Setelah acara stand-up comedy selesai, MC mengumumkan sesi berikutnya: karaoke bareng dosen dan mahasiswa. Semua langsung sorak-sorai, sementara Rani udah mulai deg-degan lagi.
“Eh, lo harus ikut, Ran!” seru Cinta dengan mata berbinar. “Nggak, gue udah cukup malu di panggung tadi!” jawab Rani sambil mundur pelan-pelan. Tapi tentu aja, temen-temennya nggak bakal ngelepas dia semudah itu. “Kalo lo nggak mau nyanyi, lo bakal gue angkat ke panggung!” ancam Dika sambil ketawa. Belum sempet Rani kabur, MC tiba-tiba ngumumin, “Kita punya peserta selanjutnya, kolaborasi spesial: Rani dan... Pak Ardi!” “APA?!” Rani hampir jatuh dari kursinya. Dia noleh ke arah MC yang lagi nyengir lebar, sementara Cinta sama Dika tepuk tangan kayak orang gila. “Yaelah, Ran. Kapan lagi duet bareng dosen idola kampus?” bisik Dika sambil nyengir licik. Pak Ardi, yang baru aja balik ke kursinya setelah ngambil minum, cuma bisa melongo. “Gue kapan daftar duet sama Rani?” MC cuma nyengir dari panggung. “Udah, Pak. Jangan malu-malu. Sekali-sekali bikin suasana lebih asik!” Akhirnya, mau nggak mau, Rani dan Pak Ardi naik ke panggung. Rani hampir nangis, sementara Pak Ardi cuma senyum santai. “Santai aja, Rani. Anggap ini latihan vokal gratis,” katanya. Lagu yang dipilih? “Ada Apa dengan Cinta.” Penonton langsung heboh. Cinta udah ngeluarin ponselnya buat merekam, sementara Rina sibuk bisik-bisik sama geng rumpinya. Di tengah lagu, Pak Ardi mulai nyanyi duluan. Suaranya ternyata cukup bagus, bikin cewek-cewek di bawah panggung langsung histeris. Pas giliran Rani nyanyi, dia cuma bisa melotot ke layar sambil berusaha nggak salah lirik. Tapi, saking gugupnya, suaranya malah kayak orang kehabisan napas. “Cinta... kamu di mana...” Suaranya fals, tapi justru bikin semua orang ketawa. Bahkan Pak Ardi sampai berhenti nyanyi sebentar karena ketawa nggak tahan. “Pak, lo jangan ketawa dong! Malu gue!” Rani nyaris nangis, tapi tetep lanjutin nyanyi dengan ekspresi putus asa. Pas lagu selesai, semua orang tepuk tangan heboh. Rani buru-buru turun dari panggung, sementara Pak Ardi masih sempet bilang, “Gue kasih 8/10 buat penampilan lo, Ran. Fals-nya itu yang bikin unik.” “Pak, plis. Jangan diungkit lagi,” jawab Rani sambil nutup muka. --- Di sudut aula, Rina dan geng rumpinya udah mulai ngerancang gosip baru. “Eh, kalian liat nggak? Chemistry mereka berdua tuh nyata banget!” “Iya, bener banget! Pak Ardi bahkan kasih skor buat Rani, loh. Itu pasti kode!” Gosip itu langsung menyebar kayak api di musim kemarau. Dalam waktu setengah jam, hampir semua orang di acara udah bisik-bisik soal “Rani dan Pak Ardi.” --- Pas acara selesai, Rani lagi duduk di bangku taman sambil mencoba mencerna semuanya. Pak Ardi tiba-tiba muncul sambil bawa dua botol air mineral. “Lo nggak pulang?” tanyanya sambil nyodorin air ke Rani. “Masih pengen ngilang dulu, Pak. Malu banget,” jawab Rani sambil