POV Thalita
Pada akhirnya aku kembali duduk, dalam beberapa detik kami hanya sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Aku enggan membuka suara. Pikiranku mengembara pada kejadian delapan tahun yang lalu.“Apa yang ingin kamu katakan pada Mas, Dek?” tanya Ravi lembut padaku. Tangannya bergerak meraih surai hitamku yang berterbangan karena tertiup angin, lalu menyelipkan ke daun telinga. Saat ini kami berada di Monas, tepatnya kami duduk di salah satu kursi panjang.Ku tatap wajah lelaki yang baru beberapa bulan ini dekat denganku dengan senyum masam. Menahan air mata yang ingin tumpah dari kedua sudut mataku. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk mengatakan niatku.“Dek...” panggilnya lagi. “Kenapa hanya diam? Apakah ada masalah? Katakan pada Mas? Ceritakan pada mas.”Mendengar perhatiannya yang begitu tulus padaku. Rasanya membuat dadaku terasa sesak. Hingga akhirnya bulir air mata yang sejak tadi aku tahan pun luruh juga. Aku menangis, spontan dia menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Nyaman, itulah yang ku rasakan. Apalagi ketika ia membelai lembut punggungku.“Jangan membuat Mas bingung, Dek. Ceritakan semuanya. Adakah Ayah dan Ibumu sedang tidak sehat?” tanyanya lagi penuh kecemasan. Seolah dia begitu paham apa yang kerap membuat hatiku sedih dan cemas. Ya, karena aku berada di Jakarta. Sedangkan orang tuaku berada di Yogyakarta. Setelah lulus SMA aku mencoba mengadu nasib di Jakarta sambil mengenyam pendidikan kuliah.“Ibu dan Bapak sehat, Mas.” Akhirnya ku beranikan diri ini menjawab setelah dirasa hatinya membaik. Aku mengurai dekapannya, ku tatap wajah lelaki itu dengan seksama.“Lalu... Gerangan apa yang membuat adik sedih?” desaknya.Aku memainkan jari jemariku dengan gugup, menghela napas berulang kali. Mengingat kembali pesan kedua kakakku semalam.“Mas...”“Ya...” Dia menatapku dengan penuh serius, senyum bahagia terpancar bibirnya. Terlihat sangat tampan dan manis, karena ia memiliki dua lesung pipi.“Aku ingin hubungan kita sampai di sini.”Deg!Bumi yang ia pijak seolah runtuh dalam waktu sesaat. Senyum di wajahnya langsung meredup. “Kamu bercanda?” tanyanya masih memaksakan dirinya setengah tertawa. Seolah ia hanyalah salah mendengar. Aku menggelengkan kepalanya dengan kuat.“Aku serius, Mas.”Kali ini senyumnya menyurut berganti wajah kecewa. Kedua tangannya mengepal, rahang kokoh itu terlihat mengeras. “Kenapa?” tanyanya pelan namun terdengar menuntut.Leherku tercekat, lidahku terasa kelu tak mampu aku menjawab.“Kenapa? Ayo katakan alasannya? Adakah kesalahan yang membuatmu kecewa pada Mas, hingga kamu memilih mengakhiri?” Dia semakin mendesak ku untuk bicara.Aku menggelengkan kepalanya. “Tidak ada apapun, Mas. Hanya saja aku merasa Mas terlalu baik untukku.”“Alasan itu tidak masuk akal. Seseorang tentu akan bertahan dalam hubungan jika mendapatkan orang yang baik.” Dia menatapku dengan penuh menuntut. “Ada apa?”Aku menunduk dalam-dalam. “Maaf.”“Aku tidak membutuhkan maafmu. Tetapi, aku ingin alasan kamu memilih mundur?”Aku memalingkan wajah sejenak ke arah anak-anak kecil yang tengah berlarian pada sore hari. “Aku....”“Kenapa?”'Demi Tuhan... kalian itu masih saudara. Akhiri hubungan itu Lita.''Tapi, Mas? Kenapa? Aku dan Mas Ravi memang saudara. Tetapi, sudah terlalu jauh. Tentu tidak masalah jika kami memiliki hubungan lebih dari itu.''Tetapi kami tidak memberimu restu. Akhiri sebelum perasaanmu semakin dalam dengannya.''Ibunya Ravi datang menemui Mas. Meminta Mas untuk memberikan pengertian padamu. Ravi itu mau dijodohkan dengan perempuan yang sederajat. Kalau sampai kamu tidak menurut, dia mengancam akan memberi tahu pada orang tua kita. Kamu tahu sendiri penyakit jantung Bapak, Ta.'Aku tersenyum getir mengingat alasan kakakku tak memberi mereka restu. Ternyata bukan hanya ikatan kami yang memang masih saudara, meski sudah terlalu jauh. Nenekku dan neneknya dia kakak beradik, namun dari segi sosial kamu memang berbeda. Hingga akhirnya keluarganya Mas Ravi memang tidak menyukaiku.Tetapi, aku merasa tak berdaya untuk mengatakan sejujurnya. Aku merasa tidak akan sanggup hidup dengan Mas Ravi tanpa restu orang tuanya. Bukankah akan sangat berdosa jika aku meminta Mas Ravi membantah keinginan orang tuanya.