Sore itu, Bayu berhasil menyerobot pertikaian di depan rumah Weldan yang juga melibatkan mantan istrinya. Ia tidak mau tahu lagi tentang nasib Rengganis yang telah membuat hatinya terluka. Terlebih, Rengganis adalah ibu yang tega meninggalkan buah hati yang seharusnya masih butuh kasih sayang.
Tidak lama, ia sudah sampai di rumah Pak Darto. Orang yang menjadi langganan rumah burung milik Bayu. "Selamat sore, Pak. Ini pesanan rumah burungnya," sapa Bayu kepada Pak Darto yang kebetulan sedang duduk ngopi di teras depan rumah. "Eh, Mas Bayu. Mari silakan duduk dulu. Mbok e, ada tamu, kopi satu!" teriak Pak Darto kepada istrinya yang mungkin berada di dalam rumah. "Oh, iya Pak!" jawab suara Ibu-Ibu yang terdengar nyaring di telinga Bayu. Bayu menuruti permintaan Pak Darto. "Pak Darto, Bapak jadi beli berapa ya? Saya ambilkan dari gerobak saya! Maaf, saya tidak bisa lama, karena ada anak saya masih di rumah sendirian," ungkap Bayu yang bercerita apa adanya. Ia mengingat Nilam yang di rumah sendirian. "Oh, beres. Aku beli semua. Ada enam buah ya. Satu kandang berapa?" tanya Pak Darto dengan senyum ramah. "Empat ratus ribu, Pak. Maaf harganya naik soalnya bahan-bahannya juga naik," jawab Bayu dengan ramah dan santai. Pak Darto menganggukkan kepala. "Sangkar burung buatan kamu itu bagus dan awet, berapa pun harganya aku beli. Bahkan, ada yang tertarik dengan sangkar burung buatanmu. Tapi siapa aku lupa. Enam buah aku beli semua." Pak Darto membeli semua sangkar burung yang dibawa oleh Bayu. "Alhamdulillah. Terima kasih Pak. Semoga puas dengan hasil karya yang saya buat." Bayu bahagia karena jerih payahnya ternyata laku dan pelanggan menyukainya. Tidak lama, Pak Darto memberikan uang sebesar dua juta empat ratus rupiah kepada Bayu. Dengan uang tunai dan tanpa kurang sereceh pun. Pak Darto puas dengan Sangkar burung yang dibuat oleh Bayu. "Ini diminum dulu kopi dan singkong gorengnya." Istrinya Pak Darto ke luar membawa kopi dan cemilan. Bayu meminum kopi pemberian istrinya Pak Darto. Dan memakan satu potong singkong goreng. "Ngomong-ngomong, kamu sudah bercerai dengan Rengganis ya, Bay?" tanya istrinya Pak Darto yang duduk ikut nimbrung di teras rumah tersebut. "Benar, Bu Lastri," jawab Bayu dengan singkat. Ia malas membicarakan mantan istrinya. "Yang sabar ya, Nak. Memang kadang, kita ditakdirkan untuk berpisah. Namun, saya yakin, suatu saat, akan dapat pengganti yang lebih baik," sahut Bu Lastri yang ikut iba jika Bayu berpisah dengan istrinya batu-batu ini. "Terima kasih, simpatinya, Bu. Kalau begitu, Bayu pulang dulu. Takut Nilam menangis," jawab Bayu dengan sopan. "Sebentar, anak muda!" Bu Lastri ke dalam sebentar dan melarang Bayu untuk segera pulang. Tidak lama Bu Lastri ke luar kembali dan membawa satu kantong kresek. "Bay, itu ada camilan dan kueh, kasihkan ke Nilam ya? Di sini berdua nggak ada habisnya makanan sebanyak itu. Pokoknya harus dimakan!" tegas Bu Lastri dengan senyum ramah. "Terima kasih, Bu. Saya pamit pulang dulu." Bayu kemudian pulang dengan membawa uang dan camilan. Mereka mengiyakan perkataan Bayu. Senang sekali rasanya mendapat rezeki yang tidak terduga. Ia melangkahkan kaki sambil membawa gerobak yang sudah kosong. Kantong kresek