nerima botol itu. Pak Ardi ketawa kecil. “Lo nggak perlu malu, Ran. Justru, penampilan lo tadi bikin malam ini lebih seru.” Rani cuma bisa nyengir kecil. “Tapi gosipnya udah mulai, Pak. Gue yakin besok gue bakal jadi headline di grup kampus.” “Biarkan aja. Orang-orang suka ngarang cerita sendiri. Yang penting, lo tahu mana yang bener dan mana yang cuma lelucon.” Rani ngangguk pelan, meskipun di dalam hatinya masih bingung. “Pak, gue serius, deh. Lo bener-bener bikin hidup gue makin ribet akhir-akhir ini.” Pak Ardi cuma nyengir. “Kadang ribet itu bagian dari pengalaman hidup yang seru. Enjoy aja.” Rani cuma bisa ngelus dada. Di satu sisi, dia ngerasa hidupnya jadi kayak telenovela. Di sisi lain, ada perasaan aneh yang nggak dia bisa jelasin tiap kali dia ngobrol sama dosen muda itu. Sementara itu, di sudut aula, Cinta dan Dika lagi sibuk upload video duet Rani dan Pak Ardi ke grup kampus. “Besok pagi, ini pasti viral!” ujar Cinta sambil ngakak. Rani? Dia cuma bisa pasrah.Malam itu, Rani duduk di meja belajarnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Pak Ardi. Tapi dia tidak merasa ingin membalasnya. Rasanya, hati Rani sedang dipenuhi kebingungan dan kecemasan yang begitu besar, hingga membuatnya tak mampu mengumpulkan kekuatan untuk sekadar mengetik beberapa kata.Di layar ponselnya, pesan Pak Ardi itu tersisa tidak terbaca:"Rani, gimana skripsinya? Kalau ada yang mau dibahas, langsung hubungi saya aja, ya. Jangan sungkan."Tapi Rani tidak membalas. Tidak ada energi untuk itu. Sebab, ada satu masalah besar yang membuat semua perhatiannya teralihkan dari skripsi ke kosan.Pagi tadi, dia baru saja menerima pesan dari pemilik kosan yang memberi tahu kalau dia belum melunasi pembayaran sewa bulan ini. Uang yang harus dia bayar untuk bulan ini lebih dari yang dia perkirakan. Kosan kecilnya di pinggir kota itu memang murah, tapi sekarang setelah beberapa bulan ini uang yang dia punya benar-benar menipis.
Seminggu berlalu sejak bimbingan terakhir di rumah Pak Ardi. Hidup Rani terasa jauh lebih teratur dari biasanya. Revisi skripsinya berjalan lancar, tugas-tugas kuliah lain sudah selesai, dan dia bahkan berhasil tidur cukup tanpa begadang nonton drama Korea. Untuk pertama kalinya, Rani merasa seperti mahasiswi ideal yang punya hidup terencana.Setiap pagi, dia bangun tepat waktu, berangkat ke kampus tanpa terlambat, dan menyempatkan sarapan di kantin bersama Cinta dan Dika.“Hidup lo kenapa rapi banget belakangan ini? Lagi ikut retret, nih?” goda Cinta sambil menyuap nasi goreng.“Lagi tenang aja, Cin,” jawab Rani sambil tersenyum santai. “Nggak ada tugas numpuk, nggak ada drama… rasanya kayak hidup baru.”“Tumben nggak ada yang ngeluh soal skripsi,” komentar Dika sambil memutar gelas tehnya.Rani mengangguk mantap. “Soalnya progress-nya lancar, Di. Pak Ardi bantu banget, ternyata dia nggak se-ngeselin yang gue pikir sebelumnya.”
