Share

2. Perjanjian pra nikah

Dalam perjalanan pulang dari percetakan, pikiranku dihantui ucapan Joana, mantan isteri Ridwan. 

Ridwan hanya mencari pengasuh buat empat anaknya, bukan isteri. 

Apalagi secara fisik, Ridwan diatas rata-rata. Berkulit bersih, tinggi, atletis. Wajahnya? uhuy....ganteng, bo!

Sedang aku? Nilai B saja. Masih bersyukur tinggi  mencapai satu setengah meter. Jidatku juga jenong, yang kata orang tua itu tandanya  pinter, calon profesor. Akan tetapi, kata adik-adikku kayak lapangan bola. Luas. 

Aku menghela napas panjang. Kenapa pula aku bisa terpengaruh omongan wanita sinting seperti Joana itu?  Bisa saja dia cuma nge-ghost supaya mentalku jatuh.

Come on, Rosi, be smart!  Kecantikan sekarang, kalah dengan otak encer.!

Eh, emangnya ini mau olimpiade sains pakai otak segala? 

What everlah...

Aku segera melajukan motor agak kencang. Ingin segera sampai rumah. Ingin cari info dengan menginterogasi emak. Beliaulah yang lebih tahu tentang Ridwan, karena emaklah yang memilihkan jodohnya. Emak pasti mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot untuk jodoh anak tersayangnya ini.

Pasti emak tahu sesuatu. Ah,ya! Kenapa pikiranku sampe traveling ke mana-mana? Sumber info 'kan ada di rumah?  Aku menoyor kepalaku sendiri.

Lima belas menit kemudian, aku sudah sampai ke rumah. Setelah mengucap salam, aku masuk rumah dan mencari emak. 

***

Sore itu seperti biasa, emak  sedang menonton sinetron cap ikan cucut di televisi. Kacamatanya terkadang melorot sendiri saking asyiknya nonton.

"Emak!" 

"Hm...Apa, Rosi?" Emak menyahut tapi matanya masih menancap di layar televisi.

"Emaak!" kutinggikan suara beberapa oktaf memanggilnya.

"Eh..iya, ya. Apaan Rosi?" Sekarang Emak menoleh dengan alisnya diangkat. "Kenapa mukamu ditekuk gitu, Rosi? Seperti sapi...."

"Aduh, emak. Aku serius mau ngomong sama emak!" gerutuku, otak  sudah mulai spaneng. 

"Sok mau ngomong apa atuh, Rosi, nanti emak dengerin."

"Mengenai Ridwan, Mak!" 

"Ada apa dengan cinta...eh, dengan Ridwan?" 

"Ceritakan tentang Ridwan. Siapa dia. Apa dia lelaki baik. Terus kenapa cerai dengan isterinya. Kenapa emak.pilih Ridwan jadi jodoh Rosi. Terus...." 

"Stop!"Emak mengangkat lima jarinya. "Nanyanya  satu-satu, Rosi. Jangan ngebut kayak motor Valentino Rosi aja kamu!"" protes emak kesal. "Coba satu-satu nanyanya, biar otak emak tidak oleng dengarnya!" 

Baiklah. Aku menghela napas lagi. 

"Ceritakan lengkap tentang Ridwan. Siapa dia. Dia baik  atau tidak, dia...." 

"Ya...ya, emak ngerti arah bicaramu. Udah, jangan berisik!" 

Emak juga ikut menghela napas, lalu mengembuskannya pelan. 

"Ridwan itu anaknya Rohmat, sahabat almarhum ayahmu sejak SD. Dia duda, isterinya minta cerai ketika usaha Ridwan sedang hampir bangkrut karena ditipu rekan bisnisnya," urai emak. "Ridwan itu pekerja keras. Dia juga baik hati, tidak sombong, rajin menabung...."

"Stop, Mak! Jangan ikut-ikutan omongan si Risa!!" gerutuku karena emak ikut latah ngomongnya persis adikku.

"Jadi pokoknya dia baik, menurut emak!" kukuh emak. "Kenapa kamu jadi kepo seperti itu, Rosi?" 

"Tadi Rosi ketemu mantannya Ridwan. Bilangnya, Ridwan bukan cari isteri, tapi pengasuh buat empat anaknya, Mak." 

"Dan kamu percaya omongan cucakrawa  itu?" 

"Rosi nggak tahu, Mak. Makanya Rosi nanya sama emak, Ridwan baik, nggak?" 

Emak tercenung. "Tapi kalau pengasuh anak, Ridwan sudah punya di rumah. Dia baby sitter yang dibayar mahal sejak  anaknya bayi. Ditambah ada adik tirinya, ikut mengurus anak Ridwan. Jadi kalau cari pengasuh,  itu tidak mungkin!" ungkap emak.

"Ridwan punya adik tiri?" Aku kaget bakal punya adik ipar. Tiri lagi.

"Iya. Rohmat  menikah lagi setelah isterinya meninggal."

Aku menghela napas. Jadi nanti aku punya mertua tiri dan adik ipar tiri juga. 

