Aku menghela napas berulang kali, mengenyahkan perasaan gugup dan kesal yang tiba-tiba mendera. Sadar jika saat ini adalah jam kerja. Dia adalah nasabahku, dan aku tentu harus profesional melayaninya dengan sepenuh hati.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak.” Aku menyapanya dengan ramah dan penuh sopan santun seperti aku menyapa nasabahku pada umumnya.“Siang juga.” Mas Ravi membalasnya lalu menegapkan badannya. “Kebetulan saya ingin membuat deposito. Bisakah Nona Thalita membantu saya?”“Bisa. Apakah sudah tahu persyaratannya?”“Tentu saja.” Mas Ravi mengeluarkan dokumen yang sudah ia bawa. “Kebetulan saya juga belum mempunyai rekening bank ini. Jadi, harus buat rekening dulu kan?”“Iya, Pak.”Aku menyiapkan beberapa formulir yang harus ia isi. Sejujurnya, jika hanya ingin rekening aku yakin ia pun tahu dan paham jika semua itu bisa dilakukan online, tapi aku tidak ingin tahu hal itu. Aku tetap melayaninya seperti pada umumnya. Menunjukkan apa saja yang harus ia isi serta persyaratannya. Seharusnya di jam ini aku sudah mulai bersiap untuk membereskan meja kerjaku, menyimpan data kerjaku, namun karena di jam akhir mendapatkan nasabah yang seperti akhirnya waktunya molor. Apalagi aku menggunakan laptop milik Pak Yusuf.“Aku baru tahu kamu kerja di sini, Ta?” kata Mas Ravi.“Oh iya.”“Kantorku ada di sebrang itu, Ta. Gedung yang baru buka Minggu kemarin.”Aku menoleh ke arahnya dengan kening mengerut. “Bukankah itu mall baru?”“Iya. Aku bekerja di kantornya, lantai 26.” Mas Ravi terkekeh kecil sambil menatapku geli. “Ya barangkali kamu mau mengantarkan makan siang gitu kan, sudah tahu letaknya gitu,” sambungnya membuatku melongo, mengapa mendadak jadi sepercaya diri itu dirinya.“Itu tidak mungkin, Mas.” Aku kembali memfokuskan diri menatap ke arah laptopku. Buru-buru menyelesaikan semuanya.“Kenapa?”“Aku tidak ingin menyulut api,” jawabku dengan sedikit kesal mengingat kejadian di gembira loka zoo. Aku ingat sekali perkataan mantan istrinya yang menyalahkan diriku atas gagalnya rumah tangganya. Padahal aku sama sekali tidak tahu apapun. “Kamu pasti mengerti maksudku, Mas.”Mas Ravi menghela napasnya dengan kasar. “Jangan masukan hati ucapan mantan istriku itu, Ta.”Aku hanya diam melirik ke arahnya sejenak. Sebelum kemudian kembali menyodorkan formulir yang harus ia tanda tangani untuk deposito. “Tolong tanda tangan di atas materai ini,” tunjukku. Dia pun menuruti perintahku. Setelah selesai aku mulai melanjutkan pekerjaanku dengan cepat. Aku sungguh ingin segera dia pergi.Hampir satu jam lebih aku melayaninya, dan akhirnya bisa selesai. Aku menghela napas sangat lega. “Sudah selesai semua, dan terima kasih untuk semua.”“Iya sama-sama.” Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku langsung memutar papan tulis close di atas mejaku. “Pulang jam berapa, dek?” lanjutnya bertanya ku kira dia sudah pergi, ternyata dia masih berdiri di ambang pintu. Panggilannya itu tentu saja membuat rekan kerjaku menoleh ke arahnya. Bahkan Pak Yusuf yang tengah berdiri di depan meja teller langsung menatap ke arahku penuh selidik.