Share

31. Tak Mau Pergi

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-07 23:20:23

"Ini terakhir kalinya aku menyuruhmu keluar dari rumah ini!" Kutunjuk wajahnya lalu telunjukku beralih ke pintu kamarnya.

"Kamu kenapa, Zan?" tanyanya berlagak polos. Padahal sudah jelas dan berulang kali aku mengusirnya.

"Kesalahanmu sudah fatal. Kamu mendatangi Zahra dan mengumbar fitnahmu itu. Sekarang tidak ada ampun lagi!"

"Yang fitnah itu siapa? Justru kamu yang menuduhku. Siapa Zahra?" Sinta masih berkelit.

"Cepat pergi!"

"Tidak akan!"

"Baiklah. Jika kamu tidak mau pergi, maka aku yang keluar dari rumah ini. Tapi bukan berarti aku menyerahkan rumah ini padamu. Ingat, suatu saat akan kubuat kau pergi dari sini! Satu lagi, aku tidak akan membiarkan Frans tumbuh bersama ibu sepertimu!"

"Apa maksudmu?"

Kupacu langkah menuju pintu kamar Frans. Beruntung anak itu cepat membukanya setelah ketukan pertama.

"Abang mau pindah dari rumah ini. Sekarang kamu pilih, mau tetap tinggal di sini atau ikut berkemas?!"

"Aku ikut Abang." Tanpa pikir panjang, Frans memberikan jawaban.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    49. Pov Zahra

    Pov Zahra "Sayangnya kejadian itu begitu cepat dan aku tidak sempat merekamnya." Mas Fauzan mengalihkan pandangannya ke samping saat aku meminta bukti percakapan kalau Agung adalah ayah kandung Frans. Saat semalam Pak masjid bercerita tentang ayah biologis Frans, aku sempat kaget. Berarti selama ini Mas Fauzan juga dibohongi oleh perempuan itu. Sebenarnya aku bukan tidak percaya, tapi hanya ingin tahu seberapa serius Mas Fauzan padaku. "Tunggu, aku punya bukti chat dari Sinta semalam. Aku belum sempat menghapusnya." Mas Fauzan mengeluarkan ponselnya. Tak lama kemudian ia pun memperlihatkan isi chat dari kontak bernama Sinta. "Sekarang kamu percaya?" tanyanya tepat saat aku selesai membaca dua pesan itu. Sekarang giliran aku yang terpaksa mengalihkan pandangan ketika pria itu menatapku dengan lekat. "Ya, Mas, aku percaya." "Alhamdulillah, berarti siap melanjutkan hubungan kita yang sempat terhenti?" "Berita aku waktu." "Kenapa? Aku tidak ingin menunda waktu lagi, Zahra." "

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    48. Bagaimana Caranya

    Sampai di percetakan, aku langsung menyerahkan hadiah yang batal kuberikan untuk Agung pada Pak Majid. "Bagus sekali, Pak. Ini terlalu bagus buat saya." "Pakai saja, itu rezeki Bapak." Aku tersenyum bahagia melihat raut wajah Pak Majid saat memandangi benda itu. "Tetapi saya minta tolong." Pak Majid mengalihkan pandangannya dari jam tangan ke arahku. "Jadi ceritanya ini sogokan?" Godanya sambil mengeringkan mata. "Tidak juga. Hadiah itu tadinya untuk orang lain, tapi ada satu hal yang membuat saya urung memberikannya. Jadi daripada dibuang, mending saya kasih Pak masjid saja." "Wah, jangan dibuang, dong. Barang sebagus ini masa dibuang. Jadi Pak Fauzan mau minta tolong apa?" tanyanya antusias sambil menyimpan jam tangan tersebut ke dalam kotaknya. Kemudian kuceritakan perihal Frans, Sinta dan Agung secara detail pada pria itu. Pak Majid menyimak dengan serius sambil sesekali manggut-manggut kemudian mengusap wajahnya. "Saya pulang dulu, kabarin kalau Zahra siap ketemu." "S

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    47. Kembalikan!

