Dalam perjalanan pulang dari percetakan, pikiranku dihantui ucapan Joana, mantan isteri Ridwan.
Ridwan hanya mencari pengasuh buat empat anaknya, bukan isteri.
Apalagi secara fisik, Ridwan diatas rata-rata. Berkulit bersih, tinggi, atletis. Wajahnya? uhuy....ganteng, bo!
Sedang aku? Nilai B saja. Masih bersyukur tinggi mencapai satu setengah meter. Jidatku juga jenong, yang kata orang tua itu tandanya pinter, calon profesor. Akan tetapi, kata adik-adikku kayak lapangan bola. Luas.
Aku menghela napas panjang. Kenapa pula aku bisa terpengaruh omongan wanita sinting seperti Joana itu? Bisa saja dia cuma nge-ghost supaya mentalku jatuh.
Come on, Rosi, be smart! Kecantikan sekarang, kalah dengan otak encer.!
Eh, emangnya ini mau olimpiade sains pakai otak segala?
What everlah...
Aku segera melajukan motor agak kencang. Ingin segera sampai rumah. Ingin cari info dengan menginterogasi emak. Beliaulah yang lebih tahu tentang Ridwan, karena emaklah yang memilihkan jodohnya. Emak pasti mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot untuk jodoh anak tersayangnya ini.
Pasti emak tahu sesuatu. Ah,ya! Kenapa pikiranku sampe traveling ke mana-mana? Sumber info 'kan ada di rumah? Aku menoyor kepalaku sendiri.
Lima belas menit kemudian, aku sudah sampai ke rumah. Setelah mengucap salam, aku masuk rumah dan mencari emak.
***
Sore itu seperti biasa, emak sedang menonton sinetron cap ikan cucut di televisi. Kacamatanya terkadang melorot sendiri saking asyiknya nonton.
"Emak!"
"Hm...Apa, Rosi?" Emak menyahut tapi matanya masih menancap di layar televisi.
"Emaak!" kutinggikan suara beberapa oktaf memanggilnya.
"Eh..iya, ya. Apaan Rosi?" Sekarang Emak menoleh dengan alisnya diangkat. "Kenapa mukamu ditekuk gitu, Rosi? Seperti sapi...."
"Aduh, emak. Aku serius mau ngomong sama emak!" gerutuku, otak sudah mulai spaneng.
"Sok mau ngomong apa atuh, Rosi, nanti emak dengerin."
"Mengenai Ridwan, Mak!"
"Ada apa dengan cinta...eh, dengan Ridwan?"
"Ceritakan tentang Ridwan. Siapa dia. Apa dia lelaki baik. Terus kenapa cerai dengan isterinya. Kenapa emak.pilih Ridwan jadi jodoh Rosi. Terus...."
"Stop!"Emak mengangkat lima jarinya. "Nanyanya satu-satu, Rosi. Jangan ngebut kayak motor Valentino Rosi aja kamu!"" protes emak kesal. "Coba satu-satu nanyanya, biar otak emak tidak oleng dengarnya!"
Baiklah. Aku menghela napas lagi.
"Ceritakan lengkap tentang Ridwan. Siapa dia. Dia baik atau tidak, dia...."
"Ya...ya, emak ngerti arah bicaramu. Udah, jangan berisik!"
Emak juga ikut menghela napas, lalu mengembuskannya pelan.
"Ridwan itu anaknya Rohmat, sahabat almarhum ayahmu sejak SD. Dia duda, isterinya minta cerai ketika usaha Ridwan sedang hampir bangkrut karena ditipu rekan bisnisnya," urai emak. "Ridwan itu pekerja keras. Dia juga baik hati, tidak sombong, rajin menabung...."
"Stop, Mak! Jangan ikut-ikutan omongan si Risa!!" gerutuku karena emak ikut latah ngomongnya persis adikku.
"Jadi pokoknya dia baik, menurut emak!" kukuh emak. "Kenapa kamu jadi kepo seperti itu, Rosi?"
