POV Thalita
Hari berlalu setelah kembali dari kampung, aku kembali pada aktivitasku seperti biasa. Usai mengantar Hira ke sekolah, aku langsung bertolak ke kantor tempatku bekerja. Aku memarkirkan motorku di tempat parkir.“Selamat pagi, Mbak Lita.” Pak Jono selaku tukang parkir menyapa.“Pagi juga, Pak.” Aku melepaskan helmku dan meletakkan di atas spion motorku. Kemudian tanganku beralih mengambil kantong kresek yang berisi oleh-oleh dari kampung.“Lita.” Langkahku terhenti ketika ada suara yang memanggil namaku. Sontak aku berbalik dan melihat Pak Yusuf menghampiriku, tangannya tampak menenteng kantong kresek berwarna putih.“Selamat Pagi, Pak.” Aku menyapanya dengan sopan mengingat posisi dia adalah atasanku. Ya dia merupakan manager operasional sedangkan aku hanya bagian customer service.“Ah, kamu Lita. Masih kaku saja.” Pak Yusuf melihat arloji di tangannya. “Belum masuk jam kerja. Panggilanmu udah formal saja. Coba sekali-kali panggil Mas gitu kan kedengarannya enak, kamu kan orang Jawa tuh pasti merdu,” lanjutnya terkekeh geli, aku hanya membalasnya dengan senyum tipis. Karena jujur saja aku bingung harus menjawab apa. Akhirnya, kami putuskan melangkah masuk bersama. Begitu pintu terbuka semua orang sibuk menoleh ke arah kami.“Wah... Wah... Couple kita hari ini ni.”“PJ Pak... PJ...”Aku menggelengkan kepala mendengar godaan teman-temanku. Langkahku langsung menuju mereka kerjaku, meletakkan tas kerjaku.“Aminin aja deh. Doain aja ya.” Pak Yusuf menoleh ke arahku. “Iya kan, Ta?”“Nopo, Pak?” balasku secara spontan, sontak teman-temanku langsung tertawa, karena aku menanggapinya dengan bahasa daerahku.“Gak opo-opo, Lita. Pak Yusuf kui ngomong nek kowe dijak rabi,” celetuk Gunawan tanpa sensor membuat aku dan Pak Yusuf melotot.“Gun... Gun... Bahasamu itu loh kalau ngomong.” Pak Yusuf tampak tak terima. Aku hanya menunduk malu, sejujurnya bukan aku tidak tahu jika Pak Yusuf menaruh rasa padaku. Hanya saja entah kenapa hatiku sama sekali tidak tergugah untuk mencoba memberinya kesempatan.“Lho... Lho.. piye tow? Lho aku tow bener Pak. Sampean iku ya, gak jentle.” Gunawan semakin menjadi-jadi.Pak Yusuf mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. “Potong gajimu bulan ini,” ancamnya yang langsung berlalu masuk ke dalam ruangannya.“Lho... Lho... Kok jadi gini tow.” Gunawan tampak kalang kabut padahal aku yakin Pak Yusuf tidak seserius itu. Aku mulai menghidupkan komputer tepat di jam 07.30 WIB Bank akan kembali beroperasi. Aku mengetuk-ngetuk meja kerjaku dengan jariku menunggu komputer benar-benar siap, dan aku akan mengecek data-data terakhir aku bekerja sebelum cuti.“Pulang kampung gak bawa oleh-oleh, Ta?” Erika temanku yang bagian teller menghampiriku. Aku tersenyum mengambil kantong keresek yang tadi aku bawa lalu aku berikan padanya.“Bagi-bagi ya. Aku cuma bawa sedikit.”“Terima kasih.”Dia berlalu meninggalkanku yang masih menunggu komputer siap.“Kenapa Ta? Ada masalah dengan komputernya?” tanya Pak Fadil selaku supervisor kantor cabang kami ini.“Em iya ini, Pak. Sepertinya eror dari tadi begini terus. Saya pikir sinyalnya.”