Share

5. Terlambat

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-11 18:03:04

Aku kembali dibuat heran. Mataku fokus bergantian pada Fauzan dan map tersebut.

"Apa ini?"

"Surat pembayaran rumah. Mulai sekarang rumah ini resmi menjadi milik Bu Zahra. Sertifikatnya nanti akan diurus karena harus ada data-data Anda."

"Tapi .... "

"Tolong diterima. Saya pribadi merasa bersalah melihat kondisi ibu sekarang. Permisi."

Fauzan terbalik lalu tanpa berkata lagi ia pergi disusul oleh Handi.

Aku masih mematung saat mobil mewah itu meninggalkan halaman rumah yang katanya sekarang sudah  menjadi milikku.

Aku terduduk lesu, tidak percaya kalau hari ini bertubi-tubi Allah memberikan rezeki padaku.

Alhamdulillah. Masya Allah. Rezeki memang rahasia Allah. Semua berjalan begitu cepat. Sampai-sampai aku tidak sempat mengucapkan terima kasih pada Fauzan.

"Alhamdulillah, Dek. Sekarang kita punya rumah dan uang yang banyak."

Aku menunduk meraih map dan kubuka serta kubaca dengan teliti. Bukti pembayaran kalau rumah ini sudah lunas. Aku tercengang melihat angka yang tertera.

Malika yang terbangun sejak tadi, kuberi makan dulu. Aku berniat menemui Pak Majid untuk menyampaikan kabar bahagia ini. Saat ini hanya dia dan istrinya orang dekat denganku. Keluargaku semuanya ada di Jawa. Aku pun tidak melibatkan mereka dalam masalah rumah tanggaku sejak dulu. Kami bukan dari keluarga berada, cukup mereka dengan urusan keluarga masing-masing. Dari dulu aku tidak mau menyusahkan mereka.

Aku harus segera menemui Pak Majid, tapi di mana harus kusimpan uang ini. Aku pun berjalan menuju kamar, tapi di sana hanya ada sebuah kasur, tidak ada barang lain. Kupikir tadi ada lemari untuk menyimpan uang ini.

Aku pun mengambil uang secukupnya lalu menyimpan koper di tempat yang kira-kira aman. Sebelum pergi aku juga mastikan bahwa semua pintu dan jendela terkunci. Setelah itu, aku keluar dan berjalan ke arah pintu gerbang perumahan yang kebetulan tidak jauh dari tempatku. Di sana aku akan menunggu angkutan umum.

Meskipun tidak pernah tinggal di kota ini, tapi dulu aku sering jalan-jalan ke daerah ini. Mungkin tidak kesulitan untuk menemukan rumah Pak Majid.

Bu Ita tak kalah kagetnya mendengar aku diberi rumah oleh Fauzan.

"Ternyata Pak Fauzan orang baik, ya. Saya ikut senang mendengarnya."

"Saya berdosa sudah berburuk sangka pada beliau. Mungkin beliau hanya menjaga image saja. Tidak bisa beramah tamah pada orang miskin seperti saya. Padahal hatinya baik. Tapi yang saya heran kenapa sewaktu di rumah itu saya seperti dikurung, tidak boleh keluar. Makan pun dianterin ke kamar."

"Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, yang penting sekarang Bu Zahra sudah punya rumah dan uang sudah kembali. Uang itu bisa digunakan untuk modal usaha." Pak Majid yang baru saja datang dan mendengarkan percakapan kami menimpali.

"Pak Majid dan Ibu setelah ini ikut saya untuk bantu saya beres-beres rumah, ya."

"Dengan senang hati, habis ini kita berangkat."

Sebagai tanda terima kasihku karena Bu Ita dan Pak Majid sudah memberikan tempat beristirahat kemarin. Juga beliau yang selama ini menyimpan nomor Fauzan, aku pun memberikan uang untuk mereka.

"Tidak usah, Bu, saya ikhlas. Lagian ini terlalu banyak."

Awalnya mereka menolak namun setelah kudesak akhirnya mau menerima.

Jarak dari rumah Pak Majid ke rumahku yang baru lumayan jauh. Aku meminta mereka bersiap-siap karena tidak mungkin pulang pergi hari ini juga.

