**
"Apa? Menikah dengan duda...beranak empat?" tanyaku hampir loncat karena kaget. "Gak salah, Mak?""Kayaknya nggak, tuh, Rosi. Daripada calon satu lagi kakek berusia enam puluh dua. Mau?" Emak balik nanya.
Bahuku terkulai lemas. Ya, Tuhan! Kenapa pilihannya dua-duanya bikin sakit kepala? Migren kambuh bahkan bengek juga. Ngik...ngik..berbunyii.
"Adik-adikmu sudah kebelet kawin, Rosi. Emak nyuruh mereka nunggu sampai kamu, kakaknya, kawin duluan," kilah Emak. "Kalau kamu dilangkahi dua adikmu itu, apa kata tetangga? Apa kata dunia?"
Aku terpekur sendiri mendengar omongan Emak. Terbayang wajah seorang lelaki, bertampang lusuh dikeroyok.empat anak. Satu naik ke punggung, satu lagi gelantungan di tangan, Dua anak masing-masing duduk di kaki kiri dan kanan. Hii .
Apa aku siap jadi ibu sambung empat anak? Bagaimana kalau anak-anak itu nakal, susah diatur? Apa aku nanti bakal kurus?
Alasan terakhir boleh juga. Latihan kurus ngurus empat kurcaci. Badanku ini mulai semok karena makmur tanpa beban....
"Bagaimana, Rosi?" tanya emak lagi.
"Rosi pikir-pikir dulu, Mak. Cari wangsit dulu. Eh, minta petunjuk Allah dulu."
"Boleh. Tapi jangan lama-lama. Dari musim duren hingga musim rambutan...nggak jadi-jadi."
"Iyee, Mak!"
Timur ke barat, selatan ke Utara
Tak juga aku berjumpa Dari musim duren hingga musim rambutanTak kunjung aku dapatkanTak juga aku temukan...
............Adikku bernyanyi keras, meledek dengan lagunya 'cari jodoh', bikin hatiku semakin bergemuruh.
Kusambit dia dengan sendal. Risa,--adikku--malah ketawa ngakak.
"Karier terus sih, Mbak. Sekolah S-3, lupa jodoh, lupa umur," ledek adik satu lagi, Rasya. "Mau sampai S apa? S teler?"
Risa terkekeh mendengar ledekan Rasya padaku.
Dua adik itulah yang memang sudah kebelet pengen nikah. Jodoh mereka sudah ada.
Dan ...aku?
Sebetulnya aku sudah pasrah kalau mereka nikah duluan. Hanya emak tidak mengizinkan. Katanya pamali, adik melangkahi kakak. Nanti kakaknya bakal kena tulah, nggak laku-laku.
Duuh..kasihan banget aku, ya. Sampai emak sibuk nyariin jodoh buat aku. Nah, dapatlah dua kandidat, yaitu duda beranak empat, instan mau nikah, selain duda peot usia 62 tahun.
Sekarang aku harus berpikir cepat, mengambil keputusan, sebelum emak ngomel panjang kali lebar kali tinggi.
**
Ting..tong..Ting..tong..!
Bunyi bel pintu berkali-kali.
Aku yang baru pulang kerja, baru saja duduk rehat, terpaksa berdiri lagi. Karena posisiku paling dekat ke pintu.
"Siapa sih tamu ini, nggak sabaran banget! Awas, kalau sales yang nawarin kredit!" gerutuku, sambil membuka pintu.
"Hei, tidak terima kre,---"Teriakanku terhenti, melihat orang yang berdiri di depan pintu. Kaget. Takjub. Mataku menelisik dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Tubuhnya tinggi. Hingga aku agak mendongak melihat ujung rambutnya.
Wajahnya menyunggingkam seulas senyum sangat..sangat manis. Kulit wajahnya bersih dengan pipi berlesung.
"Maaf, ini rumahnya Bu Rosana?" tanyanya ramah.
"I-iya," sahutku agak tergagap, masih tersepona..eh, terpesona.
Bagaimana tidak bengong, makhluk itu sungguh memesona. Pria gagah seperti di serial drakor, dengan kulit bersih.
"Bu Rosananya, ada?" tanyanya lagi masih dengan senyum.
"A-ada." Aku masih tergagap. "Tunggu dulu."
Aku meninggalkannya begitu saja di depan pintu. Bergegas mencari emak.
"Emak..." Aku segera menghampiri emak yang sedang ada di dapur.
