POV Thalita
“Omonganmu itu loh, Mas!” sergahku dengan kesal. Namun, bukannya merasa bersalah Mas Ravi justru tersenyum menatapku dari balik spionnya.“Mas serius.”Aku menghela napas dengan panjang, memilih untuk bersikap abai. Selama ia terus melajukan mobilnya. Tiba-tiba lelaki itu memutar sebuah lagu Jawa dengan judul **Kelingan Mantan***_Dek koe mbiyen janji ro aku. Nglakonitresna suci iklhas tekan mati. Neng nyatane ngapusi, cidro ati Iki. Netes eluhku deres mili di pipi_Mendengar lirik lagu itu seketika membuat aku merasa Dejavu. Merasa jika mas Ravi tengah menyindirku. Dulu kami memang pernah saling berjanji akan terus bersama memperjuangkan cinta kita. Namun, nyatanya takdir berkata lain. Saat cinta itu terhalang restu keluarga, aku bisa apa? Selain mengalah, memilih meninggalkannya. Ibunya bilang itu demi kebahagiaannya. Ya, aku lakukan itu demi dirinya. Dan sekarang kami dipertemukan dalam status yang tak lagi sama seperti dulu. Apa yang harus ku lakukan? Sudah berusaha menjauh. Namun, sekali lagi Tuhan seolah selalu membuat kami tetap bertemu. Ataukah memang ini semua perbuatan Mas Ravi. Ah, entahlah aku kurang mengerti.“Berhentilah di depan,” pintaku secara tiba-tiba.“Lho kenapa? Kan belum sampai tujuan,” jawabnya seraya mengecilkan volume musiknya.“Aku harus jemput Hira dulu,” jawabku dengan wajah datar. “Aku sudah bayar pakai ovo ya,” sambungku. Begitu berhenti, gegas aku langsung turun dari mobilnya tanpa menunggu jawaban darinya, dan bahkan aku tidak ada niatan untuk menoleh. Kakiku terus melangkah, baru berniat membuka pintu gerbang ternyata pintu sudah terbuka dari dalam, sosok malaikat kecilku muncul dari sana. Wajahnya nampak segar, pakaiannya sudah rapi. Yah, begitulah untuk setiap harinya ketika aku tinggal bekerja, Hira akan tinggal bersama budhenya sampai sore, dan aku akan membawanya pulang ketika sudah rapi.“Ibu...” panggilnya merdu. Aku tersenyum merentangkan kedua tangannya, memintanya untuk masuk ke dalam dekapanku. Begitu dia masuk ke dalam dekapanku, aku memeluknya seraya bertanya.“Bagaimana untuk hari ini, sayang?”Dia melepaskan dekapanku. “Baik, Bu.”Aku tersenyum membelai wajahnya. Tak berselang lama sosok perempuan dewasa muncul dari dalam rumah menghampiri. “Ini pakaian kotor Hira, Ta.”“Makasih banget ya, Budhe.”“Sama-sama. Kamu gak mau masuk dulu, Ta?” tawarnya.Aku tersenyum menggeleng. “Gak budhe. Pengen cepat sampai rumah saja.”“Ya sudah.”Kami berlalu dari sana. Aku berniat pulang dengan jalan kaki. Toh jarak rumah Budhe ke rumahku tak lagi jauh. Namun, tiba-tiba sebuah mobil terhenti di samping kami. Aku spontan menoleh, lalu berdecak sebal menyadari itu mobil Mas Ravi. Benar, tak berselang lama lelaki itu menurunkan kaca jendela mobilnya.“Hai, adek Hira,” sapanya dengan hangat.“Wah Paman, ada di sini.” Putriku tak kalah hebohnya. Aku menggenggam tangannya dengan kuat, sambil berbisik di telinganya untuk tetap melanjutkan jalan.“Sebentar, Bu. Kan sedang ada Paman. Kata Ibu tidak baik mengabaikan orang begitu saja.”Aku mendelik mendengarnya, seakan merasa tertampar akan ucapanku sendiri. Dan diam-diam aku melirik ke arah Mas Ravi, di mana lelaki itu tengah menahan tawanya. Mungkin ia merasa senang, mendapatkan pembelaan dari Hira.“Hira mau pulang ya?” tanya Mas Ravi lagi membuat aku mendengus sebal. Karena menurutku pertanyaannya itu hanya sekedar basa-basi.“Iya. Paman kok bisa ada di sini?”“Iya kebetulan habis narik,” sahut seraya melirik ke arahku.“Narik?”“Taksi online.”Jawaban oh keluar dari bibir Hira.