Baru saja aku mengangkat kaki, bermaksud menghampiri Agung di dalam ruangan. Pria itu sudah berdiri di pintu dengan ponsel di tangannya. Sepertinya suara tote bag yang jatuh dan menimbulkan suara itu mengalihkan perhatian Agung. Untuk beberapa saat kami hanya saling tatap. Agung berdiri kaku, wajahnya nampak sedikit panik. Sahabatku itu mungkin tidak menyangka kalau aku menguping pembicaraannya. "Aku tidak salah dengar, bukan?" tanyaku dengan suara yang ditekan serendah mungkin. Padahal aslinya ingin berteriak sambil mencengkram baju bagian lehernya. "Mmm ... aku bisa jelaskan, Fauzan." "Jawab dulu! Apa aku tidak salah dengar, baru beri aku penjelasan!" Gigiku beradu satu sama lain, jika benar apa yang kudengar barusan, berarti Agung dan Sinta telah menghianatiku. Parahnya mereka menipu Papa selama ini. "Kita bicara di dalam, Fauzan." Agung maju beberapa langkah dan hendak meraih tanganku, namun segera kutepis. Yak sudi aku bersentuhan dengan pengkhianat ini. Mendapat respon sep
Babak kedua segera dimulai, kulihat Frans sangat bersemangat, begitu pula dengan Agung. Frans dengan aksinya yang membuat semua bersorak saat berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Skor sementara imbang. Sampai beberapa menit menjelang permainan berakhir, Agung kembali memberikan satu gol untuk teamnya, tanpa bisa dibalas oleh team lawan. Permainan berakhir, kulihat Agung begitu bahagia hingga ia memeluk Frans begitu erat. Kebahagiaan seorang coach yang mendapatkan hadiah 2 gol dari anak didiknya. "Terima kasih, ya, Abang sudah menyemangatiku," teriak Frans begitu aku mendekat. "Selamat, ya, Frans. Kamu memang hebat." Aku menepuk pundaknya. Frans pun mendekat lalu memelukku sebentar. "Semua karena Abang. Kalau saja Abang tidak membawaku pergi dari rumah itu dan mengizinkanku masuk sekolah bola, tentu momen ini tidak akan terjadi." Kali ini mata Frans berkaca-kaca. Aku tahu mungkin ini impian lama Frans, impian yang selalu dihalangi oleh Sinta, ibunya. Sampai di rumah, Frans
Bagiku tak masalah Sinta mau punya hubungan dengan siapapun, termasuk Agung. Tapi kenapa mereka terkesan menyembunyikannya dariku, bahkan Sinta harus pura-pura ingin menjadi istriku. Lalu kenapa pula Sinta melarang Frans bermain bola. Bukankah seharusnya dia bersyukur anak itu hobi bola dan bisa menitipkannya pada Agung. Semenjak mengetahui hubungan mereka, aku berharap punya kesempatan untuk memergoki keduanya. Supaya aku punya alasan yang kuat untuk mengusir wanita itu. Sudah seminggu ini Frans pergi latihan tiap hari untuk persiapan pertandingan. Jika ada waktu, aku menemaninya. Tetapi kalau kebetulan aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, terpaksa aku suruh supir yang mengantar Frans. Siang ini Pak Majid mengirim pesan dan memintaku datang ke percetakan. Sepertinya serius karena pria itu memintaku datang segera. Mungkin ini atas perintah Zahra pula lantaran sejak kejadian itu Zahra tidak lagi mengirim pesan padaku. Jika ada apa-apa yang berkaitan dengan kasus batak
"Sekiranya Frans mampu dan bisa diandalkan, gue sih oke-oke aja. Tapi jangan sampai nanti anak itu malu-maluin, mengingat dia kan gabungnya belum lama." "Gue jamin gak bakal malu-maluin. Kayaknya dia punya bakat yang lumayan bagus." Mata Agung berbinar ketika mengucapkan itu. "Oke .... " "Jadi lu ngizinin?" "Tapi Frans belum ada cerita." "Kebetulan gue belum ngomong ke anak-anak, rencananya baru mulai hari ini atau besok. Gue masih menyeleksi secara diam-diam." Agung mengubah posisi duduknya untuk mengambil ponsel di saku celananya setelah benda itu berbunyi. Posisi kami yang duduk bersebelahan membuatku bisa melihat jelas siapa yang melakukan panggilan. Sebelum Agung bangkit dan menjauh dariku, foto Sinta begitu jelas kulihat di layar ponsel. Entah apa yang dibicarakan oleh keduanya, lantaran Agung menerima telepon di tempat yang cukup jauh selama beberapa menit. Pria itu kembali mendekatiku dengan ponsel yang sudah berada di sakunya lagi. "Oh ya, kayaknya sudah waktunya di
Pulang dari sekolah, tidak biasanya Frans minta mampir ke mall. Ketika ditanya dia mau apa, jawabnya cuma mau ngadem. Padahal di rumah juga ada AC. Sebagai kakak yang baik, aku pun menuruti keinginannya. Suatu malam, aku pernah berbicara dari hati ke hati ketika kami duduk bersama. Saat aku tanya bagaimana dulu hubungannya dengan Papa, maka jawaban Frans membuatku terperangah. "Papi selalu sibuk bekerja, tidak ada waktu untukku. Aku hanya berkomunikasi dengan Mami, itu pun aku tidak bebas mengemukakan pendapat dan punya keinginan. Semua sudah diatur sama Mami, termasuk sekolah dan semua kegiatanku. Makanya diam-diam aku ikut nongkrong bersama teman-teman. Anehnya Mami tidak melarangku saat aku belajar nyetir, padahal usiaku belum cukup untuk itu." Dari cerita Frans aku bisa menyimpulkan, kalau Papa tidak begitu perhatian padanya. Sinta juga terlalu egois sebagai seorang ibu. Aku merasa bersalah lantaran baru pulang beberapa bulan ini. Sebagai gantinya, saat ini aku akan memberikan
"Tidak, Pak, tapi ini memang kecerobohan saya yang mengunggah status di media sosial tentang pekerjaan saya sekarang. Saya lupa kalau saya berteman dengan Pak Topan. Akhirnya dia mengirim pesan dan bertanya saya kerja di mana. Yang akhirnya saya mengatakan semuanya. Awalnya saya menolak ketika Pak Topan meminta saya melakukan itu tapi saya butuh uang, istri saya terjebak utang." Susah payah aku merahasiakan ini, tapi akhirnya pria itu mengetahuinya dari anak buahnya sendiri. Hal yang tidak pernah terpikirkan olehku ketika memutuskan untuk memperkerjakan karyawan lama. Yang kuingat saat itu adalah kinerjanya, aku tidak pernah memikirkan akibatnya seperti ini. "Pak Topan juga mengancam akan menjebloskan saya ke penjara kalau saya memberitahu bahwa dia adalah dalangnya." "Tidak usah takut selagi kamu jujur. Apalagi kalau kamu punya bukti-bukti chat saat Topan saat menyuruhmu." Mas Fauzan menimpali. "Pak Topan jarang chat. Dia selalu menelpon." "Tapi log-nya masih ada?" "Mas