mengetahui atasannya datang, beberapa satpam langsung membuka portal.
"Selamat siang bu Bos," sapa lelaki tambun bername-tag Aiman.
"Siang Pak."
Sambil tersenyum, Diana membalas sapaan pegawainya. Ia adalah sosok atasan yang ramah dan baik hati, maka tak heran semua pegawai sangat menghormatinya.
Setelah membalas sapaan, Diana langsung memarkirkan mobilnya. Dengan pakaian casual ia berjalan menuju pintu masuk. Orang-orang yang baru saja melihatnya tidak akan menyangka kalau ia adalah pemilik kedai yang saat ini mereka kunjungi.
Setelah memberikan kode kepada Mbak Kikan, Diana langsung menaiki lantai dua.
"Ada masalah apa mbak ?" tanya Diana to the point. Ia adalah tipe orang yang tidak suka basa-basi.
"Ana, maafkan mbak ya, mbak teledor. Asih nilep uang, dan sekarang ia kabur entah ke mana," sesal Kikan dengan raut bersalahnya.
"Ya Allah mbak." Diana hanya bisa menutup mulut, tidak menyangka salah satu karyawan yang paling dipercayanya tega melakukan itu. Gadis itu pernah ditolongnya saat pingsan di pinggir jalan. Ia tidak bisa marah kepada mbak Kikan, wanita berkepala tiga itu sudah setia bersamanya selama dua tahun.
"Rencananya mbak akan membuat laporan ke pihak berwajib, tapi mbak perlu persetujuan kamu," ucap wanita itu sambil menatap lekat atasannya.
"Yasudah aku serahkan semuanya kepada mbak, aku-"
"Drt...drt..."
Mata Diana melirik ke arah ponsel, batinnya menggerutu, ada saja gangguan saat ia sedang sibuk.
"Aku percayakan semuanya sama mbak, aku nggak ada waktu untuk mengurus itu, aku juga harus fokus kuliah."
Tak kunjung dijawab, ponselnya kembali berdering, mau tak mau Diana mengambil benda pipih itu di atas mejanya.
Ternyata yang menelpon adalah sepupu dari keluarga ayahnya.
Melihat atasannya sedang menelepon, sontak Kikan langsung pamit tanpa bersuara. Diana perlu tempat, pikirnya.
"Assalamualaikum...," sapa seseorang di seberang sana dengan suara yang begitu lembut.
Diana hanya bisa menghela nafas, adiknya ini selalu saja mengganggu tiap kali dirinya sedang sibuk. Alya memiliki kepribadian yang lembut, sangat berbeda dengan dirinya. Jujur ia kurang menyukai gadis yang sedang menelponnya ini. Bukan tanpa alasan, keluarganya selalu membanding-bandingkannya dengan Alya, terutama ayah dan nenek.
"Wa'alaikumussalam," balasnya sedikit malas.
"kamu di mana kak ?"
"Di kedai."
"Cepet pulang, aku punya kabar baik."
"Hari ini aku sibuk Al, lagi ada masalah di restoran," tolaknya halus. Memang benar kan ? Dan ia juga males bertemu dengan sepupunya yang sangat cerewet itu.
"Pokoknya kakak harus cepet pulang. Kalau nggak aku laporin ke nenek," rengek gadis itu.
Benar-benar menyebalkan. Apa gadis itu tidak tau arti dari kata 'sibuk' ? Diana paling tidak suka dipaksa.
"Tapi Al-" selanya.
"Cepet pulang Ana!" titah seseorang.
Nenek, Diana begitu kenal dengan suara ibu dari ayahnya itu.
"Iya," balas Diana sedikit jengkel. Ingin sekali ia menjambak ubah nenek peot itu, katakan saja dia durhaka, wanita itu dari dulu selalu menghancurkan mentalnya.
"Pokoknya aku tunggu ya," ucap Alya sambil tertawa.
Tanpa membalas Diana langsung memutus panggilannya.
