Keesokkan paginya
Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Tadinya Diana sudah memasang alarm, setelah shalat, ia langsung tertidur lagi, sudah lama ia tidak bergelut manja di ranjangnya. Meskipun ranjangnya saat ini berukuran queen size ia tetap nyaman.
"Tok...tok...tok..."
Samar-samar terdengar suara ketukan pintu, sangat pelan, karena merasa risih akhirnya Diana pun terbangun.
"Nyonya sudah bangun ?"
"Sudah," balas Diana dengan suara seraknya.
"Boleh kami masuk untuk menyiapkan air hangat ?"
"Boleh, pintunya juga tidak dikunci," balas Diana sekenanya. Setelah mengucapkan itu Diana berjalan menuju jendela. Dengan perlahan Diana membuka jendela itu. Udara segar menerpa kulit putihnya. Ia pun berbalik, matanya menatap sekeliling kamar. Darren begitu tega, lelaki itu menempatkannya di kamar tamu. Berbeda dengan kamarnya yang berada di rumah ayah, kamar itu begitu luas, kadang ia malas membereskannya.
"Nyonya airnya sudah siap," ucap pelayan sambil menunduk.
"Baik, terima kasih," balasnya sambil tersenyum. Setelah mengucapkan itu Diana berjalan menuju toilet.
Sementara dua pelayan itu langsung menghela nafas. "Aku pikir nyonya itu orangnya judes, ternyata dia murah senyum."
"Iya, aku kira nyonya orangnya galak," balas yang satunya.
"Eh jangan keras-keras nanti kedengaran, bisa abis kita."
Sementara di dalam sana Diana masih berdiri di depan pintu. Ia mendengar semua percakapan pelayannya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Diana selesai. Gadis itu masih mengenakan bath robe, sebelumnya ia sudah mengeringkan rambut. Ia berjalan menuju lemari pakaian. Saat ia membuka lemari tersebut, mulutnya langsung menganga, tidak ada satu pun baju miliknya. Ia ingat semalam ia betul-betul memasukkan barang bawaannya ke dalam lemari.
"Bi..."
Mendengar nyonya rumah memanggilnya, mereka langsung berlari menghampiri.
"Iya Nyonya."
"Kalian simpan di mana pakaianku ?" tanya Diana, matanya menatap intens kepada para pelayan.
"Tuan menyuruh kami untuk membakarnya Nyonya," ucap salah satu dari mereka, terselip nada bersalah di setiap ucapannya.
"Darren!" teriak Diana sambil mengacak-acak rambutnya. Hampir saja air matanya keluar. Baru saja sehari bersama lelaki itu, Darren langsung berbuat seenaknya. Setidaknya diskusikan terlebih dahulu, baju-baju itu merupakan baju kesayangannya.
"Kenapa kalian nggak bilang dulu ? Kalian mengambilnya tanpa sepengetahuanku. Apa kalian seorang pencuri ?" tanya Diana, matanya masih menatap intens kedua pelayan itu.
Sementara mereka masih menunduk. "Maaf Nyonya, semua itu perintah tuan, kami tidak bisa menolaknya," ucap salah satu dari mereka.
"Aku juga majikan kalian, setidaknya bicarakan itu terlebih dahulu padaku!" ucapnya dengan sedikit keras. Ia kecewa.
"Tapi aku yang membayar mereka!" ucap seseorang sambil bersandar di depan pintu. Setelah mengucapkan itu, Darren menatap Diana dari bawah sampai ke atas.
Diana yang ditatap seperti itu langsung menyilangkan kedua tangannya di dada. "Dasar mesum!"
"Mana mungkin aku menatap mesum dada rata itu! Cih percaya diri sekali!" sangkal Darren.
"Rata ? Bahkan kau belum pernah merasakannya! Jangan sok tahu!" ucap Diana sambil berjalan keluar kamar, sementara kedua pelayan itu mengikuti Diana dengan pipi yang sudah memerah.
Saat tiba di samping Darren, Diana menatap lekat lelaki itu.
"Apa ? Kau pikir aku takut ditatap seperti itu ?" balas Darren.
Sedetik kemudian Diana langsung menginjak kaki lelaki sombong di sampingnya itu.
"Akh..." ringis Darren.
Sedangkan Diana, gadis itu hanya melengos.
"Akh... Dasar gadis kasar!" gumam Darren.
