Home / Rumah Tangga / Masakanku Tak Lagi Dimakan / 1. Diam-diam Selingkuh

Share

Masakanku Tak Lagi Dimakan
Masakanku Tak Lagi Dimakan
Author: Tetiimulyati

1. Diam-diam Selingkuh

Author: Tetiimulyati
last update Huling Na-update: 2025-06-11 17:59:44

"Ibu harap secepatnya kamu menceraikan Zahra, Pan."

Aku urung mengucap salam ketika mendengar suara ibu mertua. Jelas itu ditujukan untuk suamiku, Mas Topan. Dadaku berdebar hebat. Kenapa tiba-tiba ibu meminta anaknya menceraikan aku.

"Apa kurangnya Farida, dia bahkan rela tiap hari memasakkan makanan yang enak-enak buat kamu."

Oh, jadi ini alasannya. Belakangan ini Mas Topan tak lagi makan di rumah. Dia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu. Rupanya ada yang memasakkan tiap hari. Setahuku, Farida adalah tetangganya Ibu. Rumahnya hanya terhalang dua bangunan dari rumah ibu. Janda anak dua yang sudah beranjak dewasa.

"Sabar dulu, Bu. Aku juga perlu waktu yang tepat untuk menyampaikan hal ini pada Zahra. Sebenarnya aku tidak mau menceraikan Zahra, mudah-mudahan dia mau dimadu."

Dadaku semakin naik turun. Jadi Mas Topan mau punya istri dua? Istri satu saja saat ini tidak dinafkahi dengan benar, bagaimana mau punya istri dua?

"Tidak usah bingung mengatakannya, Mas. Aku sudah mendengarnya barusan." Aku menerobos masuk dan sukses membuat ibu mertua dan suamiku kaget.

Mas Topan bangkit lalu berjalan mendekat. Sementara ibu mertuaku menatapku sinis.

"Zahra, dengarkan dulu!"

"Tidak usah ada penjelasan, Mas. Jadi selama ini Mas Topan tidak lagi memakan masakanku karena sudah ada yang memasakkan?!" tanyaku dengan suara bergetar. Kaget, syok, marah dan cemburu menjadi satu.

"Ya jelas, mana mau Topan setiap hari hanya makan tahu tempe!" Ibu menyela. Kali ini ibu semakin menunjukkan rasa tidak suka ya padaku.

"Aku masak menyesuaikan dengan uang yang diberikan Mas Topan."

"Makanya jadi istri itu harus punya keterampilan biar bisa cari uang untuk bantu suami."

"Zahra, dengar Mas .... "

"Aku tidak bersedia dimadu, Mas. Kalau Mas Topan mau menikah lagi, silakan. Aku tidak akan menghalangi. Tapi aku mundur!"

"Mas tidak mau berpisah denganmu."

"Jangan serakah, Mas. Mana ada wanita yang mau diduakan. Selama ini aku sudah bersabar dengan keadaan rumah tangga kita yang sembah kekurangan. Tetap mendampingimu disaat tidak punya apa-apa, tapi ternyata ini balasannya."

Rumah tangga aku dengan Mas Topan setahun ini sedang mendapat cobaan. Uang ratusan juta ditipu oleh temannya Mas Topan hingga usaha kami mengalami kebangkrutan. Rumah terpaksa dijual dan mobil satu-satunya digadaikan. Kami hidup di rumah kontrakan sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya.

Namun sikapnya berubah setelah beberapa bulan kami tinggal di sini. Mas Topan jarang pulang dan makan di rumah yang kami sewa. Ia selalu beralasan sudah makan di rumah ibu. Ternyata ia kembali menjalin hubungan dengan Farida, mantan kekasihnya dulu sewaktu sekolah. Aku tahu itu karena Ibu pernah cerita tentang masa lalu suamiku.

Ini hari kedua di bulan Ramadan tahun ini. Aku berniat mendatangi rumah ibu mertua untuk meminta Mas Topan buka puasa di rumah. Walau bagaimanapun aku ingin merasakan sahur dan buka puasa bersama suamiku.

Tapi ternyata kedatanganku menjelang magrib ini ke rumah Ibu mengungkap sebuah fakta.

"Kita bisa bicara baik-baik, Zahra." Mas Topan mengikutiku yang akan keluar rumah. Aku tak menjawab. Aku meraih tangan Malika, anak bungsuku yang sedari tadi berdiri di sudut.

Saat keluar dari pintu dapur rumah Ibu, tak disangka seseorang baru saja hendak masuk. Farida menenteng rantang yang kuyakin itu makanan untuk Mas Topan.

