Kita mau ke mana?" tanyaku ketika sudah di jalan.
"Ke suatu tempat rahasia. Pasti kamu suka." Ridwan tersenyum sambil menyetir.
Aku lantas terdiam. Mencoba mengira-ngira, Ridwan membawa ke mana, kalau tidak mall, bisa restauran
Namun, mobil bukannya mengarah ke pusat kota, tetapi berbelok ke jalan yang arahnya menuju luar kota.
Dahiku mengernyit bingung. Apa Ridwan akan membawa kita piknik?
Aku tak berani bertanya. Takut dibilang bawel. Padahal sih iya, dalam hati terus bawel bertanya sendiri.
Apa dibawa ke hutan? Ke gunung? laut? Ke...villa? Aih...jawaban terakhir membuat jantung gedebak-gedebuk tak karuan.
Mobil terus meluncur melewati batas kota. Memasuki wilayah kabupaten, berbelok kanan dari jalan raya besar, masuk jalan kecil. Di sisi kiri kanan ada sawah dan rumah yang jaraknya agak berjauhan.
"Papa kok, kita ke hutan?" tanya Zidan.
"Iya. Ada kol
"Papa! Jane ngantuk!" Terdengar teriakan Jane.Ridwan tampak kaget. Aku juga sama. Kedua tubuh ini segera merenggang. Pipiku memanas. Aku dan Ridwan hampir terlena terbawa suasana hati.“Maaf...” bisik Ridwan.Aku mengangguk. Mencoba mengerti bahwa Ridwan hanya terbawa suasana. Apalagi dia telah lama tidak tersentuh kehangatan. Seperti yang aku dengar. 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar. Untung kami segera tersadar."Iya, Jane. Kita pulang sekarang!" Ridwan akhirnya beranjak ke arah anak-anak. "Ayo, anak-anak, kita bersiap pulang!"Si kembar satu persatu berdiri, dan mulai bersiap pulang. Ridwan mematikan televisi dan DVD player."Kita pulang, Rosi." Ridwan menoleh ke arahku. "Kita belum bisa menginap di sini. Nanti kalau sudah resmi, kamu boleh tidur di sini sepuasnya!" Ada senyum penuh arti di bibir Ridwan, membuatku grogi
Duda Beranak EmpatPart 9 ** "Airin, Mas bertanya padamu. Apa yang barusan kamu ucapkan?" desak Ridwan. "Mas ...salah dengar, kali!" Airin berkelit gugup. Wajahnya merah, kuning, ijo bergantian. "Telinga Mas masih normal dan sehat." Ridwan kukuh. "Mas menganggap kamu itu adik kandung. Apalagi Mas anak tunggal. Jadi rasanya aneh kalau barusan dengar, kamu menganggap Mas bukan kakak ...tetapi pria dewasa yang kamu cintai. Sadar, Airin. Sejak kapan kamu punya pikiran seperti itu? Dari kecil Mas sudah biasa anggap kamu itu adik kecil, Mas." Airin menunduk. "Sejak Mas bercerai dari Joana, aku ingin mengganti posisi dia, Mas. Aku kasihan Mas kerepotan mengurus si kembar. Mas lelaki yang baik, tidak genit meskipun cakep. Aku suka itu ..." Ungkapan jujur Airin, membuat Ridwan menggelengkan kepala. "Itu salah, Airin. Jangan punya pikiran seperti itu pada Mas. Anggap Mas kakakmu seperti biasa."
"Valentina Rosi, memang hobinya nyalip!" gerutu Ruri begitu aku menjejakkan kaki di kantor."Lho, ada apa ini?" tanyaku bingung melihat wajah Sida dan Ruri yang serius."Ada bakwan...udang...tempe..tahu.." ucap Sida konyol sambil mulutnya mengerucut."Cmiw!""Kenapa nggak bilang bahwa kamu ini calon istri si investor ganteng itu?" cetus Ruri dengan muka ditekuk. "Gue kira dia free. Free style. Freedom. Pokoknya free choice. Ternyata udah ada cap di jidatnya. Yang ngasih capnya elu lagi, Rosi!"Aku kaget juga Ruri tahu tentang aku dan Ridwan."Sejak kapan kamu jadi calon istri mas Anang eh mas duda ganteng itu?"Aku serasa didemo dan dinterogasi pagi-pagi begini di kantor. Dua makhluk ceriwis ini beneran demo besar-besaran. Sampai pintu ruanganku diboikot, dihalangi tubuh mereka yang pendekar. Pendek dan kekar. Hampir satu strip pendeknya sama aku. Hihi."Kamu
** Aku ambil ponsel, tapi sebelum telpon tersambung, ada ide yang tiba-tiba melintas di otak. Aku harus pancing Joana alasan dia mau mengambil hak asuh. Aku yakin niatnya tidak tulus demi anak-anak. Namun, demi memiliki Ridwan lagi. "Katamu dulu malas mengurus anak-anak, cape dan memilih untuk hidup bebas. Kenapa sekarang jadi ribet ingin mengasuh anak-anak?" pancingku sambil pura-pura menekan nomor ponsel Ridwan. Padahal menekan tombol record juga. Joana menyeringai. "Kamu pintar. Aku tak mau ribet ngurus anak, tapi aku mau Ridwan balik padaku!" ucapnya lugas. Bingo! Aku berseru puas dalam hati. Pasti Ridwan mendengar ucapan Joana dan sudah kurekam. "Hallo, Iya, Rosi Ada apa ini?" terdengar sapaan dari seberang telepon. Karena aku menekan loudspeaaker jadi suara Ridwan didengar Joana. "Iya, Mas. Bisa kita ketemu sekarang? Ada hal penting yang harus dibi
"Kenapa menikahnya lebih cepat lagi? Udah kayak kereta api super ekspress!" ucap Emak ketika Ridwan mengantarku pulang ke rumah. "Emak harus siapkan makanan buat menjamu tamu dulu nanti." "Gak usah, Mak. Saya sudah pesan online dari restoran berikut kue-kue," ucap Ridwan sambil tersenyum. "Maaf mendadak, Mak. Karena ini darurat. Joana bermaksud menggagalkan pernikahan. Dan takut membawa kabur si kembar!" "Joana sudah seperti demit saja. Kadang ngilang, kadang muncul!" gerutu Emak. "Dia tidak kasihan apa, sama anak-anak diambil gitu saja kayak barang!" Ridwan menghela napas. "Seperti itulah Joana asli, Emak. Saya juga tidak menyangka sifatnya." "Ya, sudah. Kamu pulang dulu ke rumah. Jagain si kembar dulu!" "Iya, Mak. Tadi saya sudah suruh satpam kantor berjaga di depan rumah." "Genting banget, ya. Kayak ada serangan rudal jahat!" celetuk Rasya yang ikut menyimak. "Serangan kolong Wewe yang gondol anak!" Risa ikut nim
*** Akhirnya emak juga menyuruhku ikut Ridwan malam itu. Jantung seakan berlomba lari marathon. Pontang panting dan gedebukan tak karuan. Membayangkan ini malam pertamaku dengan Ridwan. Ya, Ampuun! Aku pulang terpisah di mobilku, yang di setiri Ridwan. Ada si kembar empat di jok belakang, yang terkantuk-kantuk seperti biasa. Baby sitter aku suruh di mobil rombongan satu lagi yang mengangkut banyak keluarga. Malas rasanya, dari tadi melihat wajahnya ditekuk kayak onta. Apa Meyda itu cemburu, aku menikah dengan bapaknya si kembar? Dia mengaku sudah berkorban merawat si kembar dari bayi. Mungkin Meyda menghalu dirinya jadi ibu beneran si kembar. Pukul 11 malam, aku sudah sampai di rumah Ridwan. Kali ini Ridwan tidak menggendong si kembar. Mereka bisa bangun sendiri, ketika terdengar pintu mobil dibuka. "Kamu bisa berganti baju di kamarku, Rosi," ucap Ridwan melihatku masih berkebaya. "Aku sudah siapkan
** Ketika aku sudah pasrah dan tubuhku makin lemas, tiba-tiba badanku ada yang memeluk dan serasa tertarik ke atas. Antara sadar dan tidak sudah ada di daratan"Rosi, bangun! Buka matamu!" Tubuhku serasa di tepuk bagian punggung. Lalu tubuh lemas ini dibaringkan, terasa dadaku ditekan hingga memuntahkan air yang diminum. Dada yang sesak serasa lega kembali. Aku bisa bernapas tanpa berat lagi. Perlahan tubuh ini di dudukkan, lalu direngkuh dalam pelukan. "Syukurlah, kamu tak apa-apa, Rosi." Aku menikmati irama detakan jantung tempatku menyandarkan kepala. Terasa nyaman. Lalu pelukannya terurai dan wajahku ditangkup dua tangan"Kenapa bisa jatuh ke kolam? Untung aku bisa menemukanmu dan menyelamatkan tepat waktu." Ada kecemasan yang sangat di mata itu. Aku menggeleng pelan, karena aku juga bingung bisa terdorong jatuh ke kolam.
Ridwan menghalangi dengan badannya. "Jangan sembarangan ambil anak-anak, Joana! Mereka tanggung jawabku. Kamu sudah meninggalkan mereka dulu. Ingat?" tegas Ridwan. Aku segera membawa si kembar ke teras belakang. Mereka nampak ketakutan melihat pertengkaran orang tuanya. "Meyda! Bantu jaga si kembar! Jangan sampai melihat orang bertengkar!";titahku pada Meyda yang diam terpaku di ambang pintu ruang makan. "Bawa si kembar ke gazebo belakang supaya aman!" Aku segera berjalan dan mengawasi Ridwan yang bersikeras supaya dua orang pria yang dibawa Joana tidak masuk. Muncul ide untuk memberi bukti jika sesuatu terjadi nanti. Ridwan nampak kewalahan didorong dua pria berotot itu. Tenaganya kalah dengan dua pria tadi. Ridwan sampai jatuh terjengkang karena didorong. Dua pria tadi merangsek maju mencari si kembar. Aku segera menghampirinya. "Hei, kalau kalian masuk tanpa permisi di sini, kalian