Share

Bab 2

“Kak, kita harus mencarinya kemana lagi?” tanya Sena putus asa, mereka sudah berkeliling mencari. Tapi Karina belum juga ditemukan. Nando menghembuskan napas lelah, ia juga sudah lelah mencari dan ini sudah hampir malam.

            “Apa Karina punya teman lagi selain kamu, telphone beberapa temannya. Mungkin saja dia mendatangi temannya itu,” kata Nando, ia menoleh sekilas ke arah Sena.

            “Sudah aku telphone semua teman yang mungkin Karina datangi, mereka tidak tahu di mana Karina berada,” sahut Sena. “Ah bagaimana ini, kalau sampai anak buah Tn.Rama  lebih dulu menemukan Karina. Karina bisa mati,” Sena tampak cemas, ia memang sudah tahu sifat dari ayah sahabatnya itu. Tidak mudah bagi Karina untuk bisa lolos dari hukuman yang akan dia dapat setelah ia ditemukan. Apalagi kesalahan Karina kali ini sangat besar, kabur disaat hari pernikahannya. Mempermalukan keluarga Hartanto didepan kolega bisnis ayahnya. Karina benar-benar ada dalam masalah besar sekarang.

            Nando kembali focus menyetir, mereka tidak akan menyerah mencari keberadaan Karina. Suasana hening, sampai suara dering ponsel Sena memecah keheningan.

            “Siapa?” tanya Nando pada Sena. Sena melihat layar ponselnya. Nomor yang asing.

            “Tidak tahu, nomor baru,” sahut Sena. ia mengangkat telphonenya. “Hallo,” sapanya.

            “Sena, ini aku...” suara lembut milik seorang wanita dan begitu familiar ditelinganya membuat Sena terkejut.

            “Karina, kamu dimana?” tanya Sena saat ia benar-benar yakin kalau suara itu milik sahabatnya.

            “Kamu tidak perlu tahu aku ada dimana, aku akan baik-baik saja.  Bagaimana dengan ayah dan ibuku? Pasti mereka marah sekali kan?” tanya Karina di sebrang sana dengan sangat menyesal dan juga mengkhawatirkan kedua orang tuanya.

            “Tentu saja, ayahmu marah besar. Bahkan dia menyuruh banyak anak buahnya untuk mencarimu. Kalau kamu sampai ditemukan, kamu bisa habis diterkam ayahmu itu,” jelas Sena dengan emosi. Ia benar-benar tidak menyangka kalau sahabatnya akan melakukan hal bodoh itu.

            “Benarkah? Kali ini aku pasti mati,” gumam Karina tidak bersemangat.

            “Kamu benar-benar tidak akan pulang untuk sekarang ini? kamu ada di mana, biar kami tidak mencemaskanmu,” kata Sena melunak. Karina terdiam. “Karin...”

            “Aku baik-baik saja, aku bersama orang yang baik. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku,” sahut Karina.

            “Bagaimana bisa aku tidak khawatir?” Sena  tersentak kaget. “Katakan kamu di mana sekarang?” tanya Sena begitu penasaran. Nando hanya mendengarkan pembicaraan pacarnya dengan sepupunya itu.

            “Sudah ya, maaf aku tidak bisa memberitahukan di mana. Aku tidak ingin pulang, aku ingin mendinginkan kepalaku...”

            “Tidak, ini tidak benar. Lari dari masalah itu tidak baik, kamu harus menyelesaikan masalahmu dan meminta maaf pada ayah dan ibumu. Mereka sangat mengkhawatirkanmu. Sebelum anak buah ayahmu menemukanmu. Lebih baik kamu yang lebih dulu pulang, ya Karina. Dengerin aku kali ini saja, sebelum ayahmu semakin marah.” Sena berusaha untuk membujuk Karina.

            “Tidak, aku belum bisa pulang. Maaf...” Karina langsung menutup telphonenya.  

