MasukRencananya aku akan membuat usaha makanan. Di rumah Mas Lukas aku selalu dibatasi soal makanan, dan oleh karena itu aku ingin membuat usaha yang berhubungan dengan makanan. Entah karena apa, ibu mertuaku selalu menyembunyikan makanannya dariku. Padahal, hampir semua kebutuhan rumah suamiku lah yang memberikannya.
Meskipun hanya bekerja sebagai buruh bangunan, tapi Mas Lukas tak pernah lari dari tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Terlebih ibu mertuaku adalah seorang janda. Mas Lukas pernah bicara kepadaku bahwa ia akan membahagiakan ibunya sekuat yang ia mampu.
Sebenarnya prinsipnya bagus. Aku sangat mendukungnya. Hanya saja ternyata ibu mertuaku tak bisa sejalan denganku. Beliau justru bersikap tak adil kepadaku.
Puncak dari sikapnya yang seperti itu adalah setelah dua tahun pernikahanku dan Mas Lukas berjalan. Awalnya semua masih terlihat wajar, memang tak ada lauk jika siang hari tapi aku tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Namun ketika dua tahun pernikahanku dengan Mas Lukas berjalan, ibu semakin semena-mena. Terlebih setelah Mbak Rita ikut masuk ke dalam rumah ini.
Ya, dulunya ia tinggal di kontrakan bersama suaminya. Namun ketika suaminya pergi merantau keluar negeri, ia ikut serta tinggal di rumah ini. Katanya takut jika tinggal sendirian hanya bersama Bara.
Awalnya aku tak masalah, tapi lambat laun Mbak Rita lun juga ikut-ikutan semena-mena kepadaku. Tak hanya soal makanan, Ibu dan Mbak Rita sering mengadu dombaku dengan Mas Lukas dalam hal apapun. Sedangkan Mas Lukas? Tak pernah percaya kepadaku.
"Kamu kok sibuk banget sih, Dek. Ngapain?" tanya Mas Lukas ketika aku masih berkutat dengan ponselku.
"Ini, aku lagi cari-cari ruko atau tempat yang bisa kugunakan untuk buka usaha, Mas."
Mas Lukas tampak terkejut, dia lantas duduk di sampingku. Wajar saja, tak ada angin tak ada hujan tapi tiba-tiba aku mengatakan hal itu. Terlebih selama ini ia tahu jika aku tak punya simpanan uang
"Usaha? Usaha apa, Dek? Jangan mengada-ada, deh. Lagian kita dapat modal dari mana?"
Kita? Padahal aku tak akan melibatkannya dalam hal apapun. Aku hanya akan meminta doa supaya usaha yang akan kubuat berjalan dengan lancar. Bukan bermaksud menjadi istri durhaka, hanya saja aku tidak ingin jika nanti akan ada yang mengusut hasil dari usaha yang kudirikan. Aku tak mau jika tangan-tangan serakah itu mengambil alih untungku.
"Aku, Mas. Kamu nggak usah ikut mikir. Mohon doanya saja biar semua berjalan dengan lancar," jawabku dengan kembali menatap ponselku.
"Apa kemarin waktu di rumah Ayah kamu membicarakan hal ini dengannya?" tanyanya lagi menyelidik.
"Maksudnya apa sih, Mas?"
"Itu, kemarin waktu kamu bicara sama Ayah di kamar. Kamu nyembunyiin sesuatu dariku, ya?"
Kulirik sekilas suamiku. Rupanya dia benar-benar curiga dengan yang kulakukan dengan Ayah kemarin. Meskipun itu benar, tapi aku tak ingin menceritakan seluruhnya padanya.
"Iya, kemarin Ayah kasih aku uang. Katanya suruh buat modal usaha, Mas. Alhamdulillah, orangtuaku memikirkan masa depanku sampai sedetail itu. Mereka mendukungku agar aku bisa lebih maju dan tak diinjak-injak oleh orang lain lagi." Sengaja aku berkata sedikit pedas, tak lain agar dia bisa sedikit saja berfikir.
Kudengar dia mendengus, sepertinya dia sedikit kecewa kepadaku. Namun aku tak terlalu memusingkan hal itu, karena selama ini dia pun tak pernah memikirkan perasaanku. Justru setiap kali aku mengeluh, dia akan memarahiku.
"Berapa?"
Benar, kan? Nada bicaranya sedikit ketus, itu artinya dia sedang marah kepadaku.
"Em ... Dua puluh juta, Mas. Lumayan buat buka usaha, semoga saja semua berjalan lancar. Meskipun itu hanya pinjaman."
Spontan, Mas Lukas menatapku lagi. Sejujurnya dalam hatiku aku sangat takut, karena berbohong terlalu jauh kepada suamiku. Namun jika tak seperti itu, dia tak akan bisa menghargaiku.