***
Karena tak ada waktu lagi, akhirnya Diana memakai baju yang telah disiapkan Darren. Awalnya ia merasa kurang nyaman, karena roknya terlalu menjuntai, persis seperti pakaian sepupunya, ia tidak ingin mengikuti style Alya, malas sekali. Ia bersedia memakai kerudung asal Darren tidak ikut campur mengenai selera fashionnya. Untung Diana menemukan potongan rok panjang dan baju, ia pikir itu cukup untuk menutupi lekuk tubuhnya. Tak lupa ia memakai penutup kepala, ia dibantu para pelayang untuk memasangkannya. Meskipun belum terlalu rapi, tapi rambutnya sudah tidak terlihat.
"Nyonya boleh Tika foto dulu?" tanya salah satu pelayan, ia berbicara begitu sopan takut Diana marah-marah lagi.
"Sebenarnya saya jarang ambil foto, selfie juga..." ucap Diana.
"Emhh ini perin..." Melihat tatapan nyonya besarnya, Tika menjadi tergagap.
"Tapi karena ini titah dari sang Raja kegelapan, apa boleh buat ? Mau berapa foto ?" tanya Diana. Ia pun segera membenahi roknya yang sedikit kusut. Saat ia akan berpose imut, Darren melewati mereka, Diana langsung gelagapan. Alhasil hanya satu foto yang didapat.
***
"Wih bu boss kita hijrah," puji salah satu pegawai. Bukannya lancang, mereka sudah dekat dengan Diana. Maka tak heran mereka berani berbicara seperti itu.
"Gimana ? Cocok nggak aku pake kerudung ini ?" tanya Diana sambil melenggang-lenggok sambil bergaya seperti Miss muslimah.
"Cocok Bu Boss, makin cantik," ucap salam satu chef wanita yang bername-tag Nadia.
"Ah bisa aja kalian, nanti aku tambah upahnya ya," ucap perempuan itu sambil terkekeh, kemudian ia berjalan menuju ruang kerjanya.
***
Hari ini restoran cukup ramai karena sedang weekend. Matanya menatap sekeliling, rata-tata yang datang itu satu keluarga, ada juga sepasang kekasih. Pikirannya menerawang, kini ia sudah menjadi seorang istri, dirinya benar-benar tak menyangka. Sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Drt...drt..."
Segera ia mengangkat panggilan tersebut.
""Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Ke kantor, aku mau makan siang."
"Emang di sana tidak ada kantin ?"
"Ada, tapi aku ingin kamu yang mengantarkan makanan."
"Yasudah, tunggu aku dua puluh menit."
"Jangan terlalu lama, aku bisa mati kelaparan!"
"Darren, kamu pikir kantormu dekat ?"
"Yasudah cepat, awas saja kalau lebih dari dua puluh menit!"
"Aku tidak janji kurang dari dua puluh menit ya."
Diana benar-benar jengkel, saat ini ia sedang sibuk-sibuknya, tetapi Darren malah menyuruhnya untuk datang ke kantor. Ia juga tidak bisa menolak karena Darren adalah suaminya. Sudah sepantasnya seorang istri menyiapkan kebutuhan suaminya. Ia pun berjalan menuju dapur, ia sendiri yang akan memasak untuk Darren.
"Biar sama saya aja, Bu Boss apar ya ?" tanya lelaki yang mengenakan baju serba putih, Rey.
"Tidak usah Rey, aku memasak untuk suamiku."
"Wiih so sweet banget ya kalian."
Mendengar hal itu Diana hanya terdiam. So sweet banget sampe istrinya mau dibotakin kalau nggak pakai kerudung. Tindakan Darren ada benarnya juga, lelaki itu tidak ingin aurat istrinya dilihat orang-orang.
Akhirnya makanan selesai. Buru-buru Diana keluar menuju parkiran. Ia sendiri yang harus mengantarkannya, Darren sudah mewanti-wanti hal itu sejak tadi.
***
Diana tiba di kantor lelaki itu, saat tiba di meja resepsionis, ia langsung disambut dengan ramah.
"Nyonya, sudah ditunggu tuan di ruangannya," ucap salah satu dari mereka. Diana menatap bingung, pasalnya ini untuk pertama kalinya ia mendatangi kantor Darren. Gedung ini begitu tinggi dan luas.
"Aku tidak tahu di mana ruangannya."
"Baik kalau begitu Nyonya, mari saya antar."
Diana hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah wanita di depannya. Saat tiba di depan ruangan Darren,, resepsionis itu langsung berpamitan pergi.
"Tok...tok...Tok...."
"Masuk."
"Ini makanannya, aku pergi lagi," balas Diana sambil meletakkan tas itu di atas meja.
"Siapa yang mengizinkanmu pergi ?" ucap Darren sambil menatap Diana.