“Aku bawa motor sendiri, Mas.”Mendengar jawabanku dia justru tertawa. “Mas kan cuma bertanya. Kau pasti berpikir kalau aku mau ajak kamu pulang bareng ya.”Jawabannya tentu membuatku melotot ke arahnya. Dan ia justru tertawa geli, aku memberi kode padanya untuk segera pergi, sungguh aku malu menjadi tontonan rekan kerjaku. “Tapi, kalau kamu mau boleh sih.”“Mas,” panggilku penuh tekanan.“Oke-oke. Aku pergi.”Aku menghela napas lega melihatnya benar-benar keluar.“Panas... Panas... Badan ini pusing... Pusing...” Terdengar suara Gunawan berdendang menyanyikan sebuah lirik lagu. “Butuh adem sari gak Pak? Biar gak panas dalam gitu,” tawarnya pada Pak Yusuf.“Mulut kamu memang minta di sumpal pakai koran ya, Gun.”Gunawan langsung menutup mulutnya sambil tertawa. Membuat yang lainnya cekikikan.“Ciee udah ada yang manggil Mas dan adek. Haduh itu nasabah baru, apa gebetan baru Ta? Akrab benar.” Mela menghampiri meja kerjaku seraya menggoda.“Emm itu tadi sebenarnya...”“Iya, siapa?” Riska ikut menimpali. “Calon Papanya Hira ya?” lanjutnya terus mencecarku. Membuat aku yang tengah merapikan data nasabah itu tidak bisa konsentrasi.“Kalian ngapain justru gangguin Lita. Kembali ke meja masing-masing dan lanjutkan pekerjaan kalian sebelum pulang,” omel Pak Yusuf membuat rekan kerjaku yang semula berkumpul di depan mejaku pun berlalu. “Kamu juga lanjutkan pekerjaanmu, Ta.”“Iya, Pak.”Aku menghela napas lega melihat atasanku itu akhirnya masuk ke ruangannya. Rekan kerjaku berbisik-bisik membicarakan sikap Pak Yusuf yang dinilai berlebihan.“Orang kalau cemburu tuh dari mata kaki sampai ujung rambut panas semua ya jadi kebakar dan meledak,” bisik Gunawan terkikik geli.**Pada pukul lima sore hari, aku baru keluar kantor. Menuju parkiran aku bergegas pulang, baru mau menyalakan mesin Pak Yusuf sudah berdiri di hadapanku.“Sore, Pak.”“Sore juga Lita.” Dia menjawab sapaanku, namun pandangannya tetap tertuju padaku seolah ada yang ingin ia tanyakan. Namun, aku tak ada niat bertanya. “Laki-laki tadi siapa kamu, Ta? Benar calon ayahnya Hira?”Keningku mengerut mendengar pertanyaanku. “Nasabah baru kan,” jawabku polos.“Tapi kamu seperti sudah akrab seperti itu kok.”Aku tersenyum menanggapinya. “Saudaraku, Pak.”Terdengar helaan napas lega darinya. Ah, dia kenapa sih. Ah sudahlah tanpa menunggu perkataannya aku langsung berpamitan pulang. Aku harus menjemput Hira lebih dulu. Jika sampai telat, anak itu bisa-bisa marah. Sebenarnya, jarak tempat tinggal ku ke tempat kerjaku lumayan jauh. Baru lima belas menit aku melajukan motorku tiba-tiba mesin motorku mati begitu saja. Mendorongnya ke pinggir, aku berkali-kali mencoba menghidupkannya. Namun, hasilnya nihil. Dengan rasa kesal bercampur malas aku mendorong menuju bengkel.“Wah ini rusaknya cukup parah, Kak. Sepertinya harus full service ni.”“Lama gak, Pak?” tanyaku. Jujur saja aku sedang terburu-buru ingin segera sampai rumah.“Lumayan sih. Soalnya saya juga lagi ngerjakan yang lain. Ditinggal dulu saja ya, Kak. Besok baru diambil,” tawarnya.