“Rumahnya masih jauh gak, Hira?” tanya Mas Ravi lagi.“Lumayan, Paman. Biasanya ibu jemput pakai motor, ini tumben jalan kaki.”“Ya udah ayo masuk. Paman antar ya.” Binar bahagia terlihat di wajah Mas Ravi.“Tidak usah, Mas. Kami bisa jalan kaki,” tolakku dengan cepat berniat menarik tangan putriku sebelum ia mengiyakan ajakan Mas Ravi.“Ibu tunggu dulu. Jangan cepat-cepat jalannya,” protes Hira ketika aku menarik tangannya dengan sedikit cepat.“Makanya jalan lebih cepat Hira. Biar cepat sampai.” Aku seolah tak memperdulikan rengekan putriku.Brughh!!“Ibu sakit... Huaaaaaa......” teriakan Hira menggema ketika terjatuh. Aku langsung menghentikan langkahku, menghampirinya dengan cemas.“Hira... Maafin ibu, sayang. Maaf." Sesalku tiba-tiba menghampiri. Merasa menjadi ibu yang tidak becus, putriku menangis melihat lututnya terluka akibat terbentur aspal. Tangisnya terdengar semakin kencang.Saat aku tengah menenangkan Hira. Tiba-tiba mobil Mas Ravi berhenti, tampak pintunya terbuka tak berselang lama, ia menghampiri kami. “Biar aku bantu.”Tanpa meminta ijin dariku, lelaki itu langsung menggendong Hira membawanya masuk ke mobil. “Sudah. Tenanglah itu hanya luka kecil, nanti juga sembuh. Hira kan anak yang kuat.”Usai berucap demikian Mas Ravi menatap ke arahku yang masih berdiri di sisi mobil. “Tidak apa-apa itu hanya luka kecil. Hira akan baik-baik saja. Kamu tenanglah. Masuklah biar ku antar kamu pulang.”Aku mengangkat wajahnya menatap dirinya dengan kesal. “Semua ini karena kamu tahu gak, Mas.”“Aku...” Mas Ravi menunjuk dirinya sendiri dengan jadi telunjuknya, membuat aku mengangguk. “Kok bisa karena aku?”“Kalau kamu gak ngikutin kami tadi. Aku gak mungkin narik-narik tangan Hira, terus buat sampai jatuh gitu,” sergahku menatap dirinya dengan jengkel.“Aku kan hanya menawarkan bantuan,” sanggahnya tanpa rasa bersalah. “Soal Hira jatuh karena kamu sendiri. Salah sendiri menariknya terlalu kuat. Seperti dikejar deb colector saja...” katanya membuat kedua matanya membulat ke arahnya. Namun, ia justru tersenyum jumawa. “Eh mungkin lebih tepatnya dikejar-kejar duda."Perkataan selanjutnya membuat aku melongo. Dia tertawa kecil sebelum membuka pintu kemudi. “Ayo masuk, aku antar kamu pulang.”Aku masih diam bergeming di tempat. “Aku bisa....”“Kamu itu benar-benar aneh ya, Lita.” Tiba-tiba dia berucap yang membuat aku mau tak mau menatap ke arahnya penuh tanya. “Katanya aku ini saudara kamu. Lalu, apa salahnya kamu pulang di antarkan saudaramu ini. Gak rugi-rugi amat kan.”“Ibu sakit...” Di saat aku tengah memikirkan keputusan ku. Teriakan Hira membuat aku sadar jika harus segera membawanya pulang. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk kembali masuk ke mobil.Beberapa saat kemudian, mobil Mas Ravi tiba di depan rumahku. Gegas aku turun membuka gerbang, lalu berbalik berniat membawa Hira. Namun, lagi-lagi Mas Ravi sudah sigap menggendong putriku. “Berikan padaku, Mas. Ini sudah..."“Ayo cepat aku bantu.” Mas Ravi mendesakku membuat aku tak bisa berkata-kata. Aku menuruti dirinya berjalan membuka pintu rumahku. Menghidupkan saklar lampu agar rumah terlihat terang. Mas Ravi menidurkan Hira di kursi. “Ini biar..."“Mana kotak p3knya?” pinta Mas Ravi.“Tidak perlu, Mas. Kamu pulang saja, Hira biar aku yang urus."“Aku hanya mau menjadi orang yang bertanggung jawab. Bukankah Hira terluka karena aku? Maka biarlah aku yang mengobatinya." Kalimat seolah tengah menyindirku yang sempat menuduh dirinya, dan hal itu berhasil membuat aku tak bisa berkata-kata. Saat Mas Ravi sudah beranjak mengambil kotak p3k yang aku letakkan di samping lemari televisi. Ia kembali duduk dan mulai mengobati Hira dengan telaten.