Danu pulang membawa satu kantong plastik daging setelah merantau selama delapan bulan. Widia--istri Danu--diperintahkan oleh suaminya untuk langsung memasak daging bawaannya. Widia sempat bertanya daging apa yang dibawa oleh Danu. Suaminya tak lantas memberi tahu. Widia pun tetap harus memasak meski tidak mengetahui daging apa yang akan ia rebus. Widia tak sengaja memergoki suaminya berdesis di depan panci sup daging dengan menyebut nama wanita yang dikabarkan hilang selama delapan bulan. Tentu saja, Widia terlonjak kaget dan lantas menyimpulkan bahwa itu adalah daging misterius yang perlu diselidiki. Setelah Widia menemukan bukti-bukti terkait kejanggalan daging tersebut. Ia pun berniat untuk menyelidiki dan mengungkap kejahatan apa yang telah dilakukan suaminya selama di perantauan. Sekaligus berusaha pergi meninggalkan suami yang sering berprilaku kasar terhadapnya. Mampukah Widia membuktikan bahwa suaminya adalah orang seorang penjahat? Berhasilkah Widia melepaskan diri belenggy kekejaman suaminya?
View More"Wid, Widia ... buka pintunya! Cepat!" Suara ketukan pintu dan juga suara keras Danu berhasil membuat Widia seketika terjaga dari lelapnya yang baru 30 menit itu.
"Bang Danu, benarkah itu suara dia?" Di keheningan malam tentu lah ada sedikit rasa takut dan waspada bagi seorang wanita yang hanya tinggal sendiri di rumah nya. Rumah yang baru saja dibangun itu terletak 200 meter dari pemukiman warga. Danu --suami Widia-- sengaja memilih tempat yang agak berjarak supaya istrinya tidak banyak bergaul dengan warga lain.
"Widia ...!" teriak Danu semakin keras. Dia terus menggedor pintu begitu menggemparkan.
"I-iya, Bang. Sebentar," sahut wanita yang mengenakan daster kusut itu bergegas bangkit dari ranjang besinya. Menyambut sang suami yang sudah delapan bulan tak pulang. Delapan bulan yang lalu pria itu pergi merantau ke pulau seberang untuk bekerja di tambang minyak.
Langkah Widia terhenti di depan pintu, tangannya sedikit gemetar saat membuka slot kunci. Meski belum terlihat, wajah garang penuh amarah sudah terbayang oleh istrinya. Saat pria di balik pintu itu menyadari bahwa pintunya sudah bisa dibuka, ia mendorong kasar pintu tersebut sehingga Widia hampir terjungkal.
"Lama sekali sih? Kau tak kenal suara suami sendiri, hm? Atau kau sedang menyembunyikan pria lain di rumah ini?" Kedua bola mata Danu membulat sempurna, rahangnya mengeras seperti hendak menerkam perempuan di hadapannya.
"Maaf, Bang. Aku hanya waspada, takutnya perampok atau orang jahat yang mengetuk pintu."
"Waspada, waspada. Aku tau kau ini terlalu nyenyak tidur. Memangnya kau bisa menyembunyikan mata merahmu itu, dasar pembohong." Wanita itu menunduk. Suaminya terlalu teliti untuk bisa ia kelabui.
"Nyalakan kompor! Masak daging ini sekarang juga!" bentak Danu menjatuhkan satu kantong keresek hitam tebal ukuran 40 dan hampir mengenai sebelah kaki Widia. Perempuan itu mengikat rambutnya yang sebelumnya terurai sepunggung. Tubuhnya merengkuh mengambil dan membuka ikatan keresek tersebut.
Seketika angan Widia terlonjak kaget melihat tumpukan daging tanpa tulang di dalam keresek hitam itu. Widia menutup hidung, kepalanya mulai pusing. Ia benar-benar diuji kesabaran oleh suaminya. Sudah tahu bahwa Widia bukan penyuka daging. Namun, Danu seolah amnesia akan hal itu bahkan pura-pura tidak tahu.
"Huek!" Akhirnya, rasa tak enak dari dalam perut perlahan merambat sampai ke kerongkongan Widia. Ia sudah tak tahan lagi menahan mual sampai mulutnya pun mulai bereaksi.
