Rumi hanya mendengkus keki. Karena jujur, dia lebih tertarik dengan uang daripada tiket-tiket mewah. Karena baginya, tiket-tiket mewah seperti itu hanya akan meninggalkan jejak. Sedangkan dia tidak ingin pekerjaan yang dia lakukan sampai meninggalkan jejak. Dia tidak ingin identitasnya diketahui oleh banyak orang. Jadi dia sangat menghindari bonus, hadiah, tiket dan paket yang berlebel mewah apa pun.
Bagi sebagaian orang, mungkin hal-hal tersebut adalah sebuah keberuntungan, tetapi tidak bagi Rumi—menjadi sebuah masalah besar dalam hidupnya.
“Menggiurkan juga liburan kapal pesiar. Liburan keliling Eropa sekalian kencan sama cewek-cewek bule,” ucap Dego tertawa.
Rumi hanya tersenyum miring. “Itu bukan peraturan kerjaan kita, Go. Kucuran uang mereka itu nggak bersih. Itu hasil mempermainkan uang negara yang sewaktu-waktu bisa jadi incaran polisi.”
Dego tergelak. “Gue cuma bercanda, Rum. Iya, gue tahu itu. Ternyata memang nggak mudah ngerayu lo sama hal-hal kayak begini. Lo memang pejudi tangguh. Nggak salah gue ketemu lo.”
Mereka kemudian tegelak di tengah-tengah pembicaraan.
Dego kemudian menarik napas dan memutar kursi. Lalu mengalihkan pandangan ke empat buah komputer yang sudah siap untuk diotak-atik dengan jari-jemarinya. “Di dunia ini, sesuatu yang gampang didapatkan dan gampang dihilangkan jejaknya hanyalah uang. Dan kita adalah orang-orang yang suka sekali bermain sama uang. Kita bisa mendapatkannya dengan mudah, lalu kita juga yang bisa menghilangkannya dengan mudah. Seperti permainan sulap yang kasat mata,” ujarnya memamerkan keahliannya dalam hal tersebut.
Rumi mengangguk-angguk, mengakui keahlian Dego. “Iya. Lo memang ahlinya dalam hal itu. Jadi, kita lakukan saja hal yang sudah biasa kita lakukan. Gue nggak mau kita dalam bahaya hanya karena barang-barang mewah seperti itu,” ucapnya memperingatkan.
Sementara Dego fokus dengan tugasnya, Rumi pun sibuk menggeser-geser layar smartphone untuk mencari tahu lebih dalam sebagai persiapan.
Sejenak tatapan Rumi terhenti pada sebuah nama yang membuatnya melotot. Nama salah seorang perwira tinggi kepolisian Bintato tertulis di sana. Membuatnya ggeleng-geleng, karena tidak asing dengan nama kepolisian tersebut.
Ya, itu adalah kepolisian besar ibu kota yang kerap menjadi langganan para pejabat tinggi jika ada kasus. Namun, ternyata berisi orang-orang licik yang mempermainkan uang negara.
Namun, persetan dengan hal itu. Itu bukan urusan Rumi ‘kan?
Rumi kemudian meletakkan smartphone itu di atas meja dan kembali meraih cangkir kopinya. Lalu beranjak dari meja diskusi dan kembali menatap jendela besar yang memperlihatakan gedung-gedung tinggi di seberang sana. “Gue akan berangkat dan membawa pulang 5 juta dolar itu,” ucapnya penuh percaya diri seraya menyeruput kopi hitamnya yang asapnya sudah tidak lagi mengudara itu.
“Gue selalu mengandalkan lo, kawan,” ucap Dego memberi dukungan. “Gue akan menyiapkan keperluan kita dan meretas sistem yang perlu kita waspadai,” sambungnya sembari berkutik pada komputer-komputer di hadapannya.
Rumi adalah salah satu bentuk kehidupan yang terbuang dari cinta dan masa lalu. Dia dengaja dibuang dan dihapus dari daftar keluarga untuk menutupi aib. Sejak sat itu dia terbiasa pincang dengan segala macam kehidupan ibu kota. Meski begitu, dia tidak akan membiarka kehidupan membuangnya untuk kedua kali. Untuk itu dia perlu kekuasaan untuk mewujudkan keinginan, agar mampu bertahan dari lawan untuk hidup di ibu kota.
*****
Seorang laki-laki berkacamata terlihat menuruni sebuah tangga. Wajahnya dipenuhi oleh kerutan yang memperjelas garis wajahnya. Punggungnya yang tak lagi tegap, membuatnya harus berjalan penuh hati-hati menuruni tangga.