“Kalau sakit bilang sama Paman ya?” katanya pada Hira.“Iya Paman. Tapi, ini tidak sakit. Paman kenapa baik sekali?” tanya putriku.Mas Ravi melirik ke arahku membuat aku membuang pandangannya. “Karena...”“Karena Paman suka sama Ibu ya.”Perkataan putriku selanjutnya membuat kedua mataku terbelalak, begitu juga Mas Ravi yang cukup terkejut, meski terlihat santai.“Hira!!”“Jangan suka memarahi anak kecil. Anak kecil itu jujur loh."Tampak Hira tersenyum penuh kemenangan, karena dibela oleh Mas Ravi. “Maksudnya yang aku bilang tadi beneran kan Paman?”Mas Ravi tersenyum, menempelkan plester di lutut Hira. “Hira maunya gimana?”“Aku....” Tampak Hira menghentikan ucapannya menoleh ke arahku. “Asal Ibu bahagia saja.”“Kalau begitu bantu Paman untuk meluluhkan hati Ibumu.”Aku tercengang mendengarkan pembicaraan mereka. Kenapa Hira bisa langsung seakrab dan sedekat itu sama Mas Ravi.Jakarta, lima tahun kemudian.“Saya pikir yang seperti ini lebih baik, Pak.”“Coba ku lihat.” Mas Ravi mengambil dokumen dari rekannya, menelitinya. “Oh oke, aku setuju."“Baiklah kalau Pak Ravi setuju.” Laki-laki itu mengambil kembali dokumennya. “Saya permisi ya, Pak.”“Lho kok buru-buru? Istri saya sedang masak.”Laki-laki itu tertawa kecil. “Haduh sebelumnya terima kasih banyak, Pak. Tadi saya sudah janji mau makan bareng sama istri di rumah. Nanti kalau saya sudah kenyang kasihan dia menunggu.”“Aku mengerti.”Sepeninggal lelaki itu, aku melanjutkan langkahku mengantarkan minuman jahe pada suamiku. “Ini, Pa. Segera diminum ya. Nanti keburu dingin gak enak.”Dia mengambil alih gelas dari tanganku, lalu menyesapnya pelan. “Gak ada yang gak enak kalau disentuh kamu. Karena sudah ditambah bubuk cinta.”“Gombal!” selorohku mencubit perutnya, membuat ia meringis pelan. “Sudah tua masih suka gombal.”“Lho lho... Usia itu hanyalah angka. Soal stamina masih okelah. Kamu gak boleh meraguk
“Sudah dari tadi, Diba?” tanya mertuaku begitu tiba rumah. “Oh belum, Bu. Kamu baru tiba.” Perempuan berparas cantik itu berdiri menghampiri ibu, menyalaminya dengan takjim. “Ibu apa kabar?” lanjutnya bertanya.“Allhamdulilah baik nak.” Ibu mengusap pundak mantan menantunya itu. “Udah ayo duduk. Dinikmatin ya kue-kuenya.”Adiba mengangguk. “Aku senang mendengar Ibu sekarang jauh lebih sehat.”“Iya, karena sekarang ibu jadi rutin kontrol. Apalagi menantu ibu juga seorang dokter, jadi seperti terpantau sekali, nak Diba.” Ibu melirik ke arah Pandu — suaminya Ria.“Oh iya aku lupa.” Adiba beralih menatap Khanza yang tampak. “Apa sayang?” tawarnya ketika putrinya itu menunjuk ke arah makanan. “Mamamam...”“Oh maem. Bunda ambillah ya.” Dia mengambil satu kue kering diberikannya pada Khanza.“Sudah besar ya Khanza. Sama nenek mau tidak.” Ibu mengulurkan tangannya menggendong Khanza. Tampak wajahnya berbinar terang, ia terlihat begitu bahagia. Ada rasa haru yang ku lihat. Berkali-kali ku l
