Share

4. Tantangan

Ridwan melirik ke arahku, ada raut tidak enak setelah mendengar pengakuan dari anak-anaknya.

"Anak-anak, masuk dulu ke dalam ya, nanti Papa menyusul," ucap Ridwan lembut pada anak-anaknya.

"Tapi Papa nanti masuk, ya?" ucap anak perempuan berambut seperti Dora.

"Iya, Jane, Sayang. Nanti Papa masuk menyusul."

Jadi anak perempuan berambut seperti kartun Dora itu, bernama Jane. Dia paling ramping dan putih dibanding tiga saudaranya.

Anak-anak itu menurut dan berlarian ke ruangan dalam  rumah.

"Maafkan ulah anak-anak ya, Rosi." Ridwan menatap ke arahku dengan mata menyesal.

Aku mencoba tersenyum. Berusaha maklum, meskipun hatiku ciut dan serasa teriris. Kesan pertama diperlihatkan anak-anaknya Ridwan, seperti rasa takut padaku. Anggapan Ibu tiri yang jahat.

Ada racun yang  ditanamkan dalam pikiran anak-anak yang masih polos itu. Entah dari mana,  dugaanku kuat itu Joana, dan itu merupakan tantangan tersendiri buatku, jika ingin menikah dengan Ridwan. Aku harus bisa juga meraih hati amak-anaknya.

",Momi Jo itu, apakah Joana?" tanyaku hati-hati

"Ya." Ridwan mengangguk lemah. "Entah apa maksudnya."

Aku mengembuskan napas kasar. sudah kuduga, itu Joana, penyebar racun. Aku harus hati-hati dan waspada sekarang.

"Kita masuk dulu yuk, Rosi. Pelan-,pelan saja, ya, mendekati anak-anak. Semoga nanti hati mereka  bisa berubah dan tidak takut lagi," ujar Ridwan, berusaha memberi semangat padaku.

"Iya. tak apa, Mas. Namanya juga anak-anak," sahutku berusaha tersenyum dan  memaklumi.  Aku harus bisa memahami posisi Ridwan, yang berperan  sebagai ayah, juga calon  suamiku.

Aku mengikuti langkah Ridwan memasuki ruangan dalam rumahnya yang luas. Setelah melewati ruang tamu, dengan sofa berwarna coklat tua, lalu masuk ke ruang tengah.

Ruangan itu luas. Ada  tiga sofa jumbo dengan bantall-bantal  empuk. Empat orang anak tengah asyik bercanda sambil nonton film kartun di televisi lebar, selebar setengah pintu.

Aku tersenyum sendiri. Terdengar tawa mereka  berderai, ketika melihat adegan yang lucu. Ada dua wanita dewasa sedang duduk santai di dekat anak-anak.

Ridwan meraih tanganku dan mendekat ke arah dua wanita dewasa itu.

"Mbak Meyda dan Airin. Kenalin, ini Rosi," ucap Ridwan mengenalkan aku. Dua wanita dewasa itu serempak menoleh ke arahku yang berdiri di sisi Ridwan.

"Mbak Meyda adalah baby sitter si kembar dari lahir hingga sekarang. Panggilannya Mbak Mey." Ridwan menunjuk ke seorang wanita berambut panjang, sepertinya usianya sebaya denganku. Ia melihat ke arahku seraya tersenyum tipis.

"Oh, Mbak Mey. Salam kenal, saya Rosi." Aku berusaha bersikap ramah mengenalkan diri sendiri seraya tersenyum.

Mbak Mey hanya tersenyum tanpa memperlihatkan gigi, dan tanpa menjawab sapaanku.

"Dan itu Airin. Adikku. Masih kuliah tingkat tiga." Ridwan menunjuk seorang gadis, berambut sebahu, berkulit putih dan berwajah cantik mirip Ridwan.

"Hallo Airin, kenalkan, saya Rosi."

Aku menyodorkan tangan mengajak salaman. Airin nampak tersenyum tipis dan menyambut uluran tangan, bersalaman. Airin juga sama membisu, tanpa menjawab sapaan, hanya mengulas senyum tipis ketika bersalaman.

Perasaanku merasa tidak enak. Sikap awal mereka tidak bersahabat denganku. Tak ada balasan dari sapaanku. Aku merasa sok akrab sendiri.

Namun, biarlah! Yang penting aku menunjukkan itikad baik, berusaha ramah pada mereka.

"Kamu duduk dulu, Rosi. Biar kuambilkan minum dulu," ucap Ridwan yang membuatku mengerutkan kening.

Kenapa Ridwan sendiri yang ambil minum? Bukankah di sini ada dua wanita dewasa yang bisa dimintai tolong mengambil minum?

"Gak usah, Mas. Tunjukkan saja dapurnya di mana, biar nanti aku ambil minum. Sekalian Mas mau minum apa? Biar aku buatkan," tawarku sambil  berusaha memindai  ruangan tengah, mencari arah dapur.

"Ikuti aku saja," ucap Ridwan yang malah menuntunku ke arah dapur.