"Tadi Rosi ketemu mantannya Ridwan. Bilangnya, Ridwan bukan cari isteri, tapi pengasuh buat empat anaknya, Mak."
"Dan kamu percaya omongan cucakrawa itu?"
"Rosi nggak tahu, Mak. Makanya Rosi nanya sama emak, Ridwan baik, nggak?"
Emak tercenung. "Tapi kalau pengasuh anak, Ridwan sudah punya di rumah. Dia baby sitter yang dibayar mahal sejak anaknya bayi. Ditambah ada adik tirinya, ikut mengurus anak Ridwan. Jadi kalau cari pengasuh, itu tidak mungkin!" ungkap emak.
"Ridwan punya adik tiri?" Aku kaget bakal punya adik ipar. Tiri lagi.
"Iya. Rohmat menikah lagi setelah isterinya meninggal."
Aku menghela napas. Jadi nanti aku punya mertua tiri dan adik ipar tiri juga.
"Ridwan tinggal bareng orang tuanya?"
"Tidak. Rohmat pengusaha dan punya rumah sendiri, meskipun perusahaannya tidak sebesar Ridwan."
Aku mengembuskan napas lega. Berarti aku nanti tidak tinggal di pondok mertua indah. Jadi di rumah Ridwan hanya ada adik tirinya, juga baby sitter, batinku.
Dasar, Joana sinting! Dia pinter bikin otakku belingsatan galon.
"Sudah! mukamu jangan berkerut gitu, kayak cucian belum disetrika," omel emak.
"Eh, Mak, satu lagi. Berapa lama Ridwan menduda?"
Nah, kalau yang ini kepoku sangat akut, penting harus tahu berapa lama Ridwan hidup melajang setelah bercerai lagi.
"Dua tahun!" sahut emak sambil kembali matanya menancap di layar tivi.
***
Hatiku belum tenang. Zaman sekarang apapun bisa diputar balik. Baik jadi buruk, buruk jadi baik. Kita harus waspada!
Untuk antisipasi dan proteksi hidupku, aku menjalankan rencana kedua.
Bikin perjanjian pra-nikah!
Biarlah disebut belagu kayak artis, pakai perjanjian segala. Namun, aku sungguh tak mau ambil resiko, seperti teman-temanku, menikah lalu bercerai karena alasan suami selingkuh.
Lagian aku ingin menguji sejauh mana kedewasaan dan kesabaran Ridwan, menghadapi perjanjian pra-nikahku nanti. Aku tersenyum sendiri, dengan berbagai ide berseliweran di otak.
***
Malam sebelum tidur, aku membaca ulang draft perjanjian pra-nikah yang kubuat. Tidak banyak pointnya, hanya ada tiga saja. Akan tetapi, tiga juga aku rasa ini makjleb!
Aku ambil ponsel, ingin mengetik pesan supaya besok bisa bertemu langsung Ridwan.
Apa aku terlalu berani sebagai wanita? Entahlah! Yang pasti, aku harus berbicara serius dengan calon suami, sebelum pernikahan berlangsung. Itu menyisakan waktu sepuluh hari lagi ke hari H.
[Mas Ridwan, bisa temui aku besok saat jam istirahat kantor?]
Send!
Pesan w******p telah kukirim. Dengan hati tak karuan kutunggu balasannya.
[Boleh. Di mana?]
Aku hampir bersorak karena Ridwan membalas cepat.
[Kafe Ce, dekat patung kuda nyengir. Tahu, kan?]
[Ya, aku tahu. Dekat bunderan, kan?]
[Iyes. Seratus buat, Mas! Jam 12.15. Tidak menerima jam karet]
[Oke]
Berbalas chat pun di akhiri. Singkat. padat. Jelas
Yess...malam ini aku bisa tidur pulas.
***
Cuaca siang itu teramat panas, jadi aku menemui Ridwan memakai mobil. Biar wajahku tidak lusuh kena keringat. Jarak kantor dengan kafe Ce sekitar sepuluh menit.