“Coba saya lihat.”Aku beranjak dari tempat dudukku membiarkan Pak Fadil mengambil alih komputer ku. Dia dengan serius mencoba memperbaikinya.“Ini, Ta. Tadi aku beli gorengan di tempat langgananmu. Kamu kan paling suka cirengnya tuh aku bagi.” Pak Yusuf kembali datang memberikan cireng padaku.“Makasih Pak,” jawabku membuatnya tersenyum mengangguk.“Cie... Cie.... Awalnya tukar gorengan lama-lama suap-suapan.”“Gun bisa diam tidak kamu? Tak sumpal pakai cabe rawit juga ya,” ancamnya membuat kami tertawa. Aku menatap arloji pergelangan tanganku dimana sebentar lagi kantor harus mulai beroperasi.“Ribut terus. Daripada ngeladenin ucapan Gunawan mending coba bantuin aku cek komputer Lita, Pak.” Fadil yang mulai frustasi terlihat kesal melihat Pak Yusuf dan Gunawan ribut terus.“Coba aku lihat.” Pak Yusuf mulai mengambil alih komputerku. “Data-datanya ada udah disimpan di flashdisk semua kan Ta?”“Iya, Pak.”“Ini bank sudah mulai, nanti pakai laptop milikku saja ya. Nanti sore baru saya lanjutin. Kalau memang ada kerusakan atau memang sudah tidak bisa dipakai, saya akan bilang dengan Pak Aji untuk membeli komputer baru. Soalnya ini Pak Aji hari ini tidak bisa datang, ada rapat di pusat.”“Baik Pak.”Setelahnya Pak Yusuf mengambil laptopnya mengaturnya semua untukku. Tepat pukul 07.30 bank sudah dibuka. Aku mulai melayani satu persatu nasabah ada membuka rekening, ada yang mengganti kartu ATM dan sebagainya.Tiba jam istirahat aku memilih makan di warung soto pedagang kaki lima tepat di depan kantor.“Mela dan yang lainnya ke mall yang baru buka kemarin Minggu tuh, katanya di sana ada restoran Nusantara yang menunya enak-enak. Kamu kok gak gabung sama mereka, Ta?” Pak Yusuf tiba-tiba duduk di bangku sebelahku. Sementara aku menerima semangkok soto mie yang sudah aku pesan.“Tanggal tua Pak,” candaku sambil menatap gedung yang menjulang tinggi, masih baru jadi terlihat ramai. Dan aku bukan tipikal perempuan yang mempunyai rasa penasaran tinggi tentang hal seperti itu.“Udah habis-habisan kemarin pulang kampung ya, Ta?” tanya Pak Yusuf aku menoleh ke arahnya dan hanya membalasnya dengan senyum. Tak berselang lama ponselku bergetar adanya panggilan masuk dari putriku. Mengambil rak sendok untuk aku gunakan sandaran ponselku.“Assalamu'alaikum, Bu.”“Walaikum salam, sayang. Sudah pulang sekolah?” tanyaku.“Sudah, Bu. Tadi dijemput budhe, Hira juga sudah makan. Ibu sudah makan?”“Ini.” Aku menunjukkan semangkok soto mie di hadapanku. Diam-diam aku juga tahu kalau Mas Yusuf memerhatikan interaksiku dengan putriku.“Ih ibu tidak boleh makan banyak cabe, nanti sakit perut.”“Sedikit kok nak.”“Warna sampai merah gitu. Hira saja tidak diperbolehkan makan pedas banyak-banyak sama ibu. Aku kan sekarang cuma punya Ibu.”Deg!Aku tersentak menatap raut wajah putriku yang tiba-tiba berubah menjadi sendu. “Hira masih punya nenek, kakek ada saudara di kampung banyak kan?”“Tapi aku tidak punya ayah seperti yang lainnya,” katanya tiba-tiba membuat nafasku tercekat.“Karena Ayahmu terlalu istimewa. Dia selalu ada bersamamu, Nak.”Dia menggeleng dengan cepat. “Hari ini ada tugas membuat sebuah puisi dengan tema Ayah. Katakan padaku, Bu. Apa yang harus ku tulis?”Aku menggigit bibir bawahku mendengarnya. “Biar nanti Ibu beritahu di rumah. Sekarang Hira tidur siang dulu ya? Ibu harus kembali bekerja.”