Share

Marrying You (Again)
Marrying You (Again)
Penulis: Lavender My Name

1. Terserah Padamu

"Apa yang bisa kamu berikan untuk Kiyara dan anakmu, hah? Membiayai hidupmu sendiri saja kamu tidak mampu, malah sok-sokan menolak bantuan kami." Suara Ardi menggelegar, memecah kesunyian malam.

Bian hanya duduk diam. Tidak ada sedikit pun niatannya untuk menjawab sekian banyak cercaan dan makian, yang keluar dari bibir tebal iparnya itu. Sedangkan Kiyara, wanita yang telah menemaninya berjuang selama 10 tahun terakhir, diam membisu, sambil sesekali mengusap airmatanya yang mulai mengalir turun dari sudut matanya.

"Mana usahamu yang berhasil? Dari sekian banyak rencana dan ceritamu yang setinggi awan, tidak ada satu pun yang berhasil. Tidak ada harta benda yang bertambah, tapi malah berkurang untuk menutupi semua hutang-hutangmu."

Ardi lalu diam sejenak, mencari asupan oksigen dan tenaga setelah dirinya meluapkan semua amarah dan kekesalan pada adik iparnya itu. Ia kemudian melanjutkan perkataannya. "Ini adalah tawaran terakhir dari kakak-kakak Kiyara. Daripada anak dan istrimu mati kelaparan di sini, antarkan saja mereka ke Jakarta. Biarlah mereka dirawat oleh tante-tantenya di sana, dan kau, kau cari saja pekerjaan yang bisa menghidupi dirimu sendiri."

Bian, mengepalkan kedua tangannya. Emosi? Jelas. Marah? Sangat. Ia menahan amarah yang kali ini sangat susah untuk dikendalikan olehnya. Ia memberanikan diri untuk menatap Ardi, yang duduk dengan gaya sombong, tepat di depan kursinya.

"Apa maksud Kakak?" Bian menatap lurus manik mata Ardi. Orang gila, umpatnya kasar, namun hanya berani ia lontarkan dalam hati.

"Kau tidak paham dengan maksud perkataanku?"

"Kiya! Di mana kau menemukan laki-laki bodoh seperti dirinya? Mengapa kau bisa memilih dia untuk jadi suamimu?" Ardi menatap sinis Kiyara, lalu kembali memperhatikan mimik wajah Bian yang sudah merah padam, menahan amarah.

"Kau marah? Hah! Lucu. Untuk apa kau marah jika semua yang aku katakan benar adanya. Jika kau tidak sanggup membiayai Kiya, harusnya jangan berani kau mengajukan diri untuk menikahinya. Lihatlah! Adikku sekarang sungguh mengenaskan penampilannya, dan itu semua gara-gara kau yang tidak becus mencari uang!" Bentakan Ardi membuat Kiyara kali ini menatap nyalang sang kakak.

"Kak! Berhentilah menghina Mas Bian! Bagaimana pun Mas Bian adalah suami Kiyara. Kiyara yang memilihnya sendiri. Jangan merendahkan orang seperti itu." Kiyara berusaha menahan tangisnya. Suaranya bergetar ketika kata-kata pembelaan mengalir tersendat dari bibirnya yang sudah tebal, akibat ia gigit sejak tadi.

Hari ini adalah hari terburuk dalam hidup mereka, yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak pasangan suami istri itu. Niatnya untuk meminjam uang kepada sang kakak ipar, untuk sekadar membeli beras, gas dan listrik untuk kebutuhan selama tiga hari, justru membuat Bian menjadi seorang pesakitan di mata kakak-kakak iparnya.

Sejak tujuh tahun yang lalu, usahanya mengalami kemunduran. Meminjam sekian puluh juta kepada kakak ipar untuk memulai bisnis sendiri, namun tidak juga menunjukkan perkembangan. Bahkan, harta warisan sang istri terpakai untuk memperbaiki rumah mereka, yang dulu baru mencapai tiga puluh persen pembangunannya. Terlebih lagi, ia terlilit hutang akibat invetasi yang ia ikuti ternyata berujung pada investasi bodong. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Pada saat seperti ini, yang bisa ia mintai bantuan hanyalah kakak iparnya. Akan tetapi, keputusan yang diambilnya kali ini tidak sesuai dengan perkiraannya. Mereka tidak akan memberi bantuan lagi kepadanya. Sebagai gantinya, ia harus rela berpisah dengan anak istrinya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Bian benar-benar tidak habis pikir, mengapa syarat yang diberikan kali ini begitu berat.