Kini aku sudah memilih meja di kafe, agak di pojok ruangan. Ridwan mengabarkan sedang di jalan menuju ke sini.
Tak berapa lama, tubuh tinggi itu sudah memasuki ruangan kafe. Dengan kemeja warna biru navy yang tangannya sedikit di gulung, ngepas di badan. Ia terlihat menawan, kontras dengan kulitnya yang kuning bersih.
"Sudah lama?" tanyanya basa-basi, ketika menarik kursi, lalu duduk berhadapan terhalang meja.
Aku melirik jam di dinding kafe. 12.15. Tepat waktu!
"Belum. Aku baru juga datang," jawabku sambil berusaha menetralisir hati yang mulai tidak karuan. Aku berusaha tidak menatap matanya, takut hatiku meleleh bagai keju mozzarella, melihat makhluk Tuhan paling seksi ini.
"Sudah pesan menu?" tanyanya lagi. "Aku lapar!"
"Belum. Pesan saja." Aku menyodorkan buku menu. "Samakan dengan pesananku, ya."
Aku sedang menguji makanan kesukaan Ridwan.
Mulutnya tersenyum, dengan lesung di pipi, sambil membuka buku menu. Buru-buru aku membuang pandang, melihat ke arah lain, takut jantungku loncat.
"Ada apa?" tanyanya setelah memesan menu. Dua porsi nasi plus ayam bakar. Cah kangkung. Jus jeruk. Salad buah.
Aku terdiam sesaat.
Hmmm...seleranya tidak mewah banget. Bukan menu aneh sok luar negeri. Berarti orangnya sederhana. Aku mengulas senyum.
"Kok, tersenyum sendiri?"
Glek! Aku lupa Ridwan ada di depanku dan memperhatikan. Pantas ia bingung melihatku tiba-tiba tersenyum sendiri.
"Oh, tidak!"
Buru-buru aku merogoh tas tangan. Kembali pada niatku semula. Berbicara serius tentang perjanjian pra-nikah. Kusingkirkan rasa terpesona yang sempat merubung otakku.
"Mas, sebelumnya saya mohon maaf jika lancang." Aku memulai bicara serius. "Tapi aku mendapat kabar, Mas bukan mencari isteri, tapi pengasuh untuk anak Mas."
Sudah kuduga, reaksi wajah Ridwan yang kaget dengan ucapanku. Dia berdecak kesal.
"Siapa yang bicara seperti itu?" tanyanya sambil menghela napas, terlihat menahan kesal.
"Joana."
Ridwan mengembuskan napas kasar.
"Dia lagi..." gumamnya, seperti pada dirinya sendiri.
"Maksud Mas?"
"Dia sering merecoki terus, kalau aku hendak serius dengan wanita," keluh Ridwan. Lalu dia menatapku. "Terus .. kamu percaya?"
"Entahlah! Sebelum Mas membuat kesepakatan denganku."
"Apa itu?" Keningnya berkerut. "Apa minta harta?"
Deg!
Aku merasa tak enak dituduh matre.
"Maaf, bukan! Aku tak sematre itu!" tegasku.
"Ketahuilah, banyak wanita yang belum apa-apa, minta ini itu. Rumah. Mobil. Deposito. Jadi aku mundur," keluhnya lagi.
"Pantas Mas belum nikah lagi " Aku mencoba tersenyum lunak. Meredakan ketegangan. "Tapi aku bukan minta ini itu kemewahan. Aku minta ada perjanjian pra- nikah!"
"Apa?" Mata Ridwan membulat sempurna. "Baru kali ini ada yang minta seperti itu."
"Aku bacakan ya, Mas. Siap?" tanyaku memberi kesempatan supaya Ridwan menyiapkan hati dan mentalnya.
"Baiklah. Ayo, bacakan!" pintanya dengan wajah penasaran.
