Share

Bab 4. Apa Kabarmu?

last update Last Updated: 2024-01-07 07:37:52

POV Thalita

Aku buru-buru menghapus sudut air mataku, dan mengabaikan sapu tangan yang diberikan Mas Ravi.

“Tidak ada peletnya di sapu tangan ini. Kenapa mesti takut?” tanyanya setengah mengejek diriku. Aku sontak menoleh ke arahnya menatapnya dengan kesal.

“Aku tidak mengatakan demikian,” bantahku sedikit kesal. Kenapa dia selalu mencari perkara agar bisa ribut denganku.

“Tapi sikapmu seolah menunjukkan hal itu,” kekeh Mas Ravi tak ingin disalahkan. Ia tersenyum tipis seraya mengangkat alisnya, tak memperdulikan aku yang menatapnya dengan geram, entah dia sengaja ingin membuatku kesal atau bagaimana.

“Itu hakku!” tegasku lalu memalingkan wajah ke arah lain.

Dia terkekeh kecil, menghela napas sebelum kemudian menjawab. “Ya kamu memang tidak pernah salah. Kamu mempunyai hak apapun tentang dirimu. Bahkan memutuskanku secara sepihak dengan alasan yang tak jelas itu juga hakmu. Bukan begitu Nona Thalita Anggraini?”

“Ck!” Aku berdecak malas ke arahnya. “Sebenarnya yang kamu inginkan itu apa sih Mas? Sejak aku duduk di sini, kamu tidak hentinya membahas masa lalu yang sudah berakhir, suatu masalah yang sudah tidak ada gunanya,” selorohku menghela napas dengan kasar, terlihat ia mengangkat sebelah alisnya. “Ahh sudahlah lebih baik aku pulang.”

Namun, belum sempat aku beranjak Mas Ravi sudah menahan tanganku. “Apalagi sih Mas?”

“Akan lebih baik aku melihat wajahmu kesal dibandingkan melihatmu menangis,” katanya tiba-tiba nadanya terdengar lembut di telingaku. Ingin diri ini bertanya kenapa demikian? Tetapi, aku merasa tidak kuasa untuk bertanya. “Kamu tahu kan tahu aku dari dulu tidak suka kalau kamu menangis? Boleh aku tahu apa yang membuatmu tiba-tiba menangis tadi?” lanjutnya bertanya.

“Tidak ada apa-apa, dan itu bukan urusanmu Mas.” Aku menatapnya dengan kesal yang begitu ingin tahu urusan orang.

“Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang begitu peduli dengan orang, kecuali untuk orang yang spesial buat aku.”

Aku sontak menoleh ke arahnya dengan raut wajah terkejut. Orang yang spesial? Masihkah dia menganggap aku demikian. Tidak, ini salah. Dengan dipertemukannya kami kembali bukan berarti harus mengulang kisah lama kan. Aku hanya cukup menjalin tali silaturahmi yang dulu sempat putus. “Aku tidak peduli untuk itu,” jawabku memalingkan wajah ke arah lain.

Mas Ravi tersenyum tipis, lalu mengangguk paham. “Baiklah, lupakan soal itu. Aku yakin kamu kurang nyaman.”

Sudah tahu, kenapa sejak tadi mencari perkara, batinku menjerit.

“Apa kabarmu, Lita?” tanyanya seraya mengulurkan tangannya membuatku tersentak. Dan aku hanya diam mematung dengan menatap ke tangannya, dan juga wajahnya. “Em... Bukankah sejak tadi kita tidak bertanya kabar?” lanjutnya.

Dengan gugup aku pun membalas jabatan tangannya. “Baik,” jawabku singkat lalu buru-buru melepaskan tanganku. Sejujurnya ada rasa malu dalam diriku, karena ada beberapa orang yang menatap ke arah kami. Namun, bagi orang lain mereka mungkin menganggap jika pertemuan kamu hanyalah karena ikatan saudara yang sudah lama tidak bertemu. Tapi, bagi para sepupuku dia pasti menganggap jika kami tengah reunian.

“Aku turut berdukacita atas meninggalnya Mas Dani,” katanya membuatku sontak menoleh ke arahnya. “Mungkin ini sudah sangat terlewat. Saat itu tengah di Batam jadi aku tidak bisa datang ketika mendengar kabar duka itu.”

“Terima kasih, Mas. Tidak apa-apa, semua sudah lewat.” Aku berusaha setegar mungkin meski ketika nama Mas Dani kembali disebut ada kerinduan yang bersemayam dalam dada.

“Sekarang kerja di mana? Enggak di tempat dulu kan?” tanyanya mencoba mengakrabkan diri. Ku akui dia memang sehangat dan segampang itu untuk mencairkan suasana.

