Share

2. Harapan

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2025-06-11 18:00:20

Rumah Pak Majid letaknya tidak jauh dari terminal. Kami berjalan selama 10 menit untuk sampai ke sana. Rumahnya sederhana, tinggal hanya berdua dengan istrinya. Katanya anak-anaknya semuanya sudah punya keluarga dan tidak tinggal di kota ini.

Pak Majid dulunya orang kepercayaan Mas Topan. Jadi dia tahu pasti bagaimana kondisi pabrik batako milik kami saat itu. Pun ketika terpaksa usaha itu terhenti.

Aku juga mengerti tentang bisnis itu karena sering terlibat. Aku bukan tipe wanita yang cuma puas berdiam diri di rumah.

Pak Samsul adalah seorang pengusaha properti. Ia sudah lama bekerja sama dengan kami yang menjadi salah satu pemasok batako untuk proyek Pak Samsul.

Namun sayangnya kepercayaan kami ternoda. Tahun lalu pak Samsul tidak membayar barang yang sudah ia pake untuk proyeknya. Selama bertahun-tahun dia jadi pelanggan dan bisa dipercaya. Sudah biasa melakukan pembayaran di akhir.

Kami merasa ditipu dan produksi pun berhenti. Mau menggugat melalui jalur hukum tidak ada dana. Akhirnya kami kehilangan semua aset untuk menutupi berbagai biaya termasuk membayar gaji karyawan yang ditunggak.

Bu Ita, wanita paruh baya yang menjadi istri Pak Majid pun tidak masalah dengan kedatanganku. Meski aku baru pertama kali bertemu dengannya, namun Bu Ita seperti yang sudah kenal denganku. Rupanya Pak Majid sering bercerita tentang keluargaku.

"Bu Zahra tinggal di sini aja. Kebetulan saya tidak ada teman. Tapi maaf, keadaan kami seperti ini."

"Nanti merepotkan, Bu."

"Insya Allah tidak. Bapak sudah sering cerita tentang keluarga Bu Zahra yang baik. Dulu sewaktu Bapak kerja pada Ibu, kami sering ditolong, diberi pinjaman. Sekarang giliran kami yang menolong Ibu meski hanya semampunya. " Mata Bu Ita mengerjap.

"Terima kasih sebelumnya, Bu."

Alhamdulillah malam ini Malika bisa tidur di tempat yang layak meski hanya beralas kasur busa yang sudah tipis. Selepas berbuka, Pak Majid dan istrinya pergi solat tarawih. Sedangkan aku tak ikut lantaran Malika sudah terlelap.

Bersyukur tadi sore bertemu Pak Majid di terminal. Kalau tidak, entah tidur di mana malam ini. Kupandangi wajah Malika yang begitu lelap. Beribu maaf kembali terucap tanpa suara. Mungkin aku egois dengan membawa Malika pergi seperti ini. Tapi aku akan berusaha bangkit untuk mencukupi kebutuhannya.

Aku jadi teringat dengan anak sulungku, Marsha. Tahun lalu ia terpaksa keluar pesantren lantaran tak ada biaya. Marsha kini bersekolah di SMA umum dan hidup mandiri. Saat kuajak pindah ke kampung dulu, ia menolak. Sebenarnya tak tega melihatnya sekolah sambil jualan on-line, tapi itu pilihannya.

Meraih ponsel bermaksud menghubungi Marsha, namun aku baru ingat kalau sudah beberapa hari ini paketan kuotaku habis. Kembali kuusap dada yang terasa sesak. Semoga saja ada jalan rezeki agar aku tidak tergantung pada siapa pun kecuali pada Allah dan diriku sendiri.

***

Paginya selepas subuh, Pak Majid sudah berangkat lagi mulung. Sedangkan Bu Ita di rumah kerjanya memilih barang yang dikumpulkan suaminya. Aku pun membantu. Selain memang tidak ada kerjaan, aku juga tidak ingin terkesan menumpang dan berpangku tangan.