“Karena kita itu masih saudara, Mas. Untuk itu tidak seharusnya kita mempunyai hubungan yang lebih dari itu.”“Omong kosong!” sergahnya. Dia meninggikan suaranya, membuatku cukup terkejut hingga memejamkan matanya. “Saudara apa? Ikatan kita sudah terlalu jauh.”Aku hanya menunduk tersenyum getir, lalu menggelengkan kepalanya. “Tapi, aku tidak bisa menentang siapapun, Mas.”“Bukankah sebelumnya kamu berkata akan berjuang bersamaku, Dek?”Aku mengangkat wajahku, menatapnya dengan sendu. “Aku tidak bisa, Mas. Aku menyerah... Maaf.”“Lita...”“Lupakan perasaan kita. Anggaplah tidak ada pernah hubungan apapun. Semoga kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku. Bersikaplah seperti biasa ketika nanti kita bertemu.” Aku berdiri mengambil tangannya lalu menyalaminya dengan takjim. “Assalamu'aliakum. Mas.”Dan setelah hari itu hubungan kami benar-benar berakhir. Aku memutuskan untuk memblokir seluruh akses media online yang berhubungan dengan. Dan meski ia kerap mendatangiku, aku tetap tidak pernah memperdulikannya lagi. Hingga di bulan ketiga aku dikejutkan kabar duka darinya jika ayahnya meninggal dunia. Aku memberikan ucapan bela sungkawa lewat nomor yang dulu sempat aku blokir. Namun, jawaban dia lebih menyakitkan dari yang aku duga. Aku kehilangan sosok Mas Ravi yang hangat.Tidak perlu sok peduli padaku! Bukankah ini yang kamu mau. Melihatku hancur. Mulai detik ini aku putuskan tidak akan ada lagi hubungan apapun antara aku dan kamu. Baik asmara ataupun saudara.Sakit, ketika membaca pesan itu. Namun, aku benar-benar merasa tak berdaya. Aku benar-benar berusaha melupakan dirinya. Satu tahun kemudian, aku memutuskan pulang kampung bertepatan hari raya. Ketika berkunjung ke rumah Budheku, aku kembali bertemu dengannya. Namun, saat itu aku melihat ia tidak sendiri. Melainkan sedang menggandeng lengan seorang perempuan yang tengah berbadan dua. Saudaraku bilang itu istrinya. Aku memang menutup diri info apapun tentangnya.Tidak ada ucapan salam, dan sapaan hangat. Yang ada kami hanya saling melemparkan tatapan. Aku melihat sorot mata kebencian di matanya, sedangkan aku hanya bisa tersenyum getir. Lalu, memutuskan untuk pergi. Ya, itu menjadi hari terakhir aku bertemu dengannya. Aku fokus bekerja dan kuliah. Tahun berganti aku dijodohkan dengan Mas Dani oleh orang tuaku. Aku ingin melihat ibu bahagia, aku pun menerimanya meski tanpa cinta. Aku terus berusaha membuka hatiku untuk suamiku. Lelaki yang begitu baik selalu mengerti, dan memberiku dukungan sampai aku berhasil menyelesaikan pendidikanku dan aku diterima bekerja di salah satu bank swasta. Lama-lama aku merasa nyaman dengan Mas Dani, aku sadar mulai mencintainya. Kami menjalani biduk rumah tangga pada umumnya. Beberapa bulan kemudian aku dinyatakan hamil, hal itu membuat kebahagiaan kami bertambah lengkap. Namun, musibah tiba-tiba datang, tepat di usia kehamilanku yang ke tujuh bulan, suamiku mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Aku hancur, merasa dunia benar-benar tak adil. Kenapa laki-laki yang aku cintai, tidak pernah bisa berada terus di sisiku.