Jantungku masih gedebak-gedebuk tak karuan, setelah barusan ada sedikit salah curiga.
Aku kira Ridwan...
Pipiku memanas. Aih, kenapa pula pikiranku jadi belok begini? Aku menoyor kepalaku sendiri.
Rosi, jangan piktor, pikiran kotor!
Segera aku berbalik dan masuk ke rumah setelah mengucap salam.
"Uhuk...uhuk...ngga jadi adegan delapan belas plus-plus-nya?" goda Risa sambil tergelak.
Semvlak! Rupanya Risa ngintipin aku tadi.
"Eh, anak ingusan dilarang ngintip, bintitan tingkat menteri nanti!" gerutuku antara sebal dan malu.
"Anak ingusan juga bentar lagi kawin, Mbak e!"
"Lu ngikut mulu kayak gerbong kereta."
Risa semakin jahil tertawa. "Mbak kan locomotifnya, gue gerbongnya, haha. Dimana-mana adek itu ngikut kakaknya."
Risa langsung ngacir ke kamar, ketika aku sudah siap menyambitnya dengan sendal.
Aku melangkah ke dapur, mengambil minum. Mendadak tenggorokanku terasa sangat kering dan sangat haus. Efek tadi grogi tingkat kabupaten.
"Udah pulang, Rosi?" sapa Emak ketika aku membawa segelas air hendak ke kamar.
"Udah, Mak."
"Gimana kesan pertama ketemu anaknya Ridwan yang kembar empat? Mereka baik dan tidak bandel, kan?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan Emak. Ingin sekali jujur mengatakan keadaan sebenarnya di sana. Akan tetapi, aku gengsi sama Emak. Belum apa-apa, aku sudah mengeluh dan hampir mati kutu.
Apa kata Emak nanti? Apa kata adik-adikku juga?
Sambutan dari si kembar yang telah dicuci otaknya , sehingga mereka takut padaku sebagai ibu tiri. Membuatku harus berpikir keras, bagaimana cara menangkalnya.
Aku yakin, aku bisa. Jiwa anak masih polos. Dengan pendekatan yang intens, lembut dan tulus, bisa membuat hati anak-anak lama-lama meleleh. Asal sumber pencuci otak harus dibasmi terlebih dulu.
Pokoknya...seorang Rosi pantang menyerah.
Yang agak sulit itu sambutan dari dua wanita dewasa, penghuni rumah Ridwan yang dingin dan menakutkan seperti mumi, anggap itu patung kuda yang lagi sakit gigi.
Ah, ya. Aku ingat patung kuda nyengir. Bukan nyengir ketawa, tapi seperti nyengir sakit gigi!
"Ditanya wajahmu malah kusut seperti cucian belum kering," tegur Emak.
"Ngga apa-apa, Mak. Rosi pengen tahu, ada kursus membuat ibu tiri yang baik ngga ya, Mak?"
Mata Emak membulat, alisnya langsung terangkat mendengar pertanyaanku.
"Ada." sahutnya.
"Ada?" Aku melonjak senang. "Di mana, Mak?"
"Di hatiku..."
Jawaban Emak membuat bahuku terkulai. Emak kembali beraksi dengan kekonyolannya.
"Yang bener dong, Mak," gumamku lemas.
"Lha, iya. Emak kan di urus sama Ibu tiri. Kakekmu kan nikah lagi setelah isterinya meninggal. Emak tahu rasanya punya ibu tiri. Tapi ibu tiri yang baik tentunya."
"Oh, ya. Aku kok lupa, ya. Kakek kan nikah lagi, jadi otomatis Emak punya ibu tiri."
Tubuhku langsung fresh lagi. Tenaga serasa di charge ulang baterenya full.
"Wah, cerita dong, Mak. Ibu tiri yang baik itu kayak gimana?" rajukku.
"Wani Piro?" tanya Emak konyol. "Emak cerita butuh tenaga, energi, soalnya bisa tujuh hari tujuh malam ceritanya. Butuh asupan energi biar nggak lemas."
Ya, ternyata, nggak anaknya, nggak emaknya, sama-sama nggak mau rugi. Lha, apa bedanya aku sama emak, ya? Mau nikah aja pake perjanjian. Emak juga sama....Mau kursus ibu tiri, harus berani menyediakan asupan energi.
