Share

Barang Asing di Tas Danu

"Bang ...." Tatapan ragu disertai takut menghiasi wajah Widia.

"Apa? Ayok, masuk!" Wajah menantang suaminya membuat Widia semakin enggan untuk mengikuti ajakannya.

"Tolong jauhkan dulu pisau itu, Bang," pinta Widia seraya memberanikan diri berbicara tegas tanpa segan. Sesaat Danu terdiam sambil melihat gelagat istrinya.

"Memangnya kenapa? Aku tidak akan menyakitimu dengan ini." Danu mengangkat pisau di tangannya lalu beralih menatap Widia yang masih saja gentar. Ia berseringai sedikit menertawakan mental ciut wanita di hadapannya.

"Ayok!" Danu mempertegas lagi. Akhirnya, Widia melangkah perlahan dengan mendahulukan kaki kanan. Sementara di dalam hatinya sibuk berdoa supaya dilindungi dari segala macam ketakutan dan marabahaya.

"Gimana kabar ibumu?" tanya Danu seraya duduk di kursi meja makan. Ternyata pisau itu ia gunakan untuk mengupas buah mangga. Meski begitu, tetap saja hati wanita itu belum jua tenang selama pisau tajam itu masih dipegangi suaminya. Sudut matanya pun berulang kali melirik pisau itu. Ia tetap berjaga-jaga.

"Baik," jawab Widia singkat, Perempuan itu cukup lega karena Danu bersikap sedikit tenang, bahkan sempat menanyakan kabar mertuanya. Kali ini Widia bersikap agak dingin mengingat perlakuan kasar Danu yang sempat membuatnya trauma berdekatan dengan pria itu. Dikarenakan suasana menjadi begitu dingin. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulut keduanya. Widia pun masuk ke dalam kamar. Ia duduk di tepi ranjang. Perasaannya sungguh berkecamuk. Dia bingung harus bersikap bagaimana kepada suaminya. Sementara prasangka buruk tentang pisau saja, Widia keliru.

Posisi duduk Widia membelakangi pintu masuk. Ia tak sadar jika suaminya masuk dan tiba-tiba mendekatinya. "Aku minta maaf, apa masih sakit?" Perlahan Danu mengusap bahu istrinya yang sempat ia hentakan ke dinding karena amarah. Berlanjut dengan kecupan yang mendarat di puncak kepala. Lalu, membuka ikat rambut Widia sehingga terurai dan bervolume.

"Rambutmu selalu cantik, istriku ...." Danu menciumi rambut istrinya.

Widia menjadi kaku, ia tak melakukan pergerakan sama sekali. Sementara jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Bukan karena belaian suaminya, tetapi karena ia begitu ketakutan sehingga Danu pun menyadari kebekuan itu.

"Kau tampak ketakutan?"

Widia lebih memilih aman dengan menggelengkan kepala secara pelan.

"Bukankah kau tau, aku ini sangat mencintaimu. Tak mungkin aku menyakiti wanita cantik sepertimu. Hh ... sudah lama sekali kita tidak saling meluapkan kerinduan." Danu mulai meminta istrinya menghadap, selanjutnya membelai pipi dan hampir mencium Widia. Namun, ....

"Eum, maaf, Bang. Aku sedang berhalangan." Widia beranjak dari sisi Danu. Menghentikan sentuhan demi sentuhan yang dilakukan suaminya. Danu kesal dan memalingkan wajah. "Jangan bohong! Sepertinya kau masih marah padaku, atau kau tak mau melayaniku lagi?" Sorot mata pria itu menghunus tajam.

"Bu-bukan begitu, Bang!" Widia menjadi gugup dengan ekspresi wajah suaminya.

"Kalau benar kau sedang berhalangan, perlihatkan padaku noda sialan itu!" pinta Danu tak percaya.

"Baik, Bang. Tapi, aku sudah tidak kuat ingin buang air. Aku ke kamar mandi dulu, Bang."

Danu tak menjawab, hanya raut amarah yang tampak di wajahnya.

Widia sampai di kamar mandi. Ia memegangi napas di dadanya yang terasa kembang kempis. Ia takut jika nasibnya seperti wanita hilang itu. Seperti berita-berita di TV, tak sedikit seorang istri menjadi korban kejahatan suaminya sendiri. Berbohong kepada Danu adalah sebuah kesalahan yang terjadi dengan unsur ketidak sengajaan dan sekarang Widia harus membuktikan bahwa dia memang sedang berhalangan meladeni suaminya malam ini.

"Widiaa!" teriak Danu dari dalam kamar sontak membuat gentar hati wanita yang kini sibuk mencari pembuktian. "Aku butuh pisau atau benda tajam untuk mengeluarkan darah dari jariku." Tiba-tiba, pandangannya berhenti pada alat pencukur kumis. Ia pun segera mengambil alat itu, tanpa ragu Widia melukai jari telunjuknya dengan benda tajam tersebut.

"Ah, shh ...." Widia meringis kesakitan setelah alat itu membuat luka di kulit jari terlunjuknya. Setelah itu, Widia segera mengoles celana dalamnya dengan cairan kental merah yang keluar dari celah luka. Namun, ternyata satu jari saja tidak cukup karena darahnya masih kurang banyak.