Sebelum sampai di rumah baru, aku pun mampir ke pasar terdekat untuk membeli beberapa perabotan dan bahan makanan. Supaya nanti bisa memasak untuk berbuka puasa.

Aku membeli perabotan yang penting-penting saja. tempat tidur untuk kamar satu lagi lantaran aku berencana mengajak Marsha pindah ke rumahku. Lemari dan peralatan masak. Sisa uang ini rencana besok akan ku simpan di bank karena aku belum kepikiran untuk membuka usaha apa untuk kelangsungan hidupku.

Pak Majid begitu sigap membereskan dapur. Memasang kompor dan gas elpijinya. Menata peralatan lainnya seperti rak piring, tempat galon, dan rak makanan juga kulkas, dibantu oleh Bu Ita. Lepas itu tanpa di komando lagi, Bu Ita pun memasak untuk berbuka puasa nanti. Hanya tinggal beberapa jam lagi.

Lepas berbuka aku menghubungi Marsha, mengabarkan berita gembira ini padanya. Namun Marsha menolak untuk tinggal bersamaku, lantaran jaraknya yang jauh ke sekolah dia.

"Aku tidak mau pindah sekolah, Ma. Karena sudah nyaman di sini. Nanti kalau libur saja aku nginap di sana."

"Sekarang Marsha fokus saja belajar, tidak usah sambil jualan. Insya Allah Mama ada untuk biaya sekolah kamu sampai tamat."

"Kasihan langganan aku, Ma. Tapi janji deh, gak akan terlalu cape."

Anak itu memang punya pendirian kuat. Kalau ada maunya pasti semangat untuk berjuang terus.

***

Besoknya aku pergi ke Bank terdekat untuk menyimpan uang itu. Prosesnya agak lama karena antre. Lagi-lagi aku beruntung lantaran Malika tidak rewel.

Dari kecil Malika sudah biasa aku bawa ke pabrik. Jadi sudah biasa bertemu orang asing dan suasana yang beragam. Asal ada makanan dan mainan, tidak masalah buat gadis kecilku ini.

Dulu aku mengurus hal seperti ini selalu berdua dengan Mas Topan. Pria itu publik speaking-nya kurang. Selalu gugup berbicara dengan orang asing atau di depan umum. Kalau aku kebalikannya. Makanya ke mana-mana kami selalu bersama lantaran aku yang berkomunikasi dalam hal apa pun.

Hampir siang ketika urusanku di bank selesai. Dari sini aku bermaksud menemui seorang teman yang dulu menggadai mobilku.

Kemarin sebelum aku pergi, Mas Topan sempat meledekku. Katanya aku dapat uang dari mana untuk menebus mobil itu. Juga soal piutang di Pak Samsul. Katanya hal yang mustahil jika uang itu dikembalikan.

Tapi Allah berkata lain. Suatu saat, aku yakin Mas Topan akan menyesal telah berucap seperti itu.

"Sayang sekali, kamu telat, Zahra. Sudah jatuh tempo dua bulan yang lalu. Jadi aku sudah menjualnya."

Aku melihat kembali surat gadai tersebut. Ternyata benar.

"Aku menghubungi kalian tapi tidak ada satu pun yang aktif. Malah aku mendatangi rumah dan pabrik kalian yang ternyata sudah berganti tangan semuanya."

Kenapa juga aku lupa mengabari Fatir Kalau kami ganti nomor. Meskipun ada kecewa tapi aku mencoba untuk berlapang dada. Mungkin kali ini bukan rezekiku. Dulu mobil itu hampir kami jual karena terdesak. Namun Fatir hanya bersedia meminjamkan sejumlah uang dengan jaminan mobil itu.

"Tidak apa-apa, mungkin bukan rezeki. Terima kasih saat itu sudah menolong kami yang sedang  benar-benar membutuhkan uang."

"Sama-sama. Sekali lagi aku minta maaf, ya. Kapan kalian kembali ke sini. Apa sudah jalan lagi pabriknya?"