Darahku memanas melihat perempuan yang sudah merebut perhatian dan cinta suamiku selama beberapa bulan ini akan mengantarkan makanan untuk suamiku. Apalagi dengan dandanan paripurna.

Farida hanya berdiri mematung dan kami tidak saling sapa seperti biasanya. Aku buru-buru pulang, sesekali mengusap pipiku yang basah.

Adzan maghrib berkumandang, aku pun hanya minum seteguk. Tak ada selera makan setelah kejadian barusan.

Mas Topan ikut pulang, pria itu pun tidak makan. Dia hanya mondar-mandir mengawasiku yang sedang membereskan pakaian dan memasukkannya ke dalam tas besar.

"Coba pikiran lagi, kamu mau pergi ke mana?"

"Tidak perlu Mas tahu. Tolong selesaikan perceraian kita sebelum Mas menikahi Farida."

"Bukan seperti itu maksudku, Zahra. Kita bisa melanjutkan rumah tangga kita."

"Dengan menghadirkan wanita lain di antara kita?! Maaf, aku tidak bisa, Mas!"

"Tapi kamu bisa apa tanpa aku? Ini juga bukan sepenuhnya keinginanku."

"Tidak usah memikirkan aku dan anakmu. Pikirkan saja wanita itu juga ibumu!" Aku menutup pintu kamar lalu menguncinya.

***

Selepas subuh, aku membangunkan Malika yang masih terlelap. Anak 4 tahun itu biasanya bangun siang. Mas Topan yang semalam tidur di rumah tetap berusaha menghalangiku. Bahkan ia nekat akan ikut pergi katanya untuk memastikan aku akan pergi kemana, kalau saja ibu mertuaku tidak datang dan mengeluarkan kata-kata yang membuat Mas Topan mengurungkan niatnya.

"Selangkah saja kamu pergi mengikuti wanita itu, maka selamanya kamu jangan pulang! Ibu tidak sudi menganggapmu sebagai anak lagi."

Jelas saja Mas Topan menurut kata-kata ibunya. Aku pun tidak berharap pria itu memilihku, karena sejak dulu nyatanya ia selalu menomorsatukan keluarganya.

"Baiklah zahra, kalau kamu bersikeras. Maka sampai hari ini saja kamu menjadi istriku. Detik ini aku menjatuhkan talak padamu, Zahra Aulia Idris."

Aku mengusap air mata yang jatuh membasahi pipiku setelah mendengar kalimat yang diucapkan Mas Topan.

"Baiklah, Mas. Aku pamit dan aku ingin kamu tidak akan pernah berharap pada harta yang telah kita perjuangkan bersama."

"Harta apa? Aku tidak akan mengambil apapun, karena memang sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan. Kita tidak punya apa-apa lagi."

"Kita masih punya mobil dan piutang."

"Ambil saja. Memangnya kamu mau dapat uang dari mana untuk menebus mobil itu. Soal piutang, mimpi saja kalau si Samsul mengembalikan uang itu. Ambil, aku tak butuh harta semu."

Dengan menggunakan ojek aku pun pergi ke terminal bis. Tak apa harus menunggu lama di terminal, daripada aku diam di rumah ini.

***

Aku sudah sampai terminal kota tujuan. Hari sudah sore, aku masih duduk di bangku terminal pinggiran ibu kota. Tak ada tujuan, di sini aku tidak punya kenalan apalagi sodara.

Sebenarnya ada sodara jauh, tapi tempat tinggalnya masih dekat dengan rumahku yang dulu. Aku khawatir kalau pergi ke sana akan mudah ditemukan oleh Mas Topan.

"Ma, aku capek pengen bobo di kasur," ucap Malika yang sedang berbaring di pangkuanku.

Seketika hatiku hancur mendengar permintaannya. Maafkan Mama, Sayang. Bahkan Mas Topan tidak ada usaha untuk menahan buah hatinya.

Aku tidak bisa bertahan dengannya, karena bagiku tidak ada maaf untuk perselingkuhan. Aku sanggup mendampinginya saat dia tak punya apa-apa, tapi untuk soal kesetiaan, tidak bisa ditawar lagi.

"Sabar, ya, Sayang. Nanti kita cari tempat untuk bermalam." Air mataku hampir jatuh saat mengucapkan itu. Bagaimana bisa aku memberikan harapan pada Malika, sementara aku sendiri tidak tahu harus ke mana. Uang pun tak cukup untuk menyewa penginapan.

Aku hendak bangkit, lantaran harus mencari warung nasi karena sebentar lagi waktu berbuka puasa, ketika terdengar suara seseorang.

"Maaf Bu, apa ini botolnya sudah tidak terpakai?" Sontak aku melihat ke arah sumber suara. Seorang pria dengan baju lusuh sedang mengambil botol air mineral bekas Malika minum. Baru kali ini aku bertemu pemulung yang sopan.

