Share

2. Jawaban

Kiyara mulai mencuci beras yang hendak ia olah menjadi bubur. Sesaat sebelum menyalakan kompor gas, ia memperhatikan indikator gas yang nyaris menyentuh garis merah. Badannya langsung merasa lemas. Jangan dulu, Tuhan. Jangan habis dulu. Ijinkan aku memasak bubur ini untuk makan malam suami dan anakku, bisik Kiyara sambil sedikit terisak.

Tangannya gemetar saat hendak memutar kenop kompor gas. Matanya terpejam sebelum akhirnya bunyi klik terdengar. Ia membuka kedua matanya dengan perlahan. Api biru menyala, menjilat-jilat pantat panci yang berisi air dan beras yang sudah ia beri bumbu sebelumnya. Diaduknya perlahan sambil bibirnya tak henti-hentinya merapal doa, berharap bubur itu matang sebelum akhirnya kompor itu mati.

Suara ketukan mengejutkannya. Ia buru-buru membukakan pintu, karena ia tahu jam-jam ini adalah waktu Bian pulang dari berkeliling menjual produknya. Wajahnya langsung ia tata sedemikian rupa, mengira-ira senyum manis yang akan ia tampakkan di hadapan suami tercinta. Wajah kuyu Bian langsung cerah begitu melihat senyum manis Kiyara menyembul dari balik pintu.

"Mas," sapa Kiyara lalu meraih tangan kanan Bian dan menciumnya dengan takzim.

Bian tersenyum sekaligus bersedih. Wanita secantik Kiyara belum juga bisa ia bahagiakan hingga detik ini. Harapannya untuk membawa pulang berlembar-lembar kertas merah kembali pupus. Ia hanya mampu membawa dua lembaran biru untuk hari ini. Diciumnya kening Kiyara dengan penuh perasaan sembari mengucap maaf berulang kali dalam hati.  

"Masak apa hari ini, Cantik?" panggilan sayang Bian setiap kali ia pulang ke rumah sehabis berkeliling seharian.

Dan Kiyara, meski sudah hidup bersama pria tampan itu selama sepuluh tahun, tetap saja tersipu malu mendengar sapaan suaminya.

"Bubur kare, Mas. Mas suka kan?" jawab Kiyara sembari menarik tangan Bian untuk masuk ke dalam dapur. Ia lupa jika bubur yang ia masak belum matang, dan saat langkah kakinya menapak di lantai dapur, api yang tadi menyala biru kini mulai meredup. Kiyara melepaskan tangan Bian dari genggaman tangannya, berjalan cepat menghampiri meja yang di atasnya terletak kompor yang tengah menyala dengan setengah harapan.

Kiyara kembali komat-kamit merapal do'a. Ia langsung meraih sendok yang sejak tadi memang berada di dalam panci. Beras yang tadi masih keras kini mulai tampak setengah matang, airnya pun sudah sedikit mengental dengan warna agak kekuningan. Aroma bumbu rempah menguar memenuhi dapur membuat perut Bian langsung bereaksi. Ia berjalan mendekati Kiyara. Ia paham mengapa istrinya tampak begitu panik. Dengan tenang, ia mengambil alih sendok yang dipegang oleh Kiyara.

"Sini, biar Mas yang mengaduk. Kamu buatkan Mas teh panas saja. Jangan terlalu manis, ya?!" ucap Bian dengan suara lembut. 

Kiyara terdiam. Usahanya untuk menutupi agar Bian tidak tahu jika gas yang ia gunakan untuk memasak bubur sore itu hampir habis, gagal. Suaminya itu tahu, dan kini justru menggantikan dirinya mengaduk bubur yang seharusnya sudah siap di meja makan dan menunggu untuk disantap bersama.

"Kok malah diam di situ? Udah sana, nggak apa-apa. Nggak akan kualat, kok." Bian menatap heran Kiyara yang tetap bergeming di tempatnya.

"Kiya??!" panggil Bian untuk kesekian kalinya, membuat Kiyara mengangguk-angguk menutupi rasa malunya. Dengan cepat, ia membuat segelas besar teh panas dan menghidangkannya di meja makan. Ia pun menyiapkan mangkok-mangkok berukuran beserta sendoknya, lalu meletakkannya di meja makan. 

"Sudah matang buburnya. Mas tinggal mandi dulu, ya. Kamu siapkan di atas meja dan panggillah anak-anak untuk makan malam bersama," ucap Bian ke luar dari dapur dan melangkah ke kamar mandi. 