Keesokan harinya, Rani kembali ke kampus dengan perasaan campur aduk. Pengalaman bimbingan di rumah Pak Ardi kemarin masih membekas di pikirannya. Tapi dia berusaha keras untuk fokus. Skripsinya masih jauh dari selesai, dan dia nggak mau bikin masalah lagi dengan dosen pembimbingnya itu.Saat jam makan siang, dia berjalan menuju ruang dosen dengan naskah revisi di tangannya. Namun, begitu tiba di depan pintu, dia malah berhenti dan menarik napas panjang.“Udah sampai sini, masa balik lagi? Jangan bego, Ran,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah mengetuk pintu, suara tegas Pak Ardi terdengar. “Masuk.”Rani membuka pintu dengan hati-hati. Pak Ardi sedang duduk di meja kerjanya, mengenakan kemeja biru muda yang digulung sampai siku. Matanya langsung tertuju ke arah Rani.“Rani, duduk. Ada yang mau didiskusikan?” tanyanya dengan nada santai.Rani mengangguk pelan dan menyerahkan dokumen revisinya. “Ini, Pak, revisi yang Bapak minta ke
Hari itu, suasana kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Tapi buat Rani, dunia sedang terasa seperti film slow-motion. Ada rasa campur aduk yang sulit dijelaskan. Bukan karena skripsinya, tapi karena dia baru saja mendapat pesan dari Pak Ardi:> "Rani, hari ini kita lanjutkan bimbingan di rumah saya. Anak saya sedang kurang enak badan, jadi saya nggak bisa tinggal lama di kampus."Mata Rani langsung membelalak saat membaca pesan itu. Bimbingan… di rumah Pak Ardi?! Ini pertama kalinya dia diminta datang ke rumah dosennya. Meskipun konteksnya profesional, tapi tetap saja, rasanya bikin deg-degan.Cinta, yang duduk di sebelahnya, langsung heboh saat Rani menceritakan rencana itu.“Lo serius? Bimbingan di rumah Pak Ardi? Ran, ini kesempatan emas buat lo. Jangan lupa observasi detail rumahnya. Gue pengen tahu semuanya. Warna sofa, jenis lampu, bahkan koleksi majalahnya!”“Cii, gue bimbingan, bukan jadi agen rahasia!” balas Rani sambil mengusap wa
Setelah kejadian di ruangan Pak Ardi, Rani merasa dia harus melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya. Dia nggak mau terlihat seperti mahasiswi ceroboh yang cuma bisa bikin masalah. Maka, dia memutuskan untuk mengambil langkah besar: bantuin Pak Ardi mengurus dokumen-dokumen di ruangannya.Rani sengaja datang lebih awal ke kampus keesokan harinya. Dia membawa sekantong kecil kue yang dia beli di perjalanan—niatnya buat mencairkan suasana. Saat sampai di ruangan Pak Ardi, dia mengetuk pintu dengan hati-hati.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Rani membuka pintu pelan. Pak Ardi tampak sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Saat melihat Rani, dia sedikit mengangkat alis. “Ada apa, Rani?”“E-eh, ini, Pak. Saya cuma mau bantu beresin dokumen. Dan ini, saya bawa kue buat Bapak…” Rani meletakkan kantong kue di meja dengan sedikit gugup.Pak Ardi menatap kantong itu sebentar sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih, Rani. Tapi kamu nggak perlu repot-repot.”“Nggak apa-apa
Keesokan harinya, gosip di kampus belum mereda. Bahkan, ada tambahan bumbu baru: “Pak Ardi dan Rani terlihat mesra di perpustakaan.” Itu semua berkat ulah Rina, yang entah bagaimana selalu tahu segala kejadian di kampus dan menyebarkannya lebih cepat dari media sosial.Di kelas pagi itu, Rani datang dengan wajah kusut. Dia langsung duduk di pojokan, mencoba nggak menarik perhatian. Tapi tentu aja, keberadaan Cinta dan Dika bikin rencana itu gagal total.“Ran, gue nggak ngerti kenapa lo nggak sekalian aja bikin vlog hubungan lo sama Pak Ardi. Pasti views-nya tembus satu juta!” celetuk Dika sambil nyengir lebar.Rani menatapnya tajam. “Dik, kalau lo ngomong kayak gitu lagi, gue sumpahin lo nggak lulus semester ini!”Cinta, yang duduk di sebelahnya, ikut nimbrung. “Tapi serius, Ran. Gue kemarin denger dari anak jurusan lain, mereka bener-bener percaya kalau lo dan Pak Ardi punya hubungan spesial. Gue sih nggak nyalahin mereka. Chemistry kalian tuh—”“CI!” potong Rani dengan suara setenga