“Ya sudah deh. Saya naik taksi saja.” Aku berlalu mengambil ponsel berniat memesan taksi online. Bisa saja milih ojek online, hanya saja aku merasa tubuhku sedikit lelah. Kalau pakai mobil lumayan bisa bersandar dan sedikit istirahat.Sebuah mobil Avanza berhenti tepat di depan bengkel itu. Yang aku yakini itu taksi pesananku. Aku segera keluar dari bengkel membuka pintu mobil bagian penumpang dan duduk di sana.“Dengan Mbak Thalita?”“Iya, Pak. Alamatnya sudah sesuai aplikasi ya, Pak.”“Baik, dek.”Tunggu.Kenapa aku merasa tidak asing dengan suara itu. Aku yang semula menatap ke arah jendela langsung menatap ke arah spion, betapa terkejutnya aku melihat Mas Ravi yang mengemudi. Bagaimana bisa? Pikirku. Aku langsung mengecek ponselku memastikan jenis mobilnya, sama.“Kenapa terkejut gitu?” tanyanya setengah tertawa. “Pasti gak nyangka kan, kalau aku jadi sopir.”“Iseng banget sih, Mas.” Aku mengomel antara rasa kesal dan penasaran. Kesal karena kerap bertemu dengannya, penasaran kenapa ia bisa jadi sopir taksi.“Iseng gimana sih, Dek?” tanyanya setengah menggoda seakan-akan ia begitu menikmati raut wajah kesalku. “Demi menyambung hidup, ya harus begini.”Ck! Aku berdecak mendengarnya. Menyambung hidup katanya. Dia itu bekerja di kantor yang notabenenya perusahaan besar, masih saja kekurangan.“Cari nafkah, Dek. Buat modal masa depan kita,” lanjutnya membuat kedua mataku melotot dan ia terbahak. “Eh maksudku buat modal masa depan anakku,” ralatnya kemudian.POV Thalita“Omonganmu itu loh, Mas!” sergahku dengan kesal. Namun, bukannya merasa bersalah Mas Ravi justru tersenyum menatapku dari balik spionnya. “Mas serius.”Aku menghela napas dengan panjang, memilih untuk bersikap abai. Selama ia terus melajukan mobilnya. Tiba-tiba lelaki itu memutar sebuah lagu Jawa dengan judul **Kelingan Mantan** *_Dek koe mbiyen janji ro aku. Nglakoni tresna suci iklhas tekan mati. Neng nyatane ngapusi, cidro ati Iki. Netes eluhku deres mili di pipi_Mendengar lirik lagu itu seketika membuat aku merasa Dejavu. Merasa jika mas Ravi tengah menyindirku. Dulu kami memang pernah saling berjanji akan terus bersama memperjuangkan cinta kita. Namun, nyatanya takdir berkata lain. Saat cinta itu terhalang restu keluarga, aku bisa apa? Selain mengalah, memilih meninggalkannya. Ibunya bilang itu demi kebahagiaannya. Ya, aku lakukan itu demi dirinya. Dan sekarang kami dipertemukan dalam status yang tak lagi sama seperti dulu. Apa yang harus ku lakukan? Sudah berusa
POV Aravi Monumen Nasional masih meninggalkan sejarah. Ya, sejarah aku dan kamu.Aravi***Namaku Aravi Kurniawan, merupakan anak pertama dari ketiga saudara. Adikku yang pertama bernama Rahman Kurniawan yang kini sudah menikah dengan orang Wonosobo. Sedangkan adik bungsuku Ria Tria Kurniawan juga sudah menikah dengan lelaki yang berasal dari Magelang. Ya, kami semua sudah memiliki keluarga masing-masing. Punya kesibukan masing-masing. Namun, Jalan cintaku tak semulus kedu adikku. Enam tahun yang lalu aku diputuskan oleh kekasihku — Thalita dengan alasan kami masih saudara. Aku sempat membencinya karena hal itu. Ia mengingkari janjinya untuk memperjuangkan cinta kami. Hatiku rasanya hancur mengingat betapa dalamnya rasa cintaku. Kenapa? Apa yang terjadi? Apakah dia meragukan cintaku? Padahal aku berjanji akan sekuat tenaga membahagiakan dirinya. Itulah pikiran negatif ku saat tiba-tiba ia memutuskan ku. Monumen nasional atau yang biasa disebut Monas akan menjadi sebuah sejarah yang m
