Share

Bab 2. Apa Kabarmu, Dek?

Pov Thalita

“Dek...”

Kedua mataku terkejut melihat lelaki yang delapan tahun yang lalu pernah mengisi hatiku, kini berada di depanku. Tatapannya terlibat teduh, sepasang alis hitamnya menyatu, dengan bola mata hitam yang terang.

“Maaf,” ujarku yang langsung menarik pergelangan tanganku, yang tak sengaja di genggam olehnya, dengan salah tingkah.

“Cie.... Cie...” Goda Mas Pram dan Mbak Atika yang berada di atas pelaminan.

“Apaan sih, Mas.” Aku mendengus sebal tak mempedulikan tatapan Mas Ravi padaku. “Aku akan ambil sapu untuk membereskan pecahan gelas ini,” lanjutkan yang berlalu pergi, tak mempedulikan panggilan Mas Ravi padaku. Mengerti jika aku tidak ingin diganggu, Mas Ravi pun berlalu naik ke pelaminan memberikan ucapan pada Mas Pram. Aku seakan dibuat lupa hubungan Mas Ravi dan Mas Pram, mereka adalah teman semasa sekolah, tentu saja Mas Ravi akan datang di acara nikahan Mas Pram. Kalau sudah begini, aku seakan menyesal menyanggupi kemauan Ibu untuk datang. Seharusnya aku diam sendiri saja agar tidak bertemu. Tapi, untuk apa? Aku dan Mas Ravi sekarang tidak ada hubungan apa-apa.

“Biar aku saja yang bersihkan, Mbak.” Devi adiknya Mas Pram mengambil alih sapu di tanganku. “Kasihan jauh-jauh dari kota kesini. Masa datang-datang justru nyapu. Serahin ke aku mbak.” Lagi-lagi Devi meledekku dan langsung berlalu pergi.

Aku menatap ke arah Mas Ravi yang saat ini terlibat obrolan dengan Mas Pram. Keningku mengerucut mengira-ngira dengan siapa dia datang. Aku ingat satu tahun setelah aku putus dengannya, aku kembali bertemu dengannya saat itu ia menggandeng perempuan hamil yang tak lain istrinya. Seharusnya ia datang bersama anaknya kan, tapi kini aku hanya melihatnya sendiri. Aku menghela napas kasar, mengenyahkan segala pemikiran tentangnya, kehidupannya bukan lagi menjadi urusanku.

“Ibu, aku pengen makan bakso seperti Mbak Gizka.” Fahira datang menyeretku ke arah meja prasmanan, meminta semangkok bakso. “Minumnya es cendol hitam ya, Bu.”

“Iya, Nak.” Aku bergegas mengambilkan apa yang diminta putriku. Kemudian membawanya ke kursi plastik yang dilapisi kain satin berwarna putih itu. “Enak gak?” tanyaku pada Fahira yang tampak lahap memakan bakso itu.

“Iya, Bu. Tak kalah dari masakan Ibu,” pujinya membuatku terkekeh. Dalam hal memasang aku memang tidak terlalu ahli. Meski begitu setiap pagi aku akan tetap memasak sebelum dia berangkat sekolah dan aku bekerja.

“Mau lagi?”

“Cukup, Bu. Bukankah Ibu selalu bilang tidak boleh makan terlalu berlebihan.” Jawaban Fahira membuatku cukup terharu, aku lantas mengangguk menyodorkan es cendol untuknya.

“Boleh aku bergabung di sini?” Mas Ravi tiba-tiba datang menghampiri kami dengan piring yang sudah tersaji makanan. Aku menatapnya dengan pandangan tak terbaca, begitu juga dengan putriku. “Kursi yang lain penuh. Tapi, kalau gak boleh aku bisa makan sambil berjongkok,” lanjutnya seolah mengerti pikiranku.

“Tentu saja boleh, Paman. Ini kan tempat umum, iya kan Bu?” sahut Putriku.

“Oh... I—iya,” jawabku canggung.

“Terima kasih... Emm....”

“Fahira... Paman bisa panggil aku Hira.”

“Iya, terima kasih Hira. Kamu bisa panggil aku Paman Ravi.” Mas Ravi langsung menduduki kursinya tepat di sisi kami. Aku hanya diam menjadi pendengar yang baik untuk mereka. Sesekali keduanya terlibat obrolan, Mas Ravi memangnya orangnya hangat dan mudah berbaur, hingga mampu membuat Fahira merasa tak segan bercerita kesehariannya di sekolah.