berisi makanan tersebut ia taruh di dalam gerobak tersebut. Waktu hampir Maghrib. Di rumah milik Weldan sudah sepi tidak ada keributan. Itu artinya para warga sudah bubar. Ia cepat-cepat ingin sampai di rumah. "Assalamu'alaikum, Nilam." Bayu membuka pintu rumahnya. "Wa'alaikumsalam, Ayah. Ye Ayah sudah pulang!" Nilam langsung berlari menyambut sang ayah dengan riang gembira. "Iya, Sayang. Tadi ada orang mampir nggak?" tanya Bayu dengan nada menyelidik. "Nggak ada, Ayah. Nilam di kamar sedang mengerjakan PR. Sekarang tugasnya sudah selesai," jawab Nilam dengan polos dan jujur. "Pinternya anak ayah. Nih, buat kamu!" Bayu sudah memasukkan gerobak serba gunanya, kemudian memberikan kantong kresek berisi makanan kepada buah hati tercintanya. Rasanya senang memberikan kejutan kepada sang anak. Nilam langsung melihat apa yang ada di dalam kresek tersebut. "Wah kue. Ada camilan asin juga. Ayo kita makan bersama, Ayah!" Nilam menarik tangan ayahnya menuju ruang tengah yang ada TV. Nilam menyalakan TV dan menekan channel kartun yang ia sukai. Kemudian mengambil piring bersih. Nilam menaruh camilan tersebut di piring yang sudah ia ambil. Meski ia baru tujuh tahun, ia tahu cara menyajikan camilan kepada orang tua. "Terima kasih, Sayang. Wah, Sponsboabnya udah tayang ya? Seru ini sambil makan bersama!" Mereka berdua makan camilan dan kue sambil melihat channel kartun. Bahagia itu memang sederhana. Meski keluarga kecil mereka tidak lengkap, seenggaknya meraka masih bisa merasakan bahagia. "Udah, Yah. Ayah kalau mau istirahat, istirahat saja. Nilam masih pengen nonton TV," ujar Nilam yang baik hati. "Nggak capek kok. Besok kita ke toko tas mau?" Bayu ingin memberikan kejutan pada Nilam. "Serius, Yah? Apa tadi sarang burungnya laku?" tanya Nilam sambil melihat ke wajah sang ayah. "Lihatlah di gerobak milik ayah masih ada sangkar burungnya atau tidak?" tanya Bayu sambil tersenyum manis. "Eh, iya. Jadi malu. Ye, besok Nilam beli tas baru. Terima kasih, Ayah!" Nilam memeluk sang ayah kembali. Meski hanya mempunyai ayah, Nilam sangat bahagia. Tok ... tok! Tidak lama terdengar seseorang mengetuk pintu. Bayu segera membuka pintu tersebut. "Akhirnya kamu di rumah juga, Bayu!" ujar ibu paruh baya yang memakai daster berwarna biru dan berwajah bundar. "Ada apa, Bu Ning?" tanya Bayu penasaran. Seperti ada masalah serius. "Anu, Rengganis berkelahi dengan Neneng. Sampai sekarang masih ribut di rumah Weldan! Mantan istri kamu itu memang sudah kesetanan! Dia tidak mau kalah memperebutkan Weldan! Parahnya lagi, Rengganis hamil dan muntah-muntah di rumah Weldan!" ujar ibu yang bernama Ningsih tersebut memberi info tentang Rengganis. Bayu menggelengkan kepala. "Maaf, itu bukan urusan saya lagi, Bu. Dia aja menghina saya. Biarlah urusan mereka ditanggung mereka. Terima kasih infonya," ujar Bayu dengan nada sedikit keras. "Begini, Bayu. Tolong, kalau bisa Si Rengganis itu suruh pergi dari rumah Weldan. Kasihan Neneng anak saya! Dia syok berat melihat Weldan berselingkuh dengan mantan istri kamu!" Ibu Ningsih adalah ibu kandung Neneng. Yang pastinya membela si Neneng anaknya. "Maaf, saya sudah tidak mau berurusan dengan mereka! Saya saja juga banyak masalah. Coba panggil Pak RT atau Pak