Bayu mengusap wajahnya. Pak Dibyo suaminya Bu Ningsih masih saja mendesak Bayu untuk membantu mengurusi urusan Rengganis dan Neneng. Padahal dia juga pusing memikirkan perekonomiannya yang bertujuan untuk menghidupi Nilam.
Cahaya senja menerobos jendela di ruang tamu di rumah sederhana milik Bayu. Cahaya tersebut menerangi debu yang berterbangan di udara, seakan menggambarkan kekacauan yang melanda hidupnya. Perceraiannya dengan Rengganis telah menorehkan luka yang menganga. Namun, luka tersebut semakin tergores oleh perselisihan antara Rengganis, Neneng dan Weldan. Mereka menuduh Bayu dengan tuduhan tidak bisa mendidik istrinya dengan baik dan akhirnya jatuh ke pelukan lelaki lain. Awalnya hanya pertengkaran kecil dengan kedua wanita itu. Gosip antara Rengganis dan Weldan bak api yang melalap padang ilalang. Membakar nama baik Rengganis dan membuat Neneng cemburu. Namun, pertengkaran tersebut berujung menyakitkan yang dituduhkan pada Bayu. "Bayu, kamu gagal mendidik istrimu! Rengganis telah menghancurkan keluarga kecil anak kami, Neneng dan Weldan! Kamu lemah dan tidak pantas menjadi pemimpin keluarga," ujar Bu Ningsih dengan nada emosi. Orang tua Neneng yang kaya dengan segala pengaruhnya menyalahkan Bayu atas semuanya. Pak Dibyo ikut menyimak, menimpali dengan tuduhan dan penghinaan. Sementara Bayu, yang awalnya terdiam, merasa hancur. Bukan hanya karena tuduhan, tetapi juga pengkhianatan Rengganis. Bayu Mencari titik seimbang dan tenang. Ia menyadari amarah tak akan menyelesaikan masalah. Ia harus berpikir jernih. "Bu, Pak, saya mengerti kemarahan kalian. Saya akui, saya gagal mempertahankan pernikahan saya, tetapi mengatakan saya tidak mendidik Rengganis adalah ucapan yang kurang tepat. Pernikahan adalah jalan dua arah. Rengganis juga memiliki peran dan tanggung jawabnya. Namun, ia jenuh dengan aturan rumah tangga yang harusnya ia lakukan. Rengganis merasa kurang cukup dengan nafkah yang saya berikan. Saya akui, saya tidak bisa memberikan dia kemewahan karena saya hanya orang kecil yang berusaha menjadi baik." Kini Bayu bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan putri harapan masa depannya, Nilam. Ia tidak punya kekuasaan untuk membungkam gosip dan tuduhan yang dilontarkan. Hanya kesedihan yang ia rasakan dalam luka. Bayangan wajah Rengganis penuh amarah dan kebencian. Wajah orang tua Neneng yang penuh penghinaan kini selalu datang menghantuinya. Ia terjebak dalam pusaran masalah yang tidak kunjung selesai. Duda yang menjadi kambing hitam atas kesalahan orang lain. Keadilan terasa begitu jauh, sementara beban yang ia pikul semakin berat. Ia berharap kebenaran akan terungkap dan namanya dibersihkan dari tuduhan yang tidak berdasar. Pak Dibyo dan Bu Ningsih saling berpandangan. "Baik, kamu memang tidak bersalah dalam urusan Rengganis sekarang, tetapi dia meresahkan keluarga kami dan keluarga Weldan. Saya harap, kamu bisa memberi solusi. Terlebih, kamu sudah lima tahun menikah dengan Rengganis dan tahu wataknya dia seperti apa. Barangkali ia mempunyai titik lemah sehingga pernikahan Neneng dan Weldan bisa aman kembali," sahut Pak Dibyo yang mulai merendah suarnya. Yang tadinya beliau geram, kini berubah pikiran karena Bayu berbicara