            “Hallo Karin, Karina...” teriak Sena memanggil-manggil Karina di sebrang sana, tidak ada hasil. Telphonenya sudah terputus. Sena mencoba menelphonenya lagi, nomornya sudah tidak aktif.

            “Ada apa?” tanya Nando yang melihat wajah kekasihnya pucat.

            “Kak, ini bisa menjadi masalah besar,” ucap Sena dan memandang kearah Nando. “Karina benar-benar cari mati dengan melawan ayahnya,” Sena merasakan kepalanya sakit. Nando meraih tangan kekasihnya itu. Dia tahu kalau Sena itu sahabat yang baik untuk Karina, dikecupnya pelan untuk menenangkan kekasihnya itu.

            “Kalau dia memang tidak mau pulang, ya sudah kita tidak perlu memaksanya. Mungkin Karina membutuhkan waktu untuk mendinginkan kepalanya dan menyesali perbuatannya itu. Nanti juga kalau dia tidak memiliki tempat pulang, dia akan pulang sendiri. Aku yakin, karena Karina tidak bisa hidup di luar. Apalagi dia tidak memiliki uang.”

            “Iya, tapi dia bilang sedang bersama orang baik. Siapa?”

            “Kalau itu orang baik, berarti kita tidak perlu khawatir.”

            “Iya, tapi aku benar-benar khawatir. Dia bersama orang asing.”

            “Kita harus percaya padanya, semoga benar orang itu baik.”

            “Kakak tidak khawatir.”

            “Khawtir, tapi bagaimana memaksanya untuk pulang tidak semudah itu.”

            Sena menundukkan kepala, benar yang dikatakan Nando. Dirinya tahu begitu keras kepalanya Karina.  

             

***

            Aksa memasuki kamar yang akan di tempatinya tidur malam ini, saat baru saja masuk ke dalam kamar. Ia melihat Karina baru saja melemparkan ponselnya ke tembok. Ponsel miliknya kini sudah hancur berkeping-keping membuat Aksa terpekik kaget.

            “Apa yang kamu lakukan pada ponselku,” teriak Aksa, ia berhambur kearah ponselnya yang sudah hancur itu. Karina terpekik, ia tersenyum kaku. Aksa menatapnya tajam sambil memegangi ponselnya yang rusak.

            “Maaf...” hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Karina.

            “Maaf katamu, gampang sekali...” kesal Aksa, ia mencoba mengatur pernapasannya. Kenapa ia harus bersama dengan wanita aneh dan sekarang ia bahkan dengan mudah merusak ponselnya.

            “Apa kamu membawakan pakaian ganti untukku?” tanya Karina tanpa malu, tatapan Aksa semakin tajam kearahnya.

“Pakailah…” Aksa melemparkan dress warna krem ke arah Karina. Karina menerimanya sebal.

“Apakah ini perhatianmu terhadap istrimu,” kata Karina sekenanya.

“Apa istri?” teriak Aksa kesal.

“Kamu ingatlah, kita ini sudah menjadi pasangan suami istri,” sahut Karina membuat Aksa berdecak kesal.

“Itu hanya ada dalam mimpimu. Cepat pakai dan buang saja gaun pengantin itu,” kesal Aksa, ia bergegas pergi meninggalkan kamar Karina.

“Tanpa disuruh pun, aku akan membuangnya…” Karina sebal. ia menatap pakaian yang baru di lempar Aksa padanya. Sesaat Karina tersenyum senang. “Walaupun dia terlihat kasar, tapi dia tetap baik padaku,” gumam Karina. “Dia tidak punya selera humor yang baik,” gumam Karina. ia beranjak untuk melepaskan gaun pengantin yang ia kenakan. Baru saja membuka resleting gaun itu. Pintu kembali terbuka dengan kasar. Aksa terkejut saat melihat pemandangan di depannya. Karina juga kaget. Ia langsung berbalik menutupi punggungnya yang sudah terbuka lebar.

