Share

Bab 3. Perempuan yang tidak pernah menampakkan diri kepada orang-orang

Aroma roti panggang berpadu dengan selai nanas menghampiri indra penciuman Hernawan di sela-sela kesibukkannya membaca. Garis-garis wajahnya terlihat semakin jelas, ketika bibirnya membentuk senyum menikmati aroma yang berasal dari lantai atas itu.

“Berapa banyak roti panggang yang kamu buat malam ini, Nak?” tanya Hernawan mendongak ke lantai atas.

“Seperti biasa, Opung. Aku membuat untuk kita berdua.” Suara merdu seorang perempuan yang tersembunyi di balik ruangan atas.

Opung adalah sapaan akrab yang melekat dalam diri Hernawan Sinto. Tidak hanya suara perempuan itu yang memanggilnya Opung, orang-orang sekitar yang mengenal Hernawan Sinto juga memanggilnya dengan sapaan akrab itu.

Ya, Opung adalah sapaan akrab Hernawan Sinto yang dikenal sebagai laki-laki tua yang hidup dengan perpustakaan tuanya dan sangat rendah hati kepada siapa pun yang datang ke perpustakaannya untuk meminjam buku.

Di bangunan perpustakaan tua itulah, tersembunyi juga sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh banyak orang. Tentang seorang perempuan yang tidak pernah menampakkan diri kepada orang-orang.

Ya, sudah hampir lima belas tahun lamanya perempuan itu hidup dalam persembunyian—di balik bangunan perpustakaan tua. Membuat banyak orang digeluti rasa penasaran tentang perempuan yang bersembunyi di sana.

Opung selalu mengatakan, jika perempuan itu adalah anak perempuannya. Seorang anak yang berbeda dari anak perempuan lain di luar sana—perempuan cantik yang penurut. Hanya saja ada sesuatu hal yang membuatnya tidak dapat menampakkan diri kepada orang-orang. Karena itu, banyak orang menjuluki perempuan tersembunyi itu Putri Tidur.

“Opung akan naik untuk mencicipinya.” Opung menciba beranjak dari kursinya.

“Nggak perlu, Opung. Nanti aku akan turun dan mengantarkannya sama Opung. Sebentar aku sudah selelai,” sahut suara lembut perempuan yang berjulukan Putri Tidur itu.

Papan nama bertuliskan Lareta yang menggantung di pintu masuk perpustakaan tiba-tiba saja mengeluarkan suara ketukan, akibat paku penyanggahnya tidak kuat menopang, dan membuatnya mudah dihantam angin.

Mengetahui suara itu cukup mengganggu, Opung lantas keluar untuk memperbaiki.

Lareta adalah nama mendiang istri Opung yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Beruntungnya, dia masih memiliki anak perempuan yang dapat menemani masa tuanya di perpustakaan tua miliknya.

Suara telapak kaki terdengar dari dalam kedai, seperti tengah menuruni anak tangga. Bersamaan dengan itu sroma roti panggang yang berpadu dengan selai nanas semakin jelas tecium oleh Opung.

Ya, tampaknya anak perempuan Opung itu sudah turun membawa suguhan roti pangang buatannya.

“Opung!” panggil perempuan itu dari dalam perpustakaan.

“Iya, sebentar,” sahut Opung yang masih memperbaiki paku pada papan nama.

Selesai memperbaiki papan nama, Opung kemuidan kembali masuk ke dalam kedai untuk menikmati roti panggang berselai nanas buatan anak perempuannya itu.

“Papan namanya dihantam angin lagi. Kayaknya Opung besok harus menyuruh tukang bangunan buat memperbaiki,” jelas Opung.

Perempuan berambut panjang berbalut piyama putih itu hanya tersenyum usia meletakkan roti bakar buatannya di atas meja. “Kalau begitu sekarang Opung duduk,” suruhnya lembut.

“Iya, iya.” Opung mengangguk-angguk menurut duduk di kursi.

“Opung mau minum apa? Biar aku buatkan sebentar,” tanya lembut perempuan bernama Gerta itu.

“Kalau melihat roti bakar begini, Opung jadi pengen ditemani sama kopi.” Opung tersenyum memperlihatkan beberapa giginya yang sudah hilang.

“Kalau Opung malam-malam minum kopi, Opung nggak akan bisa tidur nanti,” tegur Gerta lembut.

Opung hanya mengangguk-angguk. “Ya sudah, kalau begitu Opung menurut saja sama kamu.”

Gerta tersenyum dan melangkah menuju dapur di lantai dua untuk membuatkan minuman.

Seduhan jahe sebagai teman roti bakar berselai nanas menjadi pilihan sempurna Gerta. Kebetulan Opung beberapa hari ini sering mengalami batuk pilek, akibat pergantian cuaca.

“Setelah ini Opung pasti bisa tidur nyenyak,” ucap Gerta tatkala meletakkan dua cangkir berisi seduhan jahe yang masih mengepulkan asap di atas meja.

“Terima kasih, Gerta.” Opung tersenyum.

Gerta kemudian mengambil duduk di hadapan Opung. “Sekarang, silakan Opung cicipi.”

Opung tersenyum dan mulai meraih selembar roti bakar berselai nanas itu untuk dicicipi. Setelahnya mengangguk-angguk menikmati rasanya.

“Bagaimana, Opung? Apa ada yang kurang?” tanya Gerta oenuh harap.

“Sama sekali nggak ada kurang. Ini udah enak sekali buat Opung,” jawab Opung.

Gerta tersenyum senang dan mulai memakan roti bakar berselsai nanas buatannya. “Opung besok mau dibuatkan sarapan apa?”

“Mmm ….” Opung tampak berpikir.

“Jangan nasi goreng lagi, ya. Aku udah bosen.” Gerta menyeringai gemas.

Mendengar itu, Opung hanya tertawa. “Nasi goreng adalah salah satu makanan kesukaan Opung, Gerta. Terlebih nasi goreng buatan kamu sangat mirip dengan nasi goreng buatan almarhum.”

Gerta tersenyum. “Jelas dong, Opung. Kan yang ngajarin aku buat nasih goreng Uti.”

Opung tertawa. “Benar. Dan kamu sekarang sangat mirip sama Uti kamu itu.”

“Kalau Opung ingin sesuatu, bilang aja sama aku. Aku akan membuatkannya buat Opung.” Gerta tersenyum.

“Terima kasih anakku.”

***** 

Langit bulan Mei tampak indah. Rembulan terang dan kerlib bintang menggantung indah di sana. Sayangnya Gerta hanya bisa melihatnya dengan bersembunyi di balik perpustakaan tua, tidak berani menunjukkan rupa.

Benarkah jika Gerta adalah Putri Tidur yang kerap dibicarakan banyak orang itu? Lalu gerangan apa yang membuat Gerta bersembunyi di sana?

Di setiap malam yang tenggelam dalam kesunyian, Gerta akan menghabiskan waktu dengan secangkir cokelat panas. Sebuah mug putih bergambar bunga lotus adalah cangkir kesayangannya. Sudah sembilan puluh tujuh hari ini, dia menghabiskan malam dengan duduk berdiam diri menikmati langit malam. Tak sekalipun dia mengganti mug kesayangannya dengan mug yang lain.

Malam itu Gerta sedang merindukan seseorang.

Siapakah seseorang itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status