Jiaah...buah jatuh tak jauh dari pohonnya, apa lagi kalau pohonnya pohon duren.
***
Akhirnya dengan seabrek rayuan juga mimisan..eh, tangisan, Emak akhirnya luluh juga. Mau kasih tips jadi ibu tiri keren dan beken di mata anak tiri.
Yess...aku sudah amankan tipsnya, dicatat di primbon pribadi.
Malam ini aku bisa tidur nyenyak. Semoga esok, hari menjadi lebih indah. Esok harinya lagi...makin indah. Esok harinya lagi...jauh lebih indah.
Boleh dong punya harapan?
Baru saja hendak memejamkan mata, ponselku di nakas samping tempat tidur bergetar. Tadinya mau aku cuekin, tetapi entah kenapa hatiku tidak tega. Takut ada hal penting.
Aku segera mengambil ponsel, mengusap layarnya dengan malas.
Mataku yang sudah lima Watt, langsung terang benderang. Seolah ada tambahan daya sehingga jadi terang.
[Selamat malam. Selamat istirahat. Besok masakin aku lagi yang enak, ya. Si kembar juga suka]
Rasanya tak percaya membaca pesan yang dikirim Ridwan. Segera aku ambil kacamata baca, takut mataku sawan.
Dibaca ulang, isi pesan tetap sama sih.
Iyess!
Aku langsung mengambil.posisi duduk padahal tadi sudah tepar. Tadinya sih mau berdiri dan langsung loncat-loncat di atas tempat tidur, saking happy. Akan tetapi, takut ranjangnya jebol. Jadi aku hanya mesem-mesem sendiri kayak orang sawan.
Aku langsung balas pesannya.
[Sama-sama. Btw, besok request apa? Biar aku masakin]
Send!
Jantungku gedebukan nunggu balasan.
Tak berapa lama ada pesan balasan.
[Apa aja. Asal dimasak dengan cinta, pasti enak]
Wau..gombalan lebay sangat ini.
Namun aku sukaa, gaes!Bodo amat yang tidak suka. Dunia ini milik aku dan Ridwan. Yang lain, ngontraak!Tips pertama dari emak sudah kulaksanakan dan sukses.
Sentuhlah mereka tepat di hatinya, dimulai dari kesukaanya. Terutama makanan. Percayalah, dari perut bisa naik ke hati. Karena jarak perut dekat dengan hati. Eaaa!
***
"Selamat pagi, Emak."
"Selamat pagi adik."
Aku menyapa dengan irama lagu keluarga Cemara di pagi hari sebelum sarapan.
Emak, Risa dan Rasya yang sudah duduk bersiap sarapan, serempak menoleh.
"Tumben ada yang cerah, seperti lampu phili*s, terang terus!" goda Risa.
"Sarapan dulu, Rosi. Mumpung masih panas." Emak menunjuk ke arah nasi goreng yang masih mengepul.
"Uhuy...calon manten, bening banget!" Rasya ikut menggoda. Kedua adikku juga sudah bersiap ke kantor.
Ketiga anak emak ini memang sudah pada kerja. Emak sekarang santai, bisa menikmati hari tuanya. Aku mesem-mesem, segera bergabung untuk sarapan.
"Lho, kok tumben sarapan sedikit?" tanya Emak ketika aku sarapan sedikit sehingga cepat selesai.
"Rosi diet sekarang, Mak. Badan rasanya udah bulat!"
Risa terkekeh mendengar ucapanku. "Tumben, inget diet!"
"Malu. Masa suami ganteng dan atletis, akunya mirip bola bekel?"
Risa dan Rasya meledak tertawa.
"Rosi, harusnya kamu sudah dipingit, ini seminggu lagi menikah. Kapan kamu ambil cuti?" tanya emak
"Nanti tiga atau dua hari sebelum hari H. Biar dapet lagi libur setelah merit," sahutku kalem.
Aku bergegas berdiri dan mencium tangan emak untuk pamitan. Sebelum Emak merepet lagi tentang married.
***
[Sore aku jemput lagi, ya. Nanti kamu ke rumahku lagi!]
Kembali ada chat masuk dari Ridwan saat jam istirahat.
Aku menghela napas panjang. Nanti sore kembali harus berhadapan dengan si kembar empat dan dua patung kuda yang sakit gigi. Meyda dan Airin.