“Oke Bu.”Setelah panggilan terputus aku segera mengambil tisu menghapus air mataku. Setelahnya aku membayar soto pesananku.“Kenapa gak dihabiskan?” tanya Pak Yusuf padaku.“Aku sudah kenyang, Pak.”“Anak kecil memang seperti itu. Apalagi putrimu masih terlalu dini, dia memang membutuhkan figur Ayah. Bagaimana kalau aku saja yang menjadi ayahnya?” selorohnya tiba-tiba membuat kedua mataku melotot. “Aku bercanda, Lita.” lanjutnya tertawa.Selesai istirahat kembali masuk ke kantor dan mulai melayani customer satu persatu. Hari ini nasabah cukup banyak. Membuat badanku terasa pegal. Aku bahkan sampai bertanya pada security masih ada berapa lagi. Ternyata masih ada satu setelahnya. Aku pun memanggil nasabah yang terkahir.“Nomor antrian 082...”Aku melihat ke arah kursi tidak ada orang di sana. Namun, tiba-tiba pintu terbuka sosok lelaki berjas hitam melangkah ke arahku. “Saya...”Kedua mataku melotot melihatnya. “Mas Ravi,” gumamku pelan.“Hai Lita,” sapanya dengan senyum manis di bibirnya yang membuat aku cukup terpana. Sungguh tidak aku sangka jika akan kembali dipertemukan dengannya, setelah insiden di gembira loka zoo kemarin, aku merasa dengan memilih cepat kembali ke kota. Tapi, ternyata kami kembali dipertemukan di sini.Aku menghela napas berulang kali, mengenyahkan perasaan gugup dan kesal yang tiba-tiba mendera. Sadar jika saat ini adalah jam kerja. Dia adalah nasabahku, dan aku tentu harus profesional melayaninya dengan sepenuh hati. “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak.” Aku menyapanya dengan ramah dan penuh sopan santun seperti aku menyapa nasabahku pada umumnya.“Siang juga.” Mas Ravi membalasnya lalu menegapkan badannya. “Kebetulan saya ingin membuat deposito. Bisakah Nona Thalita membantu saya?”“Bisa. Apakah sudah tahu persyaratannya?” “Tentu saja.” Mas Ravi mengeluarkan dokumen yang sudah ia bawa. “Kebetulan saya juga belum mempunyai rekening bank ini. Jadi, harus buat rekening dulu kan?”“Iya, Pak.”Aku menyiapkan beberapa formulir yang harus ia isi. Sejujurnya, jika hanya ingin rekening aku yakin ia pun tahu dan paham jika semua itu bisa dilakukan online, tapi aku tidak ingin tahu hal itu. Aku tetap melayaninya seperti pada umumnya. Menunjukkan apa saja yang harus ia isi serta
POV Thalita“Omonganmu itu loh, Mas!” sergahku dengan kesal. Namun, bukannya merasa bersalah Mas Ravi justru tersenyum menatapku dari balik spionnya. “Mas serius.”Aku menghela napas dengan panjang, memilih untuk bersikap abai. Selama ia terus melajukan mobilnya. Tiba-tiba lelaki itu memutar sebuah lagu Jawa dengan judul **Kelingan Mantan** *_Dek koe mbiyen janji ro aku. Nglakoni tresna suci iklhas tekan mati. Neng nyatane ngapusi, cidro ati Iki. Netes eluhku deres mili di pipi_Mendengar lirik lagu itu seketika membuat aku merasa Dejavu. Merasa jika mas Ravi tengah menyindirku. Dulu kami memang pernah saling berjanji akan terus bersama memperjuangkan cinta kita. Namun, nyatanya takdir berkata lain. Saat cinta itu terhalang restu keluarga, aku bisa apa? Selain mengalah, memilih meninggalkannya. Ibunya bilang itu demi kebahagiaannya. Ya, aku lakukan itu demi dirinya. Dan sekarang kami dipertemukan dalam status yang tak lagi sama seperti dulu. Apa yang harus ku lakukan? Sudah berusa