Widia beralih ke ibu jari yang masih di tangan kiri Widia. Kali ini perempuan itu membuat goresannya sedikit agak dalam supaya dapat lebih banyak mengeluarkan darah segar.

"Widiaa!" Pria itu berteriak lagi.

Setelah merasa cukup bukti. Widia pun membuka pintu kamar mandi dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya ia sembunyikan. Pada saat pintu terbuka, perempuan itu terkejut karena Danu sudah berada di depan pintu sambil berkacak pinggang.

"Lama sekali, sih?" Tatapan Danu menghunus tajam, pikirannya pun dipenuhi kecurigaan.

"Barusan aku sakit perut. Kalau lagi menstruasi memang seperti ini."

"Bukannya kau tidak pernah seperti ini sebelumnya?" Memang, siklus menstruasi Widia lancar jaya, ia juga tak pernah merasakan sakit selain bad mood dan Danu tahu tentang itu. Itu sebabnya dia merasa janggal.

"Ya sudah mana?" Danu beralih menagih janji istrinya.

Widia masih di situ, memperlihatkan bukti kepada pria di hadapannya.

"Kenapa tampak seperti darah biasa? Bukannya warna merah ke hitam-hitaman?"

"Ini darah pertama, Bang. Jadi gini." Widia berharap cara ini berhasil. Danu begitu kecewa, ia pun melengos pergi dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Sementara, Widia memilih membereskan meja makan yang tampak berantakan.

Widia memperhatikan pria itu dari ambang pintu, Danu sudah terlelap bahkan sampai mendengkur. Terbesit rasa kasihan saat melihat pria yang sudah tiga tahun menjadi teman hidupnya, harus ia laporkan atas dugaan pembunuhan. Namun, Widia menyadari bahwa kejahatan memang harus diungkap apapun itu resikonya.

"Maafkan aku, Bang. Mungkin besok malam, tempat tidurmu bukanlah kamar ini lagi."

Widia teringat bahwa dirinya belum melaksanakan shalat maghrib. Selama Danu terlelap, ia pun memanfaatkan waktu untuk melaksanakan shalat. Ia memilih pergi ke surau dari pada shalat di rumah supaya ibadahnya tidak terpantau oleh Danu jika suatu waktu ia terbangun dari lelap tidurnya.

Sekitar pukul 18.30 Widia keluar rumah dan hendak menuju mushola. Entah bagaimana ia bisa shalat isya nanti yang penting saat ini adalah menunaikan shalat maghrib terlebih dahulu.

Setelah sampai di halaman surau kampung tersebut. Widia berpapasan dengan salah satu warga. Perempuan berusia sekitar 40 tahun menyapa Widia.

"Bu Wid," sapa tetangganya itu. Widia hanya mengangguk dan tersenyum.

"Bu Widia ahli sekali masaknya. Dagingnya enak sekali, Bu. Daging sapi, ya Bu?"

"Mm ...." Widia bingung bagaimana mau menjawab pertanyaan tetanganya itu.

"Waktu maghrib-nya hampir habis, Bu. Saya ke dalam dulu," pamit Widia tanpa basa-basi lagi.

Wanita itu terdiam. Namun sesaat tertegun tat kala melihat jelas gerak-gerik Widia yang begitu mencurigakan. "Kenapa Bu Widia seperti itu?" desisnya sambil mengenakan sandal dan hendak meninggalkan mushola.

***

Widia membuka pintu secara perlahan. Saat kakinya menapaki lantai, terdengar suara dengkuran Danu. Widia lega, misi-nya berjalan lancar, ia tidak ketahuan shalat di masjid. Suara dering ponsel milik Widia berbunyi, Widia pun segera merogoh benda pipih itu yang tersimpan di dalam tas hitam miliknya. Ternyata panggilan itu dari Mita.

"Iya, Mit?"

"Gimana? Kamu udah lakuin saran kedua dari aku, belum?"

"Mm, belum, Mit. Sekarang mungkin, mumpung Bang Danu masih tidur," bisik Widia kepada sahabatnya.

"Ya udah, cari sana! Cepetaan!"

"Iya," balas Widia dan segera mengakhiri panggilan telpon.

Perempuan itu melangkah pelan menuju ruangan kamar. Ia menggapai tas ransel warna hitam milik Danu, lalu mencari sesuatu di sana. Siang tadi, saat ia berkonsultasi kepada sahabatnya. Mita menyarankan kepada Widia untuk memeriksa isi tas milik Danu. Apakah di sana ada barang asing sejenis perhiasan atau apa saja yang bukan milik Danu.

Benar saja, Widia mendapatkan satu pasang perhiasan anting tindik mutiara. Barang tersebut terlihat sudah sedikit kusam. Tampaknya barang itu sudah lama sekali dikenakan oleh seseorang. Seketika benak Widia menaruh curiga bahwa bisa saja itu milik Ratih. Ia segera mengepal sepasang perhiasan tersebut. Namun, ketika Widia hendak menutup resleting tas itu, Danu sudah terjaga.

"Ekhm! Sedang apa kau di sana? Apa yang kau ambil?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status