"Ada apa, Rosi?"
"Ada tamu, tuh."
"Siapa?"
"Nggak tahu, Mak. Lelaki. Ganteng bingit. Itu di depan."
Emak akhirnya beranjak dari dapur, berjalan ke arah pintu depan. Aku mengikutinya dari belakang.
"Eh, Nak Ridwan, akhirnya bisa datang ke sini," sambut emak ketika sampai di ambang pintu.
"Iya, Mak. Maaf, baru sekarang bisa ke sini. Maklumlah, ada banyak kesibukan," jawab tamu lelaki itu sambil mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan emak.
"Ayo, masuklah dan duduk, Nak Ridwan!" titah emak.
Lelaki bernama Ridwan menurut. Masuk dan duduk di ruang tamu.
"Kamu juga ikut duduk, Rosi!"emak menjawil lenganku.
Aku manut, duduk di sebelah emak, berhadapan dengan tamu itu.
"Rosi, ini Ridwan, yang emak ceritain calon jodohmu."
Mataku membulat tidak percaya. Ridwan? Calon jodoh? Apa dia...duda beranak empat itu?
"Du-duda ...itu?" bisikku pada emak.
"Iya!" emak mengangguk mantap.
Omegod! Aku tidak menyangka duda beranak empat itu, gantengnya seperti Babang Hyun Bin.
"Rosi, sekarang sudah kenal Ridwan. Gimana... kamu setuju Emak jodohin?"
Aku menelan ludah. Dalam hati sebetulnya bersorak, ternyata jodohku itu kualitas super. Akan tetapi, aku gengsi kalau terlihat langsung tertarik.
"Emm..gimana, ya. Rosi pikir dulu, Mak," sergahku pura-pura jual mahal.
"Baik. Jangan terburu-buru, pikirkan dulu baik-baik. Saya kasih waktu seminggu untuk berpikir," tawar Ridwan tiba-tiba. Rupanya dia faham kondisiku yang galon.
Itu justru jadi point plus di mataku. Ternyata dia bukan lelaki yang grasak-grusuk. Mau memberikan tenggat waktu untuk berpikir dulu. Padahal...kalau dipikir-pikir, mau sekarang atau nanti, jawaban di hati tetap sama...iyess!
Keadaan calon jodohku itu, sungguh di luar dugaan.
***
"Mbak...Mbak, mau dong di jodohin Babang ganteng itu," rengek Risa. "Biar aku cepat kawin juga. Mas Aldi keburu disambar orang kalau telat nanti!"
"Emang pacarmu itu jemuran, bisa disambar orang, kayak maling?" gerutuku dongkol.
"Eh, bukan gitu, Mbak. Mas Aldi udah tiga kali ngajak kawin, katanya didesak ibunya. Sedangkan aku belum bisa kasih keputusan, karena kata emak, jangan melangkahi Mbak," keluh Risa. "Kata emak, pernikahan itu bukan angkot, yang bisa saling mendahului."
Aku hampir tertawa keras mendengar perumpamaan emak. Menikah itu bukan angkot, yang bisa saling mendahului. Ada-ada saja si emak
"Rasya juga udah ditanya sama orang tua Ririn. Kapan mau lamar Ririn, pacaran mulu, kawinin nggak, gitu ngomelnya!" Rasya ikutan ngeluh.
Aku menghela napas. Risa dan Rasya sudah berusia lebih dari cukup untuk menikah. Risa 27 tahun, Rasya 25 tahun. Dan aku? 30 tahun...duuh!
Aku sibuk bekerja sambil kuliah S-3, sampai lupa, umurku kepala tiga. Sudah banyak.
"Iya..iya, nanti Mbak mau nikah.."
Akhirnya jebol juga pertahanan diri. Aku akhirnya mau menikah.
"Horeee!" Risa dan Rasya langsung bersorak.
"Akhirnya, kamu mau juga nikah, Rosi!"Emak menghela napas lega. "Emak segera kabari Ridwan, biar segera melamar."
***
Saat acara lamaran berlangsung, aku melihat empat orang anak di dekat Ridwan. Usianya sekitar lima tahunan. Keempatnya seusia, karena anak itu kembar. Kembar empat. Dua lelaki, dua perempuan. Hanya anehnya wajahnya agak berbeda. Yang dua mirip, yang dua lagi berbeda satu sama lain.
Syukurlah, jadi tidak pusing membedakannya.