"Boleh saya ambil?" lanjutnya.

"Boleh, silakan."

"Terima kasih." Pria yang memakai topi itu pun mengangkat wajahnya.

"Bu Zahra?!"

"Pak Majid?"

"Iya, Bu. Beginilah saya sekarang setelah tidak bekerja lagi pada Ibu."

Pak Majid adalah mantan karyawanku yang terpaksa diberhentikan lantaran usaha kami tutup.

"Bu Zahra kenapa di sini? Pak Topan-nya mana?"

Tanpa ragu aku segera menceritakan apa yang terjadi setelah pabrik batako tutup dan aku pulang ke kampung Mas Topan.

"Ya Allah, Bu. Kalau begitu, untuk sementara Ibu tinggal bersama kami. Kita pergi sekarang karena sebentar lagi magrib. Istri saya pasti senang."

Meski pun tidak enak, akhirnya aku setuju karena tidak ada pilihan lain. Untuk malam ini menginap dulu di rumah Pak Majid.

"Dulu sebelum saya pulang ke sini, saya mulung di dekat pabrik batako Ibu. Saat itu ada mobil berhenti di depan pabrik. Ada seorang pria muda, ganteng, seperti orang kantoran gitu. Nanyain Ibu dan Pak Topan."

"Apa Pak Majid kenal?"

"Tidak, tapi beliau menitipkan sesuatu untuk Ibu. Sekarang kita pulang dulu, nanti saya ceritakan di rumah."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    54. Kabar Duka

    Seminggu setelah tertangkapnya Mas Fatir. Malam ini Marsha mengetuk kamarku, padahal sudah hampir jam 10.00, biasanya anak itu sudah tidur. "Ada apa, Kak?" tanyaku setelah membuka pintu dan mendapati anak gadisku berdiri di luar pintu dengan wajah panik. "Maaf kalau kakak mengganggu, Ma. Tapi ini penting." "Iya, ada apa, katakan saja, Sayang." "Nenek meninggal." "Innalillahiwainnailaihirojiun." "Siapa yang mengabari?" "Budhe Tutik." Aku mengangguk meski heran. Kenapa tidak Mas Topan yang mengabari Marsha. Tetapi tidak ingin mempermasalahkan hal ini. Bisa jadi Mas Topan tidak sempat atau tidak pegang ponsel. "Kita ke sana 'kan, Ma?" tanya Marsha sambil memelukku. "Tentu saja, Sayang." "Aku mau berangkat sekarang supaya besok tidak tertinggal pemakaman nenek." "Iya, Mama bilang ayah dulu. Sekarang Kakak bersiap, ya." Setelah Marsha pergi ke kamarnya, aku pun segera mengabari Mas Fauzan yang sedang berada di ruang kerjanya. Meminta izin untuk pergi ta'jiah pada mantan mertua

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    53. Tak Disangka

    "Mas Fatir?!" Hampir tidak percaya melihat Mas Fatir duduk sambil menunduk di hadapanku. "Tega kamu melakukan ini padaku, Mas?" Suaraku bergetar menahan amarah, kaget campur marah mengetahui kalau dalang dari semua ini adalah Mas Fatir. "Yang tega itu kamu, Ra. Saat susah sudah kubantu. Setelah sukses lupa sama aku." Mas Fatir mengangkat wajahnya. Ada kilatan kemarahan di matanya, apalagi saat melirik ke arah Mas Fauzan. "Maksudnya apa?" "Kenapa menolakku dan memilih menikah dengan pria itu!" Ia melirik Mas Fauzan lagi dengan tatapan sinis. Lucu kedengarannya, kalau tidak ingat sedang di kantor polisi, mungkin aku sudah tertawa lebar. "Jelas saja aku menolak pria yang sudah beristri, Mas. Kenapa Mas Fatir tidak sadar diri?" "Bukankah sudah kubilang, kalau rumah tanggaku dalam masalah. Harusnya kamu sabar, Ra. Siapa lagi kalau bukan aku yang sabar menolongmu?" Dengan percaya dirinya Mas Fatir mengatakan itu. Padahal sudah jelas, waktu itu istrinya Mas Fatir datang dan menu