“Apa yang kamu lihat? Kenapa kamu masuk kedalam kamar tanpa mengetuk pintu lebih dulu,” teriak Karina marah. Aksa berwajah datar menatapnya.

“Tidak ada yang menarik untuk dilihat dari tubuh kurusmu itu, aku hanya ingin mengambil jaketku.” Aksa berucap dengan santai dan berjalan masuk kedalam kamar, mengambil jaketnya yang tergeletak di tempat tidur.

Karina benar-benar kesal, bagaimana mungkin tubuhnya sama sekali tidak menarik untuk dilihat. Sepertinya pria yang berada di depannya itu tidak normal. Karina mendelik marah kearah Aksa yang sudah berjalan keluar dari kamar hotel. “Pria menyebalkan,” gerutu Karina. Ia menghentakkan kakinya kesal. Napasnya memburu karena marah. Dikatakan gadis kecil, badan yang tidak menarik. Membuat hati Karina memanas, ia seperti wanita yang benar-benar tidak menarik untuk dilihat. Calon suaminya juga mungkin tidak tertarik pada  tubuhnya, tapi lebih tertarik pada kerja sama perusahaan orang tuanya dengan orang tua Karina.

Karina dengan perasaan kesal melepaskan gaun pengantinya dan memakai dress yang dibawakan Aksa untuknya. Sesaat ia memandang dirinya yang berada di depan cermin yang sudah mengenakan dress sederhana namun cantik. Ia jadi teringat kata-kata Sena, sahabatnya itu, kalau ayahnya sangat marah atas apa yang Karina lakukan. Kalau ia sampai ditemukan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan ayahnya pada dirinya. Karina menghela napas berat.

***

            Disebuah Club malam, seorang pria tengah asik duduk dimeja bar dengan ditemani segelas wine merah. Sesekali senyum miris terlihat dibibirnya, seorang pelayan menatap kearahnya dengan wajah jengah. Ia sudah bosan melihat pria itu datang terus menerus ke club malam ini. suara musik yang dimainkan salah satu DJ terbaik disana menggema dengan keras. Beberapa orang-orang yang sedang menikmati musik meliuk-liukkan badannya mengikuti irama musik. Pria itu tampak tidak tertarik turun ke lantai dansa. Ia memilih untuk minum wine kesukaannya.

            “Kamu masih betah datang kemari,” seru seseorang membuat pria itu menolehkan kepalanya kearah orang yang menyapa dirinya itu.

            Ia tersenyum simpul menatap seorang wanita yang melipat tangannya di depan dada, dress hitam yang ia kenakan begitu ketat memperlihatkan lekut tubuh wanita itu.

            “Kamu juga, tidak pernah bosan untuk dan kemari,” sindir pria itu, ia kembali meneguk pelan wine yang dipesannya.

            “Bagaimana dengan pernikahanmu, apa berjalan lancar?” tanya wanita itu setelah ia mendudukkan diri di samping pria yang sedang termenung. “Ah, sepertinya tidak berjalan dengan baik. Buktinya kamu berada disini, karena seharusnya kamu berada di kamar pengantin malam ini. Apa ada sesuatu yang menarik?” tanya wanita itu menatap lekat pria yang berada di sampingnya.

            “Kamu tahu, calon pengantinku kabur dan sekarang entah berada dimana,” sahutnya sambil tersenyum miris. Wanita itu terkekeh kecil.

            “Benarkah? Kenapa dia kabur? Apa dia tidak suka padamu?”

            Pria itu menolehkan wajahnya ke samping dan menatap wanita itu. “Mungkin,” sahutnya cuek. “Bagaimana denganmu?” tanya pria itu menatap lekat wanita yang kini tengah menikmati segelas wine.

            “Buruk, buruk sekali. Calon tunanganku juga melarikan diri,” sahutnya ia terkekeh kecil melihat tingkah kekanak-kanakan calon tunangannya itu. “Kita sama bukan,” ucap wanita itu sambil menatap pria yang berada di sampingnya. Pria itu mengangguk pelan. Mereka berdua terdiam, kini keduanya tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.