POV ARAVISetelah kejadian itu rumah tanggaku semakin terasa dingin. Sikap Adiba yang begitu sinis, dan selalu menaruh rasa curiga padaku, mengira jika aku selingkuh darinya. Aku berusaha untuk meminta maaf adanya, dengan mengatakan jika aku hanya salah sebut. Namun, perempuan itu tetap tak percaya padaku. Meski aku sudah berjanji akan memperbaiki semuanya. Tiga bulan kemudian, saat aku tengah sibuk bekerja di ruang tengah dengan laptopku. Dia datang tiba-tiba melemparkan sebuah amplop padaku. “Apa yang kamu lakukan?!” teriakku sedikit marah.“Buka amplop itu, Mas!” Dia menggertak berbalik marah, sambil melipatkan tangannya di dada. “Ini apa?" tanyaku.“Buka saja.” Karena desakannya aku pun membuka amplop itu yang ternyata berisi foto-foto kebersamaan ku dengan Lita. Aku tampak terkejut melihatnya, lalu beralih menatap ke arah Adiba yang kini menatapku dengan sinis. “Ini....”“Kenapa? Kamu kaget, aku bisa menemukan dan tahu siapa perempuan itu?” Aku menghela nafasnya. “Untuk apa k
“Kenapa?” tanyaku berusaha santai.Adiba mendongak menatapku dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Namun, sepertinya ia sudah berada di ambang batas kesabaran. “Jangan tanyakan kenapa, Mas? Kamu juga tahu alasannya. Rumah tangga kita memang tidak baik-baik saja. Sudah tak bisa terselamatkan,” sahutnya menatapku dengan sendu.Aku mendesis, merasa ingin memaki dalam hati. Agar kemarahan ini bisa terurai. “Empat tahun bukankah waktu cukup lama untuk kita bisa saling memahami. Tetapi, semua seperti berjalan dengan sia-sia. Rumah tangga yang kita jalani, hanya sebuah kepalsuan. Dan kini... Kenapa aku tidak menemukan kenyamanan apapun dalam dirimu. Aku justru menemukan kenyamanan itu pada orang lain,” sambung Adiba membuatku ingin kembali memaki dalam hati. Saat bayangan canda dan tawa Adiba pada seorang dokter muda di rumah sakit, serta cafe itu terlintas dalam otaknya. Seketika aku paham, jika istriku itu tengah membandingkan ku dengan dengan lelaki itu. “Aku terlalu bodoh selama
'Kau berikan sejuta harapan. Indahnya bersamamu. Membuat aku terlena. Hanyut dalam asmara.'“Cih..” Aku berdesis malas mendengar lirik lagu Melayu yang dinyanyikan band cafe itu. Ya, demi mengusir kebosanan yang mendera dalam diriku. Pada malam Minggu aku mengajak Ari dan Mas Pram ke sebuah cafe dan restoran. Ya itung-itung nongkrong untuk melupakan permasalahan yang sempat terjadi. “Jadi, sudah resmi jadi duda ni,” kata Mas Pram padaku.Aku menyesap kopi di hadapanku, sambil memandang ke arah panggung di mana ada penyanyi cafe yang tengah menyanyikan sebuah lagu Melayu. “Begitulah.”“Menyedihkan sekali hidupmu. Jadi, duda perkara masa lalu yang belum usai,” timpal Ari.“Benar. Seharusnya kau sudah move on. Empat tahun loh, itu bukan waktu yang singkat.” Mas Pram ikut menimpali membuat aku mendengus, andai kata semua semudah itu. “Adiba itu kurang apa? Cantik, mandiri, berpendidikan, dan satu lagi sayang sama ibu kamu.”“Ya itulah kebodohanku.” Aku mengakui kebodohanku dalam hal ini.