Usia Ridwan tidak beda jauh denganku, hanya terpaut dua tahun. Tubuhnya masih segar untuk ukuran lelaki.
Duren...istilah teman-temanku, duda keren.
Ternyata emak pinter cari calon jodoh untukku. Bukan hanya ganteng, dia juga punya perusahaan sendiri. Lebih kerennya dibilang....CEO.
Waduuh, apa ini namanya keberuntungan?
Setelah lamaran dilaksanakan, diputuskan dua minggu lagi menikah. Cepat banget rasanya. Serasa pake kilat khusus, cepat sampai.
.***Saat aku hendak mengambil kartu undangan yang beres di percetakan, motorku dihadang sebuah mobil.
Seorang wanita cantik turun dari pintu belakang sedan mewah itu. Dandanannya glamour, dress selutut dari bahan sutra, memakai highheel tingginya sekitar tujuh centimeter. Memakai kaca mata hitam. Kulit wajahnya licin.
Wanita itu tanpa ragu menghampiri motorku yang berhasil ku rem dadakan.
"Kamu yang namanya, Rosilawati Khumaira?" tanyanya, membuatku heran, karena dia tahu nama lengkapku.
"Ya, aku, Rosi," jawabku dengan pikiran masih bingung.
"Kamu yang akan menikahi Ridwan Ramdani Gunawan?"
Lagi-lagi aku bengong, dia tahu semuanya!
"Iya, ada apa ya?" Aku tak bisa menahan penasaran.
"Aku Joana, ibu si kembar empat!"
Mulutku setengah terbuka. Jadi dialah ibunya si kembar, anaknya Ridwan? Yang berarti dialah mantan istri Ridwan.
"Terus kenapa?" Aku berusaha meredam kaget, balik bertanya.
"Kasihan kamu. Ridwan hanya butuh pengasuh buat empat anaknya, bukan isteri. Perusahaannya juga sudah bangkrut!" ucapnya sinis. "Wanita dengan fisik sederhana sepertimu, bukan yang dicari Ridwan untuk jadi isteri. Dia butuh wanita glamour sepertiku."
Ada keangkuhan dalam ucapannya. Hatiku mencelos. Betulkah yang dicari Ridwan bukan isteri, tapi pengasuh empat anaknya?
"Dan kamu, fisikmu cantik, tapi hatimu kenapa tega meninggalkan empat anakmu dalam asuhan bapaknya? Harusnya sebagai ibu, kamu bawa anakmu bersamamu!" Aku tak mau kalah menyindirnya telak.
"Memang kenapa kalau aku tinggalkan anakku bersama bapaknya? Toh dia bapaknya, bukan orang lain," tukas Joana seraya menyeringai. "Aku capek ngurus mereka. Usiaku masih muda. Masih suka kebebasan. Ada lelaki yang lebih segalanya dari Ridwan Ya, aku pilih dia dong! Hidup itu pilihan, jadi aku pilih gak mau pusing!"
Ucapan wanita itu demikian enteng, seolah hidup itu hanya hiburan semata. Tidak ada tanggung jawab. Tidak ada kewajiban yang harus diemban, padahal dia seorang Ibu.
"Sinting!" sentakku. "Aku mau nikah sama siapa pun, itu urusanku! Pergilah, cari kesenanganmu sendiri. Jangan ribet urusi hidup orang lain!"
"Ya, sudah. Dikasih tahu ngeyel!" ucapnya sambil menggedikkan bahunya. Lalu berbalik dan masuk lagi ke mobilnya.
Aku menghela napas berat. Sekarang aku punya pe-er yang harus segera dituntaskan.
Aku harus tahu lebih banyak tentang Ridwan. Masa lalunya dan sebagainya.
Aku ingin pernikahan ini langgeng, murni dengan niat membentuk keluarga, bukan ada motif atau modus terselubung didalamnya.
Untuk proteksi, sepertinya aku harus membuat perjanjian pra-nikah. Nanti aku pikirkan pasal-pasalnya.
Ya, di zaman serba canggih, otak manusia terlalu pintar, suka bermain-main di tempat yang seharusnya tidak dipakai mainan.
Misalnya...pernikahan.
Ada hal yang harus dijunjung tinggi sehingga lembaga sakral itu akan tetap menjadi komitmen indah seumur hidup.
Itu prinsipku.