            “Ferro...” teriak seseorang pada pria yang kini menatap kearah orang itu dengan tatapan malas. Pria yang bernama Ferro menatap sekilas wanita yang berada dinsampingnya.

            “Kenapa?” tanyanya dengan nada malas.

            “Sedang apa kamu disini, aku mencarimu dari tadi. Ayahmu ingin bertemu, ini mengenai pernikahanmu yang gagal itu. Cepatlah temui beliau,” kata orang itu membuat Ferro menghela nafas kasar. Ia meletakkan gelas wine-nya.

            “Sepertinya aku dalam masalah besar, aku pergi dulu. Nanti aku telphone,” kata Ferro pada wanita yang menatapnya, wanita itu mengangguk pelan mengiyakan ucapan Ferro. Ferro berjalan meninggalkan club malam dengan temannya yang susah payah telah mencarinya. Setelah ditinggal Ferro, wanita itu mendapatkan telphone di ponselnya. Dengan rasa malas, wanita itu menerima telphone dari seseorang yang ia kenal.

            “Hallo,” sapa wanita itu.

            “Fani Celina, kamu dimana?”

            “Di club,” sahut wanita yang bernama Fani. “Ada apa?”

            “Kamu harus cepat pulang,” ucap orang di sebrang sana.

            “Kenapa kak?” tanya Fani benar-benar tidak bersemangat.

            “Cepat pulang, kakak tunggu...” telphone terputus. Fani hanya bisa menghela napas, ia memegang tengkuknya pelan. Rasanya lelah menghadapi perjodohan bodoh ini. ia mulai beranjak meninggalkan club malam itu.

***

            Karina sedang asik memandangi laut dari beranda kamar hotel, ia tersenyum begitu senang melihat pemandangan yang memukau di depan matanya. Angin lembut menerpa tubuhnya membuat rambut panjang Karina melambai tertiup angin.

            “Sepertinya aku akan betah tinggal di sini,” gumam Karina. “Tempatnya sungguh menenangkan,” kembali Karina mengukir senyum bahagianya.

            Cklek... suara pintu terbuka, membuat Karina menoleh ke belakang. Aksa baru saja memasuki kamar dengan membawa kantung plastik. Karina mengerutkan kening, ia berjalan menghampirinya.

            “Apa itu?”  tanya Karina menunjuk barang yang dibawa Aksa.

            “Makanan...” sahutnya, ia dudukan tubuhnya di sofa yang tidak terlalu panjang di sana.

            “Wah kebetulan sekali, aku sudah sangat lapar,” seru Karina sambil memegangi perutnya yang sudah keroncongan dari tadi.

            Aksa menatapnya datar, “aku tidak membelikanmu makanan, kalau kamu mau makan. Beli saja sendiri,” ketus Aksa. Ia membuka kotak nasi berisi ayam dan sayuran yang ia beli membuat Karina menelan ludahnya, ia sungguh sangat lapar dan begitu tergoda dengan makanan yang berada di depannya.

            “Kenapa kamu tidak membelikanku makanan, aku juga sangat lapar. Apa kamu tega membuatku kelaparan?...” ujar Karina sebal, ia menekuk wajahnya sedih di depan Aksa.

            “Aku tidak peduli, kamu sudah merusak ponselku. Padahal ponsel itu sangat mahal,” gumam Aksa, ia mulai melahap makanannya. Karina memandanginya dengan begitu iri. Ia benar-benar kelaparan.

            “Aku kan sudah meminta maaf padamu, kenapa kamu begitu pendendam,” keluh Karina, ia kembali melihat ayam dan sayur yang sedang dimakan Aksa. Aksa melihat kearahnya.

            “Berhenti menatap makanan seperti itu, matamu sudah hampir keluar dan air liurmu hampir menetes,” kata Aksa, ia menggelengkan kepala pelan.

