Malam makin larut, tapi suasana Kampus Night makin rame. Salah satu acara yang paling ditunggu-tunggu adalah lomba stand-up comedy antar jurusan. Semua orang udah ngumpul di aula, termasuk Rani, Cinta, Pak Ardi, dan tentu aja geng rumpi yang selalu bikin heboh.
“Lo daftar lomba itu, nggak, Ran?” tanya Cinta sambil ngunyah cotton candy. “Ngapain gue daftar? Gue mana bisa ngomong depan orang banyak!” Rani menjawab sambil geleng-geleng kepala. Cinta langsung ngakak. “Justru itu lucu, Ran! Kalo lo cuma diem aja di panggung, orang pasti ketawa karena awkward-nya lo.” “Lo nggak bantu, Cin,” jawab Rani sambil melotot. Di depan aula, MC mulai manggil peserta satu per satu. Beberapa komika udah berhasil bikin semua orang ketawa, termasuk Pak Ardi yang duduk santai di barisan belakang sambil ngemil. Tapi suasana berubah pas nama Rani tiba-tiba disebut sebagai salah satu peserta. “EHH?! Itu salah, ya?” Rani langsung panik. Cinta pura-pura nggak tahu apa-apa, padahal jelas dia yang udah iseng masukin nama Rani ke daftar peserta. “Yaelah, Ran, santai aja. Itu panggung kecil, kok.” “TAPI GUE NGGAK PUNYA MATERI!” Rani nyaris meledak, tapi Cinta malah ketawa makin kencang. “Udah, lo ngomong aja apa yang lo rasain sekarang. Misalnya, soal dosen muda yang suka sok asik,” bisik Dika sambil nyengir, nambah bahan bakar kekacauan. Akhirnya, Rani nggak punya pilihan lain. Dengan langkah gontai dan muka pucat, dia naik ke panggung. Semua orang mulai sorak-sorai, termasuk Pak Ardi yang kelihatan bingung, tapi tetep semangat nyemangatin dari jauh. “Ehem... Halo, semuanya,” Rani membuka dengan suara kecil. “KERASAN DIKIT, RAN!” teriak Cinta dari belakang, bikin semua orang ketawa. Rani tarik napas panjang dan mulai bicara. “Jadi... gue nggak ngerti kenapa gue bisa di sini. Kayaknya ini rencana jahat temen gue buat bikin gue jadi bahan meme di kampus.” Semua orang ketawa, termasuk Pak Ardi yang mulai menyadari kalau Rani sebenarnya punya sisi humor yang nggak dia duga. “Sebenernya gue cuma anak jurusan Sastra yang pengen hidup tenang, tapi selalu aja ada kejadian absurd. Contohnya, tadi siang gue belajar puisi sama dosen muda yang, maaf nih, rada sok puitis tapi senyumnya kayak iklan pasta gigi.” Semua mahasiswa langsung meledak ketawa, sementara Pak Ardi yang sadar dia lagi disindir cuma bisa geleng-geleng sambil senyum. Cinta hampir jatuh dari kursi saking ngakaknya, sementara Dika udah siap merekam semuanya. Rani, yang mulai dapet momentum, lanjut ngomong. “Dan tahu nggak? Dia ngajarin puisi sambil bilang, ‘Rani, lo punya potensi besar.’ Gue yakin itu kode buat gue belajar lebih keras, tapi di kepala gue cuma ada, ‘Potensi buat gagal, kali!’” Ketawa makin keras, dan Rani yang tadinya gugup mulai rileks. Dia ngelanjutin materi tentang kegagalan tugas kelompok, temen-temen yang suka iseng, dan bahkan dosen lain yang suka kasih tugas absurd. Penampilannya jadi salah satu yang paling berkesan malam itu, meskipun jelas banget kalau dia nggak niat ikut dari awal. Setelah turun dari panggung, Rani