Martabak SetanPart 20 : Sosok Pucat tak Bernadi“Bang, bau busuk apa ini?” tanya Hilda dengan memencet hidungnya karena bau ini terasa makin menyengat. “Bang Devin, tubuh kamu kok dingin begini,” sambungnya saat tanganya menyentuh bagian lengan sosok di pelukannya.Tetap tak ada jawaban. Sedangkan Devin, ia masih menggagapi lantai. Tangan kanannya seperti memegang sebuah lengan tangan seseorang, sedangkan tangan kirinya menggapai sesuatu yang keras yang ia duga adalah senternya yang terjatuh.Dengan cepat, Devin segera menekan tombol on pada sentar dan langsung menyala. Sentar itu langsung ia arahkan ke tangan kanannya yang sedang memegang sesuatu.“Ya Allah!!!” ujarnya dengan setengah berteriak dan melepaskan potongan tangan manusia yang tadi ia pegang. “Astaghfirullah
Martabak SetanPart 21 : Innalillahi wainna ilaihi rojiun“Jika kalian masuk kembali ke hutan itu, maka kalian takkan bisa kembali lagi! Kalian akan mati seperti Rafli!” Fitri berbalik dan mengucapkan kata-kata itu dengan setengah berbisik.“Jadi, Rafli sudah meninggal, Fit? Kemarin lo bilang masih diantara hidup dan mati?” Zilga menatap Fitri.“Sekarang Hilda yang sedang berada di antara hidup dan mati!” Fitri kembali mengeluarkan kata-kata seramnya.“Hey, jaga kata-kata lo! Hilda sepupu gue akan baik-baik saja!” Reyvan menatap nanar Fitri, rahangnya terlihat mengeras dengan tangan yang mengepal menahan emosi.Fitri tersenyum sinis dan membalik badannya lalu melangkah pergi.
Martabak SetanPart 22 : Mencari Sang KyaiKeluarga Hilda menolak dilakukan otopsi, jadi mereka langsung memilih memakamkan anak nomor dua dari tiga bersaudara itu. Mereka sudah ikhlas dan ingin putrinya itu tenang di alam sana. Reyvan juga tak mengatakan apa pun tentang pertualangan mereka ke hutan malam itu sebab ia takut jika dituduh keluarganya sebagai penyebab kematian sang sepupu.Kini hanya tinggal Zilga, Reyvan dan Devin yang berada di depan tanah basah dengan batu nisan bertuliskan nama Hilda itu. Mereka benar-benar tak menyangka kalau Hilda akan pergi secepat ini, apalagi tadi malam mereka masih bersama.“Rey, Bang, mungkin gak kalau yang pulang bersama kita tadi malam itu adalah rohnya Hilda? Sebab menurut pemeriksaan Dokter, dia sudah meninggal sejak tadi malam,” ujar Zilga memecah keheningan.
Martabak SetanPart 23 : Jalan Kebun Sawit“Gimana, Bang?” Zilga menarik ujung jaket Devin mengajak berkompromi dulu masalah Fitri.“Terserah aja sih, Zil, makin rame makin bagus sebenarnya. Walau ... teman kamu yang satu ini kelihatannya agak aneh,” jawab Devin dengan mengusap dagunya.“Dia emang aneh, Bang, angin-anginan dan nggak bisa ditebak.” Zilga menghela napas berat.“Ngapain lo berdua bisik-bisik sambil ngelirik gue gitu?” Fitri menghampiri Zilga dan Devin, tatapannya sinis dengan tangan berkacak di pinggang.“Jujur aja, Fit, kami agak ragu ama elo. Takutnya ... elo malah menyesatkan atau juga malah menggagalkan rencana kami .... “ Zilga berkata dengan sejujurnya, soalnya dengan Fitri memang
Martabak SetanPart 24 : Ulah Fitri“Yes, akhirnya dua orang bodoh itu terlelap juga!” gumam Fitri dengan sambil menarik tas ranselnya, lalu mengeluarkan berbagai perlengkapan untuk ritualnya.Fitri mulai mengelilingi tenda dengan membawa dupa dan menyebarkan asapnya ke sekeliling, lalu membakar kemenyan dan melakukan ritual pemanggilan arwah kegelapan.“Wahai roh kegelapan, aku tumbalkan dua temanku kepada kalian, cabutlah nyawa mereka!” gumam Fitri dalam hati.“Nenek setan, datanglah! Aku ingin memberi makan para tentaramu!” gumamnya lagi.Angin kencang mulai bertiup, roh kegelapan mulai berdatangan, memenuhi panggilan Fitri. Zilga segera terbangun sebab merasakan tendanya bergoyang, juga bau aneh dari luar yang menelusup
Martabak SetanPart 25 : Kakek Dharma NamanyaZilga dan Devin terus mendaki, menyusuri terjalnya jalanan tanjakan itu. Keringat sudah bercucuran membasahi dahi juga tubuh, rasa dahaga juga terasa menyiksa tenggorokan, apalagi cuaca hari ini sangat terik. Sesekali keduanya berhenti, namun segera memutuskan melanjutkkan perjalanan, dengan harapan bisa bertemu Silgun alias siluman gunung, begitu Ibu warung tadi menggelari lelaki tua yang sudah menghabiskan lima puluh tahun hidupnya di gunung itu.“Capek, Bang,” keluh Zilga sambil duduk selonjoran di bawah pohon karena kakinya sudah tak mampu dibawa melangkah.“Kita istirahat dulu,” jawab Devin dengan sambil duduk pula. “Kalau udah nggak sanggup puasa, minum aja!” sambung cowok berkulit kuning langsat itu dengan mengulum senyum.&
Martabak SetanPart 26 : Masa Lalu Nenek SetanSabila meletakkan dua karung sampah botol hasil memulungnya di dekat warung takjil, lalu melangkah mendekati kerumunan warga. Jantungnya semakin berdebar tak karuan, perasaan tak enak membuatnya tak sabar untuk melihat siapa yang digebuki beberapa orang di dekatnya.“Ada apa itu, Pak?” tanya Sabila kepada seseorang yang ada di sana.“Ada maling cilik,” jawab orang itu sambil berlalu.Jantung Sabila semakin berdebar kencang.“Gila tuh bocah, kecil-kecil udah mau jadi maling!”“Mana bulan puasa lagi!”“Kasihan juga sih, dia cuma maling martabak kok. Mungkin dia lapar."
Martabak SetanPart 27 : Pertempuran SengitPagi ini, Devin dan Zilga sudah bersiap untuk turun gunung. Kakek Dharma akan turut serta bersama keduanya. Pukul 09.15, mereka memulai perjalanan yang cukup ekstrem karena kini jalanan terlihat menurun. Walau ketiganya sedang berpuasa, tapi tetap bersemangat dan kuat, demi satu tujuan yaitu menumpas kejahatan Nenek setan yang sudah banyak menghilangkan nyawa warga di Kampung Banjar.Beberapa kali mereka berhenti untuk beristirahat, namun harus tetap menahan dahaga juga lapar di tengah teriknya sinar sang surya. Keringat bercucuran membasahi dahi juga pakaian, tapi tak menyurutkan semangat untuk tetap melanjutkan perjalanan untuk turun ke bawah sana. Saat sudah sampai di bawah pun perjalanan belum finish, mereka harus menyambung perjalanan dengan motor lagi.Pukul 15.30, mereka tiba juga d