"Pinjaman?"
"Ya, pinjaman. Ayah meminjamiku uang, nanti setelah hasil usahaku berjalan lancar dan mendapat laba, aku harus mengembalikan uang itu," tuturku, lalu berdiri hendak meninggalkannya.
"Aku ke dapur dulu ya, Mas. Tadi aku belum sempat beres-beres," kataku lagi saat dia masih terdiam. Sepertinya dia tengah memikirkan apa yang baru saja kukatakan.
Aku terkekeh kecil sembari meninggalkannya. Mas Lukas terlihat aneh setelah mendengar cerita karanganku tadi.
..
"Alah, buat apa buka usaha? Buat makan sehari-hari aja masih kurang, kok. Lebih baik uangnya kasih Ibu sini, buat benerin dapur tuh yang bocor kalau hujan," tandas ibu mertuaku ketika aku melintas usai beres-beres dapur.
Kuintip sejenak dari balik pintu, rupanya Mas Lukas tengah duduk berdua dengan ibunya di tempat yang sama ketika aku mengobrol dengannya tadi. Rupanya Mas Lukas menceritakan hal itu kepada ibunya, sehingga ibunya bisa berpendapat demikian.
"Bu, jangan seperti itu. Itu kan uang dari ayahnya Diana, aku nggak enak kalau mau minta."
"Heh, kamu itu suaminya. Bagaimanapun lebih berhak, dan aku ini ibumu, sampai kapanpun surgamu tetap ada dibawah telapak kakiku, bukan telapak kakinya si Diana. Lagipula kamu mau, kalau Diana jadi buat usaha, sukses, terus ninggalin kamu?"
Aku terkejut dengan penuturan Ibu. Sejauh itu kah pemikirannya tentangku?
"Mana mungkin, Bu. Diana bukan orang yang seperti itu," tutur Mas Lukas membelaku. Meskipun memang benar aku tak akan melakukan hal itu, tapi aku juga tak bisa sepenuhnya setuju dengan Mas Lukas karena dia sendiripun terlalu tunduk kepada ibunya.
"Halah, kamu itu kalau dibilangin Ibu ngeyel. Udah, intinya itu tadi. Mending buat benerin dapur daripada buat usaha. Lagian sok-sokan banget mau buka usaha segala." Ibu mertuaku itu berlalu sembari mengomel indah, sedangkan aku lantas kembali ke dapur karena Ibu menuju ke tempatku bersembunyi.
Dengan hati geram aku mengepalkan kedua tanganku. Ibu mertuaku tak hanya menyembuhkan makanan dariku, tapi beliau juga mempengaruhi suamiku seperti itu. Baiklah, jika memang begitu mungkin ini keputusan yang sangat baik. Aku harus membuka usaha, sukses, dan buktikan jika aku bisa sukses tanpa bantuan mereka.
Waktu terus berjalan, kabar tentang Tania yang meninggalkan kota juga sudah sampai di telingaku. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatiku, aku berusaha mempercayai keputusan Pak Arya.Hubungan kami kembali berjalan seperti semula. Bahkan, kini aku merasa ada lebih banyak kejujuran dan keterbukaan dari Pak Arya. Sedangkan aku juga selalu berkata jujur padanya agar tidak lagi.Namun, di tengah kebahagiaanku itu, kabar lain mulai tersebar. Kabar soal Mas Lukas dan keluarganya cukup membuat perhatianku teralihkan. Ternyata, selama ini keluarga Lukas memiliki banyak utang di bank. Karena gagal melunasi cicilan, semua aset mereka disita. Rumah mereka dijual, beberapa barang berharga mereka diambil alih, dan mereka akhirnya harus pindah keluar kota.“Diana, kamu tahu tentang keluarga Mas Lukas? Semua asetnya disita bank. Katanya, Mbak Rita punya pinjaman besar yang tak bisa mereka bayar. Sekarang mereka pindah ke luar kota,” kata salah satu pelanggan yang kebetulan sedan makan di k
Beberapa hari berselang, suasana sibuk mulai menyita pikiranku. Mawar sedang sibuk membungkus pesanan nasi kotak, dan beberapa karyawan lain sibuk dengan pelanggan.Aku berusaha menenangkan diri dan memfokuskan perhatian pada pekerjaan. Apa yang terjadi kemarin aku anggap hanya angin lalu yang tak perlu aku pikirkan. Namun, pikiranku terus melayang-layang, kembali ke wajah perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat merusak suasana hatiku. Ada sesuatu tentang cara bicaranya—entah itu rasa cemburu, kebencian, atau mungkin sekadar keputusasaan—yang membuatku merasa harus menyelidiki lebih jauh.Sebenarnya aku ingin sekali percaya pada Pak Arya. Aku lihat sorot keseriusan dalam matanya. Namun tetap, dalam sudut hatiku masih ada sedikit keraguan. Sore itu, setelah semua pesanan selesai, aku duduk di kursi dekat jendela sambil menyeruput teh hangat. Ponselku berdering lagi. Kali ini pesan dari Pak Arya.[Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?]Aku menarik na