"Darren, aku masih ada pekerjaan." Diana tidak berbohong. Hari ini ia benar-benar sibuk, bahkan beberapa karyawan kewalahan hingga membuat dirinya harus turun tangan ikut melayani pengunjung.
"Duduk, dan temani aku makan."
Dengan perasaan dongkol Diana mendudukkan dirinya di sofa hitam. Kini lelaki itu mulai menyantap makanannya. Saat makan, Darren sama sekali tidak mengeluarkan suaranya. Sedangkan Diana, dirinya sudah terlelap, tentu saja, harusnya ia cuti dulu karena kemarin ia baru saja menikah, badannya benar-benar lelah.
Setelah membereskan kotak makan, lelaki itu menghampiri Diana. Tangannya terulur untuk membetulkan kerudung istrinya, sejak Darren makan, lelaki itu sudah tahu kalau poni istrinya terlihat menyembul keluar, mati-matian ia menahan tawa, istrinya seperti kartun Masha yang sering ditonton keponakannya, Adel. Anak dari sepupunya Maya.
Tak lama kemudian Diana tersadar, saat ini tangan Darren masih menyentuh kepalanya.
"Kamu mau apa ?!"
"Jangan geer, aku hanya membetulkan kerudungmu," balas Darren sambil menyentil dahi istrinya.
"Wajar saja aku masih belajar," balas Diana sambil menyentuh kerudungnya. Ada sedikit rasa malu dalam dirinya. Apakah sejak di parkiran kerudungnya seperti itu ? Aishhh, hari ini citranya benar-benar rusak.
Kemudian lelaki itu membuka ponselnya, dan mengetikkan sesuatu.
"Nih liat, belajar dari sini," tunjuk Darren.
Lelaki itu berjalan menuju pintu, lalu menguncinya. Diana menatap horror ke arah suaminya. Akankan malam pertamanya terjadi di gedung pencakar langit ini ? Oh tidak dirinya masih belum siap. Diana takut.
"Singkirkan ekspresi konyol mu itu, aku tidak akan melakukan hal yang ada di otakmu."
"Emang aku mikirin apa ? Sok tahu!"
"Buka kerudungmu!"
"Hahh untuk apa ? Tuh kan. Ih serem deh..."
"Aku akan mengajarkanmu cara-caranya!"
"Cara apa ? Aku belum siap Darren! Dasar lelaki mesum!" Diana bergerak menepis tangan tangan Darren.
"Sudah kubilang singkirkan pikiran negatif itu, aku hanya ingin mengajarkanmu cara memakai kerudung!"
"Emang kamu bisa ?"
"Makanya, kita coba dulu, mendekat lah!" ucap Darren sambil menggerakkan tangannya.
Dengan terpaksa Diana menghampiri Darren."Angkat kepalamu."
"Aku bisa sendiri," balasnya sambil melepaskan jarum.
Kemudian Darren mulai menyalakan video tutorial hijab. Setelah beberapa menit, akhirnya selesai. Darren sedikit terpana melihat istrinya. Bibirnya mulai menyunggingkan senyuman. Dengan segera ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gimana ?"
"Bagus sii, makasih ya," balas Diana sambil berdiri, bersiap untuk kembali ke restoran.
"kita coba semua latihannya "
"Darren! Aku masih harus kerja."
"Aku tak menerima penolakan apapun," balas lelaki itu sambil menarik kembali lengan Diana agar duduk di sampingnya.
