Share

Bab 5. Nasabah Baru

POV Thalita

Hari berlalu setelah kembali dari kampung, aku kembali pada aktivitasku seperti biasa. Usai mengantar Hira ke sekolah, aku langsung bertolak ke kantor tempatku bekerja. Aku memarkirkan motorku di tempat parkir.

“Selamat pagi, Mbak Lita.” Pak Jono selaku tukang parkir menyapa.

“Pagi juga, Pak.” Aku melepaskan helmku dan meletakkan di atas spion motorku. Kemudian tanganku beralih mengambil kantong kresek yang berisi oleh-oleh dari kampung.

“Lita.” Langkahku terhenti ketika ada suara yang memanggil namaku. Sontak aku berbalik dan melihat Pak Yusuf menghampiriku, tangannya tampak menenteng kantong kresek berwarna putih.

“Selamat Pagi, Pak.” Aku menyapanya dengan sopan mengingat posisi dia adalah atasanku. Ya dia merupakan manager operasional sedangkan aku hanya bagian customer service.

“Ah, kamu Lita. Masih kaku saja.” Pak Yusuf melihat arloji di tangannya. “Belum masuk jam kerja. Panggilanmu udah formal saja. Coba sekali-kali panggil Mas gitu kan kedengarannya enak, kamu kan orang Jawa tuh pasti merdu,” lanjutnya terkekeh geli, aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Karena jujur saja aku bingung harus menjawab apa. Akhirnya, kami putuskan melangkah masuk bersama. Begitu pintu terbuka semua orang sibuk menoleh ke arah kami.

“Wah... Wah... Couple kita hari ini ni.”

“PJ Pak... PJ...”

Aku menggelengkan kepala mendengar godaan teman-temanku. Langkahku langsung menuju mereka kerjaku, meletakkan tas kerjaku.

“Aminin aja deh. Doain aja ya.” Pak Yusuf menoleh ke arahku. “Iya kan, Ta?”

“Nopo, Pak?” balasku secara spontan, sontak teman-temanku langsung tertawa, karena aku menanggapinya dengan bahasa daerahku.

“Gak opo-opo, Lita. Pak Yusuf kui ngomong nek kowe dijak rabi,” celetuk Gunawan tanpa sensor membuat aku dan Pak Yusuf melotot.

“Gun... Gun... Bahasamu itu loh kalau ngomong.” Pak Yusuf tampak tak terima. Aku hanya menunduk malu, sejujurnya bukan aku tidak tahu jika Pak Yusuf menaruh rasa padaku. Hanya saja entah kenapa hatiku sama sekali tidak tergugah untuk mencoba memberinya kesempatan.

“Lho... Lho.. piye tow? Lho aku tow bener Pak. Sampean iku ya, gak jentle.” Gunawan semakin menjadi-jadi.

Pak Yusuf mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. “Potong gajimu bulan ini,” ancamnya yang langsung berlalu masuk ke dalam ruangannya.

“Lho... Lho... Kok jadi gini tow.” Gunawan tampak kalang kabut padahal aku yakin Pak Yusuf tidak seserius itu. Aku mulai menghidupkan komputer tepat di jam 07.30 WIB Bank akan kembali beroperasi. Aku mengetuk-ngetuk meja kerjaku dengan jariku menunggu komputer benar-benar siap, dan aku akan mengecek data-data terakhir aku bekerja sebelum cuti.

“Pulang kampung gak bawa oleh-oleh, Ta?” Erika temanku yang bagian teller menghampiriku. Aku tersenyum mengambil kantong keresek yang tadi aku bawa lalu aku berikan padanya.

“Bagi-bagi ya. Aku cuma bawa sedikit.”

“Terima kasih.”

Dia berlalu meninggalkanku yang masih menunggu komputer siap.

“Kenapa Ta? Ada masalah dengan komputernya?” tanya Pak Fadil selaku supervisor kantor cabang kami ini.

“Em iya ini, Pak. Sepertinya eror dari tadi begini terus. Saya pikir sinyalnya.”

“Coba saya lihat.”

Aku beranjak dari tempat dudukku membiarkan Pak Fadil mengambil alih komputer ku. Dia dengan serius mencoba memperbaikinya.

“Ini, Ta. Tadi aku beli gorengan di tempat langgananmu. Kamu kan paling suka cirengnya tuh aku bagi.” Pak Yusuf kembali datang memberikan cireng padaku.

“Makasih Pak,” jawabku membuatnya tersenyum mengangguk.

“Cie... Cie.... Awalnya tukar gorengan lama-lama suap-suapan.”

“Gun bisa diam tidak kamu? Tak sumpal pakai cabe rawit juga ya,” ancamnya membuat kami tertawa. Aku menatap arloji pergelangan tanganku dimana sebentar lagi kantor harus mulai beroperasi.

“Ribut terus. Daripada ngeladenin ucapan Gunawan mending coba bantuin aku cek komputer Lita, Pak.” Fadil yang mulai frustasi terlihat kesal melihat Pak Yusuf dan Gunawan ribut terus.