            Karina mengerucutkan bibirnya kesal. Beberapa kali ia menelan ludah melihat Aksa makan sendiri di depan matanya. Aksa menghela napas.

            “Kamu mau?” tanyanya sedikit menggoda.

            “Tentu saja...” sahut Karina cepat.

            “Tapi cuma satu suapan,” Aksa memberikan kotak nasi itu. Karina tersenyum semuringah, ia tanpa sungkan langsung melahap nasi dan ayam dengan sangat lahapnya. Aksa menatapnya tidak percaya.

            “Aku hanya mengijinkanmu cuma satu suapan,” Aksa hendak merebut kembali kotak nasi ayam itu. Karina tidak membiarkannya, ia malah terus melahapnya tanpa berhenti. “Hei...” teriak Aksa marah. Karina membawa makanan itu masuk kedalam kamar mandi dan menguncinya. “Wanita aneh, cepat buka pintunya...” Aksa menggedor pintu kamar mandi. Karina tidak menjawab, ia terduduk di toilet sambil terus melahap ayam dan nasi serta sayuran yang terasa begitu nikmat.

            “Lihat saja kalau dia keluar,” gerutu Aksa yang sudah kesal setengah mati karena kelakuan Karina.

            Karina perlahan membuka pintu kamar mandi, ia terperanjat kaget saat melihat Aksa berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangannya di dada. Tatapannya begitu menakutkan, Karina menyeringai kaku. Di tanganya terdapat kotak nasi yang sudah habis tanpa sisa.

            “Maaf, aku sangat kelaparan,” seru Karina sambil menunduk dan menyesal. Aksa yang tadinya akan marah. Akhirnya hanya bisa mengelus dadanya pelan.

            “Sudahlah, aku tahu menghadapimu aku tidak akan pernah menang,” kata Aksa. “Tidurlah, ini sudah malam...” Aksa berjalan hendak keluar.

            “Kamu mau kemana?” tanya Karina, Aksa tanpa menoleh hanya bisa menghela napas.

            “Aku kan bukan suamimu, kenapa aku harus lapor ke mana aku akan pergi. Cepatlah tidur, besok pagi kita harus pergi. Aku sudah tidak punya uang lagi,” Aksa membuka pintu dan menutupnya pelan meninggalkan Karina yang merasa bersalah.

            “Sepertinya aku sangat menyusahkannya,” gumam Karina. “Ah iya, aku belum menanyakan namanya,” ujar Karina. Karina menghembuskan napas pelan, ia mulai melangkah menuju tempat tidur.

            Sementara itu di sebuah rumah kediaman keluarga Sutomo, seseorang dengan gelisah terus mencoba menelphone adiknya. Beberapa kali ia harus menghembuskan napas kasar saat nomor yang ia hubungi tidak bisa ditelphone.

            “Sebenarnya kemana dia?” tanyanya begitu cemas.

            “Renita...” seseorang mengetuk pintu kamar wanita yang bernama Renita.

            “Iya, masuk saja mah,” sahutnya dari dalam kamar. Seseorang yang ternyata adalah Ny.Ratna ibunya masuk kedalam kamar.

            “Kamu belum bisa menghubungi adikmu?” tanya Ny.Ratna, ia juga cemas memikirkan putranya itu. Kenapa dihari penting itu, dia malah kabur.

            “Tidak bisa mah, tadi siang aku sudah menelphonenya. Ia tetap tidak mau pulang, aku mencoba menelphonenya lagi. Sepertinya ia sengaja mematikan telphonenya,” jelas Renita.

            “Aksa. Apa yang ada dipikiran anak itu?” tanya Ny.Ratna tidak mengerti.

            “Sepertinya dia masih belum melupakan gadis itu,” kata Renita sukses membuat ibunya memandang kearahnya dengan tatapan heran.

            “Gadis itu, gadis yang meninggalkan Aksa?” tanya Ny.Ratna, Renita mengangguk singkat.

