Share

Bab 3. Kisah Silam

POV Thalita

Pada akhirnya aku kembali duduk, dalam beberapa detik kami hanya sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Aku enggan membuka suara. Pikiranku mengembara pada kejadian delapan tahun yang lalu.

“Apa yang ingin kamu katakan pada Mas, Dek?” tanya Ravi lembut padaku. Tangannya bergerak meraih surai hitamku yang berterbangan karena tertiup angin, lalu menyelipkan ke daun telinga. Saat ini kami berada di Monas, tepatnya kami duduk di salah satu kursi panjang.

Ku tatap wajah lelaki yang baru beberapa bulan ini dekat denganku dengan senyum masam. Menahan air mata yang ingin tumpah dari kedua sudut mataku. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk mengatakan niatku.

“Dek...” panggilnya lagi. “Kenapa hanya diam? Apakah ada masalah? Katakan pada Mas? Ceritakan pada mas.”

Mendengar perhatiannya yang begitu tulus padaku. Rasanya membuat dadaku terasa sesak. Hingga akhirnya bulir air mata yang sejak tadi aku tahan pun luruh juga. Aku menangis, spontan dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Nyaman, itulah yang ku rasakan. Apalagi ketika ia membelai lembut punggungku.

“Jangan membuat Mas bingung, Dek. Ceritakan semuanya. Adakah Ayah dan Ibumu sedang tidak sehat?” tanyanya lagi penuh kecemasan. Seolah dia begitu paham apa yang kerap membuat hatiku sedih dan cemas. Ya, karena aku berada di Jakarta. Sedangkan orang tuaku berada di Yogyakarta. Setelah lulus SMA aku mencoba mengadu nasib di Jakarta sambil mengenyam pendidikan kuliah.

“Ibu dan Bapak sehat, Mas.” Akhirnya ku beranikan diri ini menjawab setelah dirasa hatinya membaik. Aku mengurai dekapannya, ku tatap wajah lelaki itu dengan seksama.

“Lalu... Gerangan apa yang membuat adik sedih?” desaknya.

Aku memainkan jari jemariku dengan gugup, menghela napas berulang kali. Mengingat kembali pesan kedua kakakku semalam.

“Mas...”

“Ya...” Dia menatapku dengan penuh serius, senyum bahagia terpancar bibirnya. Terlihat sangat tampan dan manis, karena ia memiliki dua lesung pipi.

“Aku ingin hubungan kita sampai di sini.”

Deg!

Bumi yang ia pijak seolah runtuh dalam waktu sesaat. Senyum di wajahnya langsung meredup. “Kamu bercanda?” tanyanya masih memaksakan dirinya setengah tertawa. Seolah ia hanyalah salah mendengar. Aku menggelengkan kepalanya dengan kuat.

“Aku serius, Mas.”

Kali ini senyumnya menyurut berganti wajah kecewa. Kedua tangannya mengepal, rahang kokoh itu terlihat mengeras. “Kenapa?” tanyanya pelan namun terdengar menuntut.

Leherku tercekat, lidahku terasa kelu tak mampu aku menjawab.

“Kenapa? Ayo katakan alasannya? Adakah kesalahan yang membuatmu kecewa pada Mas, hingga kamu memilih mengakhiri?” Dia semakin mendesak ku untuk bicara.

Aku menggelengkan kepalanya. “Tidak ada apapun, Mas. Hanya saja aku merasa Mas terlalu baik untukku.”

“Alasan itu tidak masuk akal. Seseorang tentu akan bertahan dalam hubungan jika mendapatkan orang yang baik.” Dia menatapku dengan penuh menuntut. “Ada apa?”

Aku menunduk dalam-dalam. “Maaf.”

“Aku tidak membutuhkan maafmu. Tetapi, aku ingin alasan kamu memilih mundur?”

Aku memalingkan wajah sejenak ke arah anak-anak kecil yang tengah berlarian pada sore hari. “Aku....”

“Kenapa?”

'Demi Tuhan... kalian itu masih saudara. Akhiri hubungan itu Lita.'

'Tapi, Mas? Kenapa? Aku dan Mas Ravi memang saudara. Tetapi, sudah terlalu jauh. Tentu tidak masalah jika kami memiliki hubungan lebih dari itu.'

'Tetapi kami tidak memberimu restu. Akhiri sebelum perasaanmu semakin dalam dengannya.'

'Ibunya Ravi datang menemui Mas. Meminta Mas untuk memberikan pengertian padamu. Ravi itu mau dijodohkan dengan perempuan yang sederajat. Kalau sampai kamu tidak menurut, dia mengancam akan memberi tahu pada orang tua kita. Kamu tahu sendiri penyakit jantung Bapak, Ta.'