"Kalian pikirkan dulu syarat dari kami. Jika kalian setuju, akan aku transfer uang untuk berangkat ke Jakarta." Ardi meninggalkan rumah sang adik tanpa mengucap salam perpisahan, meninggalkan perih tersendiri di sudut hati Kiyara.

Kiyara diam membisu. Ia masih tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Ardi, sejak kedatangan laki-laki paruh baya itu hingga beranjak pergi meninggalkan mereka. Bian menatap istrinya dengan sendu.

"Kiya..." panggilnya lembut, membuat wajah ayu di depannya langsung menoleh ke arahnya.

"Iya, mas?" Kiya mendekat ke arah Bian yang masih menatap dirinya sendu.

"Apa pendapatmu setelah mendengar semuanya?" Bian tidak sanggup merinci setiap ucapan Ardi.

"Mas, maafkan kakak ya... Aku tidak tahu, ah, sama sekali tidak mengira mereka akan mengambil keputusan seperti itu," ucapnya. Suaranya terdengar seperti cicitan tikus yang ketakutan karena bertemu dengan lawan yang lebih besar.

"Mungkin mereka sudah muak denganku, sudah tidak lagi percaya dengan semua perkataanku, hingga akhirnya jadi seperti ini." Bian menghela nafasnya, kembali menatap wajah Kiyara.

Kiyara masih memilih untuk diam. Ia sendiri enggan memperpanjang percakapan itu. Ia tahu ini semua tidak mudah, terlebih lagi mendengar perkataan kakaknya. Ia mendengar semua yang dikatakan Ardi, memperhatikan, betapa kakaknya itu sudah sangat berbeda dari yang dulu.

Bian meneguk habis sisa kopi lalu menatap wajah Kiyara. "Sekarang, setelah mendengar semua yang disampaikan Kak Ardi, apa yang akan kamu lakukan? Jika kau ingin mengikuti syaratnya, maka lusa aku akan mengantarkanmu dan anak-anak."

Kiyara mengangkat wajahnya dan menatap lekat suaminya. "Apakah mas menginginkan itu?" Wajah Kiyara mendadak berubah sendu. "Aku menikah denganmu bukan hanya untuk bersenang-senang. Ada masa-masa sulit yang harus dihadapi bersama..."

"Tapi, semua yang diucapkan Kak Ardi tadi tidak salah, justru nyaris mendekati kebenaran, dan aku tidak akan menyalahkanmu," ujarnya risau. Ia menyerahkan semua keputusannya pada Kiyara. "Hanya saja, aku lebih memilihmu untuk tetap di sisiku."

Kiyara menilisik wajah tampan Bian, yang mulai ditumbuhi jambang halus. "Aku akan tetap di sini bersama Mas. Akan lebih baik jika semua masalah dihadapi bersama, bukan justru meninggalkan pasangannya sendiri menghadapi ujian hidup."

Bian menggenggam erat tangan istrinya, lalu menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. " Maaf... Maafkan aku yang masih belum mampu membahagiakan kalian. Maafkan aku yang masih saja merepotkanmu, menghabiskan uang milikmu." Bian sekali lagi menghela nafasnya dengan berat.

Ia sendiri tidak tahu mengapa jalan di depannya begitu sulit. Segala cara sudah ia lakukan, tapi hingga saat ini, tidak juga menunjukkan hasilnya. Tidak bertambah hartanya tapi justru berkurang. Beberapa kalimat yang diucapkan Ardi, tertinggal dan melekat erat di otaknya.

Pikirannya melayang. Tiba-tiba terdengar suara perut yang bernyanyi, membuatnya menjauhkan tubuhnya dari Kiyara. "Kamu belum makan?" Diangkatnya dagu wanita itu. Manik mata Bian menembus ke dalam manik mata Kiyara, yang berwarna coklat cerah, meminta jawaban yang sebenarnya.

"Aku sudah makan, Mas. Kan tadi kita makan bareng dengan anak-anak. Bubur beras dengan sedikit bumbu rempah. Tidak terlalu buruk kan? Sisa beras yang tinggal setengah kilo, aku buatkan bubur rempah seperti tadi saja, untuk sarapan sekaligus makan siang pribadi. Cukuplah untuk makan sehari besok."

Kembali Bian harus tersenyum dalam duka, mendengar laporan dari Kiyara. Harus kemana ia mencari pinjaman uang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status