Yogyakarta, 3 tahun kemudian.Gema takbir berkumandang memenuhi langit malam. Orang-orang saling sibuk mempersiapkan diri menyambut hari lebaran yang telah tiba. Begitupula dengan keluarga besar Mas Ravi, saat ini kami semua telah selesai berbuka puasa bersama. Usai melangsungkan sholat Maghrib berjamaah kamu berkumpul di ruang keluarga sambil menonton televisi. Beberapa kue juga sudah tersaji di atas meja. “Mba, jadi gak ke rumah Mbah Sukro.” Budhe Darti — Kakak kandung ibu mertuaku tiba-tiba menyongsong masuk.“Jadi, sebentar.” Ibu berlalu masuk ke dalam kamarnya mengganti pakaian. Aku masih duduk santai di sisi Mas Ravi. Sementara sebelahnya lagi ada Rahman dan Yeni istrinya, sedangkan Ria tengah menyuapi putrinya yang baru berusia setahun, sementara suaminya ada piket malam karena agar besok bisa mengambil libur. Anak-anak bermain-main di ruang keluarga. Aksa belum tiba masih di rumah Adiba. Ku lihat ekor mata Budhe Darti menyusuri ruangan dan terhenti padaku. “Kamu lagi hamil y
POV THALITASelama masa pemulihan aku benar-benar diminta bed rest total oleh Mas Ravi. Padahal di rumah ada ibu mertua dan anak sambungku. Jadinya, makanan yang selalu tersaji itu ibu yang masak terkadang Mas Ravi memilih membeli dari luar. Untuk beres-beres dan mencuci pakaian semua Mas Ravi yang kerjakan. Kadang ia kerjakan setelah pulang kerja, atau kadang sebelum berangkat. Aku kasihan sekali melihatnya. Beberapa hari lalu aku mendengar Mas Ravi menerima telpon. Ia menolak untuk diminta tugas kunjungan ke Bandung lagi, karena kondisiku. Hal itu membuat aku merasa bersalah, padahal aku merasa sudah baik-baik saja. Mas Ravi yang terlalu cemas. Fisikku baik-baik saja, hanya terkadang aku merasa masih berduka karena harus kehilangan calon buah hati kamu yang belum sempat lahir ke dunia ini. Pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur membuat sarapan. “Lho Ibu sedang apa?” suara Aksa membuatku menoleh. Tampak anak itu mengerutkan keningnya bingung, melihat aku pagi-pagi sudah di d
POV ThalitaKarena Mas Ravi masih ada di Bandung, dan kebetulan hari ini ada pengambilan raport Hira. Aku memutuskan untuk mengambilnya sendiri, mungkin aku akan ijin beberapa jam sebelum masuk kantor. Tidak masalah nanti di jam istirahat aku akan bekerja. Sejujurnya aku bisa saja meminta tolong tetangga yang aku percaya menjemput Hira. Tapi, aku tidak mau Hira berkecil hati. Teman-temannya datang dengan Ayah atau ibunya, dan dia masa haru sama orang lain. Tentu saja sebelumnya aku sudah mengantongi ijin Mas Ravi. Meski Hira itu darah dagingku sendiri, tapi Mas Ravi itu suamiku, yang sudah sepatutnya harus ku hormati. Kumpulan wali murid terlaksana lancar, dan lagi aku merasa lega karena SPP Hira memang sudah aku lunasi berikut dengan biaya raportnya. Keluar dari gedung sekolah, aku melirik arloji di tanganku, masih ada waktu lumayan. “Bu, aku pengen ice cream di taman.” Hira menggoyangkan lenganku membuat aku menoleh ke arahnya. “Iya.”“Ayo, Bu. Makan ice cream di sana.” Hira menu
POV Thalita'Mau ke surga bareng aku gak?'Aku menatap penampilanku di cermin sambil tersenyum mengingat pertanyaan Mas Ravi, yang pada akhirnya kini ia berhasil membuat aku berubah. Ya aku memutuskan untuk berhijab saat keluar apalagi saat bekerja. Tentu saja keputusan itu di dukung penuh oleh suamiku. “Mas aku mau ayam yang ada di piring kamu itu loh,” pintaku tiba-tiba. Saat ini kami tengah sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Beberapa hari ini merasa sangat aneh dengan diriku, selalu ingin dekat dengan suamiku. Bahkan aku selalu merasakan rindu yang menggebu-gebu. Lebih anehnya lagi aku selalu menyukai makanan apapun yang telah dimakan suamiku. “Ini ada loh, sayang. Masih banyak.” Mas Ravi menunjuk ke arah piring di mana di sana masih ada ayam goreng yang tadi aku masak. Aku mengerti maksud Mas Ravi, ia hanya menunjukkan makanan yang jelas masih utuh. Tapi, aku merasa enggan menyentuhnya.“Aku gak mau itu, Mas.”Kening Mas Ravi mengerut bingu