Share

Bab 6. Kangen, Dek

Aku menghela napas berulang kali, mengenyahkan perasaan gugup dan kesal yang tiba-tiba mendera. Sadar jika saat ini adalah jam kerja. Dia adalah nasabahku, dan aku tentu harus profesional melayaninya dengan sepenuh hati.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak.” Aku menyapanya dengan ramah dan penuh sopan santun seperti aku menyapa nasabahku pada umumnya.

“Siang juga.” Mas Ravi membalasnya lalu menegapkan badannya. “Kebetulan saya ingin membuat deposito. Bisakah Nona Thalita membantu saya?”

“Bisa. Apakah sudah tahu persyaratannya?”

“Tentu saja.” Mas Ravi mengeluarkan dokumen yang sudah ia bawa. “Kebetulan saya juga belum mempunyai rekening bank ini. Jadi, harus buat rekening dulu kan?”

“Iya, Pak.”

Aku menyiapkan beberapa formulir yang harus ia isi. Sejujurnya, jika hanya ingin rekening aku yakin ia pun tahu dan paham jika semua itu bisa dilakukan online, tapi aku tidak ingin tahu hal itu. Aku tetap melayaninya seperti pada umumnya. Menunjukkan apa saja yang harus ia isi serta persyaratannya. Seharusnya di jam ini aku sudah mulai bersiap untuk membereskan meja kerjaku, menyimpan data kerjaku, namun karena di jam akhir mendapatkan nasabah yang seperti akhirnya waktunya molor. Apalagi aku menggunakan laptop milik Pak Yusuf.

“Aku baru tahu kamu kerja di sini, Ta?” kata Mas Ravi.

“Oh iya.”

“Kantorku ada di sebrang itu, Ta. Gedung yang baru buka Minggu kemarin.”

Aku menoleh ke arahnya dengan kening mengerut. “Bukankah itu mall baru?”

“Iya. Aku bekerja di kantornya, lantai 26.” Mas Ravi terkekeh kecil sambil menatapku geli. “Ya barangkali kamu mau mengantarkan makan siang gitu kan, sudah tahu letaknya gitu,” sambungnya membuatku melongo, mengapa mendadak jadi sepercaya diri itu dirinya.

“Itu tidak mungkin, Mas.” Aku kembali memfokuskan diri menatap ke arah laptopku. Buru-buru menyelesaikan semuanya.

“Kenapa?”

“Aku tidak ingin menyulut api,” jawabku dengan sedikit kesal mengingat kejadian di gembira loka zoo. Aku ingat sekali perkataan mantan istrinya yang menyalahkan diriku atas gagalnya rumah tangganya. Padahal aku sama sekali tidak tahu apapun. “Kamu pasti mengerti maksudku, Mas.”

Mas Ravi menghela napasnya dengan kasar. “Jangan masukan hati ucapan mantan istriku itu, Ta.”

Aku hanya diam melirik ke arahnya sejenak. Sebelum kemudian kembali menyodorkan formulir yang harus ia tanda tangani untuk deposito. “Tolong tanda tangan di atas materai ini,” tunjukku. Dia pun menuruti perintahku. Setelah selesai aku mulai melanjutkan pekerjaanku dengan cepat. Aku sungguh ingin segera dia pergi.

Hampir satu jam lebih aku melayaninya, dan akhirnya bisa selesai. Aku menghela napas sangat lega. “Sudah selesai semua, dan terima kasih untuk semua.”

“Iya sama-sama.” Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku langsung memutar papan tulis close di atas mejaku. “Pulang jam berapa, dek?” lanjutnya bertanya ku kira dia sudah pergi, ternyata dia masih berdiri di ambang pintu. Panggilannya itu tentu saja membuat rekan kerjaku menoleh ke arahnya. Bahkan Pak Yusuf yang tengah berdiri di depan meja teller langsung menatap ke arahku penuh selidik.

“Aku bawa motor sendiri, Mas.”

Mendengar jawabanku dia justru tertawa. “Mas kan cuma bertanya. Kau pasti berpikir kalau aku mau ajak kamu pulang bareng ya.”

Jawabannya tentu membuatku melotot ke arahnya. Dan ia justru tertawa geli, aku memberi kode padanya untuk segera pergi, sungguh aku malu menjadi tontonan rekan kerjaku. “Tapi, kalau kamu mau boleh sih.”

“Mas,” panggilku penuh tekanan.

“Oke-oke. Aku pergi.”

Aku menghela napas lega melihatnya benar-benar keluar.

“Panas... Panas... Badan ini pusing... Pusing...” Terdengar suara Gunawan berdendang menyanyikan sebuah lirik lagu. “Butuh adem sari gak Pak? Biar gak panas dalam gitu,” tawarnya pada Pak Yusuf.

“Mulut kamu memang minta di sumpal pakai koran ya, Gun.”

Gunawan langsung menutup mulutnya sambil tertawa. Membuat yang lainnya cekikikan.

