Share

Bertahan Semalam

Author: AishaPena
last update Last Updated: 2023-09-11 11:34:11

"Mit, aku mohon jangan sampai kamu kasih tau ibu aku," pinta Widia setengah memohon karena jika ibunya tahu, ia takut malah akan menjadi beban pikiran baginya.

"Kamu ini, kayak ke orang asing aja. Ya jelas lah aku gak bakalan kasih tau ibu. Itu sama aja artinya aku bikin sakit ibu kamu!" Kedua bola mata Mita mendelik kesal.

"Iya, makasih ya, Mit." Kini perasaan Widia mulai bercampur aduk. Antara takut, khawatir, dan juga sedih. Jika Widia memang benar-benar akan memilih jalur hukum, maka ia juga harus benar-benar siap dengan konsekunsinya.

"Ya Allah, aku berpegang teguh kepadamu. Jauhkan aku dari orang-orang jahat," desis Widia dengan suara pelan.

Mita beranjak dan menerawang ke jalanan tandus nan berdebu. Di ujung pandangannya ia melihat wanita sepuh yang berjalan pelan membawa beban berat di punggungnya berupa seikat kayu bakar.

"Nah, itu ibu kamu, Wid." Mita setengah berlari menghampiri Siti-Ibu Kandung Widia--dari jarak 150 meter.

Perlahan Mita bersama ibunya Widia semakin mendekat. Sementara, Widia masih duduk dengan sejuta perasaan. Sungguh, Widia tak tega melihat wanita sepuh yang telah melahirkannya. Lambat laun, ibunya akan tahu perihal badai yang tengah melanda rumah tangga putri satu-satunya itu.

"Bu," sapa Widia tanpa menatap wajah lelah ibunda.

"Nak, kamu sendiri ke sini? Danu mana?"

Dalam benak Widia bergumam, kenapa ibunya tahu tentang kepulangan Danu? Widia juga beeprasangka mungkin ibunya tahu dari warga kampung yang iseng memberi kabar kepulangan Danu.

"Eum, Mas Danu lagi istirhat."

"Tapi, kamu bilang dulu 'kan kalau kamu mau ke sini?"

Lagi-lagi, Siti bertanya hal yang membuat Widia gugup. Seperti firasat atau sebuah feeling, Siti menanyai putrinya dengan pertanyaan yang membuat jawaban Widia terbata.

"I-iya, tadi aku bilang dulu, kok."

"Ya sudah kalau begitu. Masuk lah, kalian pasti nungguin lama 'kan?"

"Enggak, kok, Bu. Baru saja, iya kan, Wid?" Mita seolah mengukuhkan jiwa Widia yang tengah galau itu.

Mereka bertiga pun masuk ke rumah permanen milik Siti. Rumah sederhana yang selalu bersih dan apik. Harum semerbak pewangi tradisional dari bunga melati segar yang tertanam rapi di belakang rumah membuat aroma khas di rumah itu.

Siti duduk berselonjor di lantai membuang lelah sambil meminum air teh hangat. Sementara, Mita duduk di samping ibunya Widia.

"Sekarang lagi nanem apa, Bu?" tanya Mita kepada wanita sepuh yang tengah menyeruput air teh hangat itu. Kedua netra Mita memang fokus ke wajah Bu Siti. Sementara, tangannya seketika memberi kode kepada sahabatnya untuk cepat mengamankan barang bukti. Setelah menerima kode, Widia langsung menuju ruangan dapur mencari lemari es dan berniat memasukan segumpal daging yang sudah dibungkus plastik dengan begitu rekat.

Setelah Siti menjawab pertanyaan Mita, lalu asik mengobrol ke sana ke mari akhirnya Siti teringat sesuatu yang memaksanya beranjak dan meninggalkan Mita sendirian.

"Aduh, ibu lupa belum menghidupkan listrik lemari es. Sebentar ya, Mit." Siti beranjak, sementara Mita malah diam terpaku karena ia takut membuat ibunda sahabatnya itu sampai menaruh curiga.

Widia yang mengetahui langkah ibunya semakin dekat. Tentu saja membuatnya tegang sehingga tangannya mengalami tremor. Tanpa sengaja beberapa cash yang berisi telur berjejer tersenggol sikutnya. Ada tiga telur mentah yang jatuh membasahi lantai dapur. Sementara gumpalan daging itu masih ada di genggaman Widia.

"Astagfirullah, Wid. Lagi apa kamu di sana?"

