Share

6. Kecewa

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2025-06-12 19:14:03

Setelah pabrik batako milikku mengalami kebangkrutan dan hampir semua aset habis, aku memutuskan untuk pulang kampung. Ini juga atas permintaan Ibu. Di kampung, aku bisa kerja serabutan. Bahan makanan juga banyak yang gratis. Apalagi kalau rajin bercocok tanam.

Semua ini gara-gara si Samsul. Pria itu membohongiku, uang ratusan juta untuk pembayaran batako tidak kunjung ia bayar. Awalnya aku percaya kalau Samsul akan membayar di akhir, sebab kami bekerja sama sudah lama. Tapi kali ini dia curang. Orang itu pun kabur entah ke mana.

Mungkin ini namanya hikmah dibalik musibah. Setelah di kampung, aku bertemu kembali dengan mantan pacarku dulu. Farida, yang ternyata sekarang sudah menjanda. Dulu hubungan kami tidak direstui oleh orang tuanya lantaran perbedaan status sosial. Ida memang dari kalangan orang berada sementara keluargaku biasa saja. Aku pun pergi merantau untuk memperbaiki nasib supaya bisa mempersunting Ida, tapi nasib berkata lain. Sebelum aku sukses, Ida sudah menikah dengan pria pilihan orang tuanya.

Saat itulah aku bertemu dengan Zahra. Aku pun segera menikahi Zahra karena ingin menunjukkan pada Farida bahwa pun bisa mendapatkan gadis yang lebih cantik darinya. Tapi setelah puluhan tahun, lagi-lagi nasib membawaku untuk bersatu kembali dengan Farida.

Ibu juga sepertinya merestui hubunganku dengan Ida. Sampai pada akhirnya aku nyaman lagi dalam hubungan ini. Kami pun tidak bisa pisah satu sama lain.

Selain Ida adalah cinta pertamaku, keadaan ekonomi Farida yang masih stabil sampai saat ini juga menjadi alasanku untuk mempertahankannya.

Selama dua puluh tahun menikah dengan Zahra, aku sudah punya segalanya. Rumah, mobil, bisnis juga anak. Namun harta bendaku seketika hilang karena ulah seorang Samsul.

Sialnya, sebelum aku menyampaikan pada Zahra perihal hubunganku dengan Ida, istriku itu terlanjur mengetahuinya. Namun setelah aku menyampaikan kelanjutan hubunganku dengan Ida tanpa berniat menceraikannya, Zahra malah memilih pergi. Aku pun keceplosan mengucap kata talak.

Meskipun berat tapi akhirnya aku membiarkan wanita tiga puluh delapan tahun itu pergi bersama anak bungsu kami. Aku yakin beberapa hari lagi dia pasti kembali dan memohon supaya rujuk denganku.

Memangnya dia mau ke mana? Apa yang bisa dia lakukan tanpa aku? Selama ini Zahra sangat bergantung padaku. Mau pulang ke tempat keluarga nya juga tidak mungkin. Sebab mereka kurang perhatian pada Zahra.

***

Satu minggu setelah kepergian Zahra, ternyata wanita itu belum kembali. Palingan juga dia jadi pengemis atau mulung untuk bertahan hidup. Mau sampai kapan bertahan?

Sempat bertanya pada Marsha, anak sulungku yang tinggal dan bersekolah di kota, bisa jadi Zahra tinggal bersamanya. Tapi anakku itu tidak tahu apa-apa. Ternyata Zahra sama sekali tidak menghubungi Marsha. Bisa jadi karena Zahra tidak punya uang untuk membeli pulsa.

Aku lebih baik fokus pada hubunganku dengan Ida. Hari ini kami resmi menikah dengan acara syukuran sederhana, yang penting sah. Toh kami sudah tidak muda lagi.

Ibu sangat bahagia dengan pernikahan ini. Atas desakan beliau juga pernikahan ini segera dilaksanakan. Sebentar lagi aku akan hidup enak tanpa harus banyak kerja. Sawah dan kebun Ida luas, kerjaku paling hanya mengawasi para pekerja. Makan, rokok, pakaian dan uang tinggal minta. Mungkin ini yang dinamakan kaya di masa tua tanpa kerja keras.

Malam ini pertama kalinya aku akan tinggal di rumah besar Ida. Rumah ini bahkan lebih besar dari punyaku dulu di kota.

"Lho, mau dibawa ke mana, Sayang?" Aku heran melihat Ida memindahkan pakaiannya dari lemari ke dalam keranjang plastik.

"Kita pindah, Mas," jawab Ida sambil terus mengambil baju-bajunya dari lemari besar.