            “Mama tahu bukan, kalau dia begitu mencintai gadis itu,” ucap Renita yang membuat Ny.Ratna terdiam dan merenung, ia mengingat kembali kejadian dimasa lampau sudah hampir dua tahun gadis itu pergi meninggalkan Aksa.

            “Jadi itu sebabnya Aksa tidak mau dijodohkan, dia masih berharap gadis itu kembali. Pria bodoh, setelah dicampakan. Dia masih mengharapkannya,” Ny.Ratna tersenyum miris. Renita terdiam, memang tindakan Aksa itu benar-benar bodoh. Bagaimana bisa ia membatalkan pertunangannya hanya karena percaya kalau gadis yang dicintainya akan kembali datang padanya.

***

            Aksa terduduk di pasir di pinggir pantai, malam semakin pekat. Gemuruh ombak terdengar menderu di telinga Aksa, Aksa hanya mampu terdiam memandangnya dengan tatapan sinis. Ia mengambil kerang yang terkubur di pasir, dilemparkan kerang itu ke laut. Aksa termenung, ini adalah hari di mana ia ditinggalkan.

            “Kamu pasti menertawakanku, menertawakan kebodohanku yang tidak bisa melupakanmu. Walaupun kamu mencampakanku dan pergi begitu saja. Dengan bodohnya aku masih mengharapkanmu kembali,” gumam Aksa sambil menarik senyum sinis. “Aku sangat merindukanmu, sangat...” lirih Aksa begitu sedih, ia memang masih berharap gadis itu kembali padanya. Karena dia masih menantikannya dengan setia. Aksa berajak dari tempat duduknya, membersihkan sedikit pasir yang menempel dicelananya, ia langkahkan kaki menuju penginapan tempat di mana dia akan tidur. Hari sudah semakin larut. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 malam.

            Saat ia baru membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam kamarnya, ia melihat Karina duduk di sofa. Televisi menyala, saat dirinya berjalan mendekat ke arah Karina. Gadis itu ternyata sedang menangis. Aksa terdiam melihat Karina yang menangis dalam kegelapan kamar.

“Kamu belum tidur?” tanya Aksa, nada suaranya melembut.

“Hmmm...” Karina hanya bergumam dan sibuk menghapus airmatanya.

“Kenapa kamu menangis?” tanya Aksa pada Karina, jarak mereka tidak terlalu jauh. Karina melihat ke arah Aksa. Karina hanya tersenyum.

“Tidak apa-apa.” Karina beranjak dari sofa. Mereka saling berhadapan. Keduanya berpandangan.

“Aku benar-benar bersyukur bertemu denganmu. Terimakasih dan maaf karena telah menyusahkanmu,” kata Karina dengan tersenyum, Aksa hanya terdiam mematung.

“Kenapa tiba-tiba...”

“Ah, aku mengantuk. Aku mau tidur dulu,” Karina berjalan melewati Aksa. Karina menoleh kearah Aksa. “Kalau kamu mau pergi, kasih tahu dulu. Jangan pergi begitu saja,” setelah mengucapkan itu, Karina merebahkan tubuhnya di kasur. Aksa menoleh ke belakang, di mana Karina sudah tidur. Aksa mengerutkan kening merasa aneh.

***

            Pagi harinya, Karina dan Aksa berada di sebuah restoran untuk sarapan pagi. Ini adalah uang terakhirnya. Setelah ini, Aksa sudah tidak punya uang lagi. Aksa memperhatikan Karina yang sedang melahap bubur pesanannya.

            Karina yang seakan tahu kalau ia dari tadi diperhatikan, ia mendongakkan kepalanya kearah Aksa. Aksa menatapnya tanpa bergeming sedikitpun.

            “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Karina merasa heran.

            “Tidak apa-apa.”

            Karina menikmati buburnya dengan lahap. Mungkin ini makanan terakhir yang dia temukan. Karena hari ini mereka akan berpisah. Tidak ada alasan Karina untuk terus ikut dengan Aksa. Karena dia tidak ingin menyusahkan pria di depannya. Karina harus mandiri, karena ini keputusannya melarikan diri. Dia tidak akan pernah menyesal.