POV Aravi Monumen Nasional masih meninggalkan sejarah. Ya, sejarah aku dan kamu.Aravi***Namaku Aravi Kurniawan, merupakan anak pertama dari ketiga saudara. Adikku yang pertama bernama Rahman Kurniawan yang kini sudah menikah dengan orang Wonosobo. Sedangkan adik bungsuku Ria Tria Kurniawan juga sudah menikah dengan lelaki yang berasal dari Magelang. Ya, kami semua sudah memiliki keluarga masing-masing. Punya kesibukan masing-masing. Namun, Jalan cintaku tak semulus kedu adikku. Enam tahun yang lalu aku diputuskan oleh kekasihku — Thalita dengan alasan kami masih saudara. Aku sempat membencinya karena hal itu. Ia mengingkari janjinya untuk memperjuangkan cinta kami. Hatiku rasanya hancur mengingat betapa dalamnya rasa cintaku. Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah dia meragukan cintaku? Padahal aku berjanji akan sekuat tenaga membahagiakan dirinya. Itulah pikiran negatif ku saat tiba-tiba ia memutuskan ku. Monumen nasional atau yang biasa disebut Monas akan menjadi sebuah sejarah yang m
POV ARAVISetelah kejadian itu rumah tanggaku semakin terasa dingin. Sikap Adiba yang begitu sinis, dan selalu menaruh rasa curiga padaku, mengira jika aku selingkuh darinya. Aku berusaha untuk meminta maaf adanya, dengan mengatakan jika aku hanya salah sebut. Namun, perempuan itu tetap tak percaya padaku. Meski aku sudah berjanji akan memperbaiki semuanya. Tiga bulan kemudian, saat aku tengah sibuk bekerja di ruang tengah dengan laptopku. Dia datang tiba-tiba melemparkan sebuah amplop padaku. “Apa yang kamu lakukan?!” teriakku sedikit marah.“Buka amplop itu, Mas!” Dia menggertak berbalik marah, sambil melipatkan tangannya di dada. “Ini apa?" tanyaku.“Buka saja.” Karena desakannya aku pun membuka amplop itu yang ternyata berisi foto-foto kebersamaan ku dengan Lita. Aku tampak terkejut melihatnya, lalu beralih menatap ke arah Adiba yang kini menatapku dengan sinis. “Ini....”“Kenapa? Kamu kaget, aku bisa menemukan dan tahu siapa perempuan itu?” Aku menghela nafasnya. “Untuk apa k
“Kenapa?” tanyaku berusaha santai.Adiba mendongak menatapku dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Namun, sepertinya ia sudah berada di ambang batas kesabaran. “Jangan tanyakan kenapa, Mas? Kamu juga tahu alasannya. Rumah tangga kita memang tidak baik-baik saja. Sudah tak bisa terselamatkan,” sahutnya menatapku dengan sendu.Aku mendesis, merasa ingin memaki dalam hati. Agar kemarahan ini bisa terurai. “Empat tahun bukankah waktu cukup lama untuk kita bisa saling memahami. Tetapi, semua seperti berjalan dengan sia-sia. Rumah tangga yang kita jalani, hanya sebuah kepalsuan. Dan kini... Kenapa aku tidak menemukan kenyamanan apapun dalam dirimu. Aku justru menemukan kenyamanan itu pada orang lain,” sambung Adiba membuatku ingin kembali memaki dalam hati. Saat bayangan canda dan tawa Adiba pada seorang dokter muda di rumah sakit, serta cafe itu terlintas dalam otaknya. Seketika aku paham, jika istriku itu tengah membandingkan ku dengan dengan lelaki itu. “Aku terlalu bodoh selama
