Aroma roti panggang berpadu dengan selai nanas menghampiri indra penciuman Hernawan di sela-sela kesibukkannya membaca. Garis-garis wajahnya terlihat semakin jelas, ketika bibirnya membentuk senyum menikmati aroma yang berasal dari lantai atas itu.
“Berapa banyak roti panggang yang kamu buat malam ini, Nak?” tanya Hernawan mendongak ke lantai atas.
“Seperti biasa, Opung. Aku membuat untuk kita berdua.” Suara merdu seorang perempuan yang tersembunyi di balik ruangan atas.
Opung adalah sapaan akrab yang melekat dalam diri Hernawan Sinto. Tidak hanya suara perempuan itu yang memanggilnya Opung, orang-orang sekitar yang mengenal Hernawan Sinto juga memanggilnya dengan sapaan akrab itu.
Ya, Opung adalah sapaan akrab Hernawan Sinto yang dikenal sebagai laki-laki tua yang hidup dengan perpustakaan tuanya dan sangat rendah hati kepada siapa pun yang datang ke perpustakaannya untuk meminjam buku.
Di bangunan perpustakaan tua itulah, tersembunyi juga sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh banyak orang. Tentang seorang perempuan yang tidak pernah menampakkan diri kepada orang-orang.
Ya, sudah hampir lima belas tahun lamanya perempuan itu hidup dalam persembunyian—di balik bangunan perpustakaan tua. Membuat banyak orang digeluti rasa penasaran tentang perempuan yang bersembunyi di sana.
Opung selalu mengatakan, jika perempuan itu adalah anak perempuannya. Seorang anak yang berbeda dari anak perempuan lain di luar sana—perempuan cantik yang penurut. Hanya saja ada sesuatu hal yang membuatnya tidak dapat menampakkan diri kepada orang-orang. Karena itu, banyak orang menjuluki perempuan tersembunyi itu Putri Tidur.
“Opung akan naik untuk mencicipinya.” Opung menciba beranjak dari kursinya.
“Nggak perlu, Opung. Nanti aku akan turun dan mengantarkannya sama Opung. Sebentar aku sudah selelai,” sahut suara lembut perempuan yang berjulukan Putri Tidur itu.
Papan nama bertuliskan Lareta yang menggantung di pintu masuk perpustakaan tiba-tiba saja mengeluarkan suara ketukan, akibat paku penyanggahnya tidak kuat menopang, dan membuatnya mudah dihantam angin.
Mengetahui suara itu cukup mengganggu, Opung lantas keluar untuk memperbaiki.
Lareta adalah nama mendiang istri Opung yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Beruntungnya, dia masih memiliki anak perempuan yang dapat menemani masa tuanya di perpustakaan tua miliknya.
Suara telapak kaki terdengar dari dalam kedai, seperti tengah menuruni anak tangga. Bersamaan dengan itu sroma roti panggang yang berpadu dengan selai nanas semakin jelas tecium oleh Opung.
Ya, tampaknya anak perempuan Opung itu sudah turun membawa suguhan roti pangang buatannya.
“Opung!” panggil perempuan itu dari dalam perpustakaan.
“Iya, sebentar,” sahut Opung yang masih memperbaiki paku pada papan nama.
Selesai memperbaiki papan nama, Opung kemuidan kembali masuk ke dalam kedai untuk menikmati roti panggang berselai nanas buatan anak perempuannya itu.
“Papan namanya dihantam angin lagi. Kayaknya Opung besok harus menyuruh tukang bangunan buat memperbaiki,” jelas Opung.
Perempuan berambut panjang berbalut piyama putih itu hanya tersenyum usia meletakkan roti bakar buatannya di atas meja. “Kalau begitu sekarang Opung duduk,” suruhnya lembut.
“Iya, iya.” Opung mengangguk-angguk menurut duduk di kursi.
“Opung mau minum apa? Biar aku buatkan sebentar,” tanya lembut perempuan bernama Gerta itu.
“Kalau melihat roti bakar begini, Opung jadi pengen ditemani sama kopi.” Opung tersenyum memperlihatkan beberapa giginya yang sudah hilang.