Aku kembali ke kedai dengan kepala yang penuh pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa benar dia kekasih Pak Arya? Ataukah ini hanya upaya untuk menjatuhkanku seperti yang sering terjadi sebelumnya?Helaan napas panjang keluar dari bibirku saat aku membuka pintu kedai, aroma kopi dan makanan menyapa hangat, tapi hatiku tetap bergemuruh.Selama ini aku memang tak pernah mendengar desas-desus apapun perihal Pak Arya. Kabarnya tenang, tak ada berita tentang kehidupannya. Mungkin ia sengaja menyembunyikan apapun yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Mengingat bahwa dia adalah seorang kepala desa yang mana harus tetap mempertahankan wibawanya. "Ada apa, Mbak? Mukanya kusut begitu," tanya Mawar sambil menata beberapa gelas di rak.Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawabku singkat, karena aku belum ingin bercerita kepada siapapun perihal ini. Terlebih sebelum aku menanyakan langsung pada Pak Arya. Siapa tau, apa yang wanita itu katakan dan apa yang aku pikirka
"Kamu mau menikah?" tanya Mas Lukas yang tiba-tiba menghadangku di tengah jalan. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi ikut angkutan umum dan turun lumayan jauh dari kedai. Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Lukas ada di depanku. Apakah ia memang sudah mengikutiku atau hanya kebetulan saja."Em, belum. Kenapa?"Mas Lukas tersenyum miring dan melirikku tajam. "Bohong," ujarnya dingin.Aku hanya menghela nafas panjang, lalu membalas tatapan elangnya. Memang begitu Mas Lukas sejak dulu. Jika ada yang ia tak suka dariku, pasti ia akan menatapku seperti itu. "Benar ataupun tidak, memangnya kenapa? Ada masalah apa denganmu, Mas?""Aku tidak rela jika Huda memiliki ayah baru."Mulutku menganga, "lantas?""Kamu tahu yang aku maksud dan jangan berbelit-beli, Diana."Aku terkekeh kecil, Mas Lukas memang pandai bergurau. Namun kali ini aku tidak berniat bergurau soal ini. Seharusnya dia sudah tidak berani menampakkan wajahmya di depanku, terlebih sejak kejadian Mbak Rita kemarin. Namun
Udara pagi ini terasa sejuk dengan mentari pagi menyapa lembut dedaunan yang berembun. Biasanya aku tak bersemangat ini jika hendak ke kedai. Namun hari ini aku terlihat sangat bersemangat. “Selamat pagi, Mbak Diana” sapa Pak Arya ramah membuatku terkejut. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah sampai di kedai. Biasanya dia dan anaknya datang pukul sembilan atau sepuluh. Aku membalas senyumnya, mencoba menyembunyikan debar di dadaku. “Selamat pagi, Pak Arya. Pagi, Aira,” balasku, tak lupa mengusap lembut kepala gadis kecil itu.Setelah beberapa menit berbasa-basi, aku akhirnya menarik napas panjang dan berkata, “Pak Arya, saya ingin bicara serius mengenai apa yang Bapak sampaikan kemarin.”Wajah Pak Arya berubah serius namun tetap lembut. Ia menatapku dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu sampaikan?” jawabnya membuatku takut dan hendak mengurungkan niatku. Aku merapatkan kedua tanganku di atas meja, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Saya sudah memikirkan apa yang
Malam itu, setelah Aira bertanya dengan polosnya tentang "ibu baru," pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku tahu, waktunya sudah tiba untuk berbicara dengan Huda. Sebagai anakku, pendapatnya sangat berarti. Aku tak ingin mengambil langkah besar tanpa memastikan bahwa Huda merasa nyaman dengan perubahan ini.Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Huda sedang menggambar sesuatu di buku gambarnya, seperti biasa. Aku duduk di sampingnya, merapikan rambutnya yang mulai panjang."Huda, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu," kataku pelan.Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan meletakkan pensilnya. "Apa, Bu?"Aku mengatur napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu kan, sekarang kita sering ketemu sama Pak Arya dan Aira?"Huda mengangguk dengan semangat. "Iya, Ma. Aku suka main sama Aira. Dia lucu, nggak seperti anak-anak lain yang suka ganggu."Aku tersenyum, lega mendengar antusiasmenya. "Bagaimana menurut kamu tentang Pak Arya? Mama lihat kamu juga sering ngobrol sama







