LOGIN"Diana, bisakah kita bicara?" ucap Ayah ketika aku tengah duduk di sofa dengan Mas Lukas.
Ayah pasti akan membicarakan soal uang yang beliau ceritakan di telepon. Dan oleh sebab itu aku tak ingin Mas Lukas tahu perihal itu. Bukan karena apa, aku hanya tak ingin keluarganya pun tahu soal ini karena biasanya jika Mas Lukas tahu, maka semua keluarganya juga tahu.
"Em, kita bicara di kamar Diana saja ya, Yah. Mas Lukas, sebentar ya aku mau bicara sebentar sama Ayah."
Kugandeng ayahku masuk ke dalam kamar yang dulu kutempati, lalu mengunci pintunya dari dalam. Mas Lukas selalu tak percaya padaku, dan sekarang aku tidak ingin jika dia tahu soal ini.
"Kenapa? Kok Lukas nggak di ajak?" tanya Ayah sedikit curiga, karena selama ini aku tak pernah menceritakan apapun padanya.
Wajar saja, sebagai anak aku tidak ingin membuat orangtuaku khawatir dan sedih karena kisah hidup anaknya setelah menikah. Bagaimanapun caranya aku selalu ingin kedua orangtuaku tahu jika aku sangat bahagia setelah menikah.
"Enggak, Yah. Biar Diana aja yang tahu soal ini."
"Kalian tidak sedang ada masalah, kan?"
Aku menggeleng, memang belum saatnya aku menceritakan soal ini kepada Ayah. Rasanya aku masih bisa menghadapi masalah mertuaku sendiri. Lima tahun sudah cukup lama untukku bersabar. Sekarang aku tidak ingin terlalu berbaik hati lagi pada mereka. Bukan aku bermaksud durhaka, tapi setidaknya aku hanya mempertahankan rasa harga diriku sebagai manusia.
"Apa yang Ayah hendak bicarakan denganku?" tanyaku ketika kami saling terdiam beberapa saat.
Kulihat Ayah menghela nafas panjang, sepertinya beliau kurang percaya dengan apa yang kuceritakan. Mungkin ceritaku tak membuatnya yakin jika aku baik-baik saja.
"Ayah ada uang seratus juta. Ini hasil penjualan warisan nenekmu. Ayah dan saudara-saudara Ayah sepakat untuk membaginya secara adil, dan ini ada bagian untuk Ayah," tutur Ayah membuatku sedikit tercengang.
Keluarga Nenek memang bukan orang biasa, tapi Ayah tak pernah menunjukkan hal itu pada orang banyak karena katanya tak pantas membanggakan warisan orangtua. Lebih baik kaya dengan usaha sendiri daripada bangga karena warisan orangtua.
"Banyak sekali, Ayah." Selama ini aku memang tak pernah melihat atau memiliki uang sebanyak itu, jadi wajar saja jika aku terkejut.
Ayah tersenyum, beliau menyodorkan sebuah kartu ATM padaku. Kemungkinan seluruh uangnya ada disana. Ayah memang jarang memegang banyak uang, jika pun punya pasti akan diberikan kepada Ibu.
Kedua orangtuaku selalu mengajarkan kesederhanaan padaku, itulah sebabnya aku tak terlalu terkejut ketika mertuaku bersikap demikian padaku. Hanya saja, yang kupermasalahkan adalah sikap yang ditunjukkan mertuaku ketika bersamaku dan saat ada Mas Lukas sangat berbeda. Entah apa masalahnya hingga Ibu bersikap demikian kepadaku.
"Iya, memang banyak. Ayah dan Ibu tidak bisa memegang uang sebanyak ini. Kami sepakat untuk memberikannya kepadamu. Syukur kalau kamu bisa memanfaatkan uang itu agar lebih bermanfaat lagi," ujar Ayahku bijaksana.
"Tapi, Ayah. Diana mohon jangan beri tahu Mas Lukas soal ini karena ada suatu hal yang tak bisa Diana ceritakan sekarang. Mungkin nanti ketika sudah saatnya Diana akan bicara. Diana janji, akan menjaga uang ini dengan baik dan bahkan akan Diana gunakan dengan bermanfaat," kataku dengan menggenggam tangan Ayah.
Awalnya Ayah terdiam, mungkin beliau ragu denganku. Namun pada akhirnya Ayah mengangguk dan bersedia merahasiakan hal ini dari Mas Lukas.
..
"Tadi Ayah bicara apa, Dek?"
"Bukan apa-apa. Hanya perbincangan antara ayah dan anak saja," jawabku singkat setelah kami sudah tiba di rumahnya lagi.
"Tapi kok ...."
"Lukas, Diana, makan dulu, Ibu sudah masak," teriak Ibu dari luar kamar.
