Share

Bab 8

Di Villa Winston, pagi menjelang siang.

Marvin turun dari Audi-nya.

Tidak lama, Gennifer berlarian dan menghambur keluar rumah. “Suamiku, apa benar kau yang sudah mengirimkan Bunga Gloriest ini?” tanyanya dengan wajah berbinar. Tangan Gennifer masih menenteng rangkaian bunga seharga lima ratus ribu dollar ini.

Karena kehadiran Bunga Gloriest cukup mencengangkan, Derick dan Russel rela belum berangkat bekerja hanya untuk memastikan bahwa bunga itu bukan dikirimkan oleh Marvin.

Bahkan, putra nomor dua dari Derick Winston, atau adik dari Russel Winston, bernama Axel Winston, keluar dari asrama kampusnya lalu pulang ke rumah. Saking kagetnya. Axel merupakan mahasiswa S3 sains yang sangat cerdas, sekaligus seorang asisten dosen di Univeritas Gloriston, jauh lebih cerdas dan bijak daripada Russel.

Satu-satunya orang yang masih respect terhadap Gennifer ya hanya Axel saja. Dia mendekati Marvin dan bertanya, “Adik ipar, apa kabarmu?” Axel lebih tua satu tahun dari Marvin, tetap memanggilnya adik. Dia memeluk Marvin cukup erat.

“Kabarku baik. Semoga kau selalu sehat selalu, Kakak ipar!” Marvin tersenyum akrab. “Seharusnya kau sedang studi.”

“Ada dua hal penting. Marvin dan Bunga Gloriest. Dua kejutan yang memaksaku minggat dari asrama. Aku relakan satu hari hanya untuk iparku yang jenius!”

Axel terlepas dari provokasi Russel karena Axel sangat jarang pulang ke rumah. Semenjak lepas SMA, dia sangat betah hidup mandiri dan fokus belajar. Jika pulang, pada saat ada perkara penting dan libur tahunan.

Axel menatapnya lekat-lekat. “Marvin, disertasiku tentang Glorisium. Apa kau berkenan menjadi dosen pribadiku?”

Mendengar pertanyaan itu, Marvin tersenyum sangat lebar. “Aku hanya menemukannya, Axel. Silakan kau temui para ahli di Universitas Gloriston. Banyak profesor di sana yang jauh lebih paham dariku,” ucap Marvin berusaha merendah.

Jika ingin benar-benar paham, alangkah baiknya belajar langsung dari sang penemu. Seperti itulah yang ada di dalam kepala Axel. Salah satu alasan kenapa dia sangat senang menjadikan Marvin sebagai iparnya adalah karena kecerdasan dan rendah hati.

Axel termasuk salah satu orang yang menolak tuduhan yang diberikan kepada Marvin. Dia termasuk orang terdepan yang menginginkan agar Marvin terlepas dari tuduhan tersebut, namun Axel tak punya kuasa banyak. Dia pasrah atas penderitaan iparnya.

Ketika tahu bahwa Marvin bebas bersyarat dan terbukti tidak bersalah, Axel begitu riang menyambutnya. “Kau terlalu baik jika dituduh sebagai teroris, Marvin. Semoga orang yang memberikan fitnah kepadamu mendapatkan hukuman setimpal nantinya.” Axel lalu memperbaiki kacamata minus duanya.

Gennifer sumringah. “Sayang, terima kasih atas bunganya.”

Marvin merangkul istrinya dan berkata, “Spesial untukmu, Gennifer.”

Gennifer tersipu malu, namun hatinya berbunga-bunga.

Di beranda tak jauh dari pilar-pilar setinggi sepuluh meter, Russel Winston berkacak pinggang sambil membusungkan dada. “Sepertinya ada orang yang telah salah kirim paket pagi ini. Keluarga Winston tidak menerima paket apapun. Gennifer, singkirkan bunga itu! Di sana tidak tertera nama pengirimnya.”

Sebuah alasan yang masih masuk akal. Apa mungkin kurir lupa menyertakan sebuah nama di kertas? Atau bagaimana?

Marvin tetap santai dan tidak ada kecemasan di wajahnya. Tidak perlu khawatir karena memang dia sendiri yang memesan bunga tersebut.

Russel menuruni tangga dan berkata keras, “Marvin, kau jangan mengaku-ngaku telah mengirimkan bunga itu untuk adikku! Jika sekarang aku memintamu untuk membelikannya bunga seharga seratus dollar pun belum tentu kau bisa.” Russel tersenyum penuh remeh. Ada sunggingan halus di sudut bibirnya.