langsung disambut sama tepuk tangan dari temen-temennya. Cinta meluk dia sambil ngakak. “GILA, LO KEREN BANGET, RAN! Gue nggak nyangka lo bisa sekocak itu!” “Gue nggak tahu harus seneng atau malu,” Rani ngomong sambil nutup muka. Tapi yang bikin dia makin salah tingkah adalah saat Pak Ardi nyamperin sambil bawa dua cup es krim. “Rani, gue nggak tahu kalau lo punya bakat jadi komika. Lo bener-bener bikin gue ketawa.” Rani cuma bisa bengong sambil nerima es krim itu. “Makasih, Pak... Tapi gue nggak bakal ngulangin lagi, sih.” Pak Ardi cuma senyum. “Sayang banget kalau lo nggak. Lo bisa bikin orang lain ketawa, dan itu hal yang nggak gampang.” Di tengah obrolan itu, tiba-tiba Rina nyamperin sambil teriak, “Wah, wah, wah! Berdua lagi, nih! Jadi gosip ini bener, ya?” Semua orang yang denger langsung noleh ke arah mereka, dan Rani cuma bisa melotot ke Rina. “Rina! Ini nggak kayak yang lo pikirin!” Tapi Rina udah keburu lari sambil ngakak, dan suasana aula jadi makin heboh. Cinta cuma nyengir puas sambil ngeledek, “Wah, Ran. Lo bener-bener bintang malam ini.” Rani cuma bisa pasrah. "Udah, gue butuh liburan panjang."Malam itu, Rani duduk di meja belajarnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Pak Ardi. Tapi dia tidak merasa ingin membalasnya. Rasanya, hati Rani sedang dipenuhi kebingungan dan kecemasan yang begitu besar, hingga membuatnya tak mampu mengumpulkan kekuatan untuk sekadar mengetik beberapa kata.Di layar ponselnya, pesan Pak Ardi itu tersisa tidak terbaca:"Rani, gimana skripsinya? Kalau ada yang mau dibahas, langsung hubungi saya aja, ya. Jangan sungkan."Tapi Rani tidak membalas. Tidak ada energi untuk itu. Sebab, ada satu masalah besar yang membuat semua perhatiannya teralihkan dari skripsi ke kosan.Pagi tadi, dia baru saja menerima pesan dari pemilik kosan yang memberi tahu kalau dia belum melunasi pembayaran sewa bulan ini. Uang yang harus dia bayar untuk bulan ini lebih dari yang dia perkirakan. Kosan kecilnya di pinggir kota itu memang murah, tapi sekarang setelah beberapa bulan ini uang yang dia punya benar-benar menipis.
Seminggu berlalu sejak bimbingan terakhir di rumah Pak Ardi. Hidup Rani terasa jauh lebih teratur dari biasanya. Revisi skripsinya berjalan lancar, tugas-tugas kuliah lain sudah selesai, dan dia bahkan berhasil tidur cukup tanpa begadang nonton drama Korea. Untuk pertama kalinya, Rani merasa seperti mahasiswi ideal yang punya hidup terencana.Setiap pagi, dia bangun tepat waktu, berangkat ke kampus tanpa terlambat, dan menyempatkan sarapan di kantin bersama Cinta dan Dika.“Hidup lo kenapa rapi banget belakangan ini? Lagi ikut retret, nih?” goda Cinta sambil menyuap nasi goreng.“Lagi tenang aja, Cin,” jawab Rani sambil tersenyum santai. “Nggak ada tugas numpuk, nggak ada drama… rasanya kayak hidup baru.”“Tumben nggak ada yang ngeluh soal skripsi,” komentar Dika sambil memutar gelas tehnya.Rani mengangguk mantap. “Soalnya progress-nya lancar, Di. Pak Ardi bantu banget, ternyata dia nggak se-ngeselin yang gue pikir sebelumnya.”