"Eum, itu, Bu. Tadi aku lihat kecoa masuk ke sela-sela lemari es dan aku lagi nyari ini."

"Gak mungkin di rumah ibu ada kecoa, Wid." Siti begitu yakin karena selama ini ia tak pernah melihat serangga itu di rumahnya, saking bersihnya.

"Ya udah, Bu. Nanti telurnya Widia ganti sama beresin. Ibu istirahat saja."

"Jangan dibiasakan teledor begitu tangan kamu, Wid. Kan jadi bikin mubazir makanan. Beresin lagi yang rapi kayak sebelumnya, ya! Tolong juga colokin kabel lemari es nya."

Widia mengangguk dan segera mengelap cairan telur yang kini telah mengotori lantai di ruangan dapur ibunya.

Widia berpikir apakah mungkin barang bukti ini tidak akan ditemukan oleh ibu yang super apik seperti beliau? Sungguh pikiran Widia kini dilanda dilema. Tiba-tiba, Mita datang menghampiri Widia.

"Kenapa sih?" Mita menyamakan posisi jongkok di sebelah Widia.

"Aku tremor," jawab Widia pelan.

"Ibu apik banget. Kayaknya, barang bukti ini tidak akan aman jika disimpan di sini," sambung Widia.

"Ya udah, di rumah aku aja, gimana? Kamu percaya nggak sama aku?"

"Percaya, sih. Tapi ...."

"Ya udah, nggak usah maksain juga kalau kamu gak mau nitip barang itu ke aku. Lagian, jijik ah." Mita mendelik lagi.

Keduanya terdiam sesaat. Widia dapat merasakan kekecewaan Mita karena dia sempat menolak tawaran dan niat baiknya. Namun, barang ini sangat penting untuk Widia. Rasanya, ia akan lebih tidak tenang jika ia titipkan kepada sahabatnya itu. Bagi Widia, ketersediaan Mita menampung keluh kesah dan permasalahan rumah tangganya saja itu sudah lebih dari cukup.

"Udah bersih, ini," ucap Widia. Dirinya melirik sekilas ke arah raut wajah Mita yang masih saja cemberut.

"Mit, jangan marah dong."

"Enggak, ya udah yuk. Aku langsung pulang, ya. Pokoknya, lakuin seperti yang aku sarankan sama kamu."

"Loh, kok, pulang sih?"

"Tugas aku udah selesai. Good luck, Wid," ucap Mita sambil mengibas bagian celana levisnya yang sempat terkena air lap pel. Setelah itu, ia bergegas pamit kepada Siti.

Kini, tinggal Widia harus menghadapi wanita sepuh yang biasanya akan melontarkan beberapa pertanyaan kepada putrinya. Padahal Widia sering sekali mengunjungi ibunya, tapi Siti selalu memberondong putrinya dengan pertanyaan seperti sudah lama tak bersua.

***

"Bawa apa saja suamimu kali ini, Wid?" tanya Siti sambil mengangkat sedikit kacamatanya seusai mengkaji ayat Al-quran setelah shalat dzuhur.

"Kali ini dia bawa daging, Bu. Tapi, karena dagingnya mungkin kelamaan di perjalanan, jadi sedikit bau. Maaf, aku gak bawain daging itu untuk Ibu." Sebisa mungkin, se-related mungkin Widia berusaha mengarang jawaban yang tak jauh-jauh dari kenyataan.

"Oh, gak papa. Toh, ibu juga lagi gak makan daging. Bawaannya kalau nyantap daging, tensi darah ibu bisa semakin meningkat," sahut Siti sambil melanjutkan membaca kitab suci.

Widia mencari cara bagaimana supaya daging itu bisa di simpan di rumah ibunya. Ia terus memutar otak supaya menemukan ide yang tepat.

"Bu, aku titip ini, ya."

"Apa itu?"

Sengaja Widia berbicara dari posisi sedikit berjarak supaya ibunya tidak memperhatikan dengan jelas benda apa yang dititipkannya itu.

"Ini, semacam obat herbal, Bu. Entah apa isinya, besok aku ambil lagi."

"Jangan lama-lama nitipnya, ibu gak suka kalau ada barang asing di rumah ini."

"Semalam aja, kok. Oh ya, jangan dibuka ya, soalnya ini pakai plastik perekat yang kalau dalemnya kena angin, bisa luntur khasiatnya."

"Iya, iya! Bawel kamu, udah sana kasian suami kamu nungguin," ucap Siti sambil mengulurkan punggung telapak tangan. Widia menciumnya, kemudian ia benar-benar pamit.