Menjelang siang aku pun pamit untuk mengisi pulsa. Atas penunjuk Bu Ita aku mendatangi konter terdekat. Bukan hanya mengisi kuota tapi aku juga menggantinya dengan nomor baru. Mulai saat ini aku sudah tidak mau berhubungan dengan Mas Topan dan keluarganya yang ternyata sekongkol menutupi perselingkuhan Mas Topan dan Farida.

Kupandangi uang lima ribu sisa membeli kartu baru. Lalu beralih menatap wajah Malika yang berjalan di sebelahku. Besok aku ikut mulung saja dengan Pak Majid supaya punya penghasilan sendiri. Tak enak juga lama-lama menumpang di rumah Pak Majid.

"Haus, Ma." Malika merengek sambil berhenti.

"Mama gendong, ya."

"Mau jajan minuman dingin." Anak itu menunjuk sebuah minimarket di seberang jalan.

"Sekarang 'kan lagi puasa. Tidak ada yang menjual minuman dingin. Nanti minumnya di rumah Pak Majid aja, ya."

Aku terpaksa berbohong. Uang lima ribu mana cukup membeli minuman dingin di toko itu. Belum lagi kalau Malika minta jajan lain.

Segera aku meraih tubuh mungilnya lalu menggendongnya dan pergi. Lagi-lagi batinku menangis, semakin kuat tekad untuk bekerja apapun itu yang penting halal.

***

Jam istirahat sekolah aku pun menghubungi anak sulungku itu. Menjelaskan pelan-pelan tentang apa yang terjadi antara aku dan ayahnya. Marsha sudah cukup dewasa untuk mengetahui ini.

"Mama tinggal sama aku aja di kosan."

"Nggak, Mama tidak mau Papa tahu di mana Mama berada. Kamu harus merahasiakan keberadaan Mama. Papa tidak mau menceraikan Mama tapi Mama tidak mau dimadu."

"Mama ada uang gak? Nanti Marsha kirim."

"Tidak usah, Mama masih ada, kok. Buat jajan kamu aja. Mama juga minta maaf kalau selama ini sangat minim ngasih uang jajan untuk Marsha."

Aku kembali berbohong padahal anakku, mengatakan punya uang padahal hanya ada lima ribu. Aku tidak ingin membebani Marsha, dia sudah bisa berjuang sendiri pun aku sudah merasa jadi orang tua yang gagal.

Menjelang dzuhur Pak Majid pulang. Kata Bu Ita, di bulan puasa siang hari Pak Majid istirahat dulu. Nanti pergi lagi sore hari. Setelah sholat dhuhur Pak Majid memanggilku.

Aku ingat ucapannya kemarin di terminal sebelum aku ikut pulang ke sini, bahwa ada seseorang yang mencariku.

"Ibu ingat, kemarin saya bilang apa waktu dia terminal?"

"Ada seseorang yang mencari kami?"

"Betul, beliau tidak bilang siapa dan apa keperluannya. Cuma menitipkan ini." Pak  Majid menyerahkan secarik kertas berisi nomor telepon.

"Saat itu saya ingin memberikan nomor telepon Ibu pada orang itu, tapi saya tidak bawa ponsel. Sampai di rumah saya mencoba menghubungi Ibu, tapi nomor kalian tidak aktif."

"Begitu pulang kampung, kami mengganti semua nomor karena banyak pesan masuk dari pelanggan. Aku tidak bisa menjelaskan satu persatu pada mereka kalau pabrik ditutup. Makanya kami memutuskan untuk mengganti nomor."

"Oh, begitu, ya? Coba Ibu hubungi nomor itu, siapa tahu penting."

Aku menurut, membuka ponsel yang kebetulan sudah pada paket kuotanya. Segera kuketik angka-angka  yang tertera di kertas tersebut.

Namun hingga beberapa detik hanya berdering. Tidak ada jawaban.

"Orangnya mungkin sedang sibuk. Coba nanti ulang beberapa menit lagi."

"Apa dia mau menitip pesan lain selain memberikan nomor ini?"

"Tidak, Bu. Hanya bilang kalau saya bertemu Ibu, tolong sampaikan supaya hubungi dia."