“Ciee udah ada yang manggil Mas dan adek. Haduh itu nasabah baru, apa gebetan baru Ta? Akrab benar.” Mela menghampiri meja kerjaku seraya menggoda.

“Emm itu tadi sebenarnya...”

“Iya, siapa?” Riska ikut menimpali. “Calon Papanya Hira ya?” lanjutnya terus mencecarku. Membuat aku yang tengah merapikan data nasabah itu tidak bisa konsentrasi.

“Kalian ngapain justru gangguin Lita. Kembali ke meja masing-masing dan lanjutkan pekerjaan kalian sebelum pulang,” omel Pak Yusuf membuat rekan kerjaku yang semula berkumpul di depan mejaku pun berlalu. “Kamu juga lanjutkan pekerjaanmu, Ta.”

“Iya, Pak.”

Aku menghela napas lega melihat atasanku itu akhirnya masuk ke ruangannya. Rekan kerjaku berbisik-bisik membicarakan sikap Pak Yusuf yang dinilai berlebihan.

“Orang kalau cemburu tuh dari mata kaki sampai ujung rambut panas semua ya jadi kebakar dan meledak,” bisik Gunawan terkikik geli.

**

Pada pukul lima sore hari, aku baru keluar kantor. Menuju parkiran aku bergegas pulang, baru mau menyalakan mesin Pak Yusuf sudah berdiri di hadapanku.

“Sore, Pak.”

“Sore juga Lita.” Dia menjawab sapaanku, namun pandangannya tetap tertuju padaku seolah ada yang ingin ia tanyakan. Namun, aku tak ada niat bertanya. “Laki-laki tadi siapa kamu, Ta? Benar calon ayahnya Hira?”

Keningku mengerut mendengar pertanyaanku. “Nasabah baru kan,” jawabku polos.

“Tapi kamu seperti sudah akrab seperti itu kok.”

Aku tersenyum menanggapinya. “Saudaraku, Pak.”

Terdengar helaan napas lega darinya. Ah, dia kenapa sih. Ah sudahlah tanpa menunggu perkataannya aku langsung berpamitan pulang. Aku harus menjemput Hira lebih dulu. Jika sampai telat, anak itu bisa-bisa marah. Sebenarnya, jarak tempat tinggal ku ke tempat kerjaku lumayan jauh. Baru lima belas menit aku melajukan motorku tiba-tiba mesin motorku mati begitu saja. Mendorongnya ke pinggir, aku berkali-kali mencoba menghidupkannya. Namun, hasilnya nihil. Dengan rasa kesal bercampur malas aku mendorong menuju bengkel.

“Wah ini rusaknya cukup parah, Kak. Sepertinya harus full service ni.”

“Lama gak, Pak?” tanyaku. Jujur saja aku sedang terburu-buru ingin segera sampai rumah.

“Lumayan sih. Soalnya saya juga lagi ngerjakan yang lain. Ditinggal dulu saja ya, Kak. Besok baru diambil,” tawarnya.

“Ya sudah deh. Saya naik taksi saja.” Aku berlalu mengambil ponsel berniat memesan taksi online. Bisa saja milih ojek online, hanya saja aku merasa tubuhku sedikit lelah. Kalau pakai mobil lumayan bisa bersandar dan sedikit istirahat.

Sebuah mobil Avanza berhenti tepat di depan bengkel itu. Yang aku yakini itu taksi pesananku. Aku segera keluar dari bengkel membuka pintu mobil bagian penumpang dan duduk di sana.

“Dengan Mbak Thalita?”

“Iya, Pak. Alamatnya sudah sesuai aplikasi ya, Pak.”

“Baik, dek.”

Tunggu.

Kenapa aku merasa tidak asing dengan suara itu. Aku yang semula menatap ke arah jendela langsung menatap ke arah spion, betapa terkejutnya aku melihat Mas Ravi yang mengemudi. Bagaimana bisa? Pikirku. Aku langsung mengecek ponselku memastikan jenis mobilnya, sama.

“Kenapa terkejut gitu?” tanyanya setengah tertawa. “Pasti gak nyangka kan, kalau aku jadi sopir.”

“Iseng banget sih, Mas.” Aku mengomel antara rasa kesal dan penasaran. Kesal karena kerap bertemu dengannya, penasaran kenapa ia bisa jadi sopir taksi.

“Iseng gimana sih, Dek?” tanyanya setengah menggoda seakan-akan ia begitu menikmati raut wajah kesalku. “Demi menyambung hidup, ya harus begini.”

Ck! Aku berdecak mendengarnya. Menyambung hidup katanya. Dia itu bekerja di kantor yang notabenenya perusahaan besar, masih saja kekurangan.

“Cari nafkah, Dek. Buat modal masa depan kita,” lanjutnya membuat kedua mataku melotot dan ia terbahak. “Eh maksudku buat modal masa depan anakku,” ralatnya kemudian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status