TBC
~🖤~Bisa kah sehari saja hidupku tenang ?***"Darren cepet, aku harus kembali ke restoran!" titah Diana tak sabaran. Gadis itu tidak berbohong, hari ini ia benar-benar sibuk."Tunggu sebentar lagi, ini belum rapi," balas Darren dengan tangan yang masih memegang kepala istrinya.Saat ini mereka masih saling berhadap-hadapan. Hal itu sedikit membuat jantung Diana tak karuan. Ia dibesarkan di keluarga yang agamis, Diana tidak pernah sedekat ini dengan lelaki. Meskipun dulu ia tidak memakai kerudung, Diana tidak pernah bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Pernah waktu itu ia pulang berboncengan dengan teman SMA-nya, Irwan langsung menyeret Diana secara kasar menuju gudang dan menguncinya hingga malam. Dulu Irwan tidak pernah main-main dalam mendidiknya.Deru nafas Darren begitu terasa di kulit wajahnya yang begitu mulus."Apakah lelaki ini sengaja ?" batinnya."Nah udah.""Makasih," balas Diana sambil menatap jengkel ke arah suaminya. Setelah itu ia berdiri hendak meninggalk
Keesokkan paginyaWaktu menunjukkan pukul lima pagi. Tadinya Diana sudah memasang alarm, setelah shalat, ia langsung tertidur lagi, sudah lama ia tidak bergelut manja di ranjangnya. Meskipun ranjangnya saat ini berukuran queen size ia tetap nyaman."Tok...tok...tok..."Samar-samar terdengar suara ketukan pintu, sangat pelan, karena merasa risih akhirnya Diana pun terbangun."Nyonya sudah bangun ?""Sudah," balas Diana dengan suara seraknya."Boleh kami masuk untuk menyiapkan air hangat ?""Boleh, pintunya juga tidak dikunci," balas Diana sekenanya. Setelah mengucapkan itu Diana berjalan menuju jendela. Dengan perlahan Diana membuka jendela itu. Udara segar menerpa kulit putihnya. Ia pun berbalik, matanya menatap sekeliling kamar. Darren begitu tega, lelaki itu menempatkannya di kamar tamu. Berbeda dengan kamarnya yang berada di rumah ayah, kamar itu begitu luas, kadang ia malas membereskannya."Nyonya airnya sudah siap," ucap pelayan sambil menunduk."Baik, terima kasih," balasnya sa
~🖤~Bagaikan burung yang hidup di dalam sangkar emas***Dengan hati dongkol Diana berjalan menuruni tangga. Bibirnya terus mengomel menggunakan bahasa asing. Para pelayan yang khawatir melihat nyonya rumah berjalan dengan cepat langsung mengekori dari belakang."Nyonya tunggu, hati-hati," ucap salah satu dari mereka. Ingin sekali mereka menggandeng Diana agar berjalan lebih lambat, tapi mereka takut kena amukan. Sejak datang, istri tuannya itu sama sekali tidak tersenyum, padahal wanita itu cukup cantik, bahkan sangat cantik jika ia bisa melebarkan bibirnya barang satu detik. Awalnya mereka mengira bahwa Diana itu blasteran, tapi ternyata tidak. Nyonya Diana ini seratus persen keturunan Indonesia. Mereka bisa mengetahui hal ini karena minggu-minggu kemarin Nyonya Delia sering membicarakan calon menantunya."Di mana kamarku ?" tanya Diana saat mereka sudah sampai di lantai bawah."Mari ikut saya nyonya."Tanpa membalas, Diana mengikuti pelayan tersebut. Mereka berjalan menuju pintu b
Blank. Diana seakan-akan bisu. Bola matanya membulat sempurna, ia menatap ibunya, wanita itu sama sekali tidak membalas tatapannya. Ibunya malah tersenyum ke arah wanita di seberang yang Diana yakini sebagai calon mertuanya. Wanita di seberangnya ini terlihat elegan dengan anting berlian blue sapphire yang menggantung indah di telinganya, sangat jeli.Diana sama sekali tidak bisa menolak keputusan ayahnya. Ia mencoba menatap lelaki yang baru saja melamarnya, untuk pertama kalinya mereka saling menatap. Darren, nama yang baru saja didengarnya, lelaki itu menatapnya datar. Darren seperti membencinya, ia sudah kenal depan tatapan seperti. Sudah sering, seperti makanan sehari-hari.Tidak ada acara tukar cincin, Darren hanya menyerahkan cincin lamaran itu tanpa berniat memasangkannya. Tak ada yang protes karena dengan begini mereka tidak bersentuhan sebelum benar-benar halal.Setelah berbincang cukup lama mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, Vina dan Rosa mempersilahkan para tamu untuk m
~🖤~Tiba-tiba datang seperti hujan badaiDi manakah aku berteduh ?***Hari ini benar-benar melelahkan, setelah pulang dari kampus, Diana harus mengunjungi kedai kecilnya. Sejak dari tadi, mbak Kikan selaku managernya menelpon, pasti terjadi sesuatu. Yaa, wanita itu tidak mungkin menelponnya sampai puluhan kali. Diana mengendarai mobil yang baru saja sebulan dibelinya dengan sedikit mengebut. Diana sudah berhasil membeli mobil hasil dari jerih payahnya sendiri. Meskipun baru beberapa bulan belajar, gadis itu sudah terlihat mahir dalam berkendara. Bahkan ia membuat SIM card-nya tanpa menyuap.Cuaca sore ini cukup terang ditambah kemacetan membuat Diana gerah. Kota ini memang lumayan padat, ia sedikit memakluminya. Ia menyesal karena tidak membawa ikat rambut di tas hitamnya, biasanya ikat rambut itu selalu berserakan di dashboard, tapi kali ini tidak ada.20 menit kemudianAkhirnya Diana sampai di depan halaman parkir kedainya, suasana siang ini cukup ramai. Soal harga, Diana tidak te