***

Perasaan lega hanya berkisar selama beberapa menit saja. Barang bukti itu sudah berhasil diamankan. Kini, ia harus pulang. Danu sudah berkali-kali menghubunginya via ponsel genggam.

Sekitar pukul 17.00 WIB saat mentari mulai meninggalkan peraduannya. Setelah menjadi penumpang angkutan umum, Widia sudah sampai di gapura perkampungan alamat rumahnya. Ia berjalan sekitar 500 meter dari jalan aspal ke alamat rumahnya di perkampungan.

Widia menyusuri jalanan yang sudah hampir sunyi karena di jam-jam menjelang maghrib itu biasanya penduduk kampung ini sudah sibuk di rumahnya masing-masing. Perempuan itu berjalan dengan perasaan was-was. Ada perasaan khawatir juga takut jika warga kampung menghadangnya karena mereka sadar dengan daging yang tak lazim dimakan itu.

Widia melirik kanan dan kiri. Dengan berjalan tergesa, akhirnya ia sampai di mulut pintu rumahnya. Tiba-tiba, hati dan pikirannya disergapi ketakutan tentang apa yang akan dilakukan oleh Danu kepadanya. Selain, telat pulang setelah di-misscall sebanyak 11 kali panggilan yang tidak satu pun Widia jawab. Perempuan yang mengikat rambut ikalnya itu diam-diam sudah berencana untuk melapor polisi. Ngeri-ngeri sedap diingatan, tatkala Widia harus bertahan semalam tinggal bersama pria yang ia anggap sebagai orang mencurigakan.

Widia mengetuk pintu dengan ragu. Hanya tiga kali ketukan saja, pintu itu dibuka tergesa oleh Danu. Tampak di genggaman pria itu sebuah pisau tajam berada tepat di depan mata kepala Widia.

"Masuk!" ucap Danu dengan tatapan menghunus tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Masak Daging Misterius   Kehadiran Buah Hati

    "Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan

  • Masak Daging Misterius   Bersama Lagi

    "Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia

  • Masak Daging Misterius   Akankah Mereka Bersama lagi?

    "Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu

  • Masak Daging Misterius   Semua Telah Berakhir

    "Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b

  • Masak Daging Misterius   Ternyata kamu

    Di tengah kesibukan seorang petani yang tak pernah rehat, Widia memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari kesibukan. Mereka berdua, duduk berdampingan di atas motor tua berwarna hitam milik Danu, bersiap untuk memulai perjalanan mereka."Apa harimu menjadi lebih baik?" "Sedikit," jawab Widia santai berusaha melalui hari ini dengan tenang meski akan terasa sangat diluar eksptasi. Widia, seorang gadis berjiwa bebas dengan rambut panjangnya yang berombak, duduk di belakang Danu. Matanya yang cemerlang menatap jauh ke depan, seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Danu, pemuda yang tenang namun penuh semangat, memegang setir dengan erat, siap untuk membawa mereka berdua ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.Mereka berdua memulai perjalanan mereka di tengah malam, saat bintang-bintang di langit mulai berkelip, seolah-olah mereka sedang menunjukkan jalan bagi Widia dan Danu. Suara mesin motor yang berdengung seirama dengan det

  • Masak Daging Misterius   Membujuknya

    "Jadi lu punya rencana apa?" tanya Danu yang sudah sangat tidak sabar ingin mengetahui rencana Mita. "Ntar, gua harus tau dulu apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini?" Mita mencoba mengumpulkan Informasi terlebih dahulu dari pria di hadapannya. "Sekarang dia tinggal di rumah Bu Siti sendirian. Ia juga sering datang ke ladang ibunya untuk melanjutkan usaha tani ibunya yang sudah meninggal." "Oke, gua catat apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini. Tapi, gimana hubungan lu sama dia sekarang?" tanya Mita mendikte."Buruk, Mit. Sangan buruk." Memang seperti itu adanya. Danu tidak sedang berbohong hari ini. "Oke. Berarti lu bisa gua perintah dengan baik. Sebaiknya kita pancing dia dalam urusan pertanian seputar pekerjaannya sekarang. Misal dia lagi ada keperluan ke pasar. Lu tabrak aja dia!" "Maksud lu?" "Atau, kita bakar saja tanamannya di ladang. Gimana?" tanya Mita penasaran dengan jawaban Danu. "Apa ini tidak terlalu sadis?" "Heh, dodol! Dimana ada penjahat memikirkan sadis a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status