            “Aku akan ke surabaya, aku tidak bisa membawamu. Kamu punya tempat tujuan yang ingin dituju, aku akan mengantarmu kerumah temanmu, atau sodaramu,” kata Aksa yang membuat Karina menghentikan makannya. Karina mendongakkan kepala melihat kearah Aksa.

            “Aku tidak mempunyai tujuan, aku hanya punya satu teman,” jawab Karina kembali menundukkan kepala. Aksa mengerjapkan matanya. Dia mengamati Karina. “Kamu tidak perlu khawatir, aku akan mencari tempat tinggal sendiri untuk sementara disini. Aku juga akan mencari pekerjaan.”

            “Kamu tidak berencana untuk pulang saja,” Aksa menatap Karina. Karina menggelengkan kepala.

            “Saat aku mengambil keputusan itu, aku sudah siap dengan semuanya.”

            “Apa kamu benar akan baik-baik saja, tanpa teman, tanpa keluarga?”

            Karina tersenyum, “Kamu mengkhawatirkanku?”

“Tidak.” Aksa membantah, Karina berusaha menahan tawa. Aksa tiba-tiba menjadi kesal.

“Ah sebelum kita berpisah, aku belum tahu siapa namamu?” tanya Karina menatap lekat Aksa yang ada didepannya.

            “Kenapa kamu menanyakan namaku? Tidak perlu,” sahut Aksa.

            “Sekedar berjaga-jaga, siapa tahu kita bertemu lagi lain waktu. Setidaknya aku akan mengingat nama orang yang telah menolongku,” ucap Karina. Aksa menghela napas pendek.

            “Aksa, Aksa Gerlando,” sahutnya pelan. Karina tersenyum.

            “Namaku Karina Rosallia,” kata Karina, Aksa mengangguk kecil dan dia mulai melahap sandwitch pesanannya. Setelah mereka menghambiskan sarapan mereka. Aksa yang hendak masuk ke dalam mobilnya menatap heran Karina yang terdiam di samping mobilnya.

            “Terimakasih atas semuanya, aku tidak akan melupakanmu. Aku akan membalas kebaikanmu nanti.” Karina tersenyum dan pergi meninggalkan Aksa. Aksa memandang punggung Karina, sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Karina, tapi ia sudah tidak punya uang lagi dan tidak mau terlibat lebih dalam dengan Karina. Aksa beranjak masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya perlahan menjauh berlawan arah dengan jalan yang diambil Karina. Karina menoleh ke belakang, ia sedih melihat mobil Aksa yang perlahan menjauh.

            “Dia pergi,” gumamnya. Karina menarik senyum tegar. Lama dia berjalan tanpa tujuan, ia menghentikan langkahnya di sebuah pasar. Karina menatap asing tempat itu, ia juga terlihat bingung. Banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Karina kembali melangkahkan kakinya menjauh dari pasar. Kakinya seakan sakit terus berjalan tanpa tujuan. Tiba-tiba saja seseorang menghadang di depannya, Karina terkejut melihatnya.

            “Akhirnya kami menemukanmu nona,” kata orang berjas hitam itu yang ia yakini adalah anak buah ayahnya. Karina menatapnya takut. “Silahkan ikut dengan kami nona, tuan besar sudah menunggu,” kata orang itu membuat Karina bergeming dan memundurkan langkahnya. Dengan hitungan detik, Karina berbalik dan berlari sekuat tenaga agar tidak tertangkap. Orang-orang suruhan ayahnya mengejarnya dari belakang. Karina terus berlari menghindari orang-orang yang mengejarnya. Terlintas dibenaknya bayangan Aksa. Aku membutuhkanmu, tolong aku... gumamnya dalam hati. Orang-orang itu semakin gencar untuk menangkap Karina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status