"Aku menyesal lahir menjadi bagian dari Siswandi!" batinnya. Andai saja ia bisa memilih dilahirkan dari keluarga yang tak selalu memaksanya seperti ini. Apa reinkarnasi itu tidak apa ? Diana sangat ini terlahir kembali.
***
Badannya benar-benar lengket, padahal bisa saja Diana mandi di kedai, tapi ia tidak membawa baju ganti. Setelah berpamitan kepada pegawainya, ia pun berjalan menuju parkiran.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat sampai di parkiran rumahnya Diana langsung disambut Rosa dan Alya. Mereka terlihat antusias saat melihatnya datang.
"Kak ayo cepet masuk!" seru Alya. Gadis itu memakai gamis coklat yang begitu panjang seperti ingin menyapu lantai. Diana memang dibesarkan dari keluarga yang taat dengan agama. Maka tak heran hampir seluruh keluarganya memakai hijab.
Diana belum siap memakai penutup kepala. Ia tahu, menutup aurat adalah adalah kewajiban bagi perempuan muslim, tapi ia masih belum siap. Neneknya selalu berkata, menutup aurat itu bukan tentang siap atau tidak, tapi ini tentang kewajiban kita kepada Tuhan. Perkataan nenek selalu saja berhasil menamparnya secara tidak langsung.
Pakaian yang digunakan Diana memang selalu longgar, ia tidak pernah memakai gaun pendek, bahkan hot pants seperti beberapa temannya. Tapi itu semua tidak cukup, karena perempuan muslim harus menutup semuanya, kecuali anggota badan yang hanya boleh terlihat saat sholat.
Diana hanya bisa mengerutkan dahi saat Alya membawanya ke kamar mandi. Tak ingin berdebat dengan cucu kesayangan keluarga Siswandi itu, ia segera melaksanakan ritual mandinya.
Setelah mengeringkan rambut dengan hair dryer, ia berjalan keluar kamar. Dapat ia lihat orang yang tadi menariknya engsedang duduk sambil tersenyum
"Kak ini pakai gaunnya, ini khusus buat kakak dari seseorang."
"Siapa ? Nenek ?" tanyanya bingung, sejujurnya ia malas untuk main tebak-tebakan, ia bukan anak kecil lagi di umurnya yang sudah dianggap perawan tua oleh beberapa anggota keluarga.
"Nanti juga kakak bakal tahu, udah cepetan pakai, bentar lagi acaranya mau dimulai."
"Acara apa Al ? Bukannya kamu udah tunangan ?" balasnya.
Diana semakin curiga, kenapa tukang rias tiba-tiba datang ke rumahnya, bahkan dengan lancangnya mereka masuk ke kamar, ke mana area privasinya?
"Ada apa ini Bu ?" tanya Diana kepada seorang wanita setengah baya saat salah satu di antara mereka yang menyelonong masuk mulai memakaikan foundation ke wajahnya.
"Udah diem aja, biar si mbaknya cepet, sebentar lagi acaranya mau dimulai."
"Ini ada acara apa sih bu ?"
"Nanti juga kamu bakal tahu," balas wanita itu sambil berlalu.
***
Perasannya mulai tak enak sejak ia melihat kedua orang tuanya memakai pakaian yang seragam. Ditambah saat ini ia memakai gaun yang agak mencolok. Sangat berbeda dengan orang lain. Apa kakaknya akan menikah sekarang juga ? Kenapa begitu mendadak ? Di mana kah mempelai wanitanya ?
Tidak, bukan dirinya kan pemeran utama acara ini ? Adegan seperti ini sudah sering ia lihat di dalam drama Korea. Semoga saja ini bukan yang ia khawatirkan.
Ketakutannya semakin berlipat ganda saat segerombol orang tak dikenal mulai memasuki ruang tengah. Saat ini, ingin sekali dirinya kabur, tapi jangankan untuk kabur, bergerak sedikit saja, ayah langsung memegang tangannya dengan kuat. Tidak ada kelembutan sama sekali.