Sobri. Beliau kan Kyai kondang di sini," jawab Bayu yang berusaha memberi solusi. "Hei Bayu, jangan di rumah saja! Ayo ikut kami menyelesaikan urusan mantan istri kamu itu! Jika tidak, rumah kamu akan kami bakar! Sudah nggak bisa mendidik mantan istri. Lari dari masalah!" Tiba-tiba datang suaminya Bu Ningsih. Ia menyalahkan Bayu atas kasus yang menimpa Weldan dan Rengganis. Dia juga diancam akan dibakar rumahnya. Alih-alih Bayu dan Nilam hidup damai, ada-ada saja masalah yang terjadi.Sore hari yang mendung, sememdung hati Aisyah yang kini mendengar cerita dari Bayu dan Pak Riyan. Mereka sedang merencanakan pernikahan. Namun, Bayu masih belum seratus persen menyetujui usulan Pak Riyan. Dilihat dari beberapa pertimbangan. Suara daun pisang kering mengakibatkan Bayu mendengar bisikan itu. Ia langsung menuju suara tersebut. Hingga ia menemukan siapa yang ada di samping kebun rumahnya. "Neng Aisyah? Kamu di situ?" Bayu memberanikan diri mendekati Aiayah. Aisyah menunduk sambil menangis. "Maaf, saya lancang!" ujar Aisyah sambil berbalik dan mencoba berlari. Namun, Bayu dengan cepat meraih tangan Aisyah. "Aisyah, kau jangan pergi. Ayo ikut aku!" "Jangan, Mas Bayu. Kau mau ajak aku ke mana?" tanya Aisyah dengan gugup. Bayu melangkah menuju di mana Pak Riyan dan Nisa berada. Pak Riyan dan Nisa berada di ruang tamu. Aisyah pun dipersilakan duduk oleh Bayu. "Siapa ini, Bay?" tanya Pak Riyan dengan terkejut. Pikirannya menerawang ke mana-mana.
"Alhamdulilah, Pak Riyan. Semoga pembangunannya lancar," jawab Bayu sambil berdiri memandang bangunan yang ia usahakan. Pak Riyan menepuk pundak Bayu. "Kalau kau kesulitan dana, kubantu. Saya pikir, kau itu pria dewasa yang matang dan sederhana. Pikirkan tentang Nisa. Saya memberi kepercayaan padamu untuk menikahkan Nisa denganmu. Semoga kau mau," bisik Pak Riyan dengan mantap. Bayu menoleh ke arah Pak Riyan dengan tatapan mata melebar. Ia sangat dilema. Masalahnya ada wanita yang juga diam-diam menyukainya. Sangat bingung saat ini. Bayu hanya diam. Dia mengambil piring kotor yang berserakan di area bangunan. Ia belum sempat membawa masuk ke dalam rumah. Tenaganya terbatas dan ia butuh istri yang memahami kondisi suami. Bukan istri egois yang ingin didahulukan keinginannya. "Mas Bayu berpikir saja dulu. Soalnya Nisa itu memang seperti itu. Saya ingin ada yang membimbingnya," ujar Pak Riyan lagi. Ia tahu isi hati Bayu yang dilema. "Hem, Baik, Pak saya akan coba dulu. Siapa tahu j
Siang itu Bayu bingung. Tamunya ada dua kubu. Kubu pertama datang dari keluarganya Pak Riyan yang turun dari mobil bersama anak gadisnya berusia sekitar dua puluh tahunan. Cantik, tomboy dan cuek. Kubu ke dua datang dari tetangganya sendiri yang bernama Aisyah. "Ayah, tamunya banyak. Ada Ustadzah Aisyah dan ada mereka. Sepertinya Nilam pernah lihat," ujar Nilam yang ikut bingung dengan kejadian tersebut. "Maaf, saya cuma sebentar. Hanya ingin memberikan ini!" ujar Aisyah dengan gugup. "Oh, iya terima kasih, Neng. Nggak bertemu Nilam dulu?" tanya Bayu dengan basa-basi. "Tidak, saya permisi!" Aisyah cepat-cepat pulang karena di rumah Bayu ada tamu. Bayu pun tidak sempat membuka kantong kresek yang diberikan Aisyah. Ia fokus melayani tamunya sambil membawa kantong kresek tersebut. "Pak Riyan, Neng Nisa, mari silakan masuk," ujar Bayu sambil mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang tamu. Kedua tamunya langsung ke ruang tamu sambil memandang ke rumah Bayu yang d