Di sebuah bangunan perpustakaan tua, laki-laki berkacamata itu tinggal di sana, mengabdikan seluruh hidupnya untuk menulis buku. Dia adalah seorang sastrawan yang sangat berpengaruh di ibu kota dulunya. Sayangnya saat ini, namanya sudah terlupakan bersamaan dengan usianya yang semakin menua. Namanya adalah Hernawan Sinto—nama yang cukup terkenal dalam dunia sastra dulunya.
Sebuah rak yang dipenuhi dengan baris-baris buku menjulang tinggi mengelilingi seluruh di lantai pertama. Dinding berkayu dalam ruangan itu seperti lenyap termakan rak buku. Membuat siapa pun yang melihatnya seperti berada dalam ruangan berdinding buku.
Hampir semua buku-buku di sana adalah hasil karya Henawan selama empat puluh lima tahun menekuni dunia literasi. Baginya, menulis adalah keabadian. Sebab segala ingatan, inspirasi dan cerita tidak akan terlupakan selama itu menjadi sebuah karya.
Sebuah rak buku di barisan ketiga menjadi perhatian Hernawan—sebuah buku bersampul biru mudah dengan sket-sket putih yang tebal dia raih dengan tangan kanannya. Lalu kemudian melangkah menghampiri sebuah kursi goyang tua yang terbuat dari kayu.
Di kursi goyang itulah Hernawan akan menghabiskan lembaran demi lembaran buku untuk dia baca, sembari menemukan rasa kantuknya, jika sedang kesulitan tidur.
Buku di tangan Hernawan adalah buku yang dia tulis untuk menceritakan dan mengenang peristiwa bersejarah penting yang terjadi lima belas tahun yang lalu dalam hidupnya. Tentang seorang anak yang sengaja dibuang dari kehidupan orang penting ibu kota dan tentang rahasia salah seorang pejabat tinggi yang sangat terkemuka di ibu kota.
Di sanalah—dalam buku bersejarah milik Hernawan Sinto, ada seorang perempuan yang juga turut terbuang dari masa lalu, yang sengaja dibuang oleh salah seorang pejabat penting ibu kota.
Aroma roti panggang berpadu dengan selai nanas menghampiri indra penciuman Hernawan di sela-sela kesibukkannya membaca. Garis-garis wajahnya terlihat semakin jelas, ketika bibirnya membentuk senyum menikmati aroma yang berasal dari lantai atas itu. “Berapa banyak roti panggang yang kamu buat malam ini, Nak?” tanya Hernawan mendongak ke lantai atas. “Seperti biasa, Opung. Aku membuat untuk kita berdua.” Suara merdu seorang perempuan yang tersembunyi di balik ruangan atas. Opung adalah sapaan akrab yang melekat dalam diri Hernawan Sinto. Tidak hanya suara perempuan itu yang memanggilnya Opung, orang-orang sekitar yang mengenal Hernawan Sinto juga memanggilnya dengan sapaan akrab itu. Ya, Opung adalah sapaan akrab Hernawan Sinto yang dikena
BAB 4 Pengantar koran malam hari Selain sebagai penjudi rahasia, Rumi juga mempunyai pekerjaan lain sebagai pengantar koran malam hari. Sayangnya pekerjaan itu bukan pekerjaan rahasia, melainkan pekerjaan sehari-harinya. Beberapa orang yang mengenal Rumi, sudah pasti mengenalnya sebagai seorang pengantar koran. Namun, tidak dengan preman-preman penjagal itu di bangunan tua bertingkat sembilan itu. Mereka mengenal Rumi sebagai pengantar koran yang pandai bertinju. Lantai enam adalah tempat yang sering dikunjungi Rumi untuk bermain tinju dengan salah seorang preman yang kerap menjadi lawan mainnya. “Waktu gue habis,” ucap Rumi menghentikan permainannya di babak kedua. “Sangat disayangkan banget, padahal s
“Opung!” Rumi mendengar samar-samar suara seorang perempuan dari dalam perpustakaan. “Iya, sebentar.” Opung menyahut panggilan tersebut. Mendengar itu Rumi celingukan. Namun, tak melihat ada seseorang yang mengajak Opung berbicara, meski samar-samar mendengar suaranya. “Kok ada suara perempuan? Di mana dan siapa ya?” Benarkah jika ada Putri Tidur di sana? Putri Tidur seperti apa yang tinggal di bangunan perpustakaan tua itu? Apakah dia Putri Tidur yang sama seperti dalam dongeng? “Ya udahlah. Bodoh amat apa kata orang mengenai laki-laki tua itu. Bagi gue dia adalah seorang sastrawan hebat yang namanya seharusnya diingat, bukan dilupakan, apalagi harus digunjing,” gumam Rumi usai men