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    52. Tertangkap

    "Abang kok, kayaknya sudah tidak mau lagi aku tinggal di sini?" Frans kembali menatap Mas Fauzan. "Bukan seperti itu. Abang senang-senang aja kamu tinggal di sini, malah jadi rame karena ada Marsha ada Malika. Apa lagi kalau nanti mereka punya adik." Mas Fauzan menjeda kalimatnya sambil melirikku, aku pun spontan menunduk sambil tersenyum malu. "Lalu kenapa?" "Mami itu lebih berhak atas diri kamu. Nanti di sana juga rame setelah adik-adikmu lahir. Abang sih, terserah kamu aja, mau tinggal di sini boleh, mau tinggalin sama Mami juga boleh." "Untuk sementara aku tidak mau pergi dari sini. Aku mau sama Abang saja. Entahlah kalau suatu saat aku berubah pikiran." "Iya, Abang ngerti, tapi nanti tolong jelaskan sama Mami kamu kalau dia datang ke sini." *** Sinta dan Agung datang beberapa menit kemudian. Keduanya nampak bahagia. Mungkin momen ini yang mereka nantikan sejak lama. Di mana mereka bisa berhubungan secara terang-terangan. Setelah berbasa-basi, kami pun beralih pada pembic

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    51. Awal yang Baru

    Waktu berlalu begitu cepat. Seperti keinginan Mas Fauzan, pernikahan kami dipercepat. Seminggu setelah acara lamaran, kami pun resmi menikah di sebuah ballroom hotel mewah di kota ini. Keluarga intiku yang sengaja diemput dari kampung sampai terheran-heran melihat megahnya pesta pernikahan kami. "Suamimu beneran orang kaya, ya, Nduk." Bude Aminah paling heboh. "Sekarang percaya ta? Kalau jodoh Zahra kali ini beneran sultan." PakDe juga tak kalah antusias. Untuk menyenangkan mereka, Mas Fauzan sengaja memberikan fasilitas kamar untuk dua malam. Keluargaku tambah senang semuanya. Sebenarnya aku minta pesta yang sederhana, namun mas Fauzan menginginkan pesta yang mewah mengingat ini adalah momen pertama baginya. *** Satu bulan kemudian, Aku sudah pindah ke rumah Mas Fauzan yang di perum. Rumahku yang dulu, sekarang ditempati oleh Pak Majid dan Bu Ita. Awalnya mereka menolak, katanya lebih betah di pabrik. Supaya dekat dengan pekerjaan. Namun, aku tidak tega melihat mereka tingga

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    50. Niat Baik

    "Boleh, tapi harus minta izin dulu sama yang punya meja," sahut Mas Fauzan kemudian melirik ke arahku. Tentu saja aku kaget mendengarnya "Ah iya, tentu saja boleh." "Boleh tuh, Bang." "Makasih, ya." Keduanya langsung duduk. Lantaran kursinya hanya tersedia empat, Mas Fauzan spontan memangku Malika. "Om boleh duduk di sini? Nggak apa-apa 'kan kalau Malika duduk di pangkuan Om?" tanya Mas Fauzan setelah Malika duduk nyaman di pangkuannya. "Boleh, Om, tapi setelah ini Om temenin aku main, ya." "Ah ya, boleh." Aku jadi berpikir, apa Marsha janjian dengan Frans dan sengaja mempertemukan kami di tempat ini. Pasalnya, dari tadi kedua remaja itu terlihat saling lirik dan senyum, malah Marsha kepergok mengacungkan jempolnya ke arah Frans. Kalau benar ini rencana mereka berdua, pantas saja tidak seperti biasanya Marsha ingin pergi setengah memaksa. Padahal tadi aku sudah menolak, tapi dengan merengek anak gadisku itu terus membujukku. Spontan aku menarik tangan dari atas meja saat t

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    49. Pov Zahra

    Pov Zahra "Sayangnya kejadian itu begitu cepat dan aku tidak sempat merekamnya." Mas Fauzan mengalihkan pandangannya ke samping saat aku meminta bukti percakapan kalau Agung adalah ayah kandung Frans. Saat semalam Pak masjid bercerita tentang ayah biologis Frans, aku sempat kaget. Berarti selama ini Mas Fauzan juga dibohongi oleh perempuan itu. Sebenarnya aku bukan tidak percaya, tapi hanya ingin tahu seberapa serius Mas Fauzan padaku. "Tunggu, aku punya bukti chat dari Sinta semalam. Aku belum sempat menghapusnya." Mas Fauzan mengeluarkan ponselnya. Tak lama kemudian ia pun memperlihatkan isi chat dari kontak bernama Sinta. "Sekarang kamu percaya?" tanyanya tepat saat aku selesai membaca dua pesan itu. Sekarang giliran aku yang terpaksa mengalihkan pandangan ketika pria itu menatapku dengan lekat. "Ya, Mas, aku percaya." "Alhamdulillah, berarti siap melanjutkan hubungan kita yang sempat terhenti?" "Berita aku waktu." "Kenapa? Aku tidak ingin menunda waktu lagi, Zahra." "

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status