Aku tersenyum miris karena entah untuk yang ke berapa kali aku mendapat pertanyaan seperti itu.

"Belum lama, tapi kebetulan usahanya belum jalan. Mudah-mudahan segera bisa kembali."

Sengaja aku tidak menceritakan perihal perpisahanku dengan Mas Topan. Tidak ada urusannya dengan Fatir. Aku juga tidak punya keperluan lagi padanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja, sambil berpikir apa lebih baik aku membeli motor untuk kebutuhan transportasi. Sebenarnya uangku cukup untuk membeli mobil, tapi untuk saat ini sepertinya perlu berpikir ulang.

[Bu Zahra bisa segera pulang? Ada Pak Handi di rumah. Katanya ada perlu sama Ibu.]

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    7. Diambil Alih

    Setelah selesai, Ida keluar kamar dan kembali membawa air mineral dingin lalu menuangkannya ke dalam gelas. Kami duduk di atas kasur dengan masing-masing memegang satu gelas. Aku masih menunggu Ida bersuara sambil sesekali menyeruput air itu. "Maaf, Mas, jika sebelumnya aku belum cerita." Ida membuka suara. "Soal apa?" "Sebenarnya ... anak-anakku tidak merestui kalau aku menikah lagi. Sekali lagi, maaf, aku tidak bicara sebelumnya karena aku takut kamu mundur, Mas." Pantas saja selama kami hubungan, Ida tidak pernah mengizinkan aku bertamu ke rumahnya. Wanita ini selalu menemuiku di rumah ibu. Cerobohnya aku, tidak pernah bertanya pada Ida tentang pendapat anak-anaknya terhadap hubungan kami. Aku terlalu fokus pada harta benda Ida sehingga tidak ingat hal-hal seperti ini. "Kenapa kamu memaksakan diri menikah denganku jika anak-anak tidak setuju?" Aku memijit pelipis yang tiba-tiba terasa nyeri. "Tentu saja karena aku sangat mencintaimu, Mas." "Tapi akhirnya kita bisa men

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    6. Kecewa

    Setelah pabrik batako milikku mengalami kebangkrutan dan hampir semua aset habis, aku memutuskan untuk pulang kampung. Ini juga atas permintaan Ibu. Di kampung, aku bisa kerja serabutan. Bahan makanan juga banyak yang gratis. Apalagi kalau rajin bercocok tanam. Semua ini gara-gara si Samsul. Pria itu membohongiku, uang ratusan juta untuk pembayaran batako tidak kunjung ia bayar. Awalnya aku percaya kalau Samsul akan membayar di akhir, sebab kami bekerja sama sudah lama. Tapi kali ini dia curang. Orang itu pun kabur entah ke mana. Mungkin ini namanya hikmah dibalik musibah. Setelah di kampung, aku bertemu kembali dengan mantan pacarku dulu. Farida, yang ternyata sekarang sudah menjanda. Dulu hubungan kami tidak direstui oleh orang tuanya lantaran perbedaan status sosial. Ida memang dari kalangan orang berada sementara keluargaku biasa saja. Aku pun pergi merantau untuk memperbaiki nasib supaya bisa mempersunting Ida, tapi nasib berkata lain. Sebelum aku sukses, Ida sudah menikah

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    5. Terlambat

    Aku kembali dibuat heran. Mataku fokus bergantian pada Fauzan dan map tersebut."Apa ini?""Surat pembayaran rumah. Mulai sekarang rumah ini resmi menjadi milik Bu Zahra. Sertifikatnya nanti akan diurus karena harus ada data-data Anda.""Tapi .... ""Tolong diterima. Saya pribadi merasa bersalah melihat kondisi ibu sekarang. Permisi." Fauzan terbalik lalu tanpa berkata lagi ia pergi disusul oleh Handi.Aku masih mematung saat mobil mewah itu meninggalkan halaman rumah yang katanya sekarang sudah menjadi milikku. Aku terduduk lesu, tidak percaya kalau hari ini bertubi-tubi Allah memberikan rezeki padaku. Alhamdulillah. Masya Allah. Rezeki memang rahasia Allah. Semua berjalan begitu cepat. Sampai-sampai aku tidak sempat mengucapkan terima kasih pada Fauzan. "Alhamdulillah, Dek. Sekarang kita punya rumah dan uang yang banyak." Aku menunduk meraih map dan kubuka serta kubaca dengan teliti. Bukti pembayaran kalau rumah ini sudah lunas. Aku tercengang melihat angka yang tertera. Mali