Namun kali ini, aku sudah mengantongi jurus tips ampuh yang didapat dari Emak. Jurus menaklukan anak tiri, sekalian sama bapaknya. Eaaa...
Hanya belum ada jurus menaklukan dua mumi yang bertengger seperti pajangan di rumahnya Ridwan. Itu dibutuhkan keberanian dan keahlian khusus, biar bisa menghadapinya. Valentina Rosi harus bisa bergerak cepat. Aha!
[Oke]
Kukirim pesan balasan.
Tak berapa lama ada balasan emoticon mata penuh cinta. Aih, Ridwan bucin juga. Aku tertawa dalam hati.
Akan tetapi, harus hati-hati juga, siapa tahu dia juga bucin dengan wanita lain. Untung, aku sudah membentengi diri dengan perjanjian pra-nikah point' tiga.
Aku kan belum mengenal Ridwan lama. Mungkin ada hal yang tidak aku ketahui tentang si ganteng berlesung pipi itu. Masa selama dua tahun, dia anteng tanpa ada affair dengan wanita, sedangkan fisiknya bikin meleleh wanita manapun?
Ya, kan..kan..aku harus berpikir juga pakai logika, jangan hanya bucin pakai hati.
Aku menyimpan lagi ponsel di tas tangan. Tak sengaja tangan ini menyentuh plastik di tas. Tertegun sejenak, teringat lagi itu kartu undangan!
Aku lupa, undangan ini harusnya kubagikan pada teman kantor juga pada pimpinan. Namun, setelah kemarin Ridwan jadi investor di perusahaan, apakah ada pengaruhnya jika mereka tahu aku menikah dengan investor itu? Apa aku harus berhenti jadi pegawai?
Oh, no!
Aku memerlukan pekerjaan ini. Tabunganku belum cukup besar untuk resign, untuk memberikan sebagian penghasilan pada emak. Aku punya mimpi sendiri. Menjadi bisnis woman. Aku tak mau mengandalkan penghasilan suami. Meskipun nanti kalau menikah dengan Ridwan, aku berkecikupan. Ada emak yang harus kuurusi. Beliau janda. Ada mimpi juga yang dulu ingin kuwujudkan.
"Rosi! Dipanggil Pak Abda!" teriak Sida dari pintu ruangan.
"Ada apa, ya?" Aku mengerutkan dahi
"Meneketehe!" Sida membalas dengan ucapan yang sering kulontarkan. Lalu dia ngeloyor ke ruang marketing.
Deg!
Jantungku berdetak lebih kencang.
Ada apa ya, Pak Abda memanggil?
Aku melangkah ke ruangan Pak Abda dengan hati tak karuan. Semoga ini kabar baik!
"Masuk!" Terdengar sahutan ketika aku mengetuk pintu.
"Silakan duduk, Rosi."
Dengan canggung, aku duduk di depan meja Pak Abda.
"Nah, Rosi. Langsung saja ya. Pak Ridwan mengatakan pada saya, akan menikah..." Pak Abda menjeda ucapannya, lalu menatapku dengan senyum. "Saya tidak menyangka, calon isterinya adalah kamu."
Aku tercekat kaget. Ah, ternyata Ridwan sudah memberitahu pak Abda.
"Semalam Pak Ridwan bertandang ke rumah saya. Beliau berpesan, jangan sampai karyawan lain tahu. Takut ada kehebohan."
Aku mengembuskan napas pelan. Ada yang nyempil tak enak di dada sini. Ternyata masih ada rahasia yang harus dijaga dari pegawai lain.
"Ba-bapak tidak apa-apa, kan?" tanyaku gugup.
"Saya pribadi tidak masalah. Status Pak Ridwan bukan sebagai karyawan di sini. Jadi posisimu aman. Beliau hanya penanam modal saja. Hanya saja, jangan sampai ada masalah pribadi berimbas pada jalannya perusahaan. Jadi saya harap Pak Ridwan dan kamu, bersikap profesional di kantor. Jika ada masalah, jangan dicampur adukkan dengan kebijakan di perusahaan," papar Pak Abda bijak.
"Baik, Pak. Saya mengerti." Aku tersenyum lega dengan pengertian dari bosku itu.
"Selamat ya, Rosi. Calon suamimu orang hebat. Saya sudah lama mengenalnya." Pak Abda terus menyunggingkan senyum.
