Share

Bab 6. Kangen, Dek

last update Last Updated: 2024-01-25 23:02:33

Aku menghela napas berulang kali, mengenyahkan perasaan gugup dan kesal yang tiba-tiba mendera. Sadar jika saat ini adalah jam kerja. Dia adalah nasabahku, dan aku tentu harus profesional melayaninya dengan sepenuh hati.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak.” Aku menyapanya dengan ramah dan penuh sopan santun seperti aku menyapa nasabahku pada umumnya.

“Siang juga.” Mas Ravi membalasnya lalu menegapkan badannya. “Kebetulan saya ingin membuat deposito. Bisakah Nona Thalita membantu saya?”

“Bisa. Apakah sudah tahu persyaratannya?”

“Tentu saja.” Mas Ravi mengeluarkan dokumen yang sudah ia bawa. “Kebetulan saya juga belum mempunyai rekening bank ini. Jadi, harus buat rekening dulu kan?”

“Iya, Pak.”

Aku menyiapkan beberapa formulir yang harus ia isi. Sejujurnya, jika hanya ingin rekening aku yakin ia pun tahu dan paham jika semua itu bisa dilakukan online, tapi aku tidak ingin tahu hal itu. Aku tetap melayaninya seperti pada umumnya. Menunjukkan apa saja yang harus ia isi serta persyaratannya. Seharusnya di jam ini aku sudah mulai bersiap untuk membereskan meja kerjaku, menyimpan data kerjaku, namun karena di jam akhir mendapatkan nasabah yang seperti akhirnya waktunya molor. Apalagi aku menggunakan laptop milik Pak Yusuf.

“Aku baru tahu kamu kerja di sini, Ta?” kata Mas Ravi.

“Oh iya.”

“Kantorku ada di sebrang itu, Ta. Gedung yang baru buka Minggu kemarin.”

Aku menoleh ke arahnya dengan kening mengerut. “Bukankah itu mall baru?”

“Iya. Aku bekerja di kantornya, lantai 26.” Mas Ravi terkekeh kecil sambil menatapku geli. “Ya barangkali kamu mau mengantarkan makan siang gitu kan, sudah tahu letaknya gitu,” sambungnya membuatku melongo, mengapa mendadak jadi sepercaya diri itu dirinya.

“Itu tidak mungkin, Mas.” Aku kembali memfokuskan diri menatap ke arah laptopku. Buru-buru menyelesaikan semuanya.

“Kenapa?”

“Aku tidak ingin menyulut api,” jawabku dengan sedikit kesal mengingat kejadian di gembira loka zoo. Aku ingat sekali perkataan mantan istrinya yang menyalahkan diriku atas gagalnya rumah tangganya. Padahal aku sama sekali tidak tahu apapun. “Kamu pasti mengerti maksudku, Mas.”

Mas Ravi menghela napasnya dengan kasar. “Jangan masukan hati ucapan mantan istriku itu, Ta.”

Aku hanya diam melirik ke arahnya sejenak. Sebelum kemudian kembali menyodorkan formulir yang harus ia tanda tangani untuk deposito. “Tolong tanda tangan di atas materai ini,” tunjukku. Dia pun menuruti perintahku. Setelah selesai aku mulai melanjutkan pekerjaanku dengan cepat. Aku sungguh ingin segera dia pergi.

Hampir satu jam lebih aku melayaninya, dan akhirnya bisa selesai. Aku menghela napas sangat lega. “Sudah selesai semua, dan terima kasih untuk semua.”

“Iya sama-sama.” Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku langsung memutar papan tulis close di atas mejaku. “Pulang jam berapa, dek?” lanjutnya bertanya ku kira dia sudah pergi, ternyata dia masih berdiri di ambang pintu. Panggilannya itu tentu saja membuat rekan kerjaku menoleh ke arahnya. Bahkan Pak Yusuf yang tengah berdiri di depan meja teller langsung menatap ke arahku penuh selidik.

“Aku bawa motor sendiri, Mas.”

Mendengar jawabanku dia justru tertawa. “Mas kan cuma bertanya. Kau pasti berpikir kalau aku mau ajak kamu pulang bareng ya.”

Jawabannya tentu membuatku melotot ke arahnya. Dan ia justru tertawa geli, aku memberi kode padanya untuk segera pergi, sungguh aku malu menjadi tontonan rekan kerjaku. “Tapi, kalau kamu mau boleh sih.”

“Mas,” panggilku penuh tekanan.

“Oke-oke. Aku pergi.”

Aku menghela napas lega melihatnya benar-benar keluar.

“Panas... Panas... Badan ini pusing... Pusing...” Terdengar suara Gunawan berdendang menyanyikan sebuah lirik lagu. “Butuh adem sari gak Pak? Biar gak panas dalam gitu,” tawarnya pada Pak Yusuf.

“Mulut kamu memang minta di sumpal pakai koran ya, Gun.”

Gunawan langsung menutup mulutnya sambil tertawa. Membuat yang lainnya cekikikan.

“Ciee udah ada yang manggil Mas dan adek. Haduh itu nasabah baru, apa gebetan baru Ta? Akrab benar.” Mela menghampiri meja kerjaku seraya menggoda.