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    4. Seperti Tahanan

    Handi membawaku masuk lewat pintu samping sebuah rumah mewah. Pintu ini langsung terhubung ke dapur. Seorang wanita seumuran denganku menyambut kami. Wanita yang mengaku bernama Sri itu membawaku ke sebuah kamar. "Mbak jangan keluar kalau tidak saya suruh, ya," pinta Sri sopan.Meskipun bingung tapi aku mengangguk. Sri kemudian keluar, tak lama masuk lagi dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman."Mbak boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini. Baju tidur, kamar mandi dan perlengkapannya, juga perlengkapan tidur. Ingat, ya, tidak boleh keluar kalau tidak saya suruh.""Ya, Mbak, tapi kalau boleh tahu kenapa?""Saya tidak tahu alasannya, saya hanya diperintah oleh Bapak."Setelah itu Sri keluar dan sepertinya pintu dikunci. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Tempat tidur besar ini cukup untuk berempat. "Ini rumah siapa, Ma?" tanya Malika sambil bangkit duduk. Gadis kecilku itu tadi kurebahkan di atas kasur."Ini rumah om Fauzan, yang tadi ngajak kita makan.""Rumahnya b

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    3. Pertemuan

    "Hallo Bu Zahra?"Lantaran aku hanya diam, pria di seberang telepon menyapaku lagi."I-iya, maaf, Pak.""Apa kita bisa bertemu? Ada sesuatu yang penting yang ingin saya sampaikan pada Ibu."Aku berpikir sejenak. Tiba-tiba aku punya prasangka yang tidak baik. Apakah pria ini beritikad baik?"Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon?""Tidak bisa. Saya ingin bertemu langsung dengan Ibu. Bagaimana, apakah bisa?""Mmm... baiklah." Akhirnya aku menyetujuinya."Oke. Di mana saya bisa menemui Ibu?"Aku menyebut nama terminal tempat kemarin bertemu dengan Pak wajid untuk memudahkan. Mau disebut tempat tinggal Pak Majid, letaknya di gang kecil. Selian itu, ini tempat tinggal orang lain, khawatir yang punya rumah keberatan."Baiklah, sore ini ba'da ashar kita bertemu."Telepon ditutup. Kemudian aku menceritakan pembicaraanku dengan Fauzan pada Pak Majid."Tolong temani saya bertemu orang tersebut, Pak. Saya takut kalau harus sendirian. Bukan suudzon tapi harus waspada.""Ya, Bu, nanti saya teme

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    2. Harapan

    Rumah Pak Majid letaknya tidak jauh dari terminal. Kami berjalan selama 10 menit untuk sampai ke sana. Rumahnya sederhana, tinggal hanya berdua dengan istrinya. Katanya anak-anaknya semuanya sudah punya keluarga dan tidak tinggal di kota ini. Pak Majid dulunya orang kepercayaan Mas Topan. Jadi dia tahu pasti bagaimana kondisi pabrik batako milik kami saat itu. Pun ketika terpaksa usaha itu terhenti.Aku juga mengerti tentang bisnis itu karena sering terlibat. Aku bukan tipe wanita yang cuma puas berdiam diri di rumah. Pak Samsul adalah seorang pengusaha properti. Ia sudah lama bekerja sama dengan kami yang menjadi salah satu pemasok batako untuk proyek Pak Samsul.Namun sayangnya kepercayaan kami ternoda. Tahun lalu pak Samsul tidak membayar barang yang sudah ia pake untuk proyeknya. Selama bertahun-tahun dia jadi pelanggan dan bisa dipercaya. Sudah biasa melakukan pembayaran di akhir. Kami merasa ditipu dan produksi pun berhenti. Mau menggugat melalui jalur hukum tidak ada dana. A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status