Setelah selesai, Ida keluar kamar dan kembali membawa air mineral dingin lalu menuangkannya ke dalam gelas. Kami duduk di atas kasur dengan masing-masing memegang satu gelas. Aku masih menunggu Ida bersuara sambil sesekali menyeruput air itu. "Maaf, Mas, jika sebelumnya aku belum cerita." Ida membuka suara. "Soal apa?" "Sebenarnya ... anak-anakku tidak merestui kalau aku menikah lagi. Sekali lagi, maaf, aku tidak bicara sebelumnya karena aku takut kamu mundur, Mas." Pantas saja selama kami hubungan, Ida tidak pernah mengizinkan aku bertamu ke rumahnya. Wanita ini selalu menemuiku di rumah ibu. Cerobohnya aku, tidak pernah bertanya pada Ida tentang pendapat anak-anaknya terhadap hubungan kami. Aku terlalu fokus pada harta benda Ida sehingga tidak ingat hal-hal seperti ini. "Kenapa kamu memaksakan diri menikah denganku jika anak-anak tidak setuju?" Aku memijit pelipis yang tiba-tiba terasa nyeri. "Tentu saja karena aku sangat mencintaimu, Mas." "Tapi akhirnya kita bisa men
Setelah pabrik batako milikku mengalami kebangkrutan dan hampir semua aset habis, aku memutuskan untuk pulang kampung. Ini juga atas permintaan Ibu. Di kampung, aku bisa kerja serabutan. Bahan makanan juga banyak yang gratis. Apalagi kalau rajin bercocok tanam. Semua ini gara-gara si Samsul. Pria itu membohongiku, uang ratusan juta untuk pembayaran batako tidak kunjung ia bayar. Awalnya aku percaya kalau Samsul akan membayar di akhir, sebab kami bekerja sama sudah lama. Tapi kali ini dia curang. Orang itu pun kabur entah ke mana. Mungkin ini namanya hikmah dibalik musibah. Setelah di kampung, aku bertemu kembali dengan mantan pacarku dulu. Farida, yang ternyata sekarang sudah menjanda. Dulu hubungan kami tidak direstui oleh orang tuanya lantaran perbedaan status sosial. Ida memang dari kalangan orang berada sementara keluargaku biasa saja. Aku pun pergi merantau untuk memperbaiki nasib supaya bisa mempersunting Ida, tapi nasib berkata lain. Sebelum aku sukses, Ida sudah menikah
Aku kembali dibuat heran. Mataku fokus bergantian pada Fauzan dan map tersebut."Apa ini?""Surat pembayaran rumah. Mulai sekarang rumah ini resmi menjadi milik Bu Zahra. Sertifikatnya nanti akan diurus karena harus ada data-data Anda.""Tapi .... ""Tolong diterima. Saya pribadi merasa bersalah melihat kondisi ibu sekarang. Permisi." Fauzan terbalik lalu tanpa berkata lagi ia pergi disusul oleh Handi.Aku masih mematung saat mobil mewah itu meninggalkan halaman rumah yang katanya sekarang sudah menjadi milikku. Aku terduduk lesu, tidak percaya kalau hari ini bertubi-tubi Allah memberikan rezeki padaku. Alhamdulillah. Masya Allah. Rezeki memang rahasia Allah. Semua berjalan begitu cepat. Sampai-sampai aku tidak sempat mengucapkan terima kasih pada Fauzan. "Alhamdulillah, Dek. Sekarang kita punya rumah dan uang yang banyak." Aku menunduk meraih map dan kubuka serta kubaca dengan teliti. Bukti pembayaran kalau rumah ini sudah lunas. Aku tercengang melihat angka yang tertera. Mali
Handi membawaku masuk lewat pintu samping sebuah rumah mewah. Pintu ini langsung terhubung ke dapur. Seorang wanita seumuran denganku menyambut kami. Wanita yang mengaku bernama Sri itu membawaku ke sebuah kamar. "Mbak jangan keluar kalau tidak saya suruh, ya," pinta Sri sopan.Meskipun bingung tapi aku mengangguk. Sri kemudian keluar, tak lama masuk lagi dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman."Mbak boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini. Baju tidur, kamar mandi dan perlengkapannya, juga perlengkapan tidur. Ingat, ya, tidak boleh keluar kalau tidak saya suruh.""Ya, Mbak, tapi kalau boleh tahu kenapa?""Saya tidak tahu alasannya, saya hanya diperintah oleh Bapak."Setelah itu Sri keluar dan sepertinya pintu dikunci. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Tempat tidur besar ini cukup untuk berempat. "Ini rumah siapa, Ma?" tanya Malika sambil bangkit duduk. Gadis kecilku itu tadi kurebahkan di atas kasur."Ini rumah om Fauzan, yang tadi ngajak kita makan.""Rumahnya b
"Hallo Bu Zahra?"Lantaran aku hanya diam, pria di seberang telepon menyapaku lagi."I-iya, maaf, Pak.""Apa kita bisa bertemu? Ada sesuatu yang penting yang ingin saya sampaikan pada Ibu."Aku berpikir sejenak. Tiba-tiba aku punya prasangka yang tidak baik. Apakah pria ini beritikad baik?"Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon?""Tidak bisa. Saya ingin bertemu langsung dengan Ibu. Bagaimana, apakah bisa?""Mmm... baiklah." Akhirnya aku menyetujuinya."Oke. Di mana saya bisa menemui Ibu?"Aku menyebut nama terminal tempat kemarin bertemu dengan Pak wajid untuk memudahkan. Mau disebut tempat tinggal Pak Majid, letaknya di gang kecil. Selian itu, ini tempat tinggal orang lain, khawatir yang punya rumah keberatan."Baiklah, sore ini ba'da ashar kita bertemu."Telepon ditutup. Kemudian aku menceritakan pembicaraanku dengan Fauzan pada Pak Majid."Tolong temani saya bertemu orang tersebut, Pak. Saya takut kalau harus sendirian. Bukan suudzon tapi harus waspada.""Ya, Bu, nanti saya teme
Rumah Pak Majid letaknya tidak jauh dari terminal. Kami berjalan selama 10 menit untuk sampai ke sana. Rumahnya sederhana, tinggal hanya berdua dengan istrinya. Katanya anak-anaknya semuanya sudah punya keluarga dan tidak tinggal di kota ini. Pak Majid dulunya orang kepercayaan Mas Topan. Jadi dia tahu pasti bagaimana kondisi pabrik batako milik kami saat itu. Pun ketika terpaksa usaha itu terhenti.Aku juga mengerti tentang bisnis itu karena sering terlibat. Aku bukan tipe wanita yang cuma puas berdiam diri di rumah. Pak Samsul adalah seorang pengusaha properti. Ia sudah lama bekerja sama dengan kami yang menjadi salah satu pemasok batako untuk proyek Pak Samsul.Namun sayangnya kepercayaan kami ternoda. Tahun lalu pak Samsul tidak membayar barang yang sudah ia pake untuk proyeknya. Selama bertahun-tahun dia jadi pelanggan dan bisa dipercaya. Sudah biasa melakukan pembayaran di akhir. Kami merasa ditipu dan produksi pun berhenti. Mau menggugat melalui jalur hukum tidak ada dana. A