Dengan mata memelas Diana mencoba menatap Alya untuk mencari tahu, tapi gadis itu malah tersenyum. Bodoh, ia tidak membutuhkan senyuman itu, yang ia butuhkan adalah penjelasan tentang acara ini!
Kemudian salah satu dari mereka mulai berbicara. "Bismillahirrahmanirrahim, assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatu, tujuan kedatangan kami kesini yaitu untuk meminang putri Pak Irwan untuk anak kami, Darren Putra Darmawan," ucap pria paruh baya yang memakai batik berwarna coklat.
"Kami menerima khitbah dari nak Darren," balas Irwan sambil tersenyum tanpa menanyakan pendapat Diana terlebih dahulu.
"WHAT ?!!!"
"APA INI ?"
"APA IA BARU SAJA DIJODOHKAN ?"
TBC
Embun pagi ini tampak menghalangi pandangan seorang wanita yang sedang terduduk di kursi penumpang. musim hujan mulai datang, udara tiap harinya terasa dingin. Sama sepertinya keadaan hatinya, tidak hanya dingin, kini mulai membeku, tak tersentuh dengan apapun. Ya, Hasya masih menggunakan mobil almarhum suaminya, entah kenapa ia merasa malu menggunakan ini. Sekarang perusahaan milik ibu mertuanya dipimpin oleh Kafka, dulu perusahaan itu dipimpin oleh suaminya. Jabatan itu tidak boleh kosong karena ada ribuan karyawan yang harus tetap bekerja dan diberi upah. Ibu mertuanya masih berbaik hati tidak mendepaknya dari rumah Rama, setelah ia dan Alya membuat lelaki itu meninggal. Laju mobil mulai pelan, rupanya ia sudah sampai di alamat tujuan. Lapas, tempat putrinya ditahan atas kejahatan yang dilakukannnya. Entah Alya masih menganggapnya ibu atau tidak, setelah ia tidak memberikan pembelaan apapun, setidaknya ia harus berpamitan terlebih dahulu. Kali ini Hasya berpenampilan biasa, seme
Kini ketiga orang itu sudah siap dengan pakaian renang masing-masing. Tentu Revan tidak akan segila itu meminta Zia membuka seluruh bajunya ketika berendam di bath tub. Ia memang brengsek, tapi tahapan brengseknya belum mencapai tingkat itu. Ia masih bisa menahannya, lagi pula tahun depan Zia beres wisuda. "Rora jangan lama-lama ya berendamnya, takutnya nanti batuk," nasihat Zia sebelum mengangkat kakinya ke bath tub."Rora suka berenang, Mama sering ajak Rora berenang.""Iya tapi sebentar yaa."Rora sibuk mengambil mainan ikan dan bebek-bebek dari meja, tak mendengarkan permintaan Zia. "Om, kayaknya lebih baik Om keluar aja, habis ini aku kan mau mandi—,"Ekspresi Revan langsung berubah murung, ditatapnya Rora yang sedang memegang mainan. "Huhuhu Roraa, Om diusir.""Om gak boleh ikut berenang di sana," tunjuk Revan pada bath tub yang sudah terisi air."Om ihh..." Zia memandang Revan sambil merinding, tak menyangka pacarnya ini melakukan segala cara supaya tetap bergabung. Padahal
Seorang balita masih saja enggan untuk mengistirahatkan matanya. Padahal sudah lebih dari satu jam berada di playground, mencoba semua wahana tanpa terkecuali. Di samping dua orang dewasa juga tampak berbaring, memakai piyama couple pemberian Delia saat mereka melewati toko. Menampilkan ekspresi berbeda, yang satu tampak lelah, yang satu tampak menikmati bermain peran sebagai seorang suami sekaligus ayah. Beginilah pemandangan yang sepupunya lihat tiap ingin tidur, tampaknya begitu menyenangkan, Revan ingin segera mengalaminya."Rora kapan kamu mau tidur ?" tanya seorang wanita yang sejak sepuluh menit yang lalu berdiri di samping pintu, melipat kedua tangannya. Sedikit jengah melihat tatapan keponakannya pada seorang gadis. Ia baru ingat, Revan adalah sepupunya Darren, jelas lelaki itu memiliki sifat seperti putranya yang sangat mesum tak tahu tempat, ia sering menangkap basah putranya memojokkan Diana seperti tawanan perang.Bukannya segera menutup mata, tangan kecil Rora malah merab