"Point' satu. Setelah menikah, aku tetap bekerja. Penghasilanku itu murni punyaku."
"Kenapa ingin tetap bekerja? Toh, nanti aku kasih nafkah cukup untukmu," tanya Ridwan heran.
"Aku punya Ibu yang janda, Mas. Ayahku telah tiada. Aku sebagai anak tertua ingin membahagiakan ibu di usia tuanya, membalas semua kasih sayangnya. Jadi aku harus punya penghasilan sendiri, tanpa mengganggu uang dapur."
Ada senyum di bibir Ridwan. "Alasan mulia Baik, aku dukung untuk setuju."
Aku tersenyum lega, berarti Ridwan lelaki pengertian dan berhati baik. Yess, ceklis untuk point satu.
"Point dua, selama enam bulan Mas jangan dulu menyentuhku. Kita saling mengenal dulu. Mas dan aku harus yakin dulu, cinta kita murni, bukan karena motif perjodohan orang tua."
Ridwan nampak tercenung mendengar point' kedua yang kubacakan. Matanya menatapku lekat.
"Apa kamu serius ingin menguji sejauh mana cinta kita nanti?" tanyanya dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Iya." Aku mengangguk mantap. "Aku ingin pernikahan itu suci dan murni karena hati kita. Bukan paksaan."
"Baik. Aku setuju, meskipun itu sulit. Aku tak tahu, apa aku bisa tak menyentuh istriku selama itu nanti," desahnya.
Ada semburat hangat di pipiku mendengar desahan Ridwan. Kutanya balik hatiku, apa aku bisa juga tak disentuh suamiku selama itu? Sedangkan dia begitu memesona sebagai pria? Aku harus kuat!
"Kita pakai pengecualian. Kalau sekiranya Mas dan aku, sudah yakin saling menerima dan mencintai kekurangan dan kelebihan masing-masing, waktu enam bulan bisa dipangkas jadi lebih cepat," usulku. "Aku nanti pakai keterangan di bawah, ya."
"Rasanya kita seperti sedang negosiasi bisnis." Ridwan menggelengkan kepala, tapi bibirnya tersenyum. "Semoga..." ucapnya lirih tanpa diteruskan.
"Semoga apa, Mas?"
"Semoga ini ke jalan lebih baik. Aku juga tak mau asal menikah."
Aku tersenyum lega. Ridwan merasa sama, ada komitmen yang harus dijaga.
Aku ceklis point dua. Done!
"Point tiga. Jika aku atau Mas Ridwan berselingkuh. Didenda satu milyar."
Hah?
Mata Ridwan melotot. Bola matanya hampir meloncat jatuh.
Sudah kuduga, point ini pasti bikin syok terapi!
"I-itu point apa? point' merampok, ya?" tanya Ridwan syok.
