Home / Romansa / Mas Duda itu Mantan Kekasihku / Bab 2. Apa Kabarmu, Dek?

Share

Bab 2. Apa Kabarmu, Dek?

last update Last Updated: 2024-01-07 07:35:27

Pov Thalita

“Dek...”

Kedua mataku terkejut melihat lelaki yang delapan tahun yang lalu pernah mengisi hatiku, kini berada di depanku. Tatapannya terlibat teduh, sepasang alis hitamnya menyatu, dengan bola mata hitam yang terang.

“Maaf,” ujarku yang langsung menarik pergelangan tanganku, yang tak sengaja di genggam olehnya, dengan salah tingkah.

“Cie.... Cie...” Goda Mas Pram dan Mbak Atika yang berada di atas pelaminan.

“Apaan sih, Mas.” Aku mendengus sebal tak mempedulikan tatapan Mas Ravi padaku. “Aku akan ambil sapu untuk membereskan pecahan gelas ini,” lanjutkan yang berlalu pergi, tak mempedulikan panggilan Mas Ravi padaku. Mengerti jika aku tidak ingin diganggu, Mas Ravi pun berlalu naik ke pelaminan memberikan ucapan pada Mas Pram. Aku seakan dibuat lupa hubungan Mas Ravi dan Mas Pram, mereka adalah teman semasa sekolah, tentu saja Mas Ravi akan datang di acara nikahan Mas Pram. Kalau sudah begini, aku seakan menyesal menyanggupi kemauan Ibu untuk datang. Seharusnya aku diam sendiri saja agar tidak bertemu. Tapi, untuk apa? Aku dan Mas Ravi sekarang tidak ada hubungan apa-apa.

“Biar aku saja yang bersihkan, Mbak.” Devi adiknya Mas Pram mengambil alih sapu di tanganku. “Kasihan jauh-jauh dari kota kesini. Masa datang-datang justru nyapu. Serahin ke aku mbak.” Lagi-lagi Devi meledekku dan langsung berlalu pergi.

Aku menatap ke arah Mas Ravi yang saat ini terlibat obrolan dengan Mas Pram. Keningku mengerucut mengira-ngira dengan siapa dia datang. Aku ingat satu tahun setelah aku putus dengannya, aku kembali bertemu dengannya saat itu ia menggandeng perempuan hamil yang tak lain istrinya. Seharusnya ia datang bersama anaknya kan, tapi kini aku hanya melihatnya sendiri. Aku menghela napas kasar, mengenyahkan segala pemikiran tentangnya, kehidupannya bukan lagi menjadi urusanku.

“Ibu, aku pengen makan bakso seperti Mbak Gizka.” Fahira datang menyeretku ke arah meja prasmanan, meminta semangkok bakso. “Minumnya es cendol hitam ya, Bu.”

“Iya, Nak.” Aku bergegas mengambilkan apa yang diminta putriku. Kemudian membawanya ke kursi plastik yang dilapisi kain satin berwarna putih itu. “Enak gak?” tanyaku pada Fahira yang tampak lahap memakan bakso itu.

“Iya, Bu. Tak kalah dari masakan Ibu,” pujinya membuatku terkekeh. Dalam hal memasang aku memang tidak terlalu ahli. Meski begitu setiap pagi aku akan tetap memasak sebelum dia berangkat sekolah dan aku bekerja.

“Mau lagi?”

“Cukup, Bu. Bukankah Ibu selalu bilang tidak boleh makan terlalu berlebihan.” Jawaban Fahira membuatku cukup terharu, aku lantas mengangguk menyodorkan es cendol untuknya.

“Boleh aku bergabung di sini?” Mas Ravi tiba-tiba datang menghampiri kami dengan piring yang sudah tersaji makanan. Aku menatapnya dengan pandangan tak terbaca, begitu juga dengan putriku. “Kursi yang lain penuh. Tapi, kalau gak boleh aku bisa makan sambil berjongkok,” lanjutnya seolah mengerti pikiranku.

“Tentu saja boleh, Paman. Ini kan tempat umum, iya kan Bu?” sahut Putriku.

“Oh... I—iya,” jawabku canggung.

“Terima kasih... Emm....”

“Fahira... Paman bisa panggil aku Hira.”

“Iya, terima kasih Hira. Kamu bisa panggil aku Paman Ravi.” Mas Ravi langsung menduduki kursinya tepat di sisi kami. Aku hanya diam menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Sesekali keduanya terlibat obrolan, Mas Ravi memangnya orangnya hangat dan mudah berbaur, hingga mampu membuat Fahira merasa tak segan bercerita kesehariannya di sekolah.

“Jadi, setelah pulang keseharian Hitam bermain di rumah Budhe?” tanya Ravi saya putriku menceritakan kegiatannya setelah sekolah yang di antar jemput oleh orang yang mengasuhnya, karena aku memang harus bekerja dari pagi sampai sore.