-0-

"Ma, Boleh nambah buburnya lagi nggak?" tanya Ayu, anak sulungnya yang berusia 7 tahun bertanya kepada Kiyara saat mangkoknya sudah kembali kosong.

"Bagas juga mau, Ma." Bagas, adik Ayu berusia 5 tahun, menyerahkan mangkok kosongnya pada Kiyara.

Kiyara tersenyum. Tidak apalah. Biarlah anak-anakku menghabiskan bubur yang masih setengah itu, besok makan apa biarlah jadi urusan esok hari, batin Kiyara. Bubur itu sengaja ia bagi dua, rencananya akan ia sisihkan untuk sarapan pagi besok. Namun, melihat kedua anaknya masih kelaparan, mau tidak mau naluri keibuannya terusik. Nanti malam, ia akan melaporkan kepada suaminya tentang tempat beras yang kini sudah kosong melompong.

Bian sudah lebih dulu menghabiskan buburnya. Kini pria itu tengah beristirahat di ruang tamu, sedangkan Kiyara menemani kedua anaknya menyelesaikan makan malam mereka.

"Habis ini lanjutkan belajar kalian ya, terus siapkan pelajaran besok lalu berangkat tidur," ujar Kiyara sembari membereskan meja makan kepada Ayu dan Bagas.

"Iya, Ma," jawab keduanya serempak, melangkah meninggalkan meja makan, masuk kembali ke kamar mereka.

Kiyara bergegas mencuci semua piring kotor lalu menyusul Bian ke ruang tamu. Dilihatnya pria tampan itu masih berkutat dengan ponselnya. Ia tahu jika suaminya itu kelelahan namun pria itu tidak lantas tidur, mengistirahatkan tubuhnya. 

"Nggak tidur, Mas?" Kiyara menghampiri Bian yang tidur di kursi panjang dengan kepalanya menyandar di lengan kursi yang sudah diberinya bantal.

Bian berdeham dan menggeleng. "Belum ngantuk," jawabnya singkat. Jarinya kembali sibuk mengetik kata-kata penawaran di toko online miliknya.

"Sudah ada yang pesan?" Kiyara mengangkat kedua kaki Bian lalu duduk di bawahnya, meletakkan kedua kaki suaminya itu diatas pangkuannya. Ia mulai memijat-mijat kaki Bian.

"Kamu kok tahu kalau kaki Mas pegal sekali," ucap Bian sembari memejamkan mata menikmati pijatan demi pijatan yang diberikan Kiyara. Ia menghela nafas lalu menggelengkan kepalanya."Belum deal, sih. Masih nanya-nanya dulu."

Kiyara menganggukkan kepalanya dan tidak lagi mengajukan pertanyaan. Setelah diam sejenak, wanita cantik itu menghentikan pijatannya. Bian mengangkat kepalanya, melihat ke arah istrinya yang kini tengah menundukkan kepala sedang jari-jarinya saling memijat satu sama lain. Bian segera menurunkan kakinya dari pangkuan istrinya. Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Kiyara.

"Ada apa?" Bian menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi kedua mata lentik Kiyara. Pria itu lalu bangkit dari duduknya, melangkah ke dalam menuju ke kamar lalu kembali lagi. Ia lantas membuka dompetnya dan mengeluarkan lembaran biru dan meletakkannya ke dalam genggaman tangan Kiyara. 

"Hari ini baru bisa bawa segini. InsyaAllah, besok bisa dua kali lipat dari ini." Bian tersenyum melihat Kiyara mengangkat wajahnya."Tidak apa-apa kan?" Bian kembali membetulkan letak rambut Kiyara yang melambai menutupi wajah cantik istrinya itu.

Namun wajah Kiyara masih tampak sendu, memancing kernyitan di kening Bian. "Ada masalah lain?" Ia terus memperhatikan wajah istrinya. Tidak biasanya istrinya diam seperti ini ketika ia memberi uang hasil jualannya hari ini.

"Itu... Jawaban. Kak Ardi menantikan jawaban kita. Tadi bolak balik telpon, tapi Kiya nggak berani mengangkat."

"Lah? Nggak angkat telponnya tapi kok bisa tahu kalau Kak Ardi menagih jawaban kita?" Bian menatap Kiyara dengan penuh tanya. Apakah iparnya itu akhirnya datang lagi ke rumah ini setelah panggilan telponnya tidak diangkat Kiyara.

"Apa Kak Ardi datang lagi kemari?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status