***
Hah?Sekarang gantian aku yang kaget. Point 3 katanya pointn merampok, menurut Ridwan?Sembarangan!"Siapa yang mau merampok, Mas? Apa aku ada tampang merampok?" Aku balik memelototkan mata ke arah Ridwan. Membalas matanya yang hampir loncat menggelinding"I-itu kenapa pointnya seperti itu?" protes Ridwan yang wajahnya terlihat ngeri."Kenapa?;terlalu sedikit ya, buat harga kesetiaan. Aku naikkan jadi 10 milyar, gimana?""Apa?" Ridwan bukan hanya melotot, tapi keningnya sekarang berkerut dalam. "Yang benar saja, Rosi!""Oke..oke .aku jabarkan kenapa ada point' tiga absurd itu." Akhirnya aku mengalah. Aku akan jelaskan, kenapa membuat point' tiga itu, yang membuat Ridwan seperti kebakaran jenggot."Kesetiaan itu mahal harganya, Mas. Uang satu milyar atau berapapun, tidak bisa menggantikannya." Aku menghela napas sejenak. "Kesetiaan sangat langka di zaman seperti sekarang ini."Ridwan ka
Ridwan melirik ke arahku, ada raut tidak enak setelah mendengar pengakuan dari anak-anaknya."Anak-anak, masuk dulu ke dalam ya, nanti Papa menyusul," ucap Ridwan lembut pada anak-anaknya."Tapi Papa nanti masuk, ya?" ucap anak perempuan berambut seperti Dora."Iya, Jane, Sayang. Nanti Papa masuk menyusul."Jadi anak perempuan berambut seperti kartun Dora itu, bernama Jane. Dia paling ramping dan putih dibanding tiga saudaranya.Anak-anak itu menurut dan berlarian ke ruangan dalam rumah."Maafkan ulah anak-anak ya, Rosi." Ridwan menatap ke arahku dengan mata menyesal.Aku mencoba tersenyum. Berusaha maklum, meskipun hatiku ciut dan serasa teriris. Kesan pertama diperlihatkan anak-anaknya Ridwan, seperti rasa takut padaku. Anggapan Ibu tiri yang jahat.Ada racun yang ditanamkan dalam pikiran anak-anak yan
**Aku memandangi terus mobil Ridwan, sampai hilang di belokan jalan.Jantungku masih gedebak-gedebuk tak karuan, setelah barusan ada sedikit salah curiga.Aku kira Ridwan...Pipiku memanas. Aih, kenapa pula pikiranku jadi belok begini? Aku menoyor kepalaku sendiri.Rosi, jangan piktor, pikiran kotor!Segera aku berbalik dan masuk ke rumah setelah mengucap salam."Uhuk...uhuk...ngga jadi adegan delapan belas plus-plus-nya?" goda Risa sambil tergelak.Semvlak! Rupanya Risa ngintipin aku tadi."Eh, anak ingusan dilarang ngintip, bintitan tingkat menteri nanti!" gerutuku antara sebal dan malu."Anak ingusan juga bentar lagi kawin, Mbak e!""Lu ngikut mulu kayak gerbong kereta."Risa semakin jahil tertawa. "Mbak kan locomotifnya, gue gerbongnya, haha. Dimana-mana adek itu ngikut kakaknya."Risa langsung ngacir ke kamar, ketika aku sudah siap meny
Duda Beranak EmpatPart 6***Sampai rumah aku melihat mobil Ridwan terparkir di depian. Rupanya Ridwan lebih dulu datang, sebelum aku pulang. Gara-gara Joana, aku jadi terlambat pulang tiga puluh menit."Assalamualaikum." Aku mengucap salam dengan tak bersemangat."Waalaikumsalam." Ibu dan Ridwan serempak menjawab salam.Dengan langkah gontai aku masuk ke ruang tamu."Kenapa wajahmu lesu amat, Rosi? Tumben juga telat?" tanya Emak beruntun."Gak apa, Ma. Cuma lelah," sahutku memaksakan senyum. "Tadi dihadang dulu satpol PP, jadi telat.""Satpol PP, kenapa?" Kali ini Ridwan yang kaget."Razia orang cantik!" jawabku ngawur.Ridwan tertawa tertahan. Tidak berani keras, kayaknya melihat tampangku yang lesu.Masih teringat ucapan Joana, wanita sinting itu, akan terus mengawasiku.Dasar, wanita sakit jiwa!Tak tahu malu, masih juga rese pada mantan. &nb
