Share

Bab 4 . Pengantar koran malam hari

BAB 4

Pengantar koran malam hari

Selain sebagai penjudi rahasia, Rumi juga mempunyai pekerjaan lain sebagai pengantar koran malam hari. Sayangnya pekerjaan itu bukan pekerjaan rahasia, melainkan pekerjaan sehari-harinya.

Beberapa orang yang mengenal Rumi, sudah pasti mengenalnya sebagai seorang pengantar koran. Namun, tidak dengan preman-preman penjagal itu di bangunan tua bertingkat sembilan itu. Mereka mengenal Rumi sebagai pengantar koran yang pandai bertinju.

Lantai enam adalah tempat yang sering dikunjungi Rumi untuk bermain tinju dengan salah seorang preman yang kerap menjadi lawan mainnya.

“Waktu gue habis,” ucap Rumi menghentikan permainannya di babak kedua.

“Sangat disayangkan banget, padahal skor kita masih imbang, loh,” keluh Boni yang menjadi lawan main Rumi.

Rumi kemudian melepas sarung tinju dan mengambil botol mineral. Lalu meneguknya hingga habis. Setelahnya membalas uluran tangan Boni yang meminta high five.

“Lain kali kita akan bertarung lagi,” ucap Rumi dengan napas tersengal.

Boni mengangguk usai meneguk habis air mineralnya.

Rumi kemudian menepuk-nepuk pundak Boni. “Senang bisa ngelawan lo, Bon.”

“Gue tunggu pertarungan berikutnya besok, ya,” ucap Boni.

“Beres. Kita bisa atur jamnya lebih awal. Sekarang gue harus ngantar koran dulu.” Rumi mengangkat jempolnya ke arah Boni.

“Lo nggak capek apa tiap hari ngeronda mulu di jalanan?” tanya Boni geleng-geleng heran.

“Gue udah janji sama tukang korannya, Bon.” Rumi mengerling dan keluar dari ring untuk berlalu.

Tidak hanya ring tinju yang menjadi arena bermain preman-preman di sana. Di lantai empat ada tempat billiard dan di lantai lima ada sebuah bar. Selain sebagai penjagal, preman-preman di sana juga cukup pintar dalam membuka bisnis tempat hiburan. Tentu saja Rumi berandil besar di sana. Secara dia adalah pemilik dari bangunan itu. Hanya saja, namanya tersembunyi di balik preman-preman yang menjadi anak buahnya.

Beberapa preman yang berpapasan dengan Rumi, pasti selalu menyapa. Seperti yang terjadi saat ini, saat Rumi melangkah menuruni tangga dan melewati lantai demi lantai.

“Rum, main yuk!” sapa salah seorang mengangat tongkat billiard kea rah Rumi..

“Kalian main aja.” Rumi mengangkat tangan sebagai balasan.

Turun lagi ke lantai bawah, salah seorang tengah mabuk juga menyapa. “Rum, mau ke mana lo? Mampir sini, dong!”

Rumi hanya menyeringai. “Kalian aja yang main.”

Dengan kaos putih berbalut kemeja hijau toska dan topi hitam terbalik yang menjadi andalannya, Rumi bergegas mengayuh sepada yang sudah dipenuhi oleh gulungan-gulungan koran di jok belakang sepeda. Jarum jam di tangan kirinya sudah menunjuk pukul satu lebih lima belas menit dini hari. Pertanda, jika waktunya untuk mengantar koran.

Pengantar koran malam hari adalah pekerjaan yang sangat disukai oleh Rumi. Sebab dia dapat menikmati suasana kota yang menampakkan ketenangannya. Gedung-gedung tinggi di bawah langit hitam adalah pemandangan yang sangat dia sukai.

Gedung-gedung yang indah. Hanya saja sayang, banyak tikus yang menghuni di sana.

Sudah hampir satu tahun koran pemberitaan yang Rumi bawa selalu berisi tentang korupsi. Wajar saja, sebab orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang sangat gila judi. Berbagai macam cara akan dilakukannya demi sebuah perjudian. Bahkan jika sudah pernah merasakan kemenangannya, mereka akan semakin terjerembab lebih dalam karena naluri keserakahannya yang selalu ingin menang.

Ya sudahlah. Persetan dengan orang-orang seperti mereka.

Ban roda sepeda berhenti di sebuah bangunan perpustakaan tua. Pespustakaan bernama Lareta adalah pelanggan setia Rumi. Maklum, yang menghuni di sana adalah laki-laki tua yang tak tertarik dengan teknologi modern masa kini—smartphone. Jadi, hanya mengandalkan koran sebagai sumber informasi.

Rumi mengambil satu gulungan koran lalu memasukkannya ke dalam kotak surat yang berdiri di pagar depan bangunan tua berlantai tiga tersebut. Lagi-lagi wajah koruptor menghiasi koran pemberitaan dan sudah satu bulan ini terpampang di koran.

“Sudah jatuh tertimpah tangga, sudah kalah judi sekarang jadi hujatan rakyat. Makan itu uang negara,”

gumam Rumi menyeringai dingin menatap wajah koruptor yang cukup dikenalnya itu.

Tidak hanya bangunan tua, sebuah telepon umum tua berbilik merah juga ada di depan perpustakaan Lareta tersebut. Ketika semua orang di ibu kota sibuk untuk hidup modern, laki-laki bernama Opung yang menghubi di sana justru tetap bertahan dengan kehidupan sederhanannya—bangunan tua, telepon umum tua berbilik merah, diikuti juga dengan raganya yang sudah tua.

Telepon umum tua itu tak hanya berguna untuk menelpon saja, tetapi juga berguna sebagai tempat berteduh Rumi ketika hujan. Beruntungnya kali ini hujan tidak turun. Semoga saja tidak ada orang yang mencoba menyingkirkan telpon umum tersebut. Katanya, telepon umum tersebut mempunyai sejarah semasa bangunan tua itu ada.

Tampak laki-laki tua yang tinggal di perpustakaan tua itu tengah sibuk memperbaiki papan nama di halaman depan. Raganya yang sudah menua tampak sekali kesulitan saat mencoba memaku sudut-sudut papan nama.

Bagi Rumi, laki-laki itu hanyalah laki-laki tua yang kesepian sejak mendiang istrinya meninggal. Banyak orang yang membicarakannya karena menyembunyikan seorang perempuan selama bertahun-tahun di perpustakaan miliknya. Karena beragam pembicaraan itu, membuat perpustakaan tua tersebut semakin terkenal karena cerita tentang Putri Tidur yang bersembunyi di sana.

Hmm … tak jarang pula orang-orang kerap menganggap Opung sebagai laki-laki tua gila yang mengaku-ngaku mempunyai seorang anak perempuan. Sebab Opung dengan mendiang istrinya—Lareta tidak pernah dikaruniai seorang anak sejak mereka menikah tiga puluh tahun lamanya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status