Beranda / Romansa / Mas Ganteng / Bab 4 . Pengantar koran malam hari

Share

Bab 4 . Pengantar koran malam hari

Penulis: Eka Bakti
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-07 12:56:16

BAB 4

Pengantar koran malam hari

Selain sebagai penjudi rahasia, Rumi juga mempunyai pekerjaan lain sebagai pengantar koran malam hari. Sayangnya pekerjaan itu bukan pekerjaan rahasia, melainkan pekerjaan sehari-harinya.

Beberapa orang yang mengenal Rumi, sudah pasti mengenalnya sebagai seorang pengantar koran. Namun, tidak dengan preman-preman penjagal itu di bangunan tua bertingkat sembilan itu. Mereka mengenal Rumi sebagai pengantar koran yang pandai bertinju.

Lantai enam adalah tempat yang sering dikunjungi Rumi untuk bermain tinju dengan salah seorang preman yang kerap menjadi lawan mainnya.

“Waktu gue habis,” ucap Rumi menghentikan permainannya di babak kedua.

“Sangat disayangkan banget, padahal skor kita masih imbang, loh,” keluh Boni yang menjadi lawan main Rumi.

Rumi kemudian melepas sarung tinju dan mengambil botol mineral. Lalu meneguknya hingga habis. Setelahnya membalas uluran tangan Boni yang meminta high five.

“Lain kali kita akan bertarung lagi,” ucap Rumi dengan napas tersengal.

Boni mengangguk usai meneguk habis air mineralnya.

Rumi kemudian menepuk-nepuk pundak Boni. “Senang bisa ngelawan lo, Bon.”

“Gue tunggu pertarungan berikutnya besok, ya,” ucap Boni.

“Beres. Kita bisa atur jamnya lebih awal. Sekarang gue harus ngantar koran dulu.” Rumi mengangkat jempolnya ke arah Boni.

“Lo nggak capek apa tiap hari ngeronda mulu di jalanan?” tanya Boni geleng-geleng heran.

“Gue udah janji sama tukang korannya, Bon.” Rumi mengerling dan keluar dari ring untuk berlalu.

Tidak hanya ring tinju yang menjadi arena bermain preman-preman di sana. Di lantai empat ada tempat billiard dan di lantai lima ada sebuah bar. Selain sebagai penjagal, preman-preman di sana juga cukup pintar dalam membuka bisnis tempat hiburan. Tentu saja Rumi berandil besar di sana. Secara dia adalah pemilik dari bangunan itu. Hanya saja, namanya tersembunyi di balik preman-preman yang menjadi anak buahnya.

Beberapa preman yang berpapasan dengan Rumi, pasti selalu menyapa. Seperti yang terjadi saat ini, saat Rumi melangkah menuruni tangga dan melewati lantai demi lantai.

“Rum, main yuk!” sapa salah seorang mengangat tongkat billiard kea rah Rumi..

“Kalian main aja.” Rumi mengangkat tangan sebagai balasan.

Turun lagi ke lantai bawah, salah seorang tengah mabuk juga menyapa. “Rum, mau ke mana lo? Mampir sini, dong!”

Rumi hanya menyeringai. “Kalian aja yang main.”

Dengan kaos putih berbalut kemeja hijau toska dan topi hitam terbalik yang menjadi andalannya, Rumi bergegas mengayuh sepada yang sudah dipenuhi oleh gulungan-gulungan koran di jok belakang sepeda. Jarum jam di tangan kirinya sudah menunjuk pukul satu lebih lima belas menit dini hari. Pertanda, jika waktunya untuk mengantar koran.

Pengantar koran malam hari adalah pekerjaan yang sangat disukai oleh Rumi. Sebab dia dapat menikmati suasana kota yang menampakkan ketenangannya. Gedung-gedung tinggi di bawah langit hitam adalah pemandangan yang sangat dia sukai.

Gedung-gedung yang indah. Hanya saja sayang, banyak tikus yang menghuni di sana.

Sudah hampir satu tahun koran pemberitaan yang Rumi bawa selalu berisi tentang korupsi. Wajar saja, sebab orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang sangat gila judi. Berbagai macam cara akan dilakukannya demi sebuah perjudian. Bahkan jika sudah pernah merasakan kemenangannya, mereka akan semakin terjerembab lebih dalam karena naluri keserakahannya yang selalu ingin menang.