Mbak Mey, anak-anak akan saya bawa pergi ke luar, ya. Sudah pada mandi, kan?" tanya Ridwan pada Meyda, si baby sitter. "Sudah, Pak." Wajah Meyda mendadak berseri. Sepertinya dia berharap ikut diajak keluar juga. "Saya bawa anak-anak, ya. Mbak Mey tunggu saja di rumah. Ada Bu Rosi yang nanti ikut jagain anak-anak." Wajah Meyda yang tadi berseri, langsung masam mendengar ucapan Ridwan, yang menyuruhnya tunggu di rumah. Aku pura-pura tidak melihat, padahal dalam hati ingin tertawa melihat reaksi Meyda. Habisnya, sebagai baby sitter kegeeran banget pengen diajak ikut. "Rosi, tunggu sebentar, ya. Saya ke kamar dulu. Ada sesuatu yang ketinggalan," ucap Ridwan, bergegas melangkah ke kamarnya. "Anak-anak, nanti di sana hati-hati, ya. Jangan makan sembarangan, nanti sakit perut," ucap Meyda sambil melirik ke arahku ketika Ridwan sudah masuk kam
Kita mau ke mana?" tanyaku ketika sudah di jalan. "Ke suatu tempat rahasia. Pasti kamu suka." Ridwan tersenyum sambil menyetir. Aku lantas terdiam. Mencoba mengira-ngira, Ridwan membawa ke mana, kalau tidak mall, bisa restauran Namun, mobil bukannya mengarah ke pusat kota, tetapi berbelok ke jalan yang arahnya menuju luar kota. Dahiku mengernyit bingung. Apa Ridwan akan membawa kita piknik? Aku tak berani bertanya. Takut dibilang bawel. Padahal sih iya, dalam hati terus bawel bertanya sendiri. Apa dibawa ke hutan? Ke gunung? laut? Ke...villa? Aih...jawaban terakhir membuat jantung gedebak-gedebuk tak karuan. Mobil terus meluncur melewati batas kota. Memasuki wilayah kabupaten, berbelok kanan dari jalan raya besar, masuk jalan kecil. Di sisi kiri kanan ada sawah dan rumah yang jaraknya agak berjauhan. "Papa kok, kita ke hutan?" tanya Zidan. "Iya. Ada kol
"Papa! Jane ngantuk!" Terdengar teriakan Jane.Ridwan tampak kaget. Aku juga sama. Kedua tubuh ini segera merenggang. Pipiku memanas. Aku dan Ridwan hampir terlena terbawa suasana hati.“Maaf...” bisik Ridwan.Aku mengangguk. Mencoba mengerti bahwa Ridwan hanya terbawa suasana. Apalagi dia telah lama tidak tersentuh kehangatan. Seperti yang aku dengar. 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar. Untung kami segera tersadar."Iya, Jane. Kita pulang sekarang!" Ridwan akhirnya beranjak ke arah anak-anak. "Ayo, anak-anak, kita bersiap pulang!"Si kembar satu persatu berdiri, dan mulai bersiap pulang. Ridwan mematikan televisi dan DVD player."Kita pulang, Rosi." Ridwan menoleh ke arahku. "Kita belum bisa menginap di sini. Nanti kalau sudah resmi, kamu boleh tidur di sini sepuasnya!" Ada senyum penuh arti di bibir Ridwan, membuatku grogi
Duda Beranak EmpatPart 9 ** "Airin, Mas bertanya padamu. Apa yang barusan kamu ucapkan?" desak Ridwan. "Mas ...salah dengar, kali!" Airin berkelit gugup. Wajahnya merah, kuning, ijo bergantian. "Telinga Mas masih normal dan sehat." Ridwan kukuh. "Mas menganggap kamu itu adik kandung. Apalagi Mas anak tunggal. Jadi rasanya aneh kalau barusan dengar, kamu menganggap Mas bukan kakak ...tetapi pria dewasa yang kamu cintai. Sadar, Airin. Sejak kapan kamu punya pikiran seperti itu? Dari kecil Mas sudah biasa anggap kamu itu adik kecil, Mas." Airin menunduk. "Sejak Mas bercerai dari Joana, aku ingin mengganti posisi dia, Mas. Aku kasihan Mas kerepotan mengurus si kembar. Mas lelaki yang baik, tidak genit meskipun cakep. Aku suka itu ..." Ungkapan jujur Airin, membuat Ridwan menggelengkan kepala. "Itu salah, Airin. Jangan punya pikiran seperti itu pada Mas. Anggap Mas kakakmu seperti biasa."