Lima menit kemudian aku mencoba kembali menghubungi nomor tersebut. Berharap kali ini ada jawaban, jujur saja aku was-was karena orang ini masih teka-tek.

"Hallo .... "

Alhamdulillah ada jawaban, suara seorang laki-laki.

"Iya .... "

"Dengan siapa?"

"Saya Zahra."

"Bu Zahra istrinya Pak Topan?"

"Betul "

"Alhamdulillah, akhirnya Ibu menghubungi saya. Perkenalkan, saya Fauzan anaknya Pak Samsul."

Mataku sontak membola ketika mendengar pria di seberang sana memperkenalkan diri sebagai anaknya Pak Samsul.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    60. Tak Terduga

    Dua hari sudah aku bersama Pak Asman di tempat ini. Lumayan terhibur dengan adanya ponsel. Aku bisa mendengarkan musik sambil menganyam. Selama ini aku keluar hanya untuk menjual jaring hasil anyamanku di kios sudut pasar dan membeli bahan. Sekarang aku harus keluar untuk mengisi paket data jika sudah habis. Mudah-mudahan saja aman. "Alhamdulillah ada lemburan, To," ucap Pak Asman setelah menerima telepon dari seseorang. "Siapa yang menelepon?" "Mandor. Katanya akan ada material datang berupa batako dan kita yang bongkar. Mayan kan." Aku menautkan alis. Setahuku dulu saat jadi pemasok batako, yang bongkar itu pekerja dari pabrik batako itu sendiri. "Kita yang bongkar? Emangnya pabrik batako itu tidak punya karyawan?" "Pasti ada lah, anggap saja ini rezeki kita." Pak Asman menepuk bahuku. "Ayi bersiap, To!" Tambah pria itu sembari bangkit dan berganti pakaian. Mau tidak mau aku pun mengikutinya meski agak malas. Semenjak berbicara dengan Mbak Tutik tempo hari dan me

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    59. Kabar Ibu

    Sempat khawatir bertemu dengan orang yang kenal, namun akhirnya aku berhasil kembali dengan ponsel yang sudah kupasang kartu baru. Pak Asman belum kembali, aku pun bergegas menyalakan ponsel yang sudah kuisi batrenya. Meski belum penuh tapi bisa digunakan. Tak sabar aku menghubungi Mbak Tutik terlebih dahulu. Ada dorongan kuat untuk mengetahui kabar Ibu. "Benar ini kamu, Pan? Kamu ganti nomor?" Di seberang sana, terdengar suara Kakak perempuanku itu penasaran. "Iya, Mbak. Sengaja aku mengganti nomor karena Mbak tahu sendiri lah keadaanku." "Sampean di mana, Pan? Keadaanmu baik-baik saja, 'kan?" Masih dengan nada khawatir, Mbak Tutik terus bertanya. Pelan-pelan aku menjelaskan tentang keadaanku sekarang. Tanpa kuminta, aku yakin Mbak Tutik akan merahasiakan ini pada orang lain. Setelah beberapa saat aku bercerita, terdengar helaan napasnya berat. "Si Aldi kayaknya marah besar, Pan. Mbak gak tahu bagaimana jadinya kalau dia tahu keberadaanmu. Saran Mbak, kamu ju

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    58. Takut Ketahuan

    Minggu berikutnya, seperti kata Pak Asman, hampir semua orang pulang. Awalnya aku berniat ikut pulang bersama Dirun ke kampunnya, itung-itung refreshing. Tetapi niat itulah kuurungkan lantaran terlalu beresiko. Merasa aman tinggal di proyek ini lantaran tidak bertemu banyak orang. "Pak Asman tak jadi pulang?" tanyaku pada pria yang sebelumnya nampak antusias bertemu keluarga. Pria dengan ciri khas sarungnya itu menggeleng tanpa bersuara. Aku pun menghentikan aktivitas menganyam setelah semua teman-teman berangkat dan tersisa kami berdua. Meraih tempat tembakau milik Pak Asman lalu mulai melinting. "Males." "Lho, kok, mau ketemu keluarga males. Apa gak kangen sama anak istri?" "Saat ini bukan lagi tentang kangen atau tidak. Tapi tentang siap atau tidak." Aku mengernyit mendengar penuturannya. Belum bisa memahami apa maksud ucapannya. "Kayak mau ketemu calon mertua aja, pake acara siap gak siap." Aku tersenyum kecil sambil membuang asap tembakau. Terdengar helaan panjang lal

