Share

Mas Duda itu Mantan Kekasihku
Mas Duda itu Mantan Kekasihku
Author: Lentera Jingga

Bab 1. Dia Susah Sendiri Lagi

POV Thalita Anggraeni

Bias hujan memantul dari rerumputan pemakaman. Aku menatap penuh kerinduan pada gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Ardani Idris bin Bapak Danang. Kadang masih berpikir bahwa semua ini hanya mimpi. Meski ini sudah lima tahun sejak kepergian Mas Dani meninggalkanku dengan kembali ke pangkuan sang maha kuasa.

Angin semilir memberikan rasa dingin di ujung senja. Aku melirik ke arah gadis kecil yang berada di sisiku. Fahira Azizahra Idris — putriku dengan mendiang Mas Dani yang saat ini tengah berusia empat tahun. Ya, setiap tahun aku akan ziarah ke makamnya. Suamiku meninggal karena kecelakaan, meninggalkan aku yang saat itu tengah mengandung Fahira tujuh bulan. Dialah sosok lelaki istimewa menurutku, hingga meski tahun telah berganti aku tidak pernah ada niat untuk segera mencari penggantinya.

“Memang tidak pernah ada yang tahu kapan ajal akan menjemput. Hanya saja kepergianmu yang ku rasa begitu tiba-tiba, seolah meninggalkan luka untukku.” Aku mengambil segenggam bunga untuk aku tebarkan di pusarannya. “Ini tahun ke lima setelah kepergianmu, Mas. Aku datang membawa Fahira.” Aku meraih putri kecilku ke dalam dekapanku.

“Ayah, ini aku Hira. Aku datang bersama Ibu untuk mengunjungimu. Apakah Ayah mendengar doaku?” seru Fahira. Terlihat mata anak itu mulai berkaca-kaca. Tak lama terdengar isakan kecil dari bibirnya.

“Ayah pasti mendengarmu, sayang.” Aku menarik Fahira ke dalam dekapanku.

“Aku merindukan Ayah, Bu. Bisakah aku bertemu dengannya?” tanyanya di balik isakan kecilnya. Hal ini yang kerap berhasil menyayat hatiku. Sejak lahir ia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah.

“Sebutlah nama Ayahmu di dalam doamu sayang,” ucapku menenangkan. Setelah aku memastikan jika putriku sudah tenang, tak lagi menangis. Aku mengajaknya untuk beranjak dari sana. Kami pulang ke rumah mertuaku, ayah dan ibunya mendiang suamiku. Meski sudah tidak ada Mas Dani mereka masih menganggap aku sebagai anak sendiri, apalagi ketika adanya Hira.

“Jadi, mau langsung pulang ke rumah Mbah Dewi?” tanya Ibu mertuaku pada cucunya dengan rasa tak rela. Aku tahu ia berat melihat kami pergi, karena kamu memang baru semalam menginap.

“Jadi dong Uti.”

“Padahal Uti masih kangen. Hira kan baru semalam di sini.”

Aku yang tengah membereskan barang-barangku tersenyum kecil. “Lita minta maaf, Bu. Karena waktunya harus dibagi-bagi. Lita cuma bisa cuti sekitar lima harian.”

“Ibu mengerti, Lita.” Ibu mertuaku berlalu masuk ke dalam dapur lalu kembali membawa satu kantong keresek berwarna hitam. Lalu ia ulurkan padaku. “Gula aren, buat ibumu. Buat bumbu masak.”

“Terima kasih, Bu. Kenapa mesti repot-repot, Bu. Lita bahkan tidak membawa apa-apa kesini.” Aku mengambil alih gula aren itu. “Padahal harga gula aren itu sedang naik. Seharusnya Ibu bisa menjualnya, lumayan bisa buat beli sembako.”

“Setiap hari kami sudah menjualnya.” Ibu mertuaku mengusap rambut Hira dengan penuh cinta, namun tatapannya terlihat sendu. “Kedatanganmu kemari saja, sudah membuat ibu merasa senang,” lanjutnya membuatku cukup terharu.

Aku dan putriku pun berlalu keluar dari rumah. Dan di depan gerbang sudah ada ojek yang akan mengantar kami ke rumah ibuku.

“Sudah lima tahun, sejak kepergian Dani, Lita.” Ibu mertuaku kembali membuka suara, membuat langkahku terpaku menatapnya. “Tidakkah kamu ingin menjalin rumah tangga lagi? Fahira butuh figur ayah. Dan kamu juga berhak bahagia. Usiamu masih terlalu muda jika untuk menghabiskan waktu seorang diri.”