Ya sudahlah. Persetan dengan orang-orang seperti mereka.

Ban roda sepeda berhenti di sebuah bangunan perpustakaan tua. Pespustakaan bernama Lareta adalah pelanggan setia Rumi. Maklum, yang menghuni di sana adalah laki-laki tua yang tak tertarik dengan teknologi modern masa kini—smartphone. Jadi, hanya mengandalkan koran sebagai sumber informasi.

Rumi mengambil satu gulungan koran lalu memasukkannya ke dalam kotak surat yang berdiri di pagar depan bangunan tua berlantai tiga tersebut. Lagi-lagi wajah koruptor menghiasi koran pemberitaan dan sudah satu bulan ini terpampang di koran.

“Sudah jatuh tertimpah tangga, sudah kalah judi sekarang jadi hujatan rakyat. Makan itu uang negara,”

gumam Rumi menyeringai dingin menatap wajah koruptor yang cukup dikenalnya itu.

Tidak hanya bangunan tua, sebuah telepon umum tua berbilik merah juga ada di depan perpustakaan Lareta tersebut. Ketika semua orang di ibu kota sibuk untuk hidup modern, laki-laki bernama Opung yang menghubi di sana justru tetap bertahan dengan kehidupan sederhanannya—bangunan tua, telepon umum tua berbilik merah, diikuti juga dengan raganya yang sudah tua.

Telepon umum tua itu tak hanya berguna untuk menelpon saja, tetapi juga berguna sebagai tempat berteduh Rumi ketika hujan. Beruntungnya kali ini hujan tidak turun. Semoga saja tidak ada orang yang mencoba menyingkirkan telpon umum tersebut. Katanya, telepon umum tersebut mempunyai sejarah semasa bangunan tua itu ada.

Tampak laki-laki tua yang tinggal di perpustakaan tua itu tengah sibuk memperbaiki papan nama di halaman depan. Raganya yang sudah menua tampak sekali kesulitan saat mencoba memaku sudut-sudut papan nama.

Bagi Rumi, laki-laki itu hanyalah laki-laki tua yang kesepian sejak mendiang istrinya meninggal. Banyak orang yang membicarakannya karena menyembunyikan seorang perempuan selama bertahun-tahun di perpustakaan miliknya. Karena beragam pembicaraan itu, membuat perpustakaan tua tersebut semakin terkenal karena cerita tentang Putri Tidur yang bersembunyi di sana.

Hmm … tak jarang pula orang-orang kerap menganggap Opung sebagai laki-laki tua gila yang mengaku-ngaku mempunyai seorang anak perempuan. Sebab Opung dengan mendiang istrinya—Lareta tidak pernah dikaruniai seorang anak sejak mereka menikah tiga puluh tahun lamanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mas Ganteng   Bab 101. Kembalikan adik perempuan saya

    Sesampainya di rumah, Rumi langsung disambut ceria Gerta dan Ira yang sudah menantikan makanan yang dibawanya.“Akhirnya datang juga.” Ira langsung mengambil bingkisan itu di tangan Rumi. “Mis udah buatkan kamu kopi. Masuk, masuk,” ucapnya hangat menyambut kepulangan Rumi.Gerta langsung memeluk Rumi. “Lama banget sih kamu pulangnya?”Rumi tersenyum. “Antri beli waffle pesanan kamu.”“Makasih ya.” Gerta tersenyum manja.“Sama-sama.”“Yok, kita makan bareng-bareng sambil nonton TV. Ada acara bagus banget.” Gerta langsung merangkul lengan Rumi dan menggiringnya ke sofa.

  • Mas Ganteng   Bab 100. Gandara Barac

    Rumi tampak gelisah di sepanjang jalan pulang usai membeli dua wadah gelato pesanan Gerta dan Ira. Dia masih tak berhenti memikirkan, siapa dari orang-orang ibu kota yang berani mengusiknya lagi. Terlebih sampai memasang wajahnya ke khalayak umum dengan embel-embel seorang buronan.Berkali-kali Rumi mengembuskan napas sesal memandangi portal berita di ponselnya yang memang terang-terangan menampilkan wajah aslinya. Jika dulu dia bisa bersembunyi di balik sosok Mas Ganteng, kini sudah tidak bisa lagi.Jika benar orang-orang berengsek di ibu kota itu masih tersisa, bearti kejahatan itu juga masih belum selesai. Mau tidak mau pasti akan menyerat Rumi dan rekan-rekannya pada masalah baru.Sebuah panggilan dari Gerta masuk ke layar ponsel, membuat Rumi langsung mengangkatnya. “Iya,&rdquo

  • Mas Ganteng   Bab 99. Kejahatan yang masih belum selesai

    Setelah dipastikan Gerta hamil, dengan senang hati Rumi menawarkan diri mengurus urusan dapur dengan dibantu Ira. Menyiapkan makanan untuk istri yang sedang hamil memberikan rasa senang dan kepuasan dalam diri Rumi. Terlebih dia bisa memastikan makanan-makanan yang dikonsumsi istri dan anaknya adalah makanan yang sehat.“Itu tumis dulu bawang putihnya. Jangan dimasukkan dulu potongan sayurnya.” Ira hanya bersedekap di sebelah Rumi, tampak seperti seorang pemandu.Rumi mengikuti arahan Ira dengan gerakan pelan menumis bawang putih. “Udah belum ini?”“Belum. Belum juga semenit numisnya. Tunggu sampai bawang putihnya layu kecoklatan.”Gerta yang turun tangga dengan langkah pelan agar tak menimbulkan suara kemud

  • Mas Ganteng   Bab 98. Bulan ini udah datang bulan belum?

    Sepekan menikmati musim dingin di Kanada, kini Gerta telah kembali ke Wina yang masih berlangsung musim panas. Perempuan yang sejak pagi sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan itu tampak pucat, tak seperti biasanya. Sejak bangun tadi dia merasakan pening dan sempat muntah.“Gerta, kamu kenapa?” Ira datang menatap wajah pucat Gerta.Gerta menggeleng. “Nggak papa, Mis. Mungkin kecapekan aja setalah dari Kanada. Karena di sana lagi musim dingin.”“Rumi! Rumi!” panggil Ira.“Mis, aku nggak papa. Jangan bangunin dia, dia juga pasti kecapekan,” larang Gerta memelas.Ira mengembuskan napas berat. “Ya udah, kalau begitu biarkan Mis yang masak. Ka

  • Mas Ganteng   Bab 97. Couple dansa

    Sebuah kedai kopi tampak indah oleh bunga-bunga rustic di sepanjang pintu masuk yang membantang karpet merah. Di dalam ruangan dipenuhi orang-orang berpakaian formal yang sudah siap menyambut acara. Tampak beberapa barista di balik meja panjang menunjukkan kemampuannya berseni di dalam cangkir kopi. Membuat banyak pasang mata menatap penuh kagum.Ya, pembukaan kedai kopi milik Dego digelar bersamaan dengan pesta pernikahannya. Beberapa rekan seprofesi yang datang ada yang sekalian menjaring kerja sama. Tidak ketinggalan juga Boni dan Kris yang lagi-lagi tampak gagah dengan setelan jas mahal.“Ini adalah kali kedua gue bisa memakai jas mahal ini di acara pernikahan.” Kris membenarkan letak dasinya.

  • Mas Ganteng   Bab 96. Buat simulasi kalian juga sebelum punya anak

    Satu bulan kemudian Rumi menepati janjinya untuk berkunjung ke Kanada mengunjungi keponakannya. Kedatangannya bersama Gerta disambut begitu hangat oleh Vania, terlebih Kian yang sudah lama menantikan kedatangan omnya.“Om Rumi!” seru Kian yang langsung berlari memeluk Rumi.“Halo, Kian. Apa kabar kamu?” Rumi balas memeluk keponakannya itu.“Baik, dong. Om Rumi janji akan nginap di sini ‘kan?” tanya Kian yang langsung menagih lagi janjinya.Rumi mengangguk. “Iya.”“Berapa lama?” Kedua mata Kian berbinar senang.Rumi tampak berpikir. “Mmm … seminggu?”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status