"Ridwan tinggal bareng orang tuanya?" 

"Tidak. Rohmat pengusaha dan punya rumah sendiri, meskipun perusahaannya tidak sebesar Ridwan." 

Aku mengembuskan napas lega. Berarti aku nanti tidak tinggal di pondok  mertua indah. Jadi di rumah  Ridwan  hanya ada adik tirinya, juga baby sitter, batinku.

Dasar, Joana sinting! Dia  pinter bikin otakku belingsatan galon. 

"Sudah! mukamu jangan berkerut gitu, kayak cucian belum disetrika," omel emak.

"Eh, Mak, satu lagi. Berapa lama Ridwan menduda?" 

Nah, kalau yang ini kepoku sangat akut, penting harus  tahu berapa lama Ridwan hidup melajang setelah bercerai lagi.

"Dua tahun!" sahut emak sambil kembali matanya menancap di layar tivi.

***

Hatiku belum tenang. Zaman sekarang apapun bisa diputar balik. Baik jadi buruk, buruk jadi baik. Kita harus waspada! 

Untuk antisipasi dan proteksi hidupku, aku menjalankan rencana kedua.

 Bikin perjanjian pra-nikah!

Biarlah disebut belagu kayak artis, pakai perjanjian segala. Namun, aku sungguh tak mau ambil resiko, seperti teman-temanku, menikah lalu bercerai karena alasan suami selingkuh.

Lagian aku ingin menguji sejauh mana kedewasaan dan kesabaran Ridwan, menghadapi perjanjian pra-nikahku nanti. Aku tersenyum sendiri, dengan berbagai ide berseliweran di otak.

***

Malam sebelum tidur,  aku membaca ulang draft perjanjian pra-nikah yang kubuat. Tidak banyak pointnya, hanya ada tiga saja. Akan tetapi, tiga juga aku rasa ini makjleb!

Aku ambil ponsel, ingin mengetik pesan supaya besok bisa bertemu langsung Ridwan. 

Apa aku terlalu berani sebagai wanita? Entahlah! Yang pasti, aku harus berbicara serius dengan calon suami, sebelum pernikahan berlangsung. Itu menyisakan waktu sepuluh hari lagi ke hari H.

[Mas Ridwan, bisa temui aku besok saat jam istirahat kantor?] 

Send! 

Pesan w******p telah kukirim. Dengan hati tak karuan kutunggu balasannya.

[Boleh. Di mana?] 

Aku hampir bersorak karena Ridwan membalas cepat. 

[Kafe Ce, dekat patung kuda nyengir. Tahu, kan?]

[Ya, aku tahu. Dekat bunderan, kan?] 

[Iyes. Seratus buat, Mas! Jam 12.15. Tidak menerima jam karet]

[Oke]

Berbalas chat pun di akhiri. Singkat. padat. Jelas 

Yess...malam ini aku bisa tidur pulas.

***

Cuaca siang itu teramat panas, jadi aku menemui Ridwan memakai mobil. Biar wajahku tidak lusuh kena keringat. Jarak kantor dengan kafe Ce sekitar sepuluh menit. 

Kini aku sudah memilih meja di kafe, agak di pojok ruangan. Ridwan mengabarkan sedang di jalan menuju ke sini.

Tak berapa lama, tubuh tinggi itu sudah memasuki ruangan kafe. Dengan kemeja warna biru navy yang tangannya sedikit di gulung, ngepas di badan. Ia terlihat menawan, kontras dengan kulitnya yang kuning bersih.

"Sudah lama?" tanyanya basa-basi, ketika menarik kursi, lalu duduk berhadapan terhalang meja. 

Aku melirik jam di dinding kafe. 12.15. Tepat waktu! 

"Belum. Aku baru juga datang," jawabku sambil  berusaha menetralisir hati yang mulai tidak karuan. Aku berusaha tidak menatap matanya, takut hatiku meleleh bagai keju mozzarella, melihat makhluk Tuhan paling seksi ini.

"Sudah pesan menu?" tanyanya lagi. "Aku lapar!" 

"Belum. Pesan saja." Aku menyodorkan buku menu. "Samakan dengan pesananku, ya."

Aku sedang menguji makanan kesukaan Ridwan. 

Mulutnya tersenyum, dengan lesung di pipi, sambil membuka buku menu. Buru-buru aku membuang pandang, melihat ke arah lain, takut jantungku loncat. 

"Ada apa?" tanyanya setelah memesan menu. Dua porsi nasi plus ayam bakar. Cah kangkung. Jus jeruk. Salad buah.

Aku terdiam sesaat.

 Hmmm...seleranya tidak mewah banget. Bukan menu aneh sok luar negeri.  Berarti orangnya sederhana. Aku mengulas senyum.

"Kok, tersenyum sendiri?" 

Glek! Aku lupa Ridwan ada di depanku dan memperhatikan. Pantas ia  bingung melihatku tiba-tiba tersenyum sendiri.

"Oh, tidak!" 