“Kalau Opung malam-malam minum kopi, Opung nggak akan bisa tidur nanti,” tegur Gerta lembut.
Opung hanya mengangguk-angguk. “Ya sudah, kalau begitu Opung menurut saja sama kamu.”
Gerta tersenyum dan melangkah menuju dapur di lantai dua untuk membuatkan minuman.
Seduhan jahe sebagai teman roti bakar berselai nanas menjadi pilihan sempurna Gerta. Kebetulan Opung beberapa hari ini sering mengalami batuk pilek, akibat pergantian cuaca.
“Setelah ini Opung pasti bisa tidur nyenyak,” ucap Gerta tatkala meletakkan dua cangkir berisi seduhan jahe yang masih mengepulkan asap di atas meja.
“Terima kasih, Gerta.” Opung tersenyum.
Gerta kemudian mengambil duduk di hadapan Opung. “Sekarang, silakan Opung cicipi.”
Opung tersenyum dan mulai meraih selembar roti bakar berselai nanas itu untuk dicicipi. Setelahnya mengangguk-angguk menikmati rasanya.
“Bagaimana, Opung? Apa ada yang kurang?” tanya Gerta oenuh harap.
“Sama sekali nggak ada kurang. Ini udah enak sekali buat Opung,” jawab Opung.
Gerta tersenyum senang dan mulai memakan roti bakar berselsai nanas buatannya. “Opung besok mau dibuatkan sarapan apa?”
“Mmm ….” Opung tampak berpikir.
“Jangan nasi goreng lagi, ya. Aku udah bosen.” Gerta menyeringai gemas.
Mendengar itu, Opung hanya tertawa. “Nasi goreng adalah salah satu makanan kesukaan Opung, Gerta. Terlebih nasi goreng buatan kamu sangat mirip dengan nasi goreng buatan almarhum.”
Gerta tersenyum. “Jelas dong, Opung. Kan yang ngajarin aku buat nasih goreng Uti.”
Opung tertawa. “Benar. Dan kamu sekarang sangat mirip sama Uti kamu itu.”
“Kalau Opung ingin sesuatu, bilang aja sama aku. Aku akan membuatkannya buat Opung.” Gerta tersenyum.
“Terima kasih anakku.”
*****
Langit bulan Mei tampak indah. Rembulan terang dan kerlib bintang menggantung indah di sana. Sayangnya Gerta hanya bisa melihatnya dengan bersembunyi di balik perpustakaan tua, tidak berani menunjukkan rupa.
Benarkah jika Gerta adalah Putri Tidur yang kerap dibicarakan banyak orang itu? Lalu gerangan apa yang membuat Gerta bersembunyi di sana?
Di setiap malam yang tenggelam dalam kesunyian, Gerta akan menghabiskan waktu dengan secangkir cokelat panas. Sebuah mug putih bergambar bunga lotus adalah cangkir kesayangannya. Sudah sembilan puluh tujuh hari ini, dia menghabiskan malam dengan duduk berdiam diri menikmati langit malam. Tak sekalipun dia mengganti mug kesayangannya dengan mug yang lain.
Malam itu Gerta sedang merindukan seseorang.
Siapakah seseorang itu?
Sesampainya di rumah, Rumi langsung disambut ceria Gerta dan Ira yang sudah menantikan makanan yang dibawanya.“Akhirnya datang juga.” Ira langsung mengambil bingkisan itu di tangan Rumi. “Mis udah buatkan kamu kopi. Masuk, masuk,” ucapnya hangat menyambut kepulangan Rumi.Gerta langsung memeluk Rumi. “Lama banget sih kamu pulangnya?”Rumi tersenyum. “Antri beli waffle pesanan kamu.”“Makasih ya.” Gerta tersenyum manja.“Sama-sama.”“Yok, kita makan bareng-bareng sambil nonton TV. Ada acara bagus banget.” Gerta langsung merangkul lengan Rumi dan menggiringnya ke sofa.