"Bapak sudah lama kenal dengannya?"
"Iya. Ridwan adalah adik tingkat waktu kuliah. Dia pintar, ramah dan rajin. Saya lama tidak bertemu dengannya. Sampai kemudian, setahun lalu ketemu lagi. Saya banyak mendengar perusahaannya dari klien saya. Sampai kemudian jadi investor di sini." Pak Abda bercerita panjang lebar. Wajahnya terus tersenyum.
"Kamu tak salah pilih, Rosi. Saya tahu kamu juga wanita baik dan rajin. Orang baik akan berjodoh lagi dengan orang baik."
Aku merasa hatiku tersentuh oleh ucapan Pak Abda. Ada rasa lega dan bahagia di lubuk hati.
Emak juga tak mungkin salah memilihkan jodoh untukku. Beliau pasti punya pertimbangan yang baik. Hanya saja, orang-orang di sekeliling Ridwan yang membuat semuanya jadi terasa sulit untukku.
***
Pulang kerja, baru saja hendak keluar gerbang perusahaan, kembali aku dihadang mobil sedan. Hanya saja sekarang aku lebih waspada. Segera mengerem kendaraan, lalu berhenti dan segera mundur untuk di parkir di belakang gerbang.
Aku sudah kenal mobil ini. Mobil yang sama pertama menghadangku dulu.
Aku tunggu sampai penumpangnya turun seperti dulu. Dengan langkah sombongnya.
Benar saja, sesosok tubuh ramping turun. Memakai celana jeans pensil dan kaus ketat dibalut cardigan pendek. Berjalan mendekat ke arahku.
"Mau apa lagi?" Aku menyambutnya dengan pertanyaan.
"Tenang dong, nggak usah pasang tampang jutek begitu," Wanita itu menyeringai menyebalkan. Wanita bernama Joana itu, lalu memandangi gedung perusahaan. "Jadi ini tempat kerjamu dan tempat investasi Ridwan?"
"Bukan urusanmu! Sekarang katakan mau apa, waktuku terbuang percuma dengar ocehanmu!" sentakku, tak suka kalau Joana mulai mengusik tempat kerjaku.
"Para pegawai sini tahu tidak ya, investornya punya affair dengan salah satu pegawai di perusahaan?" tanya Joana sinis. "Selamat ya, kamu juga mulai mendekat pada anak-anakku. Hebat juga Ridwan bisa kamu taklukan."
Joana tersenyum miring, lalu berjalan mendekat padaku. kepalanya dicondongkan ke arah telingaku dan berbisik.
"Jangan lupa, aku ibu si kembar. Sampai kapanpun aku tak bisa disingkirkan dari hidup anak-anakku."
"Apa maumu, Joana?" tanyaku dingin.
"Ridwan dan anak-anakku milikku. Tak ada yang bisa merebutnya dariku."
"Sinting! Ridwan dan kamu sudah cerai. The End. Kamu lupa, ya? Atau kepalamu kepentok jadi amnesia?" Aku tak kalah gertak dengan Joana.
"Oke. Silakan kamu bersenang-senang sekarang. Ingat, aku selalu mengawasimu!" desis Joana dengan menyeringai mengancam.
Lalu dia berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya.
"Inget, kata-kataku barusan. Bye!" teriaknya sebelum tubuhnya masuk ke mobil.
Aku mengembuskan napas kasar. Dasar, sinting! Otak wanita itu sudah konslet. Statusnya sudah mantan isteri, tapi masih rese. Rupanya, posisi Ridwan sebagai investor di perusahaan bakal dia pakai untuk mengusikku. Dasar, wanita sakit jiwa!
Aku merasakan firasat yang tak enak, dengan kelakuan wanita si mantan itu.