Setelah hari-hari itu, aku menjalani rutinitas ku seperti biasa. Ada jadwal tersendiri ketika aku ingin menemui Aksa. Kabar bahagia ku dapatkan setelah masa Iddah Adiba selesai. Ya, mantan istriku itu akhirnya dipinang oleh seorang lelaki yang bergelar seorang dokter juga , ia bernama Shaki Ramdhani. Aku turut bahagia mendengarnya, karena ia tak larut dalam luka yang ku ciptakan. Mungkin karena satu profesi dan satu tempat, jadi Adiba mudah akrab dengannya. Apapun itu aku ikut bahagia mendengarnya.Satu bulan kemudian aku datang ke acara pernikahan Adiba dan Shaki. Di tengah kerumunan orang-orang aku sesekali menatap ke arah kedua pengantin baru yang berdiri di atas panggung. Mereka tampak serasi bahagia. Baik mempelai wanita maupun laki-laki. Senyumnya benar-benar tulus, tiada kepura-puraan seperti yang saat itu aku lakukan saat menikahi Adiba. “Papa...” Tiba-tiba Aksa menghampiriku. Entah sejak kapan anak itu turun dari panggung. Mungkin karena aku terlalu larut dalam pemikiranku.
Pov ThalitaAku menghela napas kasar, berkali-kali membuang pandangan ke arah lain, demi menghindari tatapan Mas Ravi. Inilah yang aku takutkan jika makan di restoran di mall di mana tempat Mas Ravi bekerja. Jika saja bukan karena paksaan Pak Yusuf selaku atasanku. Aku tentu akan menolak makan di sini. Karena dia akhirnya kami berada di sini. Restoran yang menyajikan makanan khas Jepang menjadi pilihan kami. Katanya mumpung baru gajian. Semua teman-temanku asyik menikmati makanan. Sementara aku merasa canggung, karena sejujurnya sedikit terpaksa. Tak jauh dari meja kami, ada Mas Ravi dan teman-temannya yang juga tengah makan bersama. Padahal selama ini aku berusaha untuk menghindari dirinya, sekalipun ia kerap mengirim pesan terus saja ku abaikan. Meski begitu tak jarang Mas Ravi kerap mengirimkan makan siang ke tempat kerjaku. Hal yang tentu mengundang perhatian teman-temanku. “Ta.. Ta....”Aku berjingkrak kaget saat Mela memanggil namaku.“Hey iya apa?” jawabku secara spontan bahk
Pada pukul lima sore aku baru keluar dari kantor. Dengan membawa tentengan ku letakkan di gantungan motor depan. Karena bujukan Mela akhirnya aku pun belanja di supermarket. Memang kebetulan persediaan bulanan di rumah sudah habis, aku pun ikutan kalap. “Duluan, Ta.” Teman-temanku berteriak sambil melambaikan tangannya, ada berkendara sendiri, ada yang dijemput kekasihnya, ada juga suaminya. Lalu aku? Apakah jika aku menikah dengan Mas Ravi. Aku akan diantar jemput olehnya, mengingat tempat kerja kami sangat dekat. “Astaghfirullah....” Spontan aku menyebut seraya mengusap dadaku, berusaha untuk sadar diri, jika apa yang aku pikirkan itu sama sekali tidak pantas. “Ada apa, Ta?” Pak Yusuf yang baru keluar dari kantor tampak terkejut melihatku. “Enggak apa-apa, Pak.”“Kirain ada apa? Kamu tampak terkejut gitu.”Aku terkekeh memasang helm kemudian naik ke motor. “Saya duluan ya, Pak." Pamitku sebelum menghidupkan motor.“Hati-hati, Ta."Aku mengangguk seraya berlalu meninggalkan area