“Aku belum memikirkan hal itu, Bu.” Aku menjawab dengan helaan napas kasar. Tidak hanya ibu mertua, ibuku dan saudaraku juga kerap mencecar pertanyaan yang sama. Namun, aku tetap pada pendirianku. Bagiku tidaklah mudah membuka hati pada sembarang pria. Menggantikan sosok Mas Dani pada pria yang lain. Mas Dani bukan hanya sosok seorang suami yang sempurna bagiku. Dia juga bisa menjadi sosok kakak yang bisa mengayomi diriku. Aku ingat betapa sabarnya dia menghadapi sifat keras kepalaku. Betapa sabarnya dia menunggu diriku yang saat itu menikah dengannya tanpa cinta. Ya, aku menikah dengannya karena perjodohan. Butuh beberapa bulan untuk dirinya meluluhkan hatiku. Namun, di saat hatiku sudah bersemayam namanya dengan sepenuh hati. Musibah justru menimpa kami, aku kehilangan sosoknya untuk selama-lamanya. Hingga membuatku berpikir, jika aku tidak beruntung dalam hal cinta. Aku seolah mati rasa dan merasa trauma, tak ingin membuka hati kembali.

“Baiklah. Ibu hanya mau bilang, jika suatu saat kau berkeinginan untuk menikah, beritahu kami. Karena kami tetap menganggap ku seperti anak kami sendiri.”

Aku mengangguk lemah. “Iya, Bu.”

🦋

Sekitar dua jam aku sudah tiba di rumah ibuku. Kedatanganku sudah disambut olehnya. Apalagi dia sangat merindukan cucunya. Sebelum masuk aku membayar ojek yang mengantarku. Ibuku tinggal bersama keluarga kakakku, sedangkan ayahku sudah meninggal karena riwayat penyakit tidak tiga tahun yang lalu.

Melihat aku datang kakak iparku langsung sigap membuatkan aku minuman dan mengeluarkan beberapa cemilan ringan. “Minumannya Bibi.”

“Terima kasih, Budhe.”

Kami terbiasa membiasakan bahasa seperti itu. Agar anak-anak mengikutinya. Malam itu kami berkumpul menonton televisi bersama sesekali mereka bertanya kegiatan dan pekerjaanku di kota.

“Besok Mas Pram nikah. Kamu aja yang datang ya, Ta.” Ibuku tiba-tiba datang membawa sepiring singkong goreng sambil berkata.

“Ada Mas Iwan dan Mbak Siti kan?” tanyanya. Jujur saja belakangan setelah Mas Dani tiada aku menghindari berkumpul dengan keluarga besar.

“Kami ada acara di sekolahan Ridwan. Siangnya juga harus antar dagangan.” Kakak iparku menyela. Aku terdiam sejenak memang benar kakakku itu memiliki warung sembako yang terkadang harus mengantarkan ke pembeli.

“Akan ku pikirkan, Bu.” Aku menjawab dengan rasa malas. Sesekali menghela napas dalam-dalam. Entah kenapa ada rasa gundah gulana yang tiba-tiba menyergap dalam dada. Segera aku menepis kemungkinan buruk apapun.

🌸🌸

Keesokkan harinya aku dan putriku sudah bersiap ke tempat nikahan sepupuku Mas Pram. Sebenarnya rumahnya tidak terlalu jauh, dengan menggunakan motor hanya bisa ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Kedatanganku sudah disambut oleh Budheku dan juga para saudaraku. Di atas pelaminan terlihat Mas Pram dan Mbak Atika tersenyum bahagia. Rona bahagia pengantin terlihat di wajahnya. Aku mengajak putriku untuk naik ke atas pelaminan.

“Selamat ya Mas, Mbak, semoga menjadi keluarga yang samawa,” ucapku dengan tulus.

“Makasih ya, Ta. Udah nyempetin buat datang.” Mbak Atika menyahut. Aku memang mengenalnya karena ia pernah satu kantor denganku di kota. Kami juga diajak foto bersama mereka.

“Ta, dia sudah sendiri lagi lho.” Ucapan Mas Pram membuat keningku mengerucut tak mengerti.

“Siapa Mas?” tanyaku polos.

“Aravi.”

Deg!

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang mendengar nama lelaki itu. Ah, ini benar-benar tak wajar. Aku mengibaskan tangannya di depan wajahnya. “Itu bukan urusanku, Mas. Aku kebawah dulu mau gabung sama yang lain.... Hira jangan lari-larian...” Pamitku setengah berteriak di akhir kalimat mendapati putriku berlari cukup kencang. Aku pun dengan tergesa-gesa mengikutinya turun ke bawah tanpa hati-hati.

Brugh!!! Prangg!!!

Aku terkejut mendapati diri ini menabrak seseorang yang hingga minumannya tumpah.

“Dek...”

Kedua mataku terkejut melihat lelaki yang delapan tahun lalu pernah mengisi hatiku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
semangat update. .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status