“Emm itu tadi sebenarnya...”

“Iya, siapa?” Riska ikut menimpali. “Calon Papanya Hira ya?” lanjutnya terus mencecarku. Membuat aku yang tengah merapikan data nasabah itu tidak bisa konsentrasi.

“Kalian ngapain justru gangguin Lita. Kembali ke meja masing-masing dan lanjutkan pekerjaan kalian sebelum pulang,” omel Pak Yusuf membuat rekan kerjaku yang semula berkumpul di depan mejaku pun berlalu. “Kamu juga lanjutkan pekerjaanmu, Ta.”

“Iya, Pak.”

Aku menghela napas lega melihat atasanku itu akhirnya masuk ke ruangannya. Rekan kerjaku berbisik-bisik membicarakan sikap Pak Yusuf yang dinilai berlebihan.

“Orang kalau cemburu tuh dari mata kaki sampai ujung rambut panas semua ya jadi kebakar dan meledak,” bisik Gunawan terkikik geli.

**

Pada pukul lima sore hari, aku baru keluar kantor. Menuju parkiran aku bergegas pulang, baru mau menyalakan mesin Pak Yusuf sudah berdiri di hadapanku.

“Sore, Pak.”

“Sore juga Lita.” Dia menjawab sapaanku, namun pandangannya tetap tertuju padaku seolah ada yang ingin ia tanyakan. Namun, aku tak ada niat bertanya. “Laki-laki tadi siapa kamu, Ta? Benar calon ayahnya Hira?”

Keningku mengerut mendengar pertanyaanku. “Nasabah baru kan,” jawabku polos.

“Tapi kamu seperti sudah akrab seperti itu kok.”

Aku tersenyum menanggapinya. “Saudaraku, Pak.”

Terdengar helaan napas lega darinya. Ah, dia kenapa sih. Ah sudahlah tanpa menunggu perkataannya aku langsung berpamitan pulang. Aku harus menjemput Hira lebih dulu. Jika sampai telat, anak itu bisa-bisa marah. Sebenarnya, jarak tempat tinggal ku ke tempat kerjaku lumayan jauh. Baru lima belas menit aku melajukan motorku tiba-tiba mesin motorku mati begitu saja. Mendorongnya ke pinggir, aku berkali-kali mencoba menghidupkannya. Namun, hasilnya nihil. Dengan rasa kesal bercampur malas aku mendorong menuju bengkel.

“Wah ini rusaknya cukup parah, Kak. Sepertinya harus full service ni.”

“Lama gak, Pak?” tanyaku. Jujur saja aku sedang terburu-buru ingin segera sampai rumah.

“Lumayan sih. Soalnya saya juga lagi ngerjakan yang lain. Ditinggal dulu saja ya, Kak. Besok baru diambil,” tawarnya.

“Ya sudah deh. Saya naik taksi saja.” Aku berlalu mengambil ponsel berniat memesan taksi online. Bisa saja milih ojek online, hanya saja aku merasa tubuhku sedikit lelah. Kalau pakai mobil lumayan bisa bersandar dan sedikit istirahat.

Sebuah mobil Avanza berhenti tepat di depan bengkel itu. Yang aku yakini itu taksi pesananku. Aku segera keluar dari bengkel membuka pintu mobil bagian penumpang dan duduk di sana.

“Dengan Mbak Thalita?”

“Iya, Pak. Alamatnya sudah sesuai aplikasi ya, Pak.”

“Baik, dek.”

Tunggu.

Kenapa aku merasa tidak asing dengan suara itu. Aku yang semula menatap ke arah jendela langsung menatap ke arah spion, betapa terkejutnya aku melihat Mas Ravi yang mengemudi. Bagaimana bisa? Pikirku. Aku langsung mengecek ponselku memastikan jenis mobilnya, sama.

“Kenapa terkejut gitu?” tanyanya setengah tertawa. “Pasti gak nyangka kan, kalau aku jadi sopir.”

“Iseng banget sih, Mas.” Aku mengomel antara rasa kesal dan penasaran. Kesal karena kerap bertemu dengannya, penasaran kenapa ia bisa jadi sopir taksi.

“Iseng gimana sih, Dek?” tanyanya setengah menggoda seakan-akan ia begitu menikmati raut wajah kesalku. “Demi menyambung hidup, ya harus begini.”

Ck! Aku berdecak mendengarnya. Menyambung hidup katanya. Dia itu bekerja di kantor yang notabenenya perusahaan besar, masih saja kekurangan.

“Cari nafkah, Dek. Buat modal masa depan kita,” lanjutnya membuat kedua mataku melotot dan ia terbahak. “Eh maksudku buat modal masa depan anakku,” ralatnya kemudian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 34. Last Chapter

    Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 33. Rindu Dua Buah Hati Yang Di Surga

    “Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 32. Kerinduan Hadirnya Sang Buah Hati

    Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 31. Biar Kaya Orang Pacaran

    POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 30. Semua Hanya Titipan, Sayang

    POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu

  • Mas Duda itu Mantan Kekasihku    Bab 29. I'ill Come Papa

    POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status