“Coba aku lihat.” Pak Yusuf mulai mengambil alih komputerku. “Data-datanya ada udah disimpan di flashdisk semua kan Ta?”

“Iya, Pak.”

“Ini bank sudah mulai, nanti pakai laptop milikku saja ya. Nanti sore baru saya lanjutin. Kalau memang ada kerusakan atau memang sudah tidak bisa dipakai, saya akan bilang dengan Pak Aji untuk membeli komputer baru. Soalnya ini Pak Aji hari ini tidak bisa datang, ada rapat di pusat.”

“Baik Pak.”

Setelahnya Pak Yusuf mengambil laptopnya mengaturnya semua untukku. Tepat pukul 07.30 bank sudah dibuka. Aku mulai melayani satu persatu nasabah ada membuka rekening, ada yang mengganti kartu ATM dan sebagainya.

Tiba jam istirahat aku memilih makan di warung soto pedagang kaki lima tepat di depan kantor.

“Mela dan yang lainnya ke mall yang baru buka kemarin Minggu tuh, katanya di sana ada restoran Nusantara yang menunya enak-enak. Kamu kok gak gabung sama mereka, Ta?” Pak Yusuf tiba-tiba duduk di bangku sebelahku. Sementara aku menerima semangkok soto mie yang sudah aku pesan.

“Tanggal tua Pak,” candaku sambil menatap gedung yang menjulang tinggi, masih baru jadi terlihat ramai. Dan aku bukan tipikal perempuan yang mempunyai rasa penasaran tinggi tentang hal seperti itu.

“Udah habis-habisan kemarin pulang kampung ya, Ta?” tanya Pak Yusuf aku menoleh ke arahnya dan hanya membalasnya dengan senyum. Tak berselang lama ponselku bergetar adanya panggilan masuk dari putriku. Mengambil rak sendok untuk aku gunakan sandaran ponselku.

“Assalamu'alaikum, Bu.”

“Walaikum salam, sayang. Sudah pulang sekolah?” tanyaku.

“Sudah, Bu. Tadi dijemput budhe, Hira juga sudah makan. Ibu sudah makan?”

“Ini.” Aku menunjukkan semangkok soto mie di hadapanku. Diam-diam aku juga tahu kalau Mas Yusuf memerhatikan interaksiku dengan putriku.

“Ih ibu tidak boleh makan banyak cabe, nanti sakit perut.”

“Sedikit kok nak.”

“Warna sampai merah gitu. Hira saja tidak diperbolehkan makan pedas banyak-banyak sama ibu. Aku kan sekarang cuma punya Ibu.”

Deg!

Aku tersentak menatap raut wajah putriku yang tiba-tiba berubah menjadi sendu. “Hira masih punya nenek, kakek ada saudara di kampung banyak kan?”

“Tapi aku tidak punya ayah seperti yang lainnya,” katanya tiba-tiba membuat nafasku tercekat.

“Karena Ayahmu terlalu istimewa. Dia selalu ada bersamamu, Nak.”

Dia menggeleng dengan cepat. “Hari ini ada tugas membuat sebuah puisi dengan tema Ayah. Katakan padaku, Bu. Apa yang harus ku tulis?”

Aku menggigit bibir bawahku mendengarnya. “Biar nanti Ibu beritahu di rumah. Sekarang Hira tidur siang dulu ya? Ibu harus kembali bekerja.”

“Oke Bu.”

Setelah panggilan terputus aku segera mengambil tisu menghapus air mataku. Setelahnya aku membayar soto pesananku.

“Kenapa gak dihabiskan?” tanya Pak Yusuf padaku.

“Aku sudah kenyang, Pak.”

“Anak kecil memang seperti itu. Apalagi putrimu masih terlalu dini, dia memang membutuhkan figur Ayah. Bagaimana kalau aku saja yang menjadi ayahnya?” selorohnya tiba-tiba membuat kedua mataku melotot. “Aku bercanda, Lita.” lanjutnya tertawa.

Selesai istirahat kembali masuk ke kantor dan mulai melayani customer satu persatu. Hari ini nasabah cukup banyak. Membuat badanku terasa pegal. Aku bahkan sampai bertanya pada security masih ada berapa lagi. Ternyata masih ada satu setelahnya. Aku pun memanggil nasabah yang terkahir.

“Nomor antrian 082...”

Aku melihat ke arah kursi tidak ada orang di sana. Namun, tiba-tiba pintu terbuka sosok lelaki berjas hitam melangkah ke arahku. “Saya...”

Kedua mataku melotot melihatnya. “Mas Ravi,” gumamku pelan.

“Hai Lita,” sapanya dengan senyum manis di bibirnya yang membuat aku cukup terpana. Sungguh tidak aku sangka jika akan kembali dipertemukan dengannya, setelah insiden di gembira loka zoo kemarin, aku merasa dengan memilih cepat kembali ke kota. Tapi, ternyata kami kembali dipertemukan di sini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status