Dia segera menyuruh Axel untuk tidak ikut campur. “Axel, wahai adikku si kutu buku, aku akui kau hapal di luar kepala sistem perodik unsur, bahkan kau tahu persis partikel jenis terbaru, semua seluk beluknya. Tapi, kau tidak paham tentang Bunga Gloriest.”

Bicara apa Russel barusan? Hebatnya, Axel bahkan paham spesifikasi Bunga Gloriest, seperti divisi, kelas, ordo, famili, genus, dan spesies. Tapi, corong di wajah Axel tidak selebar kakaknya yang hobi berkoar penuh akan kesombongan.

Marvin memasukkan tangannya ke saku celana dan berkata dingin, “Untuk apa aku berbohong? Sekarang, silakan kau panggil temanmu bernama Raymond Putra Harvard! Aku harap dia sudah gosok gigi dan kumur-kumur sebelum menjilat telapak sepatuku.”

Tiba-tiba Russel tercekat, seakan ada yang mencekik lehernya begitu mendengar omongan Marvin barusan. “Jaga mulut kotormu, wahai mantan napi! Apa kau tahu Raymond adalah anak orang terkaya di Chemisland? Sangat tidak pantas kau bicara seperti itu.”

“Kau terlalu terpukau dengan harta milik Keluarga Harvard, Russel saudara iparku! Jika kau ingin selamat dari posisi manager umum milikmu, sebaiknya kau berhenti berteman dengan Raymond!” ancam Marvin sembari terus berjalan santai.

Saat ini, Russel berhadap-hadapan dengan Marvin. Semakin lama, dia semakin muak atas kehadiran Marvin. Dia harus mencari cara dan jalan lain secepatnya jika ingin keluarga dan bisnisnya tetap aman.

Axel berjalan di tengah-tengah mereka. “Marvin, sudahlah, ayo kita masuk. Banyak hal yang ingin aku bicarakan padamu.”

Marvin melirik tajam ke wajah Russel, sejurus kemudian dia memutar badannya dan berkata tanpa melihat, “Sebaiknya kau segera berangkat kerja, Russel. Bukankah kau sudah tahu bahwa akan ada ratusan mobil yang membawa minyak mentah hari ini?”

“Kau sudah gila, Marvin!” Russel sangat kaget, matanya membulat sempurna. Saat itu juga dia langsung menelepon sekretaris kantor. “Apa kau bercanda?” Wajahnya sangat heran. Beberapa saat kemudian dia berkata lagi, “Siang aku akan segera berangkat ke kantor.” Lalu Russel terduduk lemas di kursi jati di beranda sembari memandangi rerumputan luas di depan sana.

‘Apa mungkin khayalan yang dikatakan ipar memalukan itu terbukti benar?’ batinnya. Bukannya bahagia mendengar berita baik tersebut, Russel malah ketar-ketir.

Via chat, dia menanyakan kepada Raymond, kira-kira apakah Harvard Corp telah mengirimkan minyak mentah senilai satu milyar dollar. Dalam pesan tersebut Raymond mengatakan belum melakukan pengiriman.

Russel semakin dihantui ketakutan. ‘Siapa yang mengirimkan minyak mentah yang begitu banyak untuk waktu satu bulan ke depan?’

Ketika teringat dengan taruhan dari Marvin, dia langsung menggeleng cepat, menolak kebenaran omongan Marvin.

Tidak pernah terbersit di dalam kepala Russel bahwa ipar menyedihkan itu bisa mengirimkan minyak mentah dalam waktu kurang dari satu hari. Sangat mustahil.

“Apa kuasa si mantan napi untuk bisa membantu Winsoil? Marvin hanya pecundang yang pintar bicara!” gumamnya sendiri.

Untuk memastikan kebenaran berita tersebut, Russel langsung menuju kilang minyak Winsoil di wilayah paling timur kota Gloriston, pas di pinggir laut. Siang menjelang sore, dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan ratusan mobil tangki minyak 10.000 liter secara antre masuk ke gerbang kilang.

Di kantor, dia menanyakannya kepada jejeran direksi dan management. Parah memang Russel, bagaimana mungkin selaku manager umum tidak tahu berita ini?

Salah seorang direksi berkata, “Semalam, ada seseorang yang menelepon saya. Katanya, dari The Oxy. Mereka lah yang mengirimkannya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status