Share

Bertahan Semalam

"Mit, aku mohon jangan sampai kamu kasih tau ibu aku," pinta Widia setengah memohon karena jika ibunya tahu, ia takut malah akan menjadi beban pikiran baginya.

"Kamu ini, kayak ke orang asing aja. Ya jelas lah aku gak bakalan kasih tau ibu. Itu sama aja artinya aku bikin sakit ibu kamu!" Kedua bola mata Mita mendelik kesal.

"Iya, makasih ya, Mit." Kini perasaan Widia mulai bercampur aduk. Antara takut, khawatir, dan juga sedih. Jika Widia memang benar-benar akan memilih jalur hukum, maka ia juga harus benar-benar siap dengan konsekunsinya.

"Ya Allah, aku berpegang teguh kepadamu. Jauhkan aku dari orang-orang jahat," desis Widia dengan suara pelan.

Mita beranjak dan menerawang ke jalanan tandus nan berdebu. Di ujung pandangannya ia melihat wanita sepuh yang berjalan pelan membawa beban berat di punggungnya berupa seikat kayu bakar.

"Nah, itu ibu kamu, Wid." Mita setengah berlari menghampiri Siti-Ibu Kandung Widia--dari jarak 150 meter.

Perlahan Mita bersama ibunya Widia semakin mendekat. Sementara, Widia masih duduk dengan sejuta perasaan. Sungguh, Widia tak tega melihat wanita sepuh yang telah melahirkannya. Lambat laun, ibunya akan tahu perihal badai yang tengah melanda rumah tangga putri satu-satunya itu.

"Bu," sapa Widia tanpa menatap wajah lelah ibunda.

"Nak, kamu sendiri ke sini? Danu mana?"

Dalam benak Widia bergumam, kenapa ibunya tahu tentang kepulangan Danu? Widia juga beeprasangka mungkin ibunya tahu dari warga kampung yang iseng memberi kabar kepulangan Danu.

"Eum, Mas Danu lagi istirhat."

"Tapi, kamu bilang dulu 'kan kalau kamu mau ke sini?"

Lagi-lagi, Siti bertanya hal yang membuat Widia gugup. Seperti firasat atau sebuah feeling, Siti menanyai putrinya dengan pertanyaan yang membuat jawaban Widia terbata.

"I-iya, tadi aku bilang dulu, kok."

"Ya sudah kalau begitu. Masuk lah, kalian pasti nungguin lama 'kan?"

"Enggak, kok, Bu. Baru saja, iya kan, Wid?" Mita seolah mengukuhkan jiwa Widia yang tengah galau itu.

Mereka bertiga pun masuk ke rumah permanen milik Siti. Rumah sederhana yang selalu bersih dan apik. Harum semerbak pewangi tradisional dari bunga melati segar yang tertanam rapi di belakang rumah membuat aroma khas di rumah itu.

Siti duduk berselonjor di lantai membuang lelah sambil meminum air teh hangat. Sementara, Mita duduk di samping ibunya Widia.

"Sekarang lagi nanem apa, Bu?" tanya Mita kepada wanita sepuh yang tengah menyeruput air teh hangat itu. Kedua netra Mita memang fokus ke wajah Bu Siti. Sementara, tangannya seketika memberi kode kepada sahabatnya untuk cepat mengamankan barang bukti. Setelah menerima kode, Widia langsung menuju ruangan dapur mencari lemari es dan berniat memasukan segumpal daging yang sudah dibungkus plastik dengan begitu rekat.

Setelah Siti menjawab pertanyaan Mita, lalu asik mengobrol ke sana ke mari akhirnya Siti teringat sesuatu yang memaksanya beranjak dan meninggalkan Mita sendirian.

"Aduh, ibu lupa belum menghidupkan listrik lemari es. Sebentar ya, Mit." Siti beranjak, sementara Mita malah diam terpaku karena ia takut membuat ibunda sahabatnya itu sampai menaruh curiga.

Widia yang mengetahui langkah ibunya semakin dekat. Tentu saja membuatnya tegang sehingga tangannya mengalami tremor. Tanpa sengaja beberapa cash yang berisi telur berjejer tersenggol sikutnya. Ada tiga telur mentah yang jatuh membasahi lantai dapur. Sementara gumpalan daging itu masih ada di genggaman Widia.

"Astagfirullah, Wid. Lagi apa kamu di sana?"

"Eum, itu, Bu. Tadi aku lihat kecoa masuk ke sela-sela lemari es dan aku lagi nyari ini."

"Gak mungkin di rumah ibu ada kecoa, Wid." Siti begitu yakin karena selama ini ia tak pernah melihat serangga itu di rumahnya, saking bersihnya.

"Ya udah, Bu. Nanti telurnya Widia ganti sama beresin. Ibu istirahat saja."

"Jangan dibiasakan teledor begitu tangan kamu, Wid. Kan jadi bikin mubazir makanan. Beresin lagi yang rapi kayak sebelumnya, ya! Tolong juga colokin kabel lemari es nya."

Widia mengangguk dan segera mengelap cairan telur yang kini telah mengotori lantai di ruangan dapur ibunya.

Widia berpikir apakah mungkin barang bukti ini tidak akan ditemukan oleh ibu yang super apik seperti beliau? Sungguh pikiran Widia kini dilanda dilema. Tiba-tiba, Mita datang menghampiri Widia.