Di ruangan dapur yang luas, ada  kitchen set, Ridwan membuka lemari panjang atas, yang berisi perabotan dapur termasuk gelas, cangkir dan piring.

Tanpa sungkan dan kaku, Ridwan mengambil gelas dan cangkir, lalu menyodorkannya padaku.

"Aku tak tahu kamu mau teh atau kopi, atau jus. Pilih saja sendiri," ujarnya seraya tersenyum.

"Aku pengen teh campur madu, di sore begini, rasanya segar," jawabku

Aku segera mengambil cangkir, menuang air panas dari dispenser dan teh celup.

"Madunya di lemari es," seru Ridwan.

Aku bergerak ke arah lemari es di sudut ruangan.

"Kamu mau dibuatkan apa, Mas?" tawarku.

"Sama. Teh madu juga."

"Ish...ikut-ikutan aja," godaku. Ridwan hanya tersenyum.

Aku segera membuat teh madu dua cangkir.

"Kita duduk di teras belakang, menikmati udara sore." ajak Ridwan.

Aku menurut, membawa nampan berisi dua cangkir teh, mengikuti langkah Ridwan ke teras belakang.

"Ini tempat favoritku, sambil membaca dan melihat anak-anak bermain di taman atau berenang. Usia lima tahun, masih TK, udah pada pinter berenang. Aku mengajari mereka," ucap Ridwan bangga.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Ada rasa risih. Anak TK saja jago berenang. Lha, aku? Jago gaya batu. Nyemplung langsung tenggelam. Apa kata anak-anak Ridwan kalau tahu ibu tirinya seperti batu? Aku menghela napas panjang.

Ridwan menuju ke arah kursi teras dari rotan,. Depan teras ada taman dengan rumput hijau yang luas, tanaman bunga, ada kolam renang juga di sisi kiri taman. Indah. Asri. Apalagi pinggir-pinggirnya ditanami pohon-pohon.

Aku merasakan hembusan angin,  segarnya rumput hijau, daun-daun tanaman, bunga dan pohon. Pantas kalau ini tempat favorit Ridwan. Suasananya nyaman.

Namun, tidak dengan penghuninya. Aku melihat wajah perang di dua wanita tadi. Baby sitter dan adik Mas Ridwan sepertinya tak menyukaiku.

Apakah kehadiranku di rumah ini mengusik ketenangan mereka? Nanti kalau sudah menikah dengan Ridwan, otomatis aku jadi nyonya di rumah ini. Apakah mereka mau menerimaku?

Aku menghela napas lagi. Dadaku terasa sesak. Kesan pertama ternyata jauh dari perkiraan.

"Kenapa?" tanya Ridwan melihatku berkali-kali menghela napas.

"Apa adikmu dan baby sitter itu tak menyukaiku ya, Mas?" keluhku. "Mereka tak membalas sapaanku tadi. Diam saja."

Ridwan menatap mataku dalam. "Mereka belum mengenalmu, Rosi," ujarnya seraya tersenyum menenangkan. "Mungkin masih sungkan saja."

"Semoga begitu." Aku tersenyum kecut. "Apa ada orang lain lagi di rumah ini? Siapa yang masak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lainnya? Tadi kamupun  buat minum sendiri."

"Ada Bik Nur, tapi sedang pulang kampung dulu nengok anaknya. Untuk sementara, digantikan tetangga dulu, datang pagi pulang sore. Ada pak Ahmad, sopir antar jemput anak merangkap tukang kebun," papar Ridwan.

Aku lihat hidup Ridwan makmur dan nyaman, kenapa Joana bilang bangkrut? Mungkin perusahaannya pernah kena krisis seperti kata pa Abda, tapi berhasil bangkit lagi dan jauh lebih kuat dari sebelumnya. Mungkin itulah kenapa Joana selalu rese merecoki kalau Ridwan mau serius menikah.

"Papa!" Anak-anak kembali berlarian menghampiri Ridwan.

"Hei, anak-anak. Sekarang tidak takut lagi pada Tante Rosi, kan?" tanya Ridwan lagi. "Tante Rosi baik, kok. Papa juga sayang padanya. Kalian harus sayang juga, ya?" bujuk Ridwan lembut sambil berjongkok di depan anak-anaknya.

Ada semburat rasa hangat di pipi mendengar ucapan Ridwan.

Ya, Tuhan, Ridwan barusan bilang dia  sayang padaku? Dia  menyuruh anak-anak ikut juga sayang padaku.

Ada yang berdesir di hati ini. Tenggorokanku serasa tercekat haru. Tak salah emak pilihkan jodoh untukku. Meskipun dia duda empat anak, aku lihat Ridwan seorang family man. Pria yang mencintai anak dan keluarganya. Dia berusaha agar anaknya mau menerimaku.

Jadi aku juga harus berjuang keras menjadi istri dan ibu yang baik bagi mereka. Aku harus singkirkan segala rasa gengsi, sungkan dan rasa tidak enak lainnya.

***

"Jangan dulu pulang, ya. Kita makan malam dulu di sini," ajak Ridwan. "Aku mau pesan makanan online saja."