"Pindah ke mana? Bukankah ini rumahmu? Rumah kita, Sayang?"

"Apa? Rumah kalian?!"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Aldi, anak sulung Ida yang sudah bujang berdiri sambil berkacak pinggang.

"Enak saja bilang rumah kalian! Rumah ini dibangun oleh almarhum Bapakku dengan jerih payah dan tetesan keringatnya. Sekarang seenaknya, kamu orang asing mengaku-ngaku! Masih untung aku tidak mengusir kalian dari rumah ini!"

Setelah itu Adi membalikkan badannya dan berlalu. Ida masih menyusun barang-barangnya saat aku mendekat

"Sayang, tolong jelaskan. Ada apa ini? Kenapa Aldi se-marah itu?"

"Nanti aku jelaskan. Sekarang tolong bantu aku pindahkan barang-barang ini ke kamar belakang!"

"Kamar belakang?"

"Iya. Sudah, jangan banyak tanya!"

Setengah memaksa, Ida menarik tanganku. Mau tidak mau aku pun membantu pekerjaannya. Semua baju dan barang-barang pribadi Ida yang ada di kamar ini dipindah ke kamar belakang. Persis di sebelah mushola, dekat dapur. Meskipun bersih, kamarnya lebih sempit dari kamar yang tadi. Hanya terdapat satu kasur busa tanpa dipan dan dua buah lemari plastik.

Ida masih belum mau menjelaskan sebelum barang-barangnya tersusun rapi. Aku pun membantu tanpa protes karena percuma saja terus beberapa bertanya kalau Ida belum mau menjelaskan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    60. Tak Terduga

    Dua hari sudah aku bersama Pak Asman di tempat ini. Lumayan terhibur dengan adanya ponsel. Aku bisa mendengarkan musik sambil menganyam. Selama ini aku keluar hanya untuk menjual jaring hasil anyamanku di kios sudut pasar dan membeli bahan. Sekarang aku harus keluar untuk mengisi paket data jika sudah habis. Mudah-mudahan saja aman. "Alhamdulillah ada lemburan, To," ucap Pak Asman setelah menerima telepon dari seseorang. "Siapa yang menelepon?" "Mandor. Katanya akan ada material datang berupa batako dan kita yang bongkar. Mayan kan." Aku menautkan alis. Setahuku dulu saat jadi pemasok batako, yang bongkar itu pekerja dari pabrik batako itu sendiri. "Kita yang bongkar? Emangnya pabrik batako itu tidak punya karyawan?" "Pasti ada lah, anggap saja ini rezeki kita." Pak Asman menepuk bahuku. "Ayi bersiap, To!" Tambah pria itu sembari bangkit dan berganti pakaian. Mau tidak mau aku pun mengikutinya meski agak malas. Semenjak berbicara dengan Mbak Tutik tempo hari dan me

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    59. Kabar Ibu

    Sempat khawatir bertemu dengan orang yang kenal, namun akhirnya aku berhasil kembali dengan ponsel yang sudah kupasang kartu baru. Pak Asman belum kembali, aku pun bergegas menyalakan ponsel yang sudah kuisi batrenya. Meski belum penuh tapi bisa digunakan. Tak sabar aku menghubungi Mbak Tutik terlebih dahulu. Ada dorongan kuat untuk mengetahui kabar Ibu. "Benar ini kamu, Pan? Kamu ganti nomor?" Di seberang sana, terdengar suara Kakak perempuanku itu penasaran. "Iya, Mbak. Sengaja aku mengganti nomor karena Mbak tahu sendiri lah keadaanku." "Sampean di mana, Pan? Keadaanmu baik-baik saja, 'kan?" Masih dengan nada khawatir, Mbak Tutik terus bertanya. Pelan-pelan aku menjelaskan tentang keadaanku sekarang. Tanpa kuminta, aku yakin Mbak Tutik akan merahasiakan ini pada orang lain. Setelah beberapa saat aku bercerita, terdengar helaan napasnya berat. "Si Aldi kayaknya marah besar, Pan. Mbak gak tahu bagaimana jadinya kalau dia tahu keberadaanmu. Saran Mbak, kamu ju