“Enggak,” jawabku singkat sambil mengingat jika dulu aku sempat bekerja di sebuah toko yang menyediakan souvernir pernikahan dari pagi sampai jam tiga, pulang kerja aku harus kuliah. Tiba-tiba aku juga ingat dimana saat itu jatuh sakit, dia yang tengah bekerja di kawasan Jakarta Utara langsung meninggalkannya dan datang menjemputku, lalu membawanya berobat. Aku teringat momen konyol sangking terburu-burunya membawa ke klinik dia sampai lupa tidak membawa uang, hasilnya dia menggadaikan KTPnya dan baru kembali setelah mengantarku pulang.

“Lalu kerja di mana, Dek?”

“Aku kerja di Bank Swasta, Mas. Kawasan Bintaro,” jawabku.

“Oh ya sebelah mana?”

Aku cukup terkejut kenapa dia jadi begitu antusias mendengarnya.

“Oh... Sorry.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. “Mas Ravi sendiri gimana kabarnya?” tanyaku pada akhirnya membuat ia menoleh ke arahku lalu mengembangkan senyumnya, terlihat senang saat aku tanya kabarnya. Mungkinkah rasa itu masih ada? Tetapi, bagaimana mungkin dulu dia pernah menikah bahkan sampai punya anak. Seperti aku dan Mas Dani, kehadiran Hira juga merupakan bukti cinta kami. Bukankah seharusnya Mas Ravi demikian.

“Cukup Baik, Dek.”

“Kok anak dan istrinya tidak diajak?” tanyaku tiba-tiba secara spontan bahkan aku langsung menutup mulutku karena terlewat bertanya perihal pribadinya, seolah-olah tidak tahu jika ia sudah menduda.

_Duh bodoh banget sih aku_

“E... Em... Maksudku itu.....”

“Anakku sedang di tempat Mamanya,” jawabnya santai memotong ucapanku. “Sedang aku dan istriku sudah bercerai dua tahun yang lalu. Jadi, intinya aku tidak punya istri, Nona. Tapi, aku punya anak satu usianya 7 tahun. Jadi, katakanlah kalau aku itu duda.”

Aku hanya mengangguk paham tanpa suara. Terdengar helaan napas kasar darinya.

“Jadi, apakah Nona Thalita mau mendaftar jadi istriku?” tanyanya dengan wajah serius menatap ke arahku. Aku hanya melototkan kedua mataku, membuatnya langsung tertawa. “Santai saja, Dek. Aku hanya bercanda,” lanjutnya masih sambil terkekeh geli seolah ada rasa puasa yang menggelitiknya telah berhasil membuatku terkejut sekaligus kesal.

“Aku pernah gagal dalam berumah tangga, dan itu akan menjadi pelajaran seumur hidupku,” katanya tiba-tiba. Aku masih diam mendengarkan, meski mulut ini merasa ingin bertanya alasan kegagalan rumah tangganya, namun aku tetap menahan diri agar tidak melebihi batasku.

“Seperti apa yang pernah kamu bilang.” Dia menoleh ke arahku sejenak. “Anggap saja pertemuan kita kali ini untuk menyambung silaturahmi yang sempat terputus,” lanjutnya menghentikan ucapannya sejenak. Kami bertukar pandang dalam sejenak.

“Iya, Mas.” Aku setuju untuk hal ini.

“Aku tidak akan memaksa sesuatu hal yang memang mungkin tidak ditakdirkan untukku. Ya, ibarat kata... Aku hanya akan mengikuti garis takdir yang sudah digariskan Sang Maha Kuasa.”

Aku tersenyum tipis mendengar kalimatnya yang terdengar lebih dewasa. Hingga tiba-tiba kedatangan Hira membuat obrolan serius itu pun cair.

“Ayo Ibu, katanya mau mampir ke pasar. Hira pengen beli baju batik... Hihihi...” pinta anakku di akhiri tertawa. “Terus beli bakpia, geplak ya, Bu.”

“Iya,” jawabku.

“Main ke Gembira Loka Zoo juga, Bu.”

“Kan kalau di Jakarta udah sering main Ragunan. Itu juga kebun binatang kan, emangnya beda?” seruku sedikit kesal tapi aku tetap tidak bisa marah pada putriku. “Besok saja pergi sama Pakde ya.”

“Pakde sibuk terus.”

“Gimana kalau sama Om saja?” tawar Mas Ravi tiba-tiba membuatku cukup terkejut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 34. Last Chapter

    Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 33. Rindu Dua Buah Hati Yang Di Surga

    “Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 32. Kerinduan Hadirnya Sang Buah Hati

    Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 31. Biar Kaya Orang Pacaran

    POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 30. Semua Hanya Titipan, Sayang

    POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 29. I'ill Come Papa

    POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status