"Jangan! Biar aku yang masak!" cegahku.

"Apa kamu bisa masak?" tanya Ridwan sangsi.

"Bisa, dong! Emak mengajariku dari gadis harus bisa jadi ibu rumah tangga. Bisa masak, beberes rumah. Meskipun pendidikan tinggi, pada dasarnya kodrat wanita tetap dapur, sumur, ka,---" Aku menghentikan ucapan dengan muka merah. Keceplosan mau bilang 'kasur'

"Apa tuh...terusin!" Ridwan malah menggoda. "Kasur, kan?" Tawanya langsung berderai, membuatku salah tingkah.

"Sudah, ah. Aku mau masak buat makan malam." Aku segera melengos karena malu.

"Anak-anak mau dimasakin apa? Tante Rosi bisa jadi koki kayak di restoran, lho!" Aku berusaha mendekat ke arah anak-anak.

"Steak!" teriak Zidan

"Pizza, bulgel!" teriak Ziyan, anak lelaki kedua.

"Aku steak juga sama bulgel!" Dua anak perempuan menjawab serempak.

Aku tertegun sejenak. Pizza lama bikinnya. Burger harus ada rotinya. Aku terus putar otak. Ah, ya, kenapa aku tak bikin semuanya dari nasi. Pizza dan burger nasi. Emak pernah membuatnya dulu ketika aku masih kecil dan rewel. Semoga aku juga bisa sekarang.

Emak pernah mengatakan, cinta bisa datang melalui perut, lalu naik ke hati.

Aku akan coba menaklukan hati anak-anak itu, dengan membuat perut mereka kenyang dan ketagihan masakanku.

Untuk Ridwan? Sama juga bisa merasakan hasil olahan tanganku. Semoga duda ganteng itu makin meleleh hatinya. Uhuy...

Masakan itu enak  rasanya, karena ada bumbu  cinta dalam proses pembuatannya.

Kali ini aku akan jadi ratu bucin yang menebar racun cinta. Hehe.

Ketika tengah sibuk memasak, Airin mondar mandir ke dapur. Tadinya aku cuekin, tapi lama-lama terasa mengganggu konsentrasi  sedang masak.

"Ada apa, Airin?" Akhirnya aku tak tahan juga bertanya.

"Maksudnya apa ya, baru datang langsung cari muka?" tanyanya sinis.

"Cari muka? Hallo...adik sayang, saya tak cari muka. Itu abangmu dan ponakanmu kelaparan pengen makan. Masa tega membiarkan mereka pesan makan online? Padahal di rumah kan ada manusia berjenis kelamin wanita. Kenapa dianggurin?" sahutku sedikit menyindir.

Wajah Airin terlihat memerah, merasa tersindir. Dia melengos pergi sambil mendengkus.

Skak mat!

Siapa suruh mengusik seorang Rosi? Tiba-tiba menuduh  cari muka segala?

Ternyata aku harus hati-hati, belum apa-apa sudah menemukan rival dari adiknya Ridwan. Emak bilang dia adik tiri. Pantas beda sifat dengan kakaknya.  Ridwan dewasa dan bijak. Adiknya cantik tapi terkesan jutek, sekilas malah sombong.

Bagaimana dengan baby sitter? Dia juga membawa  anak-anak buru-buru menjauh,  ketika mereka ingin mendekat ke arahku. Seolah takut anak-anak akan jadi tunduk padaku.

Fix. Ridwan bisa kuraih hatinya. Hanya penghuni rumahnya yang belum. Itu pe-er yang harus dihadapi seorang Rosi sekarang. Yang kata Sida, Valentina Rosi selalu siap bertarung.

***

"Makasih buat semuanya, Rosi." ucap Ridwan ketika mengantarku kembali ke rumah. "Anak-anak suka sekali masakan buatanmu. Kamu pintar bikin pizza dan burger nasi."

Aku tersenyum senang mendengar pujian Ridwan.

"Ah, syukurlah kalau mereka suka," ucapku lega. Jurus pertama meraih hati anak-anak lewat makanan, yes... berhasil!

Ridwan tiba-tiba sedikit mendekat ke arahku. Kepalanya menunduk, mendekat ke arah pipi.

"Eh..m-mau apa, Mas?" tanyaku gugup. Jantungku langsung berdentum hebat. Napas terasa sesak. Mataku mengerjap tak karuan.

"Ada sisa saos di pipimu," ucap Ridwan, lalu tangannya mengusap membersihkan pipi.

Kakiku terasa lemas. Pipiku terasa panas. Kirain Ridwan....ah!

Malu sekali rasanya, pikiranku sempat melayang nggak karuan.

Oalah...Rosi! Jangan geer, lu! Teriakku dalam hati.

"Aku pulang dulu, Rosi," pamit Ridwan. "Lain kali aku bawa anak-anak keluar bersama, ya! biar makin dekat."

Aku mengangguk seraya tersenyum. Menatap Ridwan yang masuk ke mobilnya,

Aku mengembuskan napas kencang.

Drama keluarga baru saja dimulai. Seorang Rosi harus bisa menghadapinya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status