Rumi tampak gelisah di sepanjang jalan pulang usai membeli dua wadah gelato pesanan Gerta dan Ira. Dia masih tak berhenti memikirkan, siapa dari orang-orang ibu kota yang berani mengusiknya lagi. Terlebih sampai memasang wajahnya ke khalayak umum dengan embel-embel seorang buronan.Berkali-kali Rumi mengembuskan napas sesal memandangi portal berita di ponselnya yang memang terang-terangan menampilkan wajah aslinya. Jika dulu dia bisa bersembunyi di balik sosok Mas Ganteng, kini sudah tidak bisa lagi.Jika benar orang-orang berengsek di ibu kota itu masih tersisa, bearti kejahatan itu juga masih belum selesai. Mau tidak mau pasti akan menyerat Rumi dan rekan-rekannya pada masalah baru.Sebuah panggilan dari Gerta masuk ke layar ponsel, membuat Rumi langsung mengangkatnya. “Iya,&rdquo
Setelah dipastikan Gerta hamil, dengan senang hati Rumi menawarkan diri mengurus urusan dapur dengan dibantu Ira. Menyiapkan makanan untuk istri yang sedang hamil memberikan rasa senang dan kepuasan dalam diri Rumi. Terlebih dia bisa memastikan makanan-makanan yang dikonsumsi istri dan anaknya adalah makanan yang sehat.“Itu tumis dulu bawang putihnya. Jangan dimasukkan dulu potongan sayurnya.” Ira hanya bersedekap di sebelah Rumi, tampak seperti seorang pemandu.Rumi mengikuti arahan Ira dengan gerakan pelan menumis bawang putih. “Udah belum ini?”“Belum. Belum juga semenit numisnya. Tunggu sampai bawang putihnya layu kecoklatan.”Gerta yang turun tangga dengan langkah pelan agar tak menimbulkan suara kemud
Sepekan menikmati musim dingin di Kanada, kini Gerta telah kembali ke Wina yang masih berlangsung musim panas. Perempuan yang sejak pagi sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan itu tampak pucat, tak seperti biasanya. Sejak bangun tadi dia merasakan pening dan sempat muntah.“Gerta, kamu kenapa?” Ira datang menatap wajah pucat Gerta.Gerta menggeleng. “Nggak papa, Mis. Mungkin kecapekan aja setalah dari Kanada. Karena di sana lagi musim dingin.”“Rumi! Rumi!” panggil Ira.“Mis, aku nggak papa. Jangan bangunin dia, dia juga pasti kecapekan,” larang Gerta memelas.Ira mengembuskan napas berat. “Ya udah, kalau begitu biarkan Mis yang masak. Ka
Sebuah kedai kopi tampak indah oleh bunga-bunga rustic di sepanjang pintu masuk yang membantang karpet merah. Di dalam ruangan dipenuhi orang-orang berpakaian formal yang sudah siap menyambut acara. Tampak beberapa barista di balik meja panjang menunjukkan kemampuannya berseni di dalam cangkir kopi. Membuat banyak pasang mata menatap penuh kagum.Ya, pembukaan kedai kopi milik Dego digelar bersamaan dengan pesta pernikahannya. Beberapa rekan seprofesi yang datang ada yang sekalian menjaring kerja sama. Tidak ketinggalan juga Boni dan Kris yang lagi-lagi tampak gagah dengan setelan jas mahal.“Ini adalah kali kedua gue bisa memakai jas mahal ini di acara pernikahan.” Kris membenarkan letak dasinya.
Satu bulan kemudian Rumi menepati janjinya untuk berkunjung ke Kanada mengunjungi keponakannya. Kedatangannya bersama Gerta disambut begitu hangat oleh Vania, terlebih Kian yang sudah lama menantikan kedatangan omnya.“Om Rumi!” seru Kian yang langsung berlari memeluk Rumi.“Halo, Kian. Apa kabar kamu?” Rumi balas memeluk keponakannya itu.“Baik, dong. Om Rumi janji akan nginap di sini ‘kan?” tanya Kian yang langsung menagih lagi janjinya.Rumi mengangguk. “Iya.”“Berapa lama?” Kedua mata Kian berbinar senang.Rumi tampak berpikir. “Mmm … seminggu?”