"Heh, Wid! Sampai kapan kau seperti itu di sana hah? Cepat masak sekarang juga!"
"Tapi, Bang. Kalau masak sekarang, bumbu-bumbunya nggak ada. Sedangkan yang punya warung sudah terlelap jam segini," ucap Widia masih berusaha menutup hidungnya supaya tidak mencium bau amis.
"Kalau nunggu besok, daging itu semakin bau. Kau bisa merebusnya dulu malam ini. Kau ini, begitu saja mesti aku ajari." Danu berlalu setelah mengganti pakaiannya ke luar rumah sambil memantik api di depan lintingan nikotin yang menyelip di sela jarinya. Sanggup tidak sanggup, Widia tetap harus menjalankan titah suaminya itu. Sambil memproses daging bawaan suaminya itu, Widia sempat menerka daging hewan apa yang dibawa Danu. Tampilan dan teksturnya baru kali ini ia lihat. Namun, Widia tak memikirkannya secara berlanjut. Secepat mungkin ia mengerjakan tugasnya. Selain ia tahu watak sang suami yang tempramen itu, Widia juga tak mau berlama-lama dengan hal yang tidak ia sukai.
Usai mengolah bawaan Danu, perempuan itu mengganti pakaiannya lalu menemui suaminya di teras rumah.
"Ini, Bang. Kopinya," ucap Widia meletakan segelas kopi hitam. Seburuk apapun sikap suami, ia tetap menampakan pelayanan terbaik meski sering kali tak dihargai. Diam-diam, Widia duduk di samping pria itu.
"Bang, i-itu yang tadi. Daging apa ya? Kok, perasaan aku baru melihat tampilannya."
"Daging babi," jawabnya enteng.
"Astagfirullah, itu kan haram, Bang."
"Haram itu kalau kau memakannya sebagai orang yang patuh agama. Kalau kau tak merasa begitu, ya biasa saja."
"Maksud, Abang?" Sebenarnya ia tak berani menyelah, namun ia penasaran juga. Jangan-jangan selama merantau Danu sudah bukan muslim lagi.
"Kau pikir saja lah, sendiri. Aku males ngejelasin sama istri yang kurang pintar seperti kamu, pasti kau akan tanya lagi. Maksud, Abang? Maksud, Abang? Apa nggak lelah? Sudahlah, jangan kau bahas lagi daging apa itu. Kalau kau cerewet, aku sumpelin juga daging itu ke mulutmu supaya mingkem."
Dada Widia kembung kempis menahan semua rasa yang menyergapi. Marah, kesal, sedih, dan penasaran. Namun, apa daya. Daripada ancaman suaminya menjadi nyata, Widia memilih diam tak mau bersuara lagi.
"Selama aku pergi, apa yang diributkan di kampung ini?" tanya Danu di sela-sela menghisap batang rokok yang tinggal separuh itu.
"Eum, aku tidak tau, Bang. Karena aku jarang keluar rumah. Paling keluar cuma buat beli bumbu dan keperluan lain di warung terdekat." Sebenarnya, banyak yang ingin ia keluhkan kepada sang suami tentang tanggapan masyarakat kepada keluarga kecilnya. Meski terdengar samar, Widia bersama Danu sering menjadi cibiran dengan julukan mahluk anti sosial. Karena Widia tahu watak suami yang mudah tersinggung bisa saja mengamuk. Maka, ia memilih tak mengungkapkannya. Widia lebih suka mencari aman.
"Mulai besok, kau keluar saja. Gabung sama mereka. Tak perlu mengurung diri seperti pintaku sebelumnya. Dan ingat, rekam semua yang keluar dari mulut mereka." Setelah menoleh ke arah istrinya, ia meluruskan kembali pandangannya menerawang ke angkasa hitam sambil menghisap asap rokok.
Widia terdiam, berusaha mencerna apa yang disampaikan suaminya. Meskipun ia tak tahu maksud dan tujuan pria itu.
"Ba-baik, Bang." Widia mengiyakan meski ragu untuk menjalankannya esok hari.
"Kau simpan dimana daging itu?"
"Di panci, Bang. Baru aku rebus setengah matang."
"Ya sudah, lanjut tidur saja sana!"