Buru-buru aku merogoh tas tangan. Kembali pada niatku semula. Berbicara serius tentang perjanjian pra-nikah. Kusingkirkan rasa terpesona yang sempat merubung otakku.

"Mas, sebelumnya saya mohon maaf jika lancang." Aku memulai bicara serius. "Tapi aku mendapat kabar, Mas bukan mencari isteri, tapi pengasuh untuk anak Mas."

Sudah kuduga, reaksi wajah Ridwan yang kaget dengan ucapanku. Dia berdecak kesal.

"Siapa yang bicara seperti itu?" tanyanya sambil menghela napas, terlihat menahan kesal.

"Joana."  

Ridwan mengembuskan napas kasar. 

"Dia lagi..." gumamnya, seperti pada dirinya sendiri. 

"Maksud Mas?" 

"Dia sering merecoki terus,  kalau aku hendak serius dengan wanita," keluh Ridwan. Lalu dia menatapku. "Terus .. kamu percaya?" 

"Entahlah! Sebelum Mas membuat kesepakatan denganku." 

"Apa itu?" Keningnya berkerut. "Apa minta harta?" 

Deg! 

Aku merasa tak enak dituduh matre.

"Maaf, bukan! Aku tak sematre itu!" tegasku. 

"Ketahuilah, banyak wanita yang belum apa-apa, minta ini itu. Rumah. Mobil. Deposito. Jadi aku mundur," keluhnya lagi.

"Pantas Mas belum nikah lagi " Aku mencoba tersenyum lunak. Meredakan ketegangan. "Tapi aku bukan minta ini itu kemewahan. Aku minta ada perjanjian pra- nikah!" 

"Apa?" Mata Ridwan membulat sempurna. "Baru kali ini ada yang minta seperti itu."

"Aku bacakan ya, Mas. Siap?"  tanyaku memberi kesempatan supaya Ridwan menyiapkan hati dan mentalnya.

"Baiklah. Ayo, bacakan!" pintanya dengan wajah penasaran. 

"Point' satu. Setelah menikah, aku tetap bekerja. Penghasilanku itu murni punyaku."

"Kenapa ingin tetap bekerja? Toh, nanti aku kasih nafkah cukup untukmu," tanya Ridwan heran. 

"Aku punya Ibu yang janda, Mas. Ayahku telah tiada. Aku sebagai anak tertua ingin membahagiakan ibu di usia tuanya, membalas semua kasih sayangnya. Jadi aku harus punya penghasilan sendiri, tanpa mengganggu uang dapur."

Ada senyum di bibir Ridwan. "Alasan mulia  Baik, aku dukung untuk setuju." 

Aku tersenyum lega, berarti Ridwan lelaki pengertian dan berhati baik. Yess, ceklis untuk point satu.

"Point dua, selama enam bulan Mas jangan dulu menyentuhku. Kita saling mengenal dulu. Mas dan aku harus yakin dulu, cinta kita murni,  bukan karena motif perjodohan orang tua."

Ridwan nampak tercenung mendengar point' kedua yang kubacakan. Matanya menatapku lekat. 

"Apa kamu serius ingin menguji sejauh mana cinta kita nanti?" tanyanya dengan tatapan yang sulit kuartikan. 

"Iya." Aku mengangguk mantap. "Aku ingin pernikahan itu suci dan  murni karena hati kita. Bukan paksaan."

"Baik. Aku setuju, meskipun itu sulit. Aku tak tahu, apa aku bisa tak menyentuh istriku selama itu nanti," desahnya.

Ada semburat hangat di pipiku mendengar desahan Ridwan. Kutanya balik hatiku, apa  aku bisa juga tak disentuh suamiku selama itu? Sedangkan dia begitu memesona sebagai pria? Aku harus kuat!

"Kita pakai pengecualian. Kalau sekiranya Mas dan aku, sudah yakin saling menerima dan mencintai kekurangan dan kelebihan masing-masing, waktu enam bulan bisa dipangkas jadi lebih cepat," usulku. "Aku nanti pakai keterangan di bawah, ya." 

"Rasanya kita seperti sedang negosiasi bisnis." Ridwan menggelengkan kepala, tapi bibirnya tersenyum. "Semoga..." ucapnya lirih tanpa diteruskan. 

"Semoga apa, Mas?" 

"Semoga ini ke jalan lebih baik. Aku juga tak mau asal menikah."

Aku tersenyum lega. Ridwan merasa sama, ada komitmen yang harus dijaga.

Aku ceklis point dua. Done!

"Point tiga. Jika aku atau Mas Ridwan berselingkuh. Didenda satu milyar."

Hah? 

Mata Ridwan melotot. Bola matanya hampir meloncat  jatuh.

Sudah kuduga, point ini pasti bikin syok terapi!

"I-itu point apa? point' merampok, ya?" tanya Ridwan syok.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
neneng sutarsih
gaskeun lah
goodnovel comment avatar
Wenti Kusuma
ngakakak sendiri thor gkgkgk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status