"Darren t-tunggu," pinta Diana saat mereka sudah tiba di depan mobil, kakinya sedikit kram karena cukup lama menggunakan heels."Kita mau ke mana ? Acaranya belu selesai. Terus Rora gimana ?" Diana terus memberondongi Darren dengan pertanyaan."Ke mana kira-kira, kita belum pernah honeymoon kan selama ini ? Ke negara di Asia atau Eropa ? Jepang, Prancis?""Darren jangan bercanda, ini terlalu dadakan, aku gak bisa ya kalau gini," jelas Diana. Ia tahu alasan Darren bersikap seperti ini. Sifat cemburu berlebihan suaminya tak pernah sembuh. Diana hendak berbalik, tapi tangannya ditarik. "Masuk""Cepet masuk!""Masuk Di, kamu masih bisa mendengarku kan ?""Aku nggak mau ke luar negeri, Rora gimana ? Kamu tahu sendiri kan Rora belum bisa aku tinggal lama-lama ?""Yaudah, kamu masuk dulu tapi," ucap Darren sambil menghela nafas,Akhirnya Diana menurut, meskipun sedikit kesal ia tetap menaiki mobil. Mobil itu pun keluar dari area parkir. "Nanti Rora pulangnya sama Mama, besok kita jemput ke
Rombongan pengantin sudah mulai memasuki parkiran hotel. Acara pernikahan di adalah di hotel baru milik keluarga Siswandi, pembangunan hotel langsung di kelola sendiri oleh Farrel. Semenjak insiden dua tahun lalu yang membuat Irwan tidak bisa menghandle pekerjaan terlalu banyak, pria itu menyerahkan proyek hotel pada putranya. Mobil Mercedes dengan pita pengantin datang lebil awal. Tak lama Farrel, Irwan, dan Vina keluar dari mobil itu. Sementara Darren, Diana dan Rora berada di mobil yang berbeda. Rombongan seserahan tidak terlalu banyak, Irwan hanya mengajak sekitar enam puluh orang. Masing-masing dari mereka membawa hantaran. Di tangannya Diana membawa mas kawin, sementara Vina membawa simbolis untuk diberikan kepada orang tua pengantin wanita. "Mama mau ke mana ?" tanya Rora saat melihat Diana berjalan cepat menuju Vina. Anak itu bersiap mengejar Diana, namun segera Darren meraih lengannya dengan lembut."Rora tunggu dulu di sini ya, Mama lagi sibuk.""Rora mau ikut Mama."Karena
Suara hairdryer terdengar dari kamar bercat cream. Diana baru saja selesai mandi, ia masih mengenakan bath robe. Satu jam yang lalu ia kedatangan tamu yang tak lain ibunya. Wanita itu ingin mengajak Diana fitting gaun untuk pernikahan putra sulungnya, Farrel. Padahal Diana sudah menolak, ia akan memakai baju yang ada saja, tapi Vina tetap kekeuh. Katanya masa adik dari pengantin pria bajunya biasa-biasa saja, sementara kerabat jauh aja pada jahit di designer terkenal. Siapa yang tidak antusias pada pesta putra sulung keluarga Siswandi ? Dengan berbagai rayuan Vina berhasil membujuk Diana. Bahkan wanita itu mau memandikan cucunya sementara Diana merias wajah. Bahkan Vina rela mengasuh Rora seminggu lebih kalau Diana dan Darren mengizinkan. Sebelum membawa Rora ke kamarnya, Vina mampir sebentar ke kamar Diana. "Nggak sudah terburu-buru dandannya Nak, Ibu banyak waktu luang kok," ucap Vina sambil nyengir, terlalu senang karena misinya berhasil."Iya Bu," balas Diana sambil berjalan men