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    57. Bersembunyi

    Pov Topan "Mas Toto ikut gak?" Terdengar suara Dirun bertanya pada seseorang. Sementara mataku masih fokus pada tangan yang lincah memainkan alat untuk menganyam jaring. Selain untuk menambah penghasilan, kegiatan ini pun aku lakukan untuk mengusir sepi. Saat rekan-rekanku pergi ke luar, atau main kartu menjelang tidur, aku memilih berkutat dengan benang-benang nilon ini. "Mas! Mas Toto denger, gak?" Dirun mengulangi pertanyaannya dengan suara agak keras. "Mas Toto!" Selanjutnya aku merasakan tepukan di bahu kananku, hingga aku sadar pertanyaan itu ditujukan padaku. Selama tiga bulan aku menggunakan nama Toto, masih sering saja tidak sadar kalau orang lain sedang memanggil namaku. "Oh iya, enggak, aku di sini saja. Kalian kalau mau senang-senang, pergilah!" Aku tersenyum miris karena selama tiga bulan ini belum pernah sekalipun pergi keluar komplek proyek ini. "Aku heran sama Mas Toto yang tahan diam di tempat, seperti yang gak butuh hiburan. Padahal di luar itu banyak hal i

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    56

    Tanpa pikir panjang lagi, Mas Fauzan mengambil dompet dan mengeluarkan uang merah dua lembar. Aku melirik Mbak Wulan, wanita itu sempat terbelalak melihat kartu kredit yang berjajar di dalam dompet suamiku. Aku pun menahan senyum melihat reaksinya. "Sudah lunas, ya. Kalau ketemu sama Topan nanti, tolong sampaikan salam saya padanya. Sekarang kami permisi dulu." Meski masih dalam ekspresi kaget, Mbak Wulan menerima uang itu. Setelah itu Mas Fauzan meraih tanganku lalu melangkah meninggalkan Mbak Wulan yang nampak senang menggenggam uang 200.000. "Mas, kok, mau-maunya bayarin?" "Terlepas benar atau tidak Topan punya utang sama dia, aku cuma ingin masalah cepat selesai. Gak ada gunanya berdebat sama orang seperti itu." "Ya Mas, dulu aja Mbak Wulan itu paling kepo dan suka gosip." "Makanya, mudah-mudahan kedepannya tidak bertemu lagi dengan wanita seperti itu." "Makasih ya, Mas." *** Malam ini kami sedang bersiap. Aku menggunakan gaun warna hitam full payet yang baru s

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    55. Entah di Mana

    "Mbak nggak tahu persis permasalahannya, setahu Mbak, dia diancam oleh anaknya Farida. Dengar-dengar dari orang sih, katanya Topan mengambil padi dari gudangnya Farida tanpa izin anak sambungnya. Aldi tidak terima dan hampir saja mengerahkan massa untuk mengeroyok Topan." Sekarang giliran aku yang menarik napas dalam-dalam. Sampai segitunya kehidupan Mas Topan sekarang. "Seperti itulah Topan sekarang, dia menikah dengan Farida bukannya tambah kaya, malah tambah sengsara. Kalau saja dulu dia mempertahankan rumah tangganya denganmu dan tidak tergoda wanita itu." Mbak Tutik mengusap lenganku. "Jodoh kami hanya sampai di situ, Mbak. Meskipun harus ada yang tersakiti dulu." "Mbak sedih, bahkan di hari-hari terakhir Ibu, Topan tidak bisa menemuinya." Mbak Tutik kembali menunduk. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semua yang terjadi atas kehendakNya, meskipun jalannya harus pahit dulu. Kehilangan Mas Topan bukan hal mudah bagiku. Bersyukur aku bisa melewati semua ini. Menemukan ora

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status