Cahaya surya mulai meredup berwarna orange. Hawa pinggiran kota yang panas berubah dingin. Polusi dari asap-asap pabrik yang sudah mengisi daerah tersebut memudar karena hawa sedikit sejuk. Namun, tidak sesejuk Bayu yang sedang ditimpa musibah. Bayu mengalami bahaya sedang diserang Suherman dan dua anak Suherman. Ia berusaha menangkis, mengeluarkan seluruh gaya silatnya yang ia pelajari saat sekolah dulu. "Rasakan ini!" "Awa, sakit!" Suherman rubuh ke aspal. Dua anak buah Suherman langsung menyerah Bayu ketika bosnya tersebut kewalahan. Satu lawan dua orang. Bayu tidak menyerah. Ia teringat dengan nasihat guru silatnya dulu. Barengi usahamu dengan doa. Pria itu berdoa agar dimenangkan dalam pertarungan membela diri tersebut. Tidak lama, tumbangkan kedua pria yang bergelar preman tersebut. Suherman berdiri. Mengusap hidungnya yang mimisan dan memberi kode pada kedua anak buahnya untuk berlari. Usahanya menghancurkan Bayu gagal. Ia lari tunggang langgang dan mencari motornya.
Mentari tepat di ubun-ubun. Di rumah Bayu kedatangan tamu tidak lain adalah kakaknya Aisyah, Fathur. Beliau ingin menyatakan sesuatu. Fathur menarik napas dalam-dalam agar tidak grogi. "Mas Bayu, sebenarnya adik saya itu diam-diam menyukai sampean. Kemarin, dia mengakui dan curhat sama aku. Malahan sukanya sejak SMP. Bagaimana menurut Mas Bayu. Bayu terkejut. Detak jantungnya berpacu dengan cepat. Sesuatu yang membuatnya bergetar hatinya. Ia diam tak mampu berkata-kata. Namun, beberapa menit kemudian, ia menjawab. "Saya terkejut Mas. Serasa ini tidak mungkin, Neng Aisyah menyukai saya. Saya itu duda yang sudah punya anak. Menurut saya ya, maksudnya bagaimana ini?" Bayu masih bingung dengan tujuan Fathur ke sini. Apakah hanya sekedar memberi tahu tentang perasaan Aisyah, atau ada hal lain yang ingin disampaikan. Fathur terkekeh sambil menikmati camilan yang disediakan oleh Bayu. "Jangan bingung, Bay. Kalau mau, menikahlah dengan adikku. Siapa tahu jodoh. Kalau berminat, hubungi s
"Dia bukan istri saya! Saya itu sudah bercerai,* ujar Bayu dengan jujur. Tukang bangunan tersebut tidak tahu jika Bayu duda. Tahunya Bayu sudah menikah dan punya anak. "Maaf, Mas. Kirain dia istrinya. Buat saya boleh?" tanya tukang bangunan itu yang ternyata masih muda. Selalu melirik ke arah Nurma. "Tanya saja sendiri sama orangnya. Saya tidak mau menjodohkan. Takutnya salah. Sudah ya, dari tadi menyindir terus. Nur, nih ada yang mau kenalan denganmu," ujar Bayu sambil menunjuk ke arah temannya. "Saya nggak suka sama Mas tukang. Sukanya sama Mas Bayu," ungkap Nurma pada Bayu. "Jangan begitu. Saya masih punya fokus pada Nilam. Belum bisa bicara soal cinta," jawab Bayu dengan tegas. "Cie, ada yang lagi cinlok ini. Gas pol Mas Bayu. Jangan dibuang, sayang," sahut Pak Tukang yang sedang beristirahat di teras sambil meminum kopi dan makan jajanan pasar buatan Bayu. "Ada-ada kalian ini. Disambut yuk makanannya!" "Siap! Mas Bayu, saya salut dengan model sangkar burungnya. Kapan-kapan