“Kau membutuhkan ini.”Aku tersentak ketika melihat sapu tangan berwarna abu-abu di hadapanku. Lamunanku tentang masa lalu itu langsung buyar, seiring air mata yang mengalir dari pelupuk mataku.POV ThalitaAku buru-buru menghapus sudut air mataku, dan mengabaikan sapu tangan yang diberikan Mas Ravi. “Tidak ada peletnya di sapu tangan ini. Kenapa mesti takut?” tanyanya setengah mengejek diriku. Aku sontak menoleh ke arahnya menatapnya dengan kesal. “Aku tidak mengatakan demikian,” bantahku sedikit kesal. Kenapa dia selalu mencari perkara agar bisa ribut denganku. “Tapi sikapmu seolah menunjukkan hal itu,” kekeh Mas Ravi tak ingin disalahkan. Ia tersenyum tipis seraya mengangkat alisnya, tak memperdulikan aku yang menatapnya dengan geram, entah dia sengaja ingin membuatku kesal atau bagaimana. “Itu hakku!” tegasku lalu memalingkan wajah ke arah lain. Dia terkekeh kecil, menghela napas sebelum kemudian menjawab. “Ya kamu memang tidak pernah salah. Kamu mempunyai hak apapun tentang dirimu. Bahkan memutuskanku secara sepihak dengan alasan yang tak jelas itu juga hakmu. Bukan begitu Nona Thalita Anggraini?”“Ck!” Aku berdecak malas ke arahnya. “Sebenarnya yang kamu inginkan
POV Thalita Hari berlalu setelah kembali dari kampung, aku kembali pada aktivitasku seperti biasa. Usai mengantar Hira ke sekolah, aku langsung bertolak ke kantor tempatku bekerja. Aku memarkirkan motorku di tempat parkir.“Selamat pagi, Mbak Lita.” Pak Jono selaku tukang parkir menyapa.“Pagi juga, Pak.” Aku melepaskan helmku dan meletakkan di atas spion motorku. Kemudian tanganku beralih mengambil kantong kresek yang berisi oleh-oleh dari kampung. “Lita.” Langkahku terhenti ketika ada suara yang memanggil namaku. Sontak aku berbalik dan melihat Pak Yusuf menghampiriku, tangannya tampak menenteng kantong kresek berwarna putih. “Selamat Pagi, Pak.” Aku menyapanya dengan sopan mengingat posisi dia adalah atasanku. Ya dia merupakan manager operasional sedangkan aku hanya bagian customer service. “Ah, kamu Lita. Masih kaku saja.” Pak Yusuf melihat arloji di tangannya. “Belum masuk jam kerja. Panggilanmu udah formal saja. Coba sekali-kali panggil Mas gitu kan kedengarannya enak, k
Aku menghela napas berulang kali, mengenyahkan perasaan gugup dan kesal yang tiba-tiba mendera. Sadar jika saat ini adalah jam kerja. Dia adalah nasabahku, dan aku tentu harus profesional melayaninya dengan sepenuh hati. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak.” Aku menyapanya dengan ramah dan penuh sopan santun seperti aku menyapa nasabahku pada umumnya.“Siang juga.” Mas Ravi membalasnya lalu menegapkan badannya. “Kebetulan saya ingin membuat deposito. Bisakah Nona Thalita membantu saya?”“Bisa. Apakah sudah tahu persyaratannya?” “Tentu saja.” Mas Ravi mengeluarkan dokumen yang sudah ia bawa. “Kebetulan saya juga belum mempunyai rekening bank ini. Jadi, harus buat rekening dulu kan?”“Iya, Pak.”Aku menyiapkan beberapa formulir yang harus ia isi. Sejujurnya, jika hanya ingin rekening aku yakin ia pun tahu dan paham jika semua itu bisa dilakukan online, tapi aku tidak ingin tahu hal itu. Aku tetap melayaninya seperti pada umumnya. Menunjukkan apa saja yang harus ia isi serta
POV Thalita“Omonganmu itu loh, Mas!” sergahku dengan kesal. Namun, bukannya merasa bersalah Mas Ravi justru tersenyum menatapku dari balik spionnya. “Mas serius.”Aku menghela napas dengan panjang, memilih untuk bersikap abai. Selama ia terus melajukan mobilnya. Tiba-tiba lelaki itu memutar sebuah lagu Jawa dengan judul **Kelingan Mantan** *_Dek koe mbiyen janji ro aku. Nglakoni tresna suci iklhas tekan mati. Neng nyatane ngapusi, cidro ati Iki. Netes eluhku deres mili di pipi_Mendengar lirik lagu itu seketika membuat aku merasa Dejavu. Merasa jika mas Ravi tengah menyindirku. Dulu kami memang pernah saling berjanji akan terus bersama memperjuangkan cinta kita. Namun, nyatanya takdir berkata lain. Saat cinta itu terhalang restu keluarga, aku bisa apa? Selain mengalah, memilih meninggalkannya. Ibunya bilang itu demi kebahagiaannya. Ya, aku lakukan itu demi dirinya. Dan sekarang kami dipertemukan dalam status yang tak lagi sama seperti dulu. Apa yang harus ku lakukan? Sudah berusa