"Kenapa sih?" Mita menyamakan posisi jongkok di sebelah Widia.

"Aku tremor," jawab Widia pelan.

"Ibu apik banget. Kayaknya, barang bukti ini tidak akan aman jika disimpan di sini," sambung Widia.

"Ya udah, di rumah aku aja, gimana? Kamu percaya nggak sama aku?"

"Percaya, sih. Tapi ...."

"Ya udah, nggak usah maksain juga kalau kamu gak mau nitip barang itu ke aku. Lagian, jijik ah." Mita mendelik lagi.

Keduanya terdiam sesaat. Widia dapat merasakan kekecewaan Mita karena dia sempat menolak tawaran dan niat baiknya. Namun, barang ini sangat penting untuk Widia. Rasanya, ia akan lebih tidak tenang jika ia titipkan kepada sahabatnya itu. Bagi Widia, ketersediaan Mita menampung keluh kesah dan permasalahan rumah tangganya saja itu sudah lebih dari cukup.

"Udah bersih, ini," ucap Widia. Dirinya melirik sekilas ke arah raut wajah Mita yang masih saja cemberut.

"Mit, jangan marah dong."

"Enggak, ya udah yuk. Aku langsung pulang, ya. Pokoknya, lakuin seperti yang aku sarankan sama kamu."

"Loh, kok, pulang sih?"

"Tugas aku udah selesai. Good luck, Wid," ucap Mita sambil mengibas bagian celana levisnya yang sempat terkena air lap pel. Setelah itu, ia bergegas pamit kepada Siti.

Kini, tinggal Widia harus menghadapi wanita sepuh yang biasanya akan melontarkan beberapa pertanyaan kepada putrinya. Padahal Widia sering sekali mengunjungi ibunya, tapi Siti selalu memberondong putrinya dengan pertanyaan seperti sudah lama tak bersua.

***

"Bawa apa saja suamimu kali ini, Wid?" tanya Siti sambil mengangkat sedikit kacamatanya seusai mengkaji ayat Al-quran setelah shalat dzuhur.

"Kali ini dia bawa daging, Bu. Tapi, karena dagingnya mungkin kelamaan di perjalanan, jadi sedikit bau. Maaf, aku gak bawain daging itu untuk Ibu." Sebisa mungkin, se-related mungkin Widia berusaha mengarang jawaban yang tak jauh-jauh dari kenyataan.

"Oh, gak papa. Toh, ibu juga lagi gak makan daging. Bawaannya kalau nyantap daging, tensi darah ibu bisa semakin meningkat," sahut Siti sambil melanjutkan membaca kitab suci.

Widia mencari cara bagaimana supaya daging itu bisa di simpan di rumah ibunya. Ia terus memutar otak supaya menemukan ide yang tepat.

"Bu, aku titip ini, ya."

"Apa itu?"

Sengaja Widia berbicara dari posisi sedikit berjarak supaya ibunya tidak memperhatikan dengan jelas benda apa yang dititipkannya itu.

"Ini, semacam obat herbal, Bu. Entah apa isinya, besok aku ambil lagi."

"Jangan lama-lama nitipnya, ibu gak suka kalau ada barang asing di rumah ini."

"Semalam aja, kok. Oh ya, jangan dibuka ya, soalnya ini pakai plastik perekat yang kalau dalemnya kena angin, bisa luntur khasiatnya."

"Iya, iya! Bawel kamu, udah sana kasian suami kamu nungguin," ucap Siti sambil mengulurkan punggung telapak tangan. Widia menciumnya, kemudian ia benar-benar pamit.

***

Perasaan lega hanya berkisar selama beberapa menit saja. Barang bukti itu sudah berhasil diamankan. Kini, ia harus pulang. Danu sudah berkali-kali menghubunginya via ponsel genggam.

Sekitar pukul 17.00 WIB saat mentari mulai meninggalkan peraduannya. Setelah menjadi penumpang angkutan umum, Widia sudah sampai di gapura perkampungan alamat rumahnya. Ia berjalan sekitar 500 meter dari jalan aspal ke alamat rumahnya di perkampungan.

Widia menyusuri jalanan yang sudah hampir sunyi karena di jam-jam menjelang maghrib itu biasanya penduduk kampung ini sudah sibuk di rumahnya masing-masing. Perempuan itu berjalan dengan perasaan was-was. Ada perasaan khawatir juga takut jika warga kampung menghadangnya karena mereka sadar dengan daging yang tak lazim dimakan itu.

Widia melirik kanan dan kiri. Dengan berjalan tergesa, akhirnya ia sampai di mulut pintu rumahnya. Tiba-tiba, hati dan pikirannya disergapi ketakutan tentang apa yang akan dilakukan oleh Danu kepadanya. Selain, telat pulang setelah di-misscall sebanyak 11 kali panggilan yang tidak satu pun Widia jawab. Perempuan yang mengikat rambut ikalnya itu diam-diam sudah berencana untuk melapor polisi. Ngeri-ngeri sedap diingatan, tatkala Widia harus bertahan semalam tinggal bersama pria yang ia anggap sebagai orang mencurigakan.

Widia mengetuk pintu dengan ragu. Hanya tiga kali ketukan saja, pintu itu dibuka tergesa oleh Danu. Tampak di genggaman pria itu sebuah pisau tajam berada tepat di depan mata kepala Widia.

"Masuk!" ucap Danu dengan tatapan menghunus tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status