Share

Bab 2

"Rasanya terlalu cepat jika kita harus berpisah denganmu malam ini," jawab Amar.

"Apa?" respon Ameli dengan mata melotot.

Amar memberhentikan mobilnya di suatu tempat seperti bukit dengan pemandangan banyak lampu layaknya sinar bintang. Amar membuka pintu terlebih dahulu dan duduk di atas kap mobil. Pria tampan dan terlihat cool itu menyalakan rokok yang dia ambil dari dalam saku jasnya. 

"Memangnya apa yang dia inginkan?" Ameli terus menggerutu di dalam hati.

Ameli menyusul Amar dan duduk di sampingnya. 

"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Ameli.

"Karena ada sesuatu hal yang ingin aku katakan kepadamu," jawab Amar.

"Apa itu?" Ameli kembali bertanya.

Amar seketika memadamkan rokoknya dan menatap wajah Ameli.

"Besok ada pertandingan basket di perusahaan, tolong temani aku!" ucap Amar.

"Apa? Menemani bermain basket?" tanya Ameli.

***

Besoknya, Ameli menemani Amar bertanding basket sebagaimana Amar inginkan. Dari situlah keakraban diantara mereka mulai terbentuk. Amar mulai melibatkan Ameli hampir di setiap hobi dan aktivitasnya sehingga muncul rasa kecocokan dan kenyamanan satu sama lain.

Pada sebuah kesempatan, Amar mengajak Ameli makan malam di sebuah restoran mewah.

"Kamu sangat cantik sekali malam ini," puji Amar.

"Makasih," jawab Ameli sambil tersenyum malu.

Tidak berselang lama, Amar mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dan diperlihatkan kepada Ameli.

"Ameli, maukah kamu menikah denganku?" ajak Amar sambil membuka kotak itu yang berisi cincin.

Ameli terkejut sekaligus merasa senang. Tidak membutuhkan waktu lama, seketika itu juga Ameli menerimanya lamaran Amar.

Kemudian, Amar mengajak Ameli ke sebuah hotel bintang lima yang berada tak jauh dari restoran. 

"Ameli, aku tidak bisa menahan malam ini. Aku ingin melakukannya," ucap Amar yang kemudian mendorong pelan tubuh Ameli ke atas ranjang.

Karena yakin bahwa Amar akan menikahinya, maka Ameli dengan senang hati melakukan apa yang Amar ingin lakukan.

"Lakukan saja, sayang! Dengan senang hati aku akan melayanimu malam ini," jawab Ameli.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Ameli membuat pikiran Amar semakin tidak bisa terkendali. Dia melepas satu per satu baju Ameli dan menggulatnya dengan buas.

Desahan yang keluar dari mulut Ameli membuat Amar semakin tidak bisa mengontrol diri.

***

Kabar jika Amar dan Ameli sudah saling mencintai terdengar di telinga orangtua mereka masing-masing. Hal itu membuat mereka sangat senang karena perjodohan yang dilakukan oleh orangtua Amar dan orangtua Ameli bisa dikatakan berhasil. 

Tidak berselang lama, mereka kembali mengadakan pertemuan untuk membahas rencana pernikahan.

Amar menatap wajah Ameli dengan tatapan bahagia, begitu juga Ameli. Dia membayangkan sentuhan Amar yang sangat buas sehingga membuatnya hampir kewalahan.

Setelah diperhitungkan, maka pernikahan akan diadakan dua bulan lagi.

"Apa tidak bisa lebih cepat?" tanya Amar yang secara tiba-tiba menyela perbincangan kedua orangtuanya.

"Sayang? Apa yang kamu katakan? Ini sudah sangat cepat!" jawab Bu Mila.

"Hahaa, sepertinya anak-anak kami sudah tidak sabar untuk..., ehm!" sahut Pak Danang.

Orangtua Amar dan orangtua Ameli tidak bisa menahan tawa mendengar permintaan Amar yang mereka anggap sangat lucu. Padahal, Amar meminta tanggal pernikahan dipercepat bukan tanpa alasan.

***

"Apa? Kenapa bisa terjadi?" teriak Pak Danang di dalam teleponnya.

"Ada apa, Pa?" sahut Bu Mila yang datang menghampiri.

"Ada yang bermain uang di perusahaan papa," jawab Pak Danang.

Permainan uang yang dilakukan oleh bawahannya itu membuat Pak Danang tertuduh melakukan pencucian uang sehingga mengakibat dia terancam dipenjara.