***
Dalam perjalanan pulang dari percetakan, pikiranku dihantui ucapan Joana, mantan isteri Ridwan.Ridwan hanya mencari pengasuh buat empat anaknya, bukan isteri.Apalagi secara fisik, Ridwan diatas rata-rata. Berkulit bersih, tinggi, atletis. Wajahnya? uhuy....ganteng, bo!Sedang aku? Nilai B saja. Masih bersyukur tinggi mencapai satu setengah meter. Jidatku juga jenong, yang kata orang tua itu tandanya pinter, calon profesor. Akan tetapi, kata adik-adikku kayak lapangan bola. Luas.Aku menghela napas panjang. Kenapa pula aku bisa terpengaruh omongan wanita sinting seperti Joana itu? Bisa saja dia cuma nge-ghost supaya mentalku jatuh.Come on, Rosi, be smart! Kecantikan sekarang, kalah dengan otak encer.!Eh, emangnya ini mau olimpiade sains pakai otak segala?What everlah...Aku segera melajukan motor agak kencang. Ingin segera sampai rumah. Ingin cari info dengan men
Hah?Sekarang gantian aku yang kaget. Point 3 katanya pointn merampok, menurut Ridwan?Sembarangan!"Siapa yang mau merampok, Mas? Apa aku ada tampang merampok?" Aku balik memelototkan mata ke arah Ridwan. Membalas matanya yang hampir loncat menggelinding"I-itu kenapa pointnya seperti itu?" protes Ridwan yang wajahnya terlihat ngeri."Kenapa?;terlalu sedikit ya, buat harga kesetiaan. Aku naikkan jadi 10 milyar, gimana?""Apa?" Ridwan bukan hanya melotot, tapi keningnya sekarang berkerut dalam. "Yang benar saja, Rosi!""Oke..oke .aku jabarkan kenapa ada point' tiga absurd itu." Akhirnya aku mengalah. Aku akan jelaskan, kenapa membuat point' tiga itu, yang membuat Ridwan seperti kebakaran jenggot."Kesetiaan itu mahal harganya, Mas. Uang satu milyar atau berapapun, tidak bisa menggantikannya." Aku menghela napas sejenak. "Kesetiaan sangat langka di zaman seperti sekarang ini."Ridwan ka
Ridwan melirik ke arahku, ada raut tidak enak setelah mendengar pengakuan dari anak-anaknya."Anak-anak, masuk dulu ke dalam ya, nanti Papa menyusul," ucap Ridwan lembut pada anak-anaknya."Tapi Papa nanti masuk, ya?" ucap anak perempuan berambut seperti Dora."Iya, Jane, Sayang. Nanti Papa masuk menyusul."Jadi anak perempuan berambut seperti kartun Dora itu, bernama Jane. Dia paling ramping dan putih dibanding tiga saudaranya.Anak-anak itu menurut dan berlarian ke ruangan dalam rumah."Maafkan ulah anak-anak ya, Rosi." Ridwan menatap ke arahku dengan mata menyesal.Aku mencoba tersenyum. Berusaha maklum, meskipun hatiku ciut dan serasa teriris. Kesan pertama diperlihatkan anak-anaknya Ridwan, seperti rasa takut padaku. Anggapan Ibu tiri yang jahat.Ada racun yang ditanamkan dalam pikiran anak-anak yan
**Aku memandangi terus mobil Ridwan, sampai hilang di belokan jalan.Jantungku masih gedebak-gedebuk tak karuan, setelah barusan ada sedikit salah curiga.Aku kira Ridwan...Pipiku memanas. Aih, kenapa pula pikiranku jadi belok begini? Aku menoyor kepalaku sendiri.Rosi, jangan piktor, pikiran kotor!Segera aku berbalik dan masuk ke rumah setelah mengucap salam."Uhuk...uhuk...ngga jadi adegan delapan belas plus-plus-nya?" goda Risa sambil tergelak.Semvlak! Rupanya Risa ngintipin aku tadi."Eh, anak ingusan dilarang ngintip, bintitan tingkat menteri nanti!" gerutuku antara sebal dan malu."Anak ingusan juga bentar lagi kawin, Mbak e!""Lu ngikut mulu kayak gerbong kereta."Risa semakin jahil tertawa. "Mbak kan locomotifnya, gue gerbongnya, haha. Dimana-mana adek itu ngikut kakaknya."Risa langsung ngacir ke kamar, ketika aku sudah siap