“Jadi, setelah pulang keseharian Hitam bermain di rumah Budhe?” tanya Ravi saya putriku menceritakan kegiatannya setelah sekolah yang di antar jemput oleh orang yang mengasuhnya, karena aku memang harus bekerja dari pagi sampai sore.

“Iya, Paman. Soalnya kan Ibu sibuk bekerja. Kalau Ibu sudah pulang, aku akan langsung dijemput pulang. Begitu terus kesehariannya,” celotehnya dengan riang tanpa beban. “Aku senang karena di tempat Budhe itu banyak teman, kalau di rumah kan hanya ada Ibu,” sambungnya membuatku tersenyum masam. Menyadari betapa ia sangat kesepian. Mas Ravi memandang ke arahku sejenak, dan kebetulan aku juga tengah memandang ke arahnya, menyadari hal itu aku segera memutuskan pandangan kami.

“Hira anak yang hebat dong, bisa ngerti Ibu.” Mas Ravi memuji Hira dengan bangga.

“Tentu saja karena Ibu sudah bekerja terlalu keras. Mbah Dewi dan Uti bilang aku tidak boleh buat Ibu menangis. Jadi, aku harus menjadi anak yang penurut.” Fahira cekikan geli sendiri.

“Makanlah dengan tanang Hira. Setelah itu kita harus segera pulang,” ucapku segera menyudahi obrolan mereka. Rasanya semua sudah terlampau jauh.

“Kenapa harus terburu-buru? Bukankah sudah lama kita tidak bertemu? Kamu juga sudah lama tidak berkunjung kemari kan?” Mas Ravi mencecarku dengan pertanyaan.

“Aku tidak punya waktu yang banyak,” kilahku membuat Mas Ravi mengangkat sebelah alisnya.

“Sesibuk itukah?” tanya lelaki berkemeja abu-abu itu.

“Iya Ibu. Kenapa harus buru-buru. Hira suka di sini temannya banyak.” Hira turun dari kursinya. “Aku sudah makannya, Bu. Mau main dulu sama Mbak Gizka dan Mbak Salsa...” lanjutnya yang langsung berlari pergi tanpa menghiraukan panggilanku.

”Biarkan saja. Anak kecil kan seperti itu. Lagian dia bermain dengan saudaranya. Artinya itu bagus dong, anakmu tahu begitu menghargai ikatan persaudaraan. Sama seperti Ibunya.”

Deg!

Aku terhenyak mendengar kalimat akhir yang Mas Ravi lontarkan, terdengar santai namun penuh penekanan. Seolah-olah ia tengah menyindirku.

“Jangan bawa-bawa masa lalu kita, Mas. Aku sudah melupakannya. Semua itu sudah berakhir delapan tahun yang lalu.” Aku memberanikan diri mengeluarkan isi hatiku yang merasa tak nyaman mendengar ucapannya.

“Itu bagimu, Lita. Tidak bagiku,” kekeh Mas Ravi kembali memandangku dengan pandangan luka. Menyisakan gelenyar aneh dalam dadaku. Aku seperti kembali dibawa ke suasana pada kejadian delapan tahun yang lalu. Di mana aku mengatakan niatku untuk mengakhiri hubungan ini.

“Lalu kamu mau apa? Tidak ada yang bisa memutar kembali kejadian itu. Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Please, lupakan semua.” Aku meminta penuh harap padanya. “Sudahlah. Aku sudah menerima segala kebencianmu, Mas.” Aku meletakkan mangkok bekas bakso Hira ke atas meja, mendorongnya ke tengah. “Aku harus pulang,” lanjutnya. Aku berniat beranjak dari tempat dudukku.

Namun, secepat itu Mas Ravi memegang pergelangan tangannya. Membuat langkahku terpaku, dan kembali menoleh ke arahnya. “Lepaskan tanganku, Mas.”

“Enggak.”

“Aku mohon, Mas. Ini tidak benar, kita bisa menjadi fitnah.” Aku merasa tak nyaman saat ada sebagian tamu yang lewat memandang ke arah kami.

“Biarkan saja,” sahutnya tak peduli dan ia justru semakin mengencangkan genggamannya.

“Mas tolong pahami perasaanku. Aku ini seorang janda, dan kamu duda akan seperti apa tanggapan mereka. Ku mohon lepaskan,” bisikku penuh tekanan.

“Akan ku lepas dengan satu syarat.”

“Katakan?” desakku.

“Kembalilah duduk, dan kita bisa mengobrol santai seperti pada umumnya. Bagaimana?” tanyanya membuatku memicingkan matanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
pembawaannya santai. pov 1 nya keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status