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    58. Takut Ketahuan

    Minggu berikutnya, seperti kata Pak Asman, hampir semua orang pulang. Awalnya aku berniat ikut pulang bersama Dirun ke kampunnya, itung-itung refreshing. Tetapi niat itulah kuurungkan lantaran terlalu beresiko. Merasa aman tinggal di proyek ini lantaran tidak bertemu banyak orang. "Pak Asman tak jadi pulang?" tanyaku pada pria yang sebelumnya nampak antusias bertemu keluarga. Pria dengan ciri khas sarungnya itu menggeleng tanpa bersuara. Aku pun menghentikan aktivitas menganyam setelah semua teman-teman berangkat dan tersisa kami berdua. Meraih tempat tembakau milik Pak Asman lalu mulai melinting. "Males." "Lho, kok, mau ketemu keluarga males. Apa gak kangen sama anak istri?" "Saat ini bukan lagi tentang kangen atau tidak. Tapi tentang siap atau tidak." Aku mengernyit mendengar penuturannya. Belum bisa memahami apa maksud ucapannya. "Kayak mau ketemu calon mertua aja, pake acara siap gak siap." Aku tersenyum kecil sambil membuang asap tembakau. Terdengar helaan panjang lal

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    57. Bersembunyi

    Pov Topan "Mas Toto ikut gak?" Terdengar suara Dirun bertanya pada seseorang. Sementara mataku masih fokus pada tangan yang lincah memainkan alat untuk menganyam jaring. Selain untuk menambah penghasilan, kegiatan ini pun aku lakukan untuk mengusir sepi. Saat rekan-rekanku pergi ke luar, atau main kartu menjelang tidur, aku memilih berkutat dengan benang-benang nilon ini. "Mas! Mas Toto denger, gak?" Dirun mengulangi pertanyaannya dengan suara agak keras. "Mas Toto!" Selanjutnya aku merasakan tepukan di bahu kananku, hingga aku sadar pertanyaan itu ditujukan padaku. Selama tiga bulan aku menggunakan nama Toto, masih sering saja tidak sadar kalau orang lain sedang memanggil namaku. "Oh iya, enggak, aku di sini saja. Kalian kalau mau senang-senang, pergilah!" Aku tersenyum miris karena selama tiga bulan ini belum pernah sekalipun pergi keluar komplek proyek ini. "Aku heran sama Mas Toto yang tahan diam di tempat, seperti yang gak butuh hiburan. Padahal di luar itu banyak hal i

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    56

    Tanpa pikir panjang lagi, Mas Fauzan mengambil dompet dan mengeluarkan uang merah dua lembar. Aku melirik Mbak Wulan, wanita itu sempat terbelalak melihat kartu kredit yang berjajar di dalam dompet suamiku. Aku pun menahan senyum melihat reaksinya. "Sudah lunas, ya. Kalau ketemu sama Topan nanti, tolong sampaikan salam saya padanya. Sekarang kami permisi dulu." Meski masih dalam ekspresi kaget, Mbak Wulan menerima uang itu. Setelah itu Mas Fauzan meraih tanganku lalu melangkah meninggalkan Mbak Wulan yang nampak senang menggenggam uang 200.000. "Mas, kok, mau-maunya bayarin?" "Terlepas benar atau tidak Topan punya utang sama dia, aku cuma ingin masalah cepat selesai. Gak ada gunanya berdebat sama orang seperti itu." "Ya Mas, dulu aja Mbak Wulan itu paling kepo dan suka gosip." "Makanya, mudah-mudahan kedepannya tidak bertemu lagi dengan wanita seperti itu." "Makasih ya, Mas." *** Malam ini kami sedang bersiap. Aku menggunakan gaun warna hitam full payet yang baru s

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    55. Entah di Mana

    "Mbak nggak tahu persis permasalahannya, setahu Mbak, dia diancam oleh anaknya Farida. Dengar-dengar dari orang sih, katanya Topan mengambil padi dari gudangnya Farida tanpa izin anak sambungnya. Aldi tidak terima dan hampir saja mengerahkan massa untuk mengeroyok Topan." Sekarang giliran aku yang menarik napas dalam-dalam. Sampai segitunya kehidupan Mas Topan sekarang. "Seperti itulah Topan sekarang, dia menikah dengan Farida bukannya tambah kaya, malah tambah sengsara. Kalau saja dulu dia mempertahankan rumah tangganya denganmu dan tidak tergoda wanita itu." Mbak Tutik mengusap lenganku. "Jodoh kami hanya sampai di situ, Mbak. Meskipun harus ada yang tersakiti dulu." "Mbak sedih, bahkan di hari-hari terakhir Ibu, Topan tidak bisa menemuinya." Mbak Tutik kembali menunduk. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semua yang terjadi atas kehendakNya, meskipun jalannya harus pahit dulu. Kehilangan Mas Topan bukan hal mudah bagiku. Bersyukur aku bisa melewati semua ini. Menemukan ora

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status