Ya begitulah ibu mertuaku ketika ada Mas Lukas. Selalu bersikap manis dan memperlakukanku dengan baik, berbeda dengan ketika suamiku itu tak ada di rumah.
"Tuh, kamu lihat kan kalau ibuku baik? Kaya gitu kamu masih bisa ngomong kalau dia membeda-bedakanmu?" ujar Mas Lukas dengan menatapku dalam.
"Iya, itu kan kalau ada kamu. Coba kalau tidak ada kamu, Mas. Aku dan Huda ...."
"Asshh sudah lah, aku bosan dengan kata-katamu yang selalu menjelekkan ibuku. Tolonglah kami hargai dia juga, seperti aku menghargai orangtuamu. Kamu mau, aku bersikap masa bodoh juga dengan orangtuamu?"
Dahiku mengerut. Apa yang dia katakan? Kenapa sekarang dia seperti ini?
Tanpa menungguku, dia berjalan keluar dan mendekati ibunya. Aku hanya mengekor, lalu mengajak Huda untuk makan dengan kami. Biasanya ketika malam, kami semua akan makan bersama-sama seperti ini.
"Ibu tadi hanya dadar 5 telur, gasnya habis. Jadi makan yang ada saja, ya," ucap Ibu, tepat seperti yang aku duga.
"Biar aku saja yang tidak makan telur, Bu. Biar Diana saja yang makan," kata Mas Lukas sembari mengambil sayur bayam dari mangkuk.
Ibu melirikku tajam, lalu menatap anak lelakinya lagi. "Kamu kan besok kerja, masa cuma makan sayur. Sudah, ini makan dulu." Satu telur di piring diberikan pada Mas Lukas, seperti biasa.
"Aku nggak apa-apa, Mas. Makan saja telurnya, besok aku beli satu peti telur sama 5 gas elpiji biar semua bisa makan," jawabku dengan menyuapkan sayur bayam dan sambal dari piringku.
"Halah, gaya bener. Duit aja nggak punya," tutur Mbak Rita menyindir.
Memang beginilah jika aku berani sedikit saja melawan, mereka akan lebih tega membullyku. Belum lagi sikap Mas Lukas yang akan memarahiku setelah itu.
"Punya, banyak."
Semua menatapku, karena baru sekali ini aku seberani ini kepada keluarga Mas Lukas. Biarlah, selama lima tahun ini aku dianggap bodoh oleh orang-orang. Sekarang akan aku buktikan kepada mereka jika aku tak seperti yang mereka bayangkan.
Modal usaha sudah di tanganku, aku hanya perlu menjalankan saja. Lihat saja, mereka pasti akan tercengang ketika aku menunjukkan perubahanku.
Waktu terus berjalan, kabar tentang Tania yang meninggalkan kota juga sudah sampai di telingaku. Meskipun masih ada sedikit kekhawatiran di hatiku, aku berusaha mempercayai keputusan Pak Arya.Hubungan kami kembali berjalan seperti semula. Bahkan, kini aku merasa ada lebih banyak kejujuran dan keterbukaan dari Pak Arya. Sedangkan aku juga selalu berkata jujur padanya agar tidak lagi.Namun, di tengah kebahagiaanku itu, kabar lain mulai tersebar. Kabar soal Mas Lukas dan keluarganya cukup membuat perhatianku teralihkan. Ternyata, selama ini keluarga Lukas memiliki banyak utang di bank. Karena gagal melunasi cicilan, semua aset mereka disita. Rumah mereka dijual, beberapa barang berharga mereka diambil alih, dan mereka akhirnya harus pindah keluar kota.“Diana, kamu tahu tentang keluarga Mas Lukas? Semua asetnya disita bank. Katanya, Mbak Rita punya pinjaman besar yang tak bisa mereka bayar. Sekarang mereka pindah ke luar kota,” kata salah satu pelanggan yang kebetulan sedan makan di k
Beberapa hari berselang, suasana sibuk mulai menyita pikiranku. Mawar sedang sibuk membungkus pesanan nasi kotak, dan beberapa karyawan lain sibuk dengan pelanggan.Aku berusaha menenangkan diri dan memfokuskan perhatian pada pekerjaan. Apa yang terjadi kemarin aku anggap hanya angin lalu yang tak perlu aku pikirkan. Namun, pikiranku terus melayang-layang, kembali ke wajah perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat merusak suasana hatiku. Ada sesuatu tentang cara bicaranya—entah itu rasa cemburu, kebencian, atau mungkin sekadar keputusasaan—yang membuatku merasa harus menyelidiki lebih jauh.Sebenarnya aku ingin sekali percaya pada Pak Arya. Aku lihat sorot keseriusan dalam matanya. Namun tetap, dalam sudut hatiku masih ada sedikit keraguan. Sore itu, setelah semua pesanan selesai, aku duduk di kursi dekat jendela sambil menyeruput teh hangat. Ponselku berdering lagi. Kali ini pesan dari Pak Arya.[Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa kita bertemu malam ini?]Aku menarik na