'Kau berikan sejuta harapan. Indahnya bersamamu. Membuat aku terlena. Hanyut dalam asmara.'“Cih..” Aku berdesis malas mendengar lirik lagu Melayu yang dinyanyikan band cafe itu. Ya, demi mengusir kebosanan yang mendera dalam diriku. Pada malam Minggu aku mengajak Ari dan Mas Pram ke sebuah cafe dan restoran. Ya itung-itung nongkrong untuk melupakan permasalahan yang sempat terjadi. “Jadi, sudah resmi jadi duda ni,” kata Mas Pram padaku.Aku menyesap kopi di hadapanku, sambil memandang ke arah panggung di mana ada penyanyi cafe yang tengah menyanyikan sebuah lagu Melayu. “Begitulah.”“Menyedihkan sekali hidupmu. Jadi, duda perkara masa lalu yang belum usai,” timpal Ari.“Benar. Seharusnya kau sudah move on. Empat tahun loh, itu bukan waktu yang singkat.” Mas Pram ikut menimpali membuat aku mendengus, andai kata semua semudah itu. “Adiba itu kurang apa? Cantik, mandiri, berpendidikan, dan satu lagi sayang sama ibu kamu.”“Ya itulah kebodohanku.” Aku mengakui kebodohanku dalam hal ini.
Setelah hari-hari itu, aku menjalani rutinitas ku seperti biasa. Ada jadwal tersendiri ketika aku ingin menemui Aksa. Kabar bahagia ku dapatkan setelah masa Iddah Adiba selesai. Ya, mantan istriku itu akhirnya dipinang oleh seorang lelaki yang bergelar seorang dokter juga , ia bernama Shaki Ramdhani. Aku turut bahagia mendengarnya, karena ia tak larut dalam luka yang ku ciptakan. Mungkin karena satu profesi dan satu tempat, jadi Adiba mudah akrab dengannya. Apapun itu aku ikut bahagia mendengarnya.Satu bulan kemudian aku datang ke acara pernikahan Adiba dan Shaki. Di tengah kerumunan orang-orang aku sesekali menatap ke arah kedua pengantin baru yang berdiri di atas panggung. Mereka tampak serasi bahagia. Baik mempelai wanita maupun laki-laki. Senyumnya benar-benar tulus, tiada kepura-puraan seperti yang saat itu aku lakukan saat menikahi Adiba. “Papa...” Tiba-tiba Aksa menghampiriku. Entah sejak kapan anak itu turun dari panggung. Mungkin karena aku terlalu larut dalam pemikiranku.
Pov ThalitaAku menghela napas kasar, berkali-kali membuang pandangan ke arah lain, demi menghindari tatapan Mas Ravi. Inilah yang aku takutkan jika makan di restoran di mall di mana tempat Mas Ravi bekerja. Jika saja bukan karena paksaan Pak Yusuf selaku atasanku. Aku tentu akan menolak makan di sini. Karena dia akhirnya kami berada di sini. Restoran yang menyajikan makanan khas Jepang menjadi pilihan kami. Katanya mumpung baru gajian. Semua teman-temanku asyik menikmati makanan. Sementara aku merasa canggung, karena sejujurnya sedikit terpaksa. Tak jauh dari meja kami, ada Mas Ravi dan teman-temannya yang juga tengah makan bersama. Padahal selama ini aku berusaha untuk menghindari dirinya, sekalipun ia kerap mengirim pesan terus saja ku abaikan. Meski begitu tak jarang Mas Ravi kerap mengirimkan makan siang ke tempat kerjaku. Hal yang tentu mengundang perhatian teman-temanku. “Ta.. Ta....”Aku berjingkrak kaget saat Mela memanggil namaku.“Hey iya apa?” jawabku secara spontan bahk