"Hm," desis Widia menghela nafas lega. Ia bersyukur karena suaminya tidak meminta ditemani sepanjang malam. Ia pun beranjak dan melangkah gontai kembali ke dalam kamar.
Di kamar, pakaian Danu yang dipakai saat pulang dari rantauan berserakan di lantai. Widia memunguti pakaian itu sambil menjauhkan indra penciumannya. Seketika bau amis menyeruak ke rongga hidung. Percis sekali dengan bau yang ia hirup saat membuka kantong keresek hitam berisi daging aneh.
Widia kembali membuka pintu kamarnya. Ia berniat menyimpan pakaian kotor itu ke keranjang cucian. Posisi kamar mandi dan dapur masih dalam satu ruangan. Saat kaki Widia berada di ambang pintu ruangan itu. Danu sudah lebih dahulu berada di sana. Menghadap ke panci berisi rebusan daging setengah matang, membelakangi posisi Widia, dan berkata.
"Sekarang, kau sudah merasakan hukuman atas ancamanmu itu, Ratih."
Kedua netra milik Widia terbelalak. Hatinya penuh tanya, mengapa suaminya mengucapkan nama 'Ratih'. Saat itu pula, Widia membayangkan sosok pemilik nama itu. Seorang gadis yang beralamat masih satu kampung dengannya. Kini, gadis bernama Ratih itu pun tengah hangat-hangatnya menjadi buah bibir warga kampung sebab kepergiannya yang mendadak sehari setelah Bang Danu pergi merantau. Dan sampai saat ini, gadis itu belum jua kembali.
"Kamu kenapa,Widia?" Danu menempelkan punggung tangannya pada dahi yang berkeringat. Widia menggigil kedinginan dan seperti yang ingin muntah."Gak tau, Bang. Aku ... pusing dan mual. Aku juga meriang." "Ah, mungkin kamu masuk angin, Widia." "Iya, Bang. Tolong ambilkan air hangat aku ingin minum air hangat." "Sebentar." Danu segera pergi ke dapur dan mengambilkan air minum. Namun, belum juga sampai dapur. Widia muntah-muntah di lantai kamar. Danu panik dan berfikir untuk membawa Widia ke klinik terdekat. Di klinik, Widia menjalani serangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Mereka memeriksa kondisi fisik Widia dengan seksama dan melakukan tes yang diperlukan.Setelah hasil tes keluar, tenaga medis memberikan kabar yang mengejutkan kepada Danu dan Widia. Widia dinyatakan hamil! Mereka berdua merasakan kombinasi antara kegembiraan, kejutan, dan sedikit kecemasan. Namun, perasaan bahagia mereka jauh lebih dominan karena mereka telah lama menginginkan
"Keluarlah dan mulailah hidup baru. Jalani kehidupan dengan baik," ucap seorang pria berseragam coklat yang bertugas mengeluarkan Danu dari penjara. Tiba saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah menjalani tiga tahun di balik jeruji besi, Danu akhirnya bebas dari penjara yang telah membatasi kebebasannya. Dengan hati yang penuh harap, Danu melangkah keluar dari pintu penjara dan menuju ke tempat yang telah lama dinantikannya.Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia bagi Danu. Begitu kaki-kakinya menyentuh tanah yang bebas, pria itu segera bergegas menemui Widia, orang yang selalu ada di pikirannya selama masa penahanannya. Dalam hati, ia berharap bahwa Widia masih setia menantikannya.Dengan langkah tergesa-gesa, Danu berjalan menuju rumah Widia. Detak jantungnya semakin cepat ketika ia mendekati pintu rumah yang sudah sangat akrab baginya. Dalam sekejap, Danu berdiri di depan pintu dan mengetuk dengan penuh harap."Assalamualaikum," sapa Danu dari luar. Bak seperti mimpi di sia