dengan tenang dan bijak. "Saya sarankan, Bu Ningsih melakukan pendekatan kepada Rengganis secara langsung. Dan mendengarkan keluh kesahnya. Setelah itu Rengganis diajak damai. Dan Bu Ningsih memberikan bantuan kepada Rengagnis dengan cara mengalihkan kegiatan positif agar bisa move on dari Weldan. Misalnya mengajak pengajian ibu-ibu. Soalnya urusan saya juga padat. Belum lagi saya mengurusi Nilam sendirian. Saya juga minta dukungan dari Bu Ningsih dan Pak Dibyo agar masalah ini cepat selesai. Saya akan membantu selama saya bisa." Begitulah solusi bijak yang diutarakan Bayu. Ia berusaha netral dan siap dipanggil ketika dibutuhkan. "Baiklah Mas Bayu. Solusi kamu, saya terima. Kalau begitu saya pamit dulu. Dijaga baik-baik itu Si Nilam. Nih, ada sebungkus roti kering, diamkan ya? Semoga saja Rengganis mau aku ajak pengajian dan nasehati. Dia juga butuh uang banyak kayaknya. Tipe matre. Pak, nanti dia kita sokong dengan uang ya? Penting Neneng dan Weldan akur!" sahut Bu Ningsih yang sangat mengharapkan anaknya yang bernama Neneng samawa dengan Weldan. "Aamiin, terima kasih kuehnya. Maaf kalau kata saya kurang berkenan dan belum bisa memenuhi semua kemauan Rengganis. Saya akan berusaha mendidik Nilam menjadi lebih baik dari ibunya," jawab Bayu dengan nada tenang dan bijak. "Saya jadi salut sama kamu, Bayu. Kukira kamu pemarah dan acuh kepada istrimu. Omongan tetangga memang belum tentu benar. Pokoknya sekarang kamu dukung untuk menjadi sukses, Bayu! Ngomong-ngomong sangkar burung yang kau jual ke Pak Darto Tohir itu sudah laku? Dan berapa harganya?" Pak Dibyo malah membahas tentang sangkar burung. Ia teringat beberapa burung yang ia beli dua hari yang lalu. Melihat Pak Darto memuji sangkar burung Bayu, Pak Dibyo ikut tertarik. "Memang kadang orang melihat dari omongan saja, dan tidak mencari kebenaran. Namun, itu tidak masalah selama tidak mengganggu hidup saya dan Nilam. Harganya empat ratus ribu per buah, Pak. Yah, saya hanya berusaha membuat dengan baik dan lebih menarik lagi agar dagangan saya laku keras dan berkualitas," jawab Bayu sambil memberikan kopi yang sudah ia siapkan sejak tadi. Ia tidak melulu duduk, tetapi juga membuatkan kopi yang kebetulan ia memaksa air panas dan ditaruh di termos. Sehingga jika ada tamu, air panas langsung dituang di kopi. Kopi sudah hangat dan langsung dihabiskan oleh Pak Dibyo. Bu Ningsih tidak minum kopi karena sedang diet. "Saya pesan tiga buah. Saya tertarik dengan model sangkar burung yang kamu buat, Bayu!" Tiba-tiba Pak Dibyo ingin membeli sarang burung milik Bayu sehingga Bayu merasa senang dan bersyukur. "Alhamdulilah, baik Pak, mulai besok saya akan buat." Begitu ada pesanan, Bayi langsung gerak cepat agar pembeli puas. Tidak lama, kedua tetangganya undur pulang. Hati Bayu merasa sedikit lega. Waktu juga sudah Maghrib. "Ayah, tamunya sudah pulang? Lama banget?" Ketika itu, Nilam ke luar dari kamar sambil cemberut karena merasa diabaikan sang ayah. "Eh, anak cantik ayah cemberut. Lihat, ayah bawa apa? Dimakan bareng yuk?" Agar Nilam tidak sedih, Bayu memberikan bingkisan kueh bolu kukus yang diberikan oleh Bu Ningsih. Nilam kegirangan dan langsung makan bersama sang ayah. Drrtt drrtt Android buluk Melik Bayu bergetar. Ternyata ada telepon dari Rengagnis. Bayu langsung mengangkat telepon tersebut. "Halo, ada apa?" tanya Bayu dengan nada sedikit keras dan terkesan sinis. "Mas Bayu, aku sedang tertekan, tolong aku! Neneng melakukan berbagai cara agar aku tidak bisa menikah dengan Weldan. Hanya kamu yang bisa memberi solusi," ujar Rengganis dengan suara serak. Ketika Rengganis ada masalah, yang terlibat harus Bayu. Padahal pekan lalu, ia sudah menghina Bayu habis-habisnya di depan Weldan.Sore hari yang mendung, sememdung hati Aisyah yang kini mendengar cerita dari Bayu dan Pak Riyan. Mereka sedang merencanakan pernikahan. Namun, Bayu masih belum seratus persen menyetujui usulan Pak Riyan. Dilihat dari beberapa pertimbangan. Suara daun pisang kering mengakibatkan Bayu mendengar bisikan itu. Ia langsung menuju suara tersebut. Hingga ia menemukan siapa yang ada di samping kebun rumahnya. "Neng Aisyah? Kamu di situ?" Bayu memberanikan diri mendekati Aiayah. Aisyah menunduk sambil menangis. "Maaf, saya lancang!" ujar Aisyah sambil berbalik dan mencoba berlari. Namun, Bayu dengan cepat meraih tangan Aisyah. "Aisyah, kau jangan pergi. Ayo ikut aku!" "Jangan, Mas Bayu. Kau mau ajak aku ke mana?" tanya Aisyah dengan gugup. Bayu melangkah menuju di mana Pak Riyan dan Nisa berada. Pak Riyan dan Nisa berada di ruang tamu. Aisyah pun dipersilakan duduk oleh Bayu. "Siapa ini, Bay?" tanya Pak Riyan dengan terkejut. Pikirannya menerawang ke mana-mana.
"Alhamdulilah, Pak Riyan. Semoga pembangunannya lancar," jawab Bayu sambil berdiri memandang bangunan yang ia usahakan. Pak Riyan menepuk pundak Bayu. "Kalau kau kesulitan dana, kubantu. Saya pikir, kau itu pria dewasa yang matang dan sederhana. Pikirkan tentang Nisa. Saya memberi kepercayaan padamu untuk menikahkan Nisa denganmu. Semoga kau mau," bisik Pak Riyan dengan mantap. Bayu menoleh ke arah Pak Riyan dengan tatapan mata melebar. Ia sangat dilema. Masalahnya ada wanita yang juga diam-diam menyukainya. Sangat bingung saat ini. Bayu hanya diam. Dia mengambil piring kotor yang berserakan di area bangunan. Ia belum sempat membawa masuk ke dalam rumah. Tenaganya terbatas dan ia butuh istri yang memahami kondisi suami. Bukan istri egois yang ingin didahulukan keinginannya. "Mas Bayu berpikir saja dulu. Soalnya Nisa itu memang seperti itu. Saya ingin ada yang membimbingnya," ujar Pak Riyan lagi. Ia tahu isi hati Bayu yang dilema. "Hem, Baik, Pak saya akan coba dulu. Siapa tahu j
Siang itu Bayu bingung. Tamunya ada dua kubu. Kubu pertama datang dari keluarganya Pak Riyan yang turun dari mobil bersama anak gadisnya berusia sekitar dua puluh tahunan. Cantik, tomboy dan cuek. Kubu ke dua datang dari tetangganya sendiri yang bernama Aisyah. "Ayah, tamunya banyak. Ada Ustadzah Aisyah dan ada mereka. Sepertinya Nilam pernah lihat," ujar Nilam yang ikut bingung dengan kejadian tersebut. "Maaf, saya cuma sebentar. Hanya ingin memberikan ini!" ujar Aisyah dengan gugup. "Oh, iya terima kasih, Neng. Nggak bertemu Nilam dulu?" tanya Bayu dengan basa-basi. "Tidak, saya permisi!" Aisyah cepat-cepat pulang karena di rumah Bayu ada tamu. Bayu pun tidak sempat membuka kantong kresek yang diberikan Aisyah. Ia fokus melayani tamunya sambil membawa kantong kresek tersebut. "Pak Riyan, Neng Nisa, mari silakan masuk," ujar Bayu sambil mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang tamu. Kedua tamunya langsung ke ruang tamu sambil memandang ke rumah Bayu yang d
Cahaya surya mulai meredup berwarna orange. Hawa pinggiran kota yang panas berubah dingin. Polusi dari asap-asap pabrik yang sudah mengisi daerah tersebut memudar karena hawa sedikit sejuk. Namun, tidak sesejuk Bayu yang sedang ditimpa musibah. Bayu mengalami bahaya sedang diserang Suherman dan dua anak Suherman. Ia berusaha menangkis, mengeluarkan seluruh gaya silatnya yang ia pelajari saat sekolah dulu. "Rasakan ini!" "Awa, sakit!" Suherman rubuh ke aspal. Dua anak buah Suherman langsung menyerah Bayu ketika bosnya tersebut kewalahan. Satu lawan dua orang. Bayu tidak menyerah. Ia teringat dengan nasihat guru silatnya dulu. Barengi usahamu dengan doa. Pria itu berdoa agar dimenangkan dalam pertarungan membela diri tersebut. Tidak lama, tumbangkan kedua pria yang bergelar preman tersebut. Suherman berdiri. Mengusap hidungnya yang mimisan dan memberi kode pada kedua anak buahnya untuk berlari. Usahanya menghancurkan Bayu gagal. Ia lari tunggang langgang dan mencari motornya.
Mentari tepat di ubun-ubun. Di rumah Bayu kedatangan tamu tidak lain adalah kakaknya Aisyah, Fathur. Beliau ingin menyatakan sesuatu. Fathur menarik napas dalam-dalam agar tidak grogi. "Mas Bayu, sebenarnya adik saya itu diam-diam menyukai sampean. Kemarin, dia mengakui dan curhat sama aku. Malahan sukanya sejak SMP. Bagaimana menurut Mas Bayu. Bayu terkejut. Detak jantungnya berpacu dengan cepat. Sesuatu yang membuatnya bergetar hatinya. Ia diam tak mampu berkata-kata. Namun, beberapa menit kemudian, ia menjawab. "Saya terkejut Mas. Serasa ini tidak mungkin, Neng Aisyah menyukai saya. Saya itu duda yang sudah punya anak. Menurut saya ya, maksudnya bagaimana ini?" Bayu masih bingung dengan tujuan Fathur ke sini. Apakah hanya sekedar memberi tahu tentang perasaan Aisyah, atau ada hal lain yang ingin disampaikan. Fathur terkekeh sambil menikmati camilan yang disediakan oleh Bayu. "Jangan bingung, Bay. Kalau mau, menikahlah dengan adikku. Siapa tahu jodoh. Kalau berminat, hubungi s
"Dia bukan istri saya! Saya itu sudah bercerai,* ujar Bayu dengan jujur. Tukang bangunan tersebut tidak tahu jika Bayu duda. Tahunya Bayu sudah menikah dan punya anak. "Maaf, Mas. Kirain dia istrinya. Buat saya boleh?" tanya tukang bangunan itu yang ternyata masih muda. Selalu melirik ke arah Nurma. "Tanya saja sendiri sama orangnya. Saya tidak mau menjodohkan. Takutnya salah. Sudah ya, dari tadi menyindir terus. Nur, nih ada yang mau kenalan denganmu," ujar Bayu sambil menunjuk ke arah temannya. "Saya nggak suka sama Mas tukang. Sukanya sama Mas Bayu," ungkap Nurma pada Bayu. "Jangan begitu. Saya masih punya fokus pada Nilam. Belum bisa bicara soal cinta," jawab Bayu dengan tegas. "Cie, ada yang lagi cinlok ini. Gas pol Mas Bayu. Jangan dibuang, sayang," sahut Pak Tukang yang sedang beristirahat di teras sambil meminum kopi dan makan jajanan pasar buatan Bayu. "Ada-ada kalian ini. Disambut yuk makanannya!" "Siap! Mas Bayu, saya salut dengan model sangkar burungnya. Kapan-kapan