Keesokan harinya, Rani kembali ke kampus dengan perasaan campur aduk. Pengalaman bimbingan di rumah Pak Ardi kemarin masih membekas di pikirannya. Tapi dia berusaha keras untuk fokus. Skripsinya masih jauh dari selesai, dan dia nggak mau bikin masalah lagi dengan dosen pembimbingnya itu.Saat jam makan siang, dia berjalan menuju ruang dosen dengan naskah revisi di tangannya. Namun, begitu tiba di depan pintu, dia malah berhenti dan menarik napas panjang.“Udah sampai sini, masa balik lagi? Jangan bego, Ran,” gumamnya pada diri sendiri.Setelah mengetuk pintu, suara tegas Pak Ardi terdengar. “Masuk.”Rani membuka pintu dengan hati-hati. Pak Ardi sedang duduk di meja kerjanya, mengenakan kemeja biru muda yang digulung sampai siku. Matanya langsung tertuju ke arah Rani.“Rani, duduk. Ada yang mau didiskusikan?” tanyanya dengan nada santai.Rani mengangguk pelan dan menyerahkan dokumen revisinya. “Ini, Pak, revisi yang Bapak minta ke
Hari itu, suasana kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Tapi buat Rani, dunia sedang terasa seperti film slow-motion. Ada rasa campur aduk yang sulit dijelaskan. Bukan karena skripsinya, tapi karena dia baru saja mendapat pesan dari Pak Ardi:> "Rani, hari ini kita lanjutkan bimbingan di rumah saya. Anak saya sedang kurang enak badan, jadi saya nggak bisa tinggal lama di kampus."Mata Rani langsung membelalak saat membaca pesan itu. Bimbingan… di rumah Pak Ardi?! Ini pertama kalinya dia diminta datang ke rumah dosennya. Meskipun konteksnya profesional, tapi tetap saja, rasanya bikin deg-degan.Cinta, yang duduk di sebelahnya, langsung heboh saat Rani menceritakan rencana itu.“Lo serius? Bimbingan di rumah Pak Ardi? Ran, ini kesempatan emas buat lo. Jangan lupa observasi detail rumahnya. Gue pengen tahu semuanya. Warna sofa, jenis lampu, bahkan koleksi majalahnya!”“Cii, gue bimbingan, bukan jadi agen rahasia!” balas Rani sambil mengusap wa
Setelah kejadian di ruangan Pak Ardi, Rani merasa dia harus melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya. Dia nggak mau terlihat seperti mahasiswi ceroboh yang cuma bisa bikin masalah. Maka, dia memutuskan untuk mengambil langkah besar: bantuin Pak Ardi mengurus dokumen-dokumen di ruangannya.Rani sengaja datang lebih awal ke kampus keesokan harinya. Dia membawa sekantong kecil kue yang dia beli di perjalanan—niatnya buat mencairkan suasana. Saat sampai di ruangan Pak Ardi, dia mengetuk pintu dengan hati-hati.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Rani membuka pintu pelan. Pak Ardi tampak sibuk dengan tumpukan berkas di meja. Saat melihat Rani, dia sedikit mengangkat alis. “Ada apa, Rani?”“E-eh, ini, Pak. Saya cuma mau bantu beresin dokumen. Dan ini, saya bawa kue buat Bapak…” Rani meletakkan kantong kue di meja dengan sedikit gugup.Pak Ardi menatap kantong itu sebentar sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Terima kasih, Rani. Tapi kamu nggak perlu repot-repot.”“Nggak apa-apa
Keesokan harinya, gosip di kampus belum mereda. Bahkan, ada tambahan bumbu baru: “Pak Ardi dan Rani terlihat mesra di perpustakaan.” Itu semua berkat ulah Rina, yang entah bagaimana selalu tahu segala kejadian di kampus dan menyebarkannya lebih cepat dari media sosial.Di kelas pagi itu, Rani datang dengan wajah kusut. Dia langsung duduk di pojokan, mencoba nggak menarik perhatian. Tapi tentu aja, keberadaan Cinta dan Dika bikin rencana itu gagal total.“Ran, gue nggak ngerti kenapa lo nggak sekalian aja bikin vlog hubungan lo sama Pak Ardi. Pasti views-nya tembus satu juta!” celetuk Dika sambil nyengir lebar.Rani menatapnya tajam. “Dik, kalau lo ngomong kayak gitu lagi, gue sumpahin lo nggak lulus semester ini!”Cinta, yang duduk di sebelahnya, ikut nimbrung. “Tapi serius, Ran. Gue kemarin denger dari anak jurusan lain, mereka bener-bener percaya kalau lo dan Pak Ardi punya hubungan spesial. Gue sih nggak nyalahin mereka. Chemistry kalian tuh—”“CI!” potong Rani dengan suara setenga