“Iya, Paman. Soalnya kan Ibu sibuk bekerja. Kalau Ibu sudah pulang, aku akan langsung dijemput pulang. Begitu terus kesehariannya,” celotehnya dengan riang tanpa beban. “Aku senang karena di tempat Budhe itu banyak teman, kalau di rumah kan hanya ada Ibu,” sambungnya membuatku tersenyum masam. Menyadari betapa ia sangat kesepian. Mas Ravi memandang ke arahku sejenak, dan kebetulan aku juga tengah memandang ke arahnya, menyadari hal itu aku segera memutuskan pandangan kami.

“Hira anak yang hebat dong, bisa ngerti Ibu.” Mas Ravi memuji Hira dengan bangga.

“Tentu saja karena Ibu sudah bekerja terlalu keras. Mbah Dewi dan Uti bilang aku tidak boleh buat Ibu menangis. Jadi, aku harus menjadi anak yang penurut.” Fahira cekikan geli sendiri.

“Makanlah dengan tanang Hira. Setelah itu kita harus segera pulang,” ucapku segera menyudahi obrolan mereka. Rasanya semua sudah terlampau jauh.

“Kenapa harus terburu-buru? Bukankah sudah lama kita tidak bertemu? Kamu juga sudah lama tidak berkunjung kemari kan?” Mas Ravi mencecarku dengan pertanyaan.

“Aku tidak punya waktu yang banyak,” kilahku membuat Mas Ravi mengangkat sebelah alisnya.

“Sesibuk itukah?” tanya lelaki berkemeja abu-abu itu.

“Iya Ibu. Kenapa harus buru-buru. Hira suka di sini temannya banyak.” Hira turun dari kursinya. “Aku sudah makannya, Bu. Mau main dulu sama Mbak Gizka dan Mbak Salsa...” lanjutnya yang langsung berlari pergi tanpa menghiraukan panggilanku.

”Biarkan saja. Anak kecil kan seperti itu. Lagian dia bermain dengan saudaranya. Artinya itu bagus dong, anakmu tahu begitu menghargai ikatan persaudaraan. Sama seperti Ibunya.”

Deg!

Aku terhenyak mendengar kalimat akhir yang Mas Ravi lontarkan, terdengar santai namun penuh penekanan. Seolah-olah ia tengah menyindirku.

“Jangan bawa-bawa masa lalu kita, Mas. Aku sudah melupakannya. Semua itu sudah berakhir delapan tahun yang lalu.” Aku memberanikan diri mengeluarkan isi hatiku yang merasa tak nyaman mendengar ucapannya.

“Itu bagimu, Lita. Tidak bagiku,” kekeh Mas Ravi kembali memandangku dengan pandangan luka. Menyisakan gelenyar aneh dalam dadaku. Aku seperti kembali dibawa ke suasana pada kejadian delapan tahun yang lalu. Di mana aku mengatakan niatku untuk mengakhiri hubungan ini.

“Lalu kamu mau apa? Tidak ada yang bisa memutar kembali kejadian itu. Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Please, lupakan semua.” Aku meminta penuh harap padanya. “Sudahlah. Aku sudah menerima segala kebencianmu, Mas.” Aku meletakkan mangkok bekas bakso Hira ke atas meja, mendorongnya ke tengah. “Aku harus pulang,” lanjutnya. Aku berniat beranjak dari tempat dudukku.

Namun, secepat itu Mas Ravi memegang pergelangan tangannya. Membuat langkahku terpaku, dan kembali menoleh ke arahnya. “Lepaskan tanganku, Mas.”

“Enggak.”

“Aku mohon, Mas. Ini tidak benar, kita bisa menjadi fitnah.” Aku merasa tak nyaman saat ada sebagian tamu yang lewat memandang ke arah kami.

“Biarkan saja,” sahutnya tak peduli dan ia justru semakin mengencangkan genggamannya.

“Mas tolong pahami perasaanku. Aku ini seorang janda, dan kamu duda akan seperti apa tanggapan mereka. Ku mohon lepaskan,” bisikku penuh tekanan.

“Akan ku lepas dengan satu syarat.”

“Katakan?” desakku.

“Kembalilah duduk, dan kita bisa mengobrol santai seperti pada umumnya. Bagaimana?” tanyanya membuatku memicingkan matanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
lita terlalu berlebihan. kan cuma masa lalu jadi santai aja.
goodnovel comment avatar
Iin Romita
pembawaannya santai. pov 1 nya keren
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 34. Last Chapter

    Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 33. Rindu Dua Buah Hati Yang Di Surga

    “Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 32. Kerinduan Hadirnya Sang Buah Hati

    Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 31. Biar Kaya Orang Pacaran

    POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 30. Semua Hanya Titipan, Sayang

    POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 29. I'ill Come Papa

    POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status