BAB 6Di balik sosok Mas GantengLangit siang cukup terik sengatannya. Membuat mengkilap kaca mobil sedan hitam yang baru saja sampai di lobi bandara. Ada empat orang laki-laki perpakaian jas rapi lengkap dengan sepatu pantofelnya turun dari mobil.Salah seorang dari mereka tengah sibuk menyanggah ponsel di telinga sebelah kanan. “Baik, Pak. Kami sudah sampai. Kami akan segera masuk.”Tampak laki-laki misterius sudah menunggu di lobi bandara. Dia duduk di kursi tunggu dengan gaya berpakaiannya yang khas—memakai jaket kulit hitam berkupluk, kacamata hitam dan masker hitam yang menutupi bagian wajahnya. Dia duduk dengan headphone yang menyanggah di kedua telinganya. Sesekali dia melirik ke arah empa
BAB 7SemSenin, selepas tengah hari dan masih di bulan Mei, laki-laki berpakaian rapi yang menjadi salah satu kepala penyidik kepercayaan badan intelejen negera itu setengah jam lamanya hanya memegangi cangkir berisi kopi hitam dengan pandangan kosong keluar jendela besar di sebuah ruangan yang menjadi kantornya.Nama Zuldan Bahir tampak melekat di saku kanannya. Sementara otaknya sedang berputar-putar hingga tak menyadari, jika kopi di cangkirnya sudah tak lagi mengepulkan asap.Ya, banyak kasus korupsi yang sedang Zuldan tangani saat ini. Kulit wajahnya yang terlihat kasar tak terawat menjadi bukti, bagaimana dia menguras otak untuk memecahkan kasus.Benarkah perjudian gelap menjadi penyebab korupsi? Lalu sejak kapan perjudian gelap itu mulai berop
Setelah mendapat persetujuan, tim kemudian menuju departemen inspeksi untuk memeriksa flasdisk yang dibawa Zuldan.Tepat usai flasdisk terhubung, puluhan layar komputer serentak mengalami gangguan. Membuat Zuldan terbelalak tidak percaya, padahal satu jam yang lalu file di dalam flasdisk tersebut masih bisa dibuka.“Apa ini?” tanya Pak Irawan pada salah seorang tim inspeksi.“Virus, Pak.”“Kamu yakin flasdisk yang kamu kasih barusan berisi bukti?” tanya Pak Irawan pada Zuldan.“Yakin, Pak Irawan. Saya menyimpan bukti itu di sana,” jawab Zuldan.“Terus bagaimana bisa kamu membiarkan data kamu te
Pesawat kemudian mendarat di Bandara Internasional Chek Lap Kok, Hongkong—salah satu kota yang menempati posisi kelima pada Indeks Kota Global setelah New York City, London, Tokyo dan Paris. Menjadi kota yang memiliki pendapatan per kapital yang tinggi. Jadi tidak heran, jika Hongkong adalah pusat keuangan yang kerap menjadi ajang perjudian besar.Sebuah mobil mewah, Marcedes-Benz Limousine S600 sudah stay di depan gedung bandara lengkap dengan sopir sewaanya. Berjalan diiringi empat algojo berjas rapi berwajah beringas memang cukup membuat Mas Ganteng menjadi lirikan lalu lalang orang di dalam bandara.Dasar curut-curut bodoh. Percuma kalian dibayar mahal kalau nggak ngerti tentang situasi.
Cerah langit Rabu membuat kupu-kupu begitu ceria mengepakkan sayap-sayapnya. Di bawah terik matahari yang hangat, mereka memperlihatkan sayap indahnya, menari-nari dan membuat iri perempuan yang mematung di balik jendela lantai tiga—perempuan yang di masa kecilnya mempunyai keinginan untuk bisa mempunyai sayap seperti kupu-kupu. Namun, beranjak dewasa, dia menyadari, jika hal itu adalah hal yang mustahil. Sebab dia bukan perempuan dari negeri dongeng yang dapat menjelma seperti putri ajaib, selain hanya perempuan biasa yang hidup bersembunyi di balik perpustakaan tua.Mari kita amati sosoknya.Cahaya matahari yang masuk ke jendela membuat mata indah Gerta bersinar cokelat keemasan. Kulit wajahnya yang bersih juga turut bersinar. Bibirnya yang tersenyum menggantung indah itu mengartikan, jika dia sangat menikmati sengatan sinar