**
Duda Beranak EmpatPart 6***Sampai rumah aku melihat mobil Ridwan terparkir di depian. Rupanya Ridwan lebih dulu datang, sebelum aku pulang. Gara-gara Joana, aku jadi terlambat pulang tiga puluh menit."Assalamualaikum." Aku mengucap salam dengan tak bersemangat."Waalaikumsalam." Ibu dan Ridwan serempak menjawab salam.Dengan langkah gontai aku masuk ke ruang tamu."Kenapa wajahmu lesu amat, Rosi? Tumben juga telat?" tanya Emak beruntun."Gak apa, Ma. Cuma lelah," sahutku memaksakan senyum. "Tadi dihadang dulu satpol PP, jadi telat.""Satpol PP, kenapa?" Kali ini Ridwan yang kaget."Razia orang cantik!" jawabku ngawur.Ridwan tertawa tertahan. Tidak berani keras, kayaknya melihat tampangku yang lesu.Masih teringat ucapan Joana, wanita sinting itu, akan terus mengawasiku.Dasar, wanita sakit jiwa!Tak tahu malu, masih juga rese pada mantan. &nb
Mbak Mey, anak-anak akan saya bawa pergi ke luar, ya. Sudah pada mandi, kan?" tanya Ridwan pada Meyda, si baby sitter. "Sudah, Pak." Wajah Meyda mendadak berseri. Sepertinya dia berharap ikut diajak keluar juga. "Saya bawa anak-anak, ya. Mbak Mey tunggu saja di rumah. Ada Bu Rosi yang nanti ikut jagain anak-anak." Wajah Meyda yang tadi berseri, langsung masam mendengar ucapan Ridwan, yang menyuruhnya tunggu di rumah. Aku pura-pura tidak melihat, padahal dalam hati ingin tertawa melihat reaksi Meyda. Habisnya, sebagai baby sitter kegeeran banget pengen diajak ikut. "Rosi, tunggu sebentar, ya. Saya ke kamar dulu. Ada sesuatu yang ketinggalan," ucap Ridwan, bergegas melangkah ke kamarnya. "Anak-anak, nanti di sana hati-hati, ya. Jangan makan sembarangan, nanti sakit perut," ucap Meyda sambil melirik ke arahku ketika Ridwan sudah masuk kam
Kita mau ke mana?" tanyaku ketika sudah di jalan. "Ke suatu tempat rahasia. Pasti kamu suka." Ridwan tersenyum sambil menyetir. Aku lantas terdiam. Mencoba mengira-ngira, Ridwan membawa ke mana, kalau tidak mall, bisa restauran Namun, mobil bukannya mengarah ke pusat kota, tetapi berbelok ke jalan yang arahnya menuju luar kota. Dahiku mengernyit bingung. Apa Ridwan akan membawa kita piknik? Aku tak berani bertanya. Takut dibilang bawel. Padahal sih iya, dalam hati terus bawel bertanya sendiri. Apa dibawa ke hutan? Ke gunung? laut? Ke...villa? Aih...jawaban terakhir membuat jantung gedebak-gedebuk tak karuan. Mobil terus meluncur melewati batas kota. Memasuki wilayah kabupaten, berbelok kanan dari jalan raya besar, masuk jalan kecil. Di sisi kiri kanan ada sawah dan rumah yang jaraknya agak berjauhan. "Papa kok, kita ke hutan?" tanya Zidan. "Iya. Ada kol
"Papa! Jane ngantuk!" Terdengar teriakan Jane.Ridwan tampak kaget. Aku juga sama. Kedua tubuh ini segera merenggang. Pipiku memanas. Aku dan Ridwan hampir terlena terbawa suasana hati.“Maaf...” bisik Ridwan.Aku mengangguk. Mencoba mengerti bahwa Ridwan hanya terbawa suasana. Apalagi dia telah lama tidak tersentuh kehangatan. Seperti yang aku dengar. 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar. Untung kami segera tersadar."Iya, Jane. Kita pulang sekarang!" Ridwan akhirnya beranjak ke arah anak-anak. "Ayo, anak-anak, kita bersiap pulang!"Si kembar satu persatu berdiri, dan mulai bersiap pulang. Ridwan mematikan televisi dan DVD player."Kita pulang, Rosi." Ridwan menoleh ke arahku. "Kita belum bisa menginap di sini. Nanti kalau sudah resmi, kamu boleh tidur di sini sepuasnya!" Ada senyum penuh arti di bibir Ridwan, membuatku grogi
Duda Beranak EmpatPart 9 ** "Airin, Mas bertanya padamu. Apa yang barusan kamu ucapkan?" desak Ridwan. "Mas ...salah dengar, kali!" Airin berkelit gugup. Wajahnya merah, kuning, ijo bergantian. "Telinga Mas masih normal dan sehat." Ridwan kukuh. "Mas menganggap kamu itu adik kandung. Apalagi Mas anak tunggal. Jadi rasanya aneh kalau barusan dengar, kamu menganggap Mas bukan kakak ...tetapi pria dewasa yang kamu cintai. Sadar, Airin. Sejak kapan kamu punya pikiran seperti itu? Dari kecil Mas sudah biasa anggap kamu itu adik kecil, Mas." Airin menunduk. "Sejak Mas bercerai dari Joana, aku ingin mengganti posisi dia, Mas. Aku kasihan Mas kerepotan mengurus si kembar. Mas lelaki yang baik, tidak genit meskipun cakep. Aku suka itu ..." Ungkapan jujur Airin, membuat Ridwan menggelengkan kepala. "Itu salah, Airin. Jangan punya pikiran seperti itu pada Mas. Anggap Mas kakakmu seperti biasa."