"Mulai tani lagi, Mbak Wid?" tanya beberapa warga yang berpapasan dengannya saat hendak pergi ke ladang. "Iya, Bu. Hari ini aku mau panen kacang." "Oh, boleh bantu gak , Mbak?" "Tentu saja, Bu. Ayok. Kebetulan saya tidak ada teman untuk memanen kacang." Dua orang wanita sahabat Ibundanya dulu mendekati langkah Widia dan akhirnya mereka pun ikut ke ladang Widia. Ada hal yang berbeda dengan Widia saat ini yang tampak enak dipandang oleh warga sekitar. Yaitu, Widia yang kembali tersenyum dan berwajah ceria. Widia kembali ke ladang pertaniannya dengan semangat yang membara. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam pikirannya: untuk mensukseskan hasil pertanian dan membuat ibunya yang telah tiada bangga.Setiap hari, Widia bekerja keras di ladangnya. Dia memberikan perawatan yang cermat kepada tanaman, memastikan mereka mendapatkan nutrisi yang cukup, air yang cukup, dan perlindungan dari hama atau penyakit. Widia juga memantau perkembangan tanaman dengan seksama, memastikan mereka tumbu
"Assalamualaikum," sapa Widia saat memasuki rumahnya kembali setelah seharian berpetualan dengan pengalaman menegangkan dan penuh dengan resiko kematian. Hening, tiada sesiapa yang bisa ia ajak bicara di sana. Semua sudah pergi. Dia sendirian. Setelah peristiwa yang melelahkan dan menegangkan, Widia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki pintu rumah. Tubuhnya terasa lelah setelah melewati berbagai emosi dan perjuangan selama hari itu.Widia melepas sepatu dan duduk di sofa dengan nafas yang terengah-engah. Wajahnya mencerminkan kelelahan dan ketegangan yang masih terasa. Matanya terlihat lelah dan berat, mungkin akibat dari kurangnya istirahat dan ketegangan yang ia alami."Ahhh, apakah ini benar-benar akan selesai? Semuanya pergi meninggalkanku," Dia merasakan tubuhnya yang tegang dan otot-ototnya yang kaku. Setelah melewati hari yang penuh dengan emosi dan perjuangan, Widia merasakan kelelahan yang mendalam. Dia merasa butuh istirahat yang b
Di tengah kesibukan seorang petani yang tak pernah rehat, Widia memutuskan untuk melarikan diri sejenak dari kesibukan. Mereka berdua, duduk berdampingan di atas motor tua berwarna hitam milik Danu, bersiap untuk memulai perjalanan mereka."Apa harimu menjadi lebih baik?" "Sedikit," jawab Widia santai berusaha melalui hari ini dengan tenang meski akan terasa sangat diluar eksptasi. Widia, seorang gadis berjiwa bebas dengan rambut panjangnya yang berombak, duduk di belakang Danu. Matanya yang cemerlang menatap jauh ke depan, seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, Danu, pemuda yang tenang namun penuh semangat, memegang setir dengan erat, siap untuk membawa mereka berdua ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.Mereka berdua memulai perjalanan mereka di tengah malam, saat bintang-bintang di langit mulai berkelip, seolah-olah mereka sedang menunjukkan jalan bagi Widia dan Danu. Suara mesin motor yang berdengung seirama dengan det
"Jadi lu punya rencana apa?" tanya Danu yang sudah sangat tidak sabar ingin mengetahui rencana Mita. "Ntar, gua harus tau dulu apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini?" Mita mencoba mengumpulkan Informasi terlebih dahulu dari pria di hadapannya. "Sekarang dia tinggal di rumah Bu Siti sendirian. Ia juga sering datang ke ladang ibunya untuk melanjutkan usaha tani ibunya yang sudah meninggal." "Oke, gua catat apa yang dilakukan Widia akhir-akhir ini. Tapi, gimana hubungan lu sama dia sekarang?" tanya Mita mendikte."Buruk, Mit. Sangan buruk." Memang seperti itu adanya. Danu tidak sedang berbohong hari ini. "Oke. Berarti lu bisa gua perintah dengan baik. Sebaiknya kita pancing dia dalam urusan pertanian seputar pekerjaannya sekarang. Misal dia lagi ada keperluan ke pasar. Lu tabrak aja dia!" "Maksud lu?" "Atau, kita bakar saja tanamannya di ladang. Gimana?" tanya Mita penasaran dengan jawaban Danu. "Apa ini tidak terlalu sadis?" "Heh, dodol! Dimana ada penjahat memikirkan sadis a
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments