Share

Bab 2. Di dunia ini, sesuatu yang gampang didapatkan dan gampang dihilangkan jejaknya hanyalah uang

Rumi hanya mendengkus keki. Karena jujur, dia lebih tertarik dengan uang daripada tiket-tiket mewah. Karena baginya, tiket-tiket mewah seperti itu hanya akan meninggalkan jejak. Sedangkan dia tidak ingin pekerjaan yang dia lakukan sampai meninggalkan jejak. Dia tidak ingin identitasnya diketahui oleh banyak orang. Jadi dia sangat menghindari bonus, hadiah, tiket dan paket yang berlebel mewah apa pun.

Bagi sebagaian orang, mungkin hal-hal tersebut adalah sebuah keberuntungan, tetapi tidak bagi Rumi—menjadi sebuah masalah besar dalam hidupnya.

“Menggiurkan juga liburan kapal pesiar. Liburan keliling Eropa sekalian kencan sama cewek-cewek bule,” ucap Dego tertawa.

Rumi hanya tersenyum miring. “Itu bukan peraturan kerjaan kita, Go. Kucuran uang mereka itu nggak bersih. Itu hasil mempermainkan uang negara yang sewaktu-waktu bisa jadi incaran polisi.”

Dego tergelak. “Gue cuma bercanda, Rum. Iya, gue tahu itu. Ternyata memang nggak mudah ngerayu lo sama hal-hal kayak begini. Lo memang pejudi tangguh. Nggak salah gue ketemu lo.”

Mereka kemudian tegelak di tengah-tengah pembicaraan.

Dego kemudian menarik napas dan memutar kursi. Lalu mengalihkan pandangan ke empat buah komputer yang sudah siap untuk diotak-atik dengan jari-jemarinya. “Di dunia ini, sesuatu yang gampang didapatkan dan gampang dihilangkan jejaknya hanyalah uang. Dan kita adalah orang-orang yang suka sekali bermain sama uang. Kita bisa mendapatkannya dengan mudah, lalu kita juga yang bisa menghilangkannya dengan mudah. Seperti permainan sulap yang kasat mata,” ujarnya memamerkan keahliannya dalam hal tersebut.

Rumi mengangguk-angguk, mengakui keahlian Dego. “Iya. Lo memang ahlinya dalam hal itu. Jadi, kita lakukan saja hal yang sudah biasa kita lakukan. Gue nggak mau kita dalam bahaya hanya karena barang-barang mewah seperti itu,” ucapnya memperingatkan.

Sementara Dego fokus dengan tugasnya, Rumi pun sibuk menggeser-geser layar smartphone untuk mencari tahu lebih dalam sebagai persiapan.

Sejenak tatapan Rumi terhenti pada sebuah nama yang membuatnya melotot. Nama salah seorang perwira tinggi kepolisian Bintato tertulis di sana. Membuatnya ggeleng-geleng, karena tidak asing dengan nama kepolisian tersebut.

Ya, itu adalah kepolisian besar ibu kota yang kerap menjadi langganan para pejabat tinggi jika ada kasus. Namun, ternyata berisi orang-orang licik yang mempermainkan uang negara.

Namun, persetan dengan hal itu. Itu bukan urusan Rumi ‘kan?

Rumi kemudian meletakkan smartphone itu di atas meja dan kembali meraih cangkir kopinya. Lalu beranjak dari meja diskusi dan kembali menatap jendela besar yang memperlihatakan gedung-gedung tinggi di seberang sana. “Gue akan berangkat dan membawa pulang 5 juta dolar itu,” ucapnya penuh percaya diri seraya menyeruput kopi hitamnya yang asapnya sudah tidak lagi mengudara itu.

“Gue selalu mengandalkan lo, kawan,” ucap Dego memberi dukungan. “Gue akan menyiapkan keperluan kita dan meretas sistem yang perlu kita waspadai,” sambungnya sembari berkutik pada komputer-komputer di hadapannya.

Rumi adalah salah satu bentuk kehidupan yang terbuang dari cinta dan masa lalu. Dia dengaja dibuang dan dihapus dari daftar keluarga untuk menutupi aib. Sejak sat itu dia terbiasa pincang dengan segala macam kehidupan ibu kota. Meski begitu, dia tidak akan membiarka kehidupan membuangnya untuk kedua kali. Untuk itu dia perlu kekuasaan untuk mewujudkan keinginan, agar mampu bertahan dari lawan untuk hidup di ibu kota. 

***** 

Seorang laki-laki berkacamata terlihat menuruni sebuah tangga. Wajahnya dipenuhi oleh kerutan yang memperjelas garis wajahnya. Punggungnya yang tak lagi tegap, membuatnya harus berjalan penuh hati-hati menuruni tangga.

Di sebuah bangunan perpustakaan tua, laki-laki berkacamata itu tinggal di sana, mengabdikan seluruh hidupnya untuk menulis buku. Dia adalah seorang sastrawan yang sangat berpengaruh di ibu kota dulunya. Sayangnya saat ini, namanya sudah terlupakan bersamaan dengan usianya yang semakin menua. Namanya adalah Hernawan Sinto—nama yang cukup terkenal dalam dunia sastra dulunya.

Sebuah rak yang dipenuhi dengan baris-baris buku menjulang tinggi mengelilingi seluruh di lantai pertama. Dinding berkayu dalam ruangan itu seperti lenyap termakan rak buku. Membuat siapa pun yang melihatnya seperti berada dalam ruangan berdinding buku.

Hampir semua buku-buku di sana adalah hasil karya Henawan selama empat puluh lima tahun menekuni dunia literasi. Baginya, menulis adalah keabadian. Sebab segala ingatan, inspirasi dan cerita tidak akan terlupakan selama itu menjadi sebuah karya.

Sebuah rak buku di barisan ketiga menjadi perhatian Hernawan—sebuah buku bersampul biru mudah dengan sket-sket putih yang tebal dia raih dengan tangan kanannya. Lalu kemudian melangkah menghampiri sebuah kursi goyang tua yang terbuat dari kayu.

Di kursi goyang itulah Hernawan akan menghabiskan lembaran demi lembaran buku untuk dia baca, sembari menemukan rasa kantuknya, jika sedang kesulitan tidur.

Buku di tangan Hernawan adalah buku yang dia tulis untuk menceritakan dan mengenang peristiwa bersejarah penting yang terjadi lima belas tahun yang lalu dalam hidupnya. Tentang seorang anak yang sengaja dibuang dari kehidupan orang penting ibu kota dan tentang rahasia salah seorang pejabat tinggi yang sangat terkemuka di ibu kota.

Di sanalah—dalam buku bersejarah milik Hernawan Sinto, ada seorang perempuan yang juga turut terbuang dari masa lalu, yang sengaja dibuang oleh salah seorang pejabat penting ibu kota.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status