meny
Duda Beranak EmpatPart 6***Sampai rumah aku melihat mobil Ridwan terparkir di depian. Rupanya Ridwan lebih dulu datang, sebelum aku pulang. Gara-gara Joana, aku jadi terlambat pulang tiga puluh menit."Assalamualaikum." Aku mengucap salam dengan tak bersemangat."Waalaikumsalam." Ibu dan Ridwan serempak menjawab salam.Dengan langkah gontai aku masuk ke ruang tamu."Kenapa wajahmu lesu amat, Rosi? Tumben juga telat?" tanya Emak beruntun."Gak apa, Ma. Cuma lelah," sahutku memaksakan senyum. "Tadi dihadang dulu satpol PP, jadi telat.""Satpol PP, kenapa?" Kali ini Ridwan yang kaget."Razia orang cantik!" jawabku ngawur.Ridwan tertawa tertahan. Tidak berani keras, kayaknya melihat tampangku yang lesu.Masih teringat ucapan Joana, wanita sinting itu, akan terus mengawasiku.Dasar, wanita sakit jiwa!Tak tahu malu, masih juga rese pada mantan. &nb
Mbak Mey, anak-anak akan saya bawa pergi ke luar, ya. Sudah pada mandi, kan?" tanya Ridwan pada Meyda, si baby sitter. "Sudah, Pak." Wajah Meyda mendadak berseri. Sepertinya dia berharap ikut diajak keluar juga. "Saya bawa anak-anak, ya. Mbak Mey tunggu saja di rumah. Ada Bu Rosi yang nanti ikut jagain anak-anak." Wajah Meyda yang tadi berseri, langsung masam mendengar ucapan Ridwan, yang menyuruhnya tunggu di rumah. Aku pura-pura tidak melihat, padahal dalam hati ingin tertawa melihat reaksi Meyda. Habisnya, sebagai baby sitter kegeeran banget pengen diajak ikut. "Rosi, tunggu sebentar, ya. Saya ke kamar dulu. Ada sesuatu yang ketinggalan," ucap Ridwan, bergegas melangkah ke kamarnya. "Anak-anak, nanti di sana hati-hati, ya. Jangan makan sembarangan, nanti sakit perut," ucap Meyda sambil melirik ke arahku ketika Ridwan sudah masuk kam
Kita mau ke mana?" tanyaku ketika sudah di jalan. "Ke suatu tempat rahasia. Pasti kamu suka." Ridwan tersenyum sambil menyetir. Aku lantas terdiam. Mencoba mengira-ngira, Ridwan membawa ke mana, kalau tidak mall, bisa restauran Namun, mobil bukannya mengarah ke pusat kota, tetapi berbelok ke jalan yang arahnya menuju luar kota. Dahiku mengernyit bingung. Apa Ridwan akan membawa kita piknik? Aku tak berani bertanya. Takut dibilang bawel. Padahal sih iya, dalam hati terus bawel bertanya sendiri. Apa dibawa ke hutan? Ke gunung? laut? Ke...villa? Aih...jawaban terakhir membuat jantung gedebak-gedebuk tak karuan. Mobil terus meluncur melewati batas kota. Memasuki wilayah kabupaten, berbelok kanan dari jalan raya besar, masuk jalan kecil. Di sisi kiri kanan ada sawah dan rumah yang jaraknya agak berjauhan. "Papa kok, kita ke hutan?" tanya Zidan. "Iya. Ada kol
"Papa! Jane ngantuk!" Terdengar teriakan Jane.Ridwan tampak kaget. Aku juga sama. Kedua tubuh ini segera merenggang. Pipiku memanas. Aku dan Ridwan hampir terlena terbawa suasana hati.“Maaf...” bisik Ridwan.Aku mengangguk. Mencoba mengerti bahwa Ridwan hanya terbawa suasana. Apalagi dia telah lama tidak tersentuh kehangatan. Seperti yang aku dengar. 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar. Untung kami segera tersadar."Iya, Jane. Kita pulang sekarang!" Ridwan akhirnya beranjak ke arah anak-anak. "Ayo, anak-anak, kita bersiap pulang!"Si kembar satu persatu berdiri, dan mulai bersiap pulang. Ridwan mematikan televisi dan DVD player."Kita pulang, Rosi." Ridwan menoleh ke arahku. "Kita belum bisa menginap di sini. Nanti kalau sudah resmi, kamu boleh tidur di sini sepuasnya!" Ada senyum penuh arti di bibir Ridwan, membuatku grogi