Aku kembali ke kedai dengan kepala yang penuh pertanyaan. Siapa wanita itu? Apa benar dia kekasih Pak Arya? Ataukah ini hanya upaya untuk menjatuhkanku seperti yang sering terjadi sebelumnya?Helaan napas panjang keluar dari bibirku saat aku membuka pintu kedai, aroma kopi dan makanan menyapa hangat, tapi hatiku tetap bergemuruh.Selama ini aku memang tak pernah mendengar desas-desus apapun perihal Pak Arya. Kabarnya tenang, tak ada berita tentang kehidupannya. Mungkin ia sengaja menyembunyikan apapun yang berhubungan dengan masalah pribadinya. Mengingat bahwa dia adalah seorang kepala desa yang mana harus tetap mempertahankan wibawanya. "Ada apa, Mbak? Mukanya kusut begitu," tanya Mawar sambil menata beberapa gelas di rak.Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, cuma lagi banyak pikiran," jawabku singkat, karena aku belum ingin bercerita kepada siapapun perihal ini. Terlebih sebelum aku menanyakan langsung pada Pak Arya. Siapa tau, apa yang wanita itu katakan dan apa yang aku pikirka
"Kamu mau menikah?" tanya Mas Lukas yang tiba-tiba menghadangku di tengah jalan. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi ikut angkutan umum dan turun lumayan jauh dari kedai. Aku terkejut karena tiba-tiba Mas Lukas ada di depanku. Apakah ia memang sudah mengikutiku atau hanya kebetulan saja."Em, belum. Kenapa?"Mas Lukas tersenyum miring dan melirikku tajam. "Bohong," ujarnya dingin.Aku hanya menghela nafas panjang, lalu membalas tatapan elangnya. Memang begitu Mas Lukas sejak dulu. Jika ada yang ia tak suka dariku, pasti ia akan menatapku seperti itu. "Benar ataupun tidak, memangnya kenapa? Ada masalah apa denganmu, Mas?""Aku tidak rela jika Huda memiliki ayah baru."Mulutku menganga, "lantas?""Kamu tahu yang aku maksud dan jangan berbelit-beli, Diana."Aku terkekeh kecil, Mas Lukas memang pandai bergurau. Namun kali ini aku tidak berniat bergurau soal ini. Seharusnya dia sudah tidak berani menampakkan wajahmya di depanku, terlebih sejak kejadian Mbak Rita kemarin. Namun
Udara pagi ini terasa sejuk dengan mentari pagi menyapa lembut dedaunan yang berembun. Biasanya aku tak bersemangat ini jika hendak ke kedai. Namun hari ini aku terlihat sangat bersemangat. “Selamat pagi, Mbak Diana” sapa Pak Arya ramah membuatku terkejut. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah sampai di kedai. Biasanya dia dan anaknya datang pukul sembilan atau sepuluh. Aku membalas senyumnya, mencoba menyembunyikan debar di dadaku. “Selamat pagi, Pak Arya. Pagi, Aira,” balasku, tak lupa mengusap lembut kepala gadis kecil itu.Setelah beberapa menit berbasa-basi, aku akhirnya menarik napas panjang dan berkata, “Pak Arya, saya ingin bicara serius mengenai apa yang Bapak sampaikan kemarin.”Wajah Pak Arya berubah serius namun tetap lembut. Ia menatapku dengan penuh perhatian. “Tentu. Apa yang ingin kamu sampaikan?” jawabnya membuatku takut dan hendak mengurungkan niatku. Aku merapatkan kedua tanganku di atas meja, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Saya sudah memikirkan apa yang
Malam itu, setelah Aira bertanya dengan polosnya tentang "ibu baru," pikiranku dipenuhi banyak hal. Aku tahu, waktunya sudah tiba untuk berbicara dengan Huda. Sebagai anakku, pendapatnya sangat berarti. Aku tak ingin mengambil langkah besar tanpa memastikan bahwa Huda merasa nyaman dengan perubahan ini.Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu. Huda sedang menggambar sesuatu di buku gambarnya, seperti biasa. Aku duduk di sampingnya, merapikan rambutnya yang mulai panjang."Huda, Ibu mau ngomong sesuatu sama kamu," kataku pelan.Dia mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan meletakkan pensilnya. "Apa, Bu?"Aku mengatur napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kamu tahu kan, sekarang kita sering ketemu sama Pak Arya dan Aira?"Huda mengangguk dengan semangat. "Iya, Ma. Aku suka main sama Aira. Dia lucu, nggak seperti anak-anak lain yang suka ganggu."Aku tersenyum, lega mendengar antusiasmenya. "Bagaimana menurut kamu tentang Pak Arya? Mama lihat kamu juga sering ngobrol sama