"Apa? Tidak mungkin!" jawab Bu Mila dengan mata berkaca-kaca dan menutup mulutnya.

Tidak berselang lama, ada beberapa orang datang dari kepolisian. Tujuan mereka adalah menjemput paksa Pak Danang untuk dibawa ke kantor polisi dan dipenjarakan.

"Jangan!" Teriak Bu Mila sambil menangis histeris dan menarik lengan suaminya dengan sekuat tenaga.

Mendengar keributan di lantai bawah, Ameli bergegas untuk turun.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Teriak Ameli sambil berlari menghampiri kedua orangtuanya.

"Maaf, Nyonya. Kami dari kepolisian harus menjemput paksa Pak Danang karena telah melakukan pencucian uang yang dia ambil dari investor lain," ucap salah satu polisi tersebut.

"Apa? Tidak mungkin!" jawab Ameli dengan mulut bergetar.

Memang, selain hendak menjalin kerjasama dengan perusahaan Pak Hadi, perusahaan Pak Danang juga telah banyak menjalin kerjasama dengan perusahaan lain. Tapi kali ini, dia kerjasama dengan orang yang salah. Ada orang luar yang ikut campur di dalam perusahaannya sehingga memutarkan uang itu seakan-akan telah dipakai Pak Danang untuk kepentingan pribadi.

"Ini surat perintah penangkapan," ucap salah satu polisi dengan menunjukkan selembar kertas.

Ameli menerima kerja itu dengan cara tidak sopan. Dia membaca dengan cepat dengan tangan bergetar.

"Tidak mungkin Papa melakukan ini! Tidak mungkin!" teriak Ameli.

"Maaf, Nyonya! Kami bertindak berdasarkan surat itu sehingga keputusan ini tidak dapat diganggu gugat," jawab polisi tersebut.

Ameli dan Bu Mila berusaha menarik lengan Pak Danang dan berusaha menyingkirkan tangan beberapa polisi itu namun usahanya mereka sia-sia.

"Papa? Jangan tinggalin Ameli dan Mama!" Lagi-lagi Ameli berteriak sekencang-kencangnya.

"Ameli?" panggil Bu Mila.

Ketika Ameli membalikkan badan, dia melihat Mamanya sedang duduk dengan memegang kepalanya. Tubuh Bu Mila terlihat lemas.

"Mama? Mama kenapa?" panggil Ameli.

Dengan sekuat tenaga, Ameli membawa mamanya ke rumah sakit. Setelah sampai di rumah sakit, mamanya harus mendapatkan perawatan yang intens karena terkena stroke.

Karena penyakit stroke yang diderita oleh Bu Mila membuat perusahaan yang dimilikinya saat itu tidak terkendali sehingga mengalami penurunan pendapatan, bahkan terancam bangkrut.

Di saat yang bersamaan, Ameli merasakan ada yang tidak nyaman di dalam perutnya. 

"Hooeekk!" Ameli bergegas pergi ke kamar mandi.

Tubuh Ameli seketika terasa lemas.

"Apa yang terjadi denganku?" tanyanya dalam hati.

Ketika Ameli hendak kembali untuk menemani mamanya, rasa mual kembali terjadi sehingga dirinya muntah beberapa kali.

"Apa jangan-jangan, aku?" imbuhnya.

Dengan sekuat tenaga yang dia miliki, dia berjalan ke apotek untuk membeli testpack. Setelah dia menggunakan testpack tersebut, terlihat dua garis berwarna merah terlihat dengan sangat jelas.

"Aku hamil?" ucapnya terkejut.

Ameli kembali berjalan ke bangsal, namun karena kondisi mamanya yang masih tak sadarkan diri membuat Ameli tidak mungkin untuk mengatakan kehamilannya.

Beberapa hari berada di rumah sakit dan papanya di penjara, membuat kehidupan keluarga Ameli berubah seratus delapan puluh derajat. Kini, keluar Ameli mengalami kebangkrutan hingga rumah mewah yang kini dia tempati bersama kedua orangtuanya harus rela disita dan mengakibatkan Ameli tidak mempunyai tempat tinggal.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Ameli di dalam hati dengan pikiran perang.

"Amar? Aku harus memberi tahu dia!" imbuhnya.

Seketika itu Ameli pergi ke rumah Amar untuk menceritakan apa yang telah dialami oleh dirinya dan juga keluarganya.

Ternyata, kabar kebangkrutan yang dialami oleh kedua orangtuanya Ameli telah terdengar di telinga orangtuanya Amar.

"Itu bukan anakku, Ma!" bantah Amar secara tegas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status