POV Aravi Monumen Nasional masih meninggalkan sejarah. Ya, sejarah aku dan kamu.Aravi***Namaku Aravi Kurniawan, merupakan anak pertama dari ketiga saudara. Adikku yang pertama bernama Rahman Kurniawan yang kini sudah menikah dengan orang Wonosobo. Sedangkan adik bungsuku Ria Tria Kurniawan juga sudah menikah dengan lelaki yang berasal dari Magelang. Ya, kami semua sudah memiliki keluarga masing-masing. Punya kesibukan masing-masing. Namun, Jalan cintaku tak semulus kedu adikku. Enam tahun yang lalu aku diputuskan oleh kekasihku — Thalita dengan alasan kami masih saudara. Aku sempat membencinya karena hal itu. Ia mengingkari janjinya untuk memperjuangkan cinta kami. Hatiku rasanya hancur mengingat betapa dalamnya rasa cintaku. Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah dia meragukan cintaku? Padahal aku berjanji akan sekuat tenaga membahagiakan dirinya. Itulah pikiran negatif ku saat tiba-tiba ia memutuskan ku. Monumen nasional atau yang biasa disebut Monas akan menjadi sebuah sejarah yang m
POV ARAVISetelah kejadian itu rumah tanggaku semakin terasa dingin. Sikap Adiba yang begitu sinis, dan selalu menaruh rasa curiga padaku, mengira jika aku selingkuh darinya. Aku berusaha untuk meminta maaf adanya, dengan mengatakan jika aku hanya salah sebut. Namun, perempuan itu tetap tak percaya padaku. Meski aku sudah berjanji akan memperbaiki semuanya. Tiga bulan kemudian, saat aku tengah sibuk bekerja di ruang tengah dengan laptopku. Dia datang tiba-tiba melemparkan sebuah amplop padaku. “Apa yang kamu lakukan?!” teriakku sedikit marah.“Buka amplop itu, Mas!” Dia menggertak berbalik marah, sambil melipatkan tangannya di dada. “Ini apa?" tanyaku.“Buka saja.” Karena desakannya aku pun membuka amplop itu yang ternyata berisi foto-foto kebersamaan ku dengan Lita. Aku tampak terkejut melihatnya, lalu beralih menatap ke arah Adiba yang kini menatapku dengan sinis. “Ini....”“Kenapa? Kamu kaget, aku bisa menemukan dan tahu siapa perempuan itu?” Aku menghela nafasnya. “Untuk apa k
“Kenapa?” tanyaku berusaha santai.Adiba mendongak menatapku dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Namun, sepertinya ia sudah berada di ambang batas kesabaran. “Jangan tanyakan kenapa, Mas? Kamu juga tahu alasannya. Rumah tangga kita memang tidak baik-baik saja. Sudah tak bisa terselamatkan,” sahutnya menatapku dengan sendu.Aku mendesis, merasa ingin memaki dalam hati. Agar kemarahan ini bisa terurai. “Empat tahun bukankah waktu cukup lama untuk kita bisa saling memahami. Tetapi, semua seperti berjalan dengan sia-sia. Rumah tangga yang kita jalani, hanya sebuah kepalsuan. Dan kini... Kenapa aku tidak menemukan kenyamanan apapun dalam dirimu. Aku justru menemukan kenyamanan itu pada orang lain,” sambung Adiba membuatku ingin kembali memaki dalam hati. Saat bayangan canda dan tawa Adiba pada seorang dokter muda di rumah sakit, serta cafe itu terlintas dalam otaknya. Seketika aku paham, jika istriku itu tengah membandingkan ku dengan dengan lelaki itu. “Aku terlalu bodoh selama
'Kau berikan sejuta harapan. Indahnya bersamamu. Membuat aku terlena. Hanyut dalam asmara.'“Cih..” Aku berdesis malas mendengar lirik lagu Melayu yang dinyanyikan band cafe itu. Ya, demi mengusir kebosanan yang mendera dalam diriku. Pada malam Minggu aku mengajak Ari dan Mas Pram ke sebuah cafe dan restoran. Ya itung-itung nongkrong untuk melupakan permasalahan yang sempat terjadi. “Jadi, sudah resmi jadi duda ni,” kata Mas Pram padaku.Aku menyesap kopi di hadapanku, sambil memandang ke arah panggung di mana ada penyanyi cafe yang tengah menyanyikan sebuah lagu Melayu. “Begitulah.”“Menyedihkan sekali hidupmu. Jadi, duda perkara masa lalu yang belum usai,” timpal Ari.“Benar. Seharusnya kau sudah move on. Empat tahun loh, itu bukan waktu yang singkat.” Mas Pram ikut menimpali membuat aku mendengus, andai kata semua semudah itu. “Adiba itu kurang apa? Cantik, mandiri, berpendidikan, dan satu lagi sayang sama ibu kamu.”“Ya itulah kebodohanku.” Aku mengakui kebodohanku dalam hal ini.