"Valentina Rosi, memang hobinya nyalip!" gerutu Ruri begitu aku menjejakkan kaki di kantor."Lho, ada apa ini?" tanyaku bingung melihat wajah Sida dan Ruri yang serius."Ada bakwan...udang...tempe..tahu.." ucap Sida konyol sambil mulutnya mengerucut."Cmiw!""Kenapa nggak bilang bahwa kamu ini calon istri si investor ganteng itu?" cetus Ruri dengan muka ditekuk. "Gue kira dia free. Free style. Freedom. Pokoknya free choice. Ternyata udah ada cap di jidatnya. Yang ngasih capnya elu lagi, Rosi!"Aku kaget juga Ruri tahu tentang aku dan Ridwan."Sejak kapan kamu jadi calon istri mas Anang eh mas duda ganteng itu?"Aku serasa didemo dan dinterogasi pagi-pagi begini di kantor. Dua makhluk ceriwis ini beneran demo besar-besaran. Sampai pintu ruanganku diboikot, dihalangi tubuh mereka yang pendekar. Pendek dan kekar. Hampir satu strip pendeknya sama aku. Hihi."Kamu
** Aku ambil ponsel, tapi sebelum telpon tersambung, ada ide yang tiba-tiba melintas di otak. Aku harus pancing Joana alasan dia mau mengambil hak asuh. Aku yakin niatnya tidak tulus demi anak-anak. Namun, demi memiliki Ridwan lagi. "Katamu dulu malas mengurus anak-anak, cape dan memilih untuk hidup bebas. Kenapa sekarang jadi ribet ingin mengasuh anak-anak?" pancingku sambil pura-pura menekan nomor ponsel Ridwan. Padahal menekan tombol record juga. Joana menyeringai. "Kamu pintar. Aku tak mau ribet ngurus anak, tapi aku mau Ridwan balik padaku!" ucapnya lugas. Bingo! Aku berseru puas dalam hati. Pasti Ridwan mendengar ucapan Joana dan sudah kurekam. "Hallo, Iya, Rosi Ada apa ini?" terdengar sapaan dari seberang telepon. Karena aku menekan loudspeaaker jadi suara Ridwan didengar Joana. "Iya, Mas. Bisa kita ketemu sekarang? Ada hal penting yang harus dibi
"Kenapa menikahnya lebih cepat lagi? Udah kayak kereta api super ekspress!" ucap Emak ketika Ridwan mengantarku pulang ke rumah. "Emak harus siapkan makanan buat menjamu tamu dulu nanti." "Gak usah, Mak. Saya sudah pesan online dari restoran berikut kue-kue," ucap Ridwan sambil tersenyum. "Maaf mendadak, Mak. Karena ini darurat. Joana bermaksud menggagalkan pernikahan. Dan takut membawa kabur si kembar!" "Joana sudah seperti demit saja. Kadang ngilang, kadang muncul!" gerutu Emak. "Dia tidak kasihan apa, sama anak-anak diambil gitu saja kayak barang!" Ridwan menghela napas. "Seperti itulah Joana asli, Emak. Saya juga tidak menyangka sifatnya." "Ya, sudah. Kamu pulang dulu ke rumah. Jagain si kembar dulu!" "Iya, Mak. Tadi saya sudah suruh satpam kantor berjaga di depan rumah." "Genting banget, ya. Kayak ada serangan rudal jahat!" celetuk Rasya yang ikut menyimak. "Serangan kolong Wewe yang gondol anak!" Risa ikut nim