Aku tersenyum getir mengingat alasan kakakku tak memberi mereka restu. Ternyata bukan hanya ikatan kami yang memang masih saudara, meski sudah terlalu jauh. Nenekku dan neneknya dia kakak beradik, namun dari segi sosial kamu memang berbeda. Hingga akhirnya keluarganya Mas Ravi memang tidak menyukaiku.

Tetapi, aku merasa tak berdaya untuk mengatakan sejujurnya. Aku merasa tidak akan sanggup hidup dengan Mas Ravi tanpa restu orang tuanya. Bukankah akan sangat berdosa jika aku meminta Mas Ravi membantah keinginan orang tuanya.

“Karena kita itu masih saudara, Mas. Untuk itu tidak seharusnya kita mempunyai hubungan yang lebih dari itu.”

“Omong kosong!” sergahnya. Dia meninggikan suaranya, membuatku cukup terkejut hingga memejamkan matanya. “Saudara apa? Ikatan kita sudah terlalu jauh.”

Aku hanya menunduk tersenyum getir, lalu menggelengkan kepalanya. “Tapi, aku tidak bisa menentang siapapun, Mas.”

“Bukankah sebelumnya kamu berkata akan berjuang bersamaku, Dek?”

Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan sendu. “Aku tidak bisa, Mas. Aku menyerah... Maaf.”

“Lita...”

“Lupakan perasaan kita. Anggaplah tidak ada pernah hubungan apapun. Semoga kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku. Bersikaplah seperti biasa ketika nanti kita bertemu.” Aku berdiri mengambil tangannya lalu menyalaminya dengan takjim. “Assalamu'aliakum. Mas.”

Dan setelah hari itu hubungan kami benar-benar berakhir. Aku memutuskan untuk memblokir seluruh akses media online yang berhubungan dengan. Dan meski ia kerap mendatangiku, aku tetap tidak pernah memperdulikannya lagi. Hingga di bulan ketiga aku dikejutkan kabar duka darinya jika ayahnya meninggal dunia. Aku memberikan ucapan bela sungkawa lewat nomor yang dulu sempat aku blokir. Namun, jawaban dia lebih menyakitkan dari yang aku duga. Aku kehilangan sosok Mas Ravi yang hangat.

Tidak perlu sok peduli padaku! Bukankah ini yang kamu mau. Melihatku hancur. Mulai detik ini aku putuskan tidak akan ada lagi hubungan apapun antara aku dan kamu. Baik asmara ataupun saudara.

Sakit, ketika membaca pesan itu. Namun, aku benar-benar merasa tak berdaya. Aku benar-benar berusaha melupakan dirinya. Satu tahun kemudian, aku memutuskan pulang kampung bertepatan hari raya. Ketika berkunjung ke rumah Budheku, aku kembali bertemu dengannya. Namun, saat itu aku melihat ia tidak sendiri. Melainkan sedang menggandeng lengan seorang perempuan yang tengah berbadan dua. Saudaraku bilang itu istrinya. Aku memang menutup diri info apapun tentangnya.

Tidak ada ucapan salam, dan sapaan hangat. Yang ada kami hanya saling melemparkan tatapan. Aku melihat sorot mata kebencian di matanya, sedangkan aku hanya bisa tersenyum getir. Lalu, memutuskan untuk pergi. Ya, itu menjadi hari terakhir aku bertemu dengannya. Aku fokus bekerja dan kuliah. Tahun berganti aku dijodohkan dengan Mas Dani oleh orang tuaku. Aku ingin melihat ibu bahagia, aku pun menerimanya meski tanpa cinta. Aku terus berusaha membuka hatiku untuk suamiku. Lelaki yang begitu baik selalu mengerti, dan memberiku dukungan sampai aku berhasil menyelesaikan pendidikanku dan aku diterima bekerja di salah satu bank swasta. Lama-lama aku merasa nyaman dengan Mas Dani, aku sadar mulai mencintainya. Kami menjalani biduk rumah tangga pada umumnya. Beberapa bulan kemudian aku dinyatakan hamil, hal itu membuat kebahagiaan kami bertambah lengkap. Namun, musibah tiba-tiba datang, tepat di usia kehamilanku yang ke tujuh bulan, suamiku mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Aku hancur, merasa dunia benar-benar tak adil. Kenapa laki-laki yang aku cintai, tidak pernah bisa berada terus di sisiku.

“Kau membutuhkan ini.”

Aku tersentak ketika melihat sapu tangan berwarna abu-abu di hadapanku. Lamunanku tentang masa lalu itu langsung buyar, seiring air mata yang mengalir dari pelupuk mataku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status