    Baru saja aku mengangkat kaki, bermaksud menghampiri Agung di dalam ruangan. Pria itu sudah berdiri di pintu dengan ponsel di tangannya. Sepertinya suara tote bag yang jatuh dan menimbulkan suara itu mengalihkan perhatian Agung. Untuk beberapa saat kami hanya saling tatap. Agung berdiri kaku, wajahnya nampak sedikit panik. Sahabatku itu mungkin tidak menyangka kalau aku menguping pembicaraannya. "Aku tidak salah dengar, bukan?" tanyaku dengan suara yang ditekan serendah mungkin. Padahal aslinya ingin berteriak sambil mencengkram baju bagian lehernya. "Mmm ... aku bisa jelaskan, Fauzan." "Jawab dulu! Apa aku tidak salah dengar, baru beri aku penjelasan!" Gigiku beradu satu sama lain, jika benar apa yang kudengar barusan, berarti Agung dan Sinta telah menghianatiku. Parahnya mereka menipu Papa selama ini. "Kita bicara di dalam, Fauzan." Agung maju beberapa langkah dan hendak meraih tanganku, namun segera kutepis. Yak sudi aku bersentuhan dengan pengkhianat ini. Mendapat respon sep

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    46. Dia Anakku

    Babak kedua segera dimulai, kulihat Frans sangat bersemangat, begitu pula dengan Agung. Frans dengan aksinya yang membuat semua bersorak saat berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Skor sementara imbang. Sampai beberapa menit menjelang permainan berakhir, Agung kembali memberikan satu gol untuk teamnya, tanpa bisa dibalas oleh team lawan. Permainan berakhir, kulihat Agung begitu bahagia hingga ia memeluk Frans begitu erat. Kebahagiaan seorang coach yang mendapatkan hadiah 2 gol dari anak didiknya. "Terima kasih, ya, Abang sudah menyemangatiku," teriak Frans begitu aku mendekat. "Selamat, ya, Frans. Kamu memang hebat." Aku menepuk pundaknya. Frans pun mendekat lalu memelukku sebentar. "Semua karena Abang. Kalau saja Abang tidak membawaku pergi dari rumah itu dan mengizinkanku masuk sekolah bola, tentu momen ini tidak akan terjadi." Kali ini mata Frans berkaca-kaca. Aku tahu mungkin ini impian lama Frans, impian yang selalu dihalangi oleh Sinta, ibunya. Sampai di rumah, Frans

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    45. Imbang

    Bagiku tak masalah Sinta mau punya hubungan dengan siapapun, termasuk Agung. Tapi kenapa mereka terkesan menyembunyikannya dariku, bahkan Sinta harus pura-pura ingin menjadi istriku. Lalu kenapa pula Sinta melarang Frans bermain bola. Bukankah seharusnya dia bersyukur anak itu hobi bola dan bisa menitipkannya pada Agung. Semenjak mengetahui hubungan mereka, aku berharap punya kesempatan untuk memergoki keduanya. Supaya aku punya alasan yang kuat untuk mengusir wanita itu. Sudah seminggu ini Frans pergi latihan tiap hari untuk persiapan pertandingan. Jika ada waktu, aku menemaninya. Tetapi kalau kebetulan aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, terpaksa aku suruh supir yang mengantar Frans. Siang ini Pak Majid mengirim pesan dan memintaku datang ke percetakan. Sepertinya serius karena pria itu memintaku datang segera. Mungkin ini atas perintah Zahra pula lantaran sejak kejadian itu Zahra tidak lagi mengirim pesan padaku. Jika ada apa-apa yang berkaitan dengan kasus batak

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    44. Yakin

    "Sekiranya Frans mampu dan bisa diandalkan, gue sih oke-oke aja. Tapi jangan sampai nanti anak itu malu-maluin, mengingat dia kan gabungnya belum lama." "Gue jamin gak bakal malu-maluin. Kayaknya dia punya bakat yang lumayan bagus." Mata Agung berbinar ketika mengucapkan itu. "Oke .... " "Jadi lu ngizinin?" "Tapi Frans belum ada cerita." "Kebetulan gue belum ngomong ke anak-anak, rencananya baru mulai hari ini atau besok. Gue masih menyeleksi secara diam-diam." Agung mengubah posisi duduknya untuk mengambil ponsel di saku celananya setelah benda itu berbunyi. Posisi kami yang duduk bersebelahan membuatku bisa melihat jelas siapa yang melakukan panggilan. Sebelum Agung bangkit dan menjauh dariku, foto Sinta begitu jelas kulihat di layar ponsel. Entah apa yang dibicarakan oleh keduanya, lantaran Agung menerima telepon di tempat yang cukup jauh selama beberapa menit. Pria itu kembali mendekatiku dengan ponsel yang sudah berada di sakunya lagi. "Oh ya, kayaknya sudah waktunya di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status