Share

7. Diambil Alih

Author: Tetiimulyati
last update Last Updated: 2025-06-13 20:21:54

Setelah selesai, Ida keluar kamar dan kembali membawa air mineral dingin lalu menuangkannya ke dalam gelas. Kami duduk di atas kasur dengan masing-masing memegang satu gelas. Aku masih menunggu Ida bersuara sambil sesekali menyeruput air itu.

"Maaf, Mas, jika sebelumnya aku belum cerita." Ida membuka suara.

"Soal apa?"

"Sebenarnya ... anak-anakku tidak merestui kalau aku menikah lagi. Sekali lagi, maaf, aku tidak bicara sebelumnya karena aku takut kamu mundur, Mas."

Pantas saja selama kami hubungan, Ida tidak pernah mengizinkan aku bertamu ke rumahnya. Wanita ini selalu menemuiku di rumah ibu. Cerobohnya aku, tidak pernah bertanya pada Ida tentang pendapat anak-anaknya terhadap hubungan kami. Aku terlalu fokus pada harta benda Ida sehingga tidak ingat hal-hal seperti ini.

"Kenapa kamu memaksakan diri menikah denganku jika anak-anak tidak setuju?" Aku memijit pelipis yang tiba-tiba terasa nyeri.

"Tentu saja karena aku sangat mencintaimu, Mas."

"Tapi akhirnya kita bisa menikah, itu artinya kamu bisa meyakinkan mereka tentang pernikahan ini?"

"Mereka mengizinkan kita menikah dengan syarat."

"Syarat? Syarat apa?!"

"Syarat bahwa semua harta peninggalan ayahnya diambil alih oleh mereka, terutama Aldi."

Aku menghembuskan napas kasar. Ternyata apa yang kuincar selama ini meleset. Tapi tidak mengapa, Ida itu sudah kaya sejak dulu. Jadi hartanya bukan gono gini saja. Ida tentu punya banyak warisan dari orang tuanya.

"Yang diambil alih harta gono gini bersama bapaknya anak-anak 'kan?"

"Semua, termasuk warisan dari kakeknya. Aku hanya diberi garapan sawah beberapa petak dan satu lahan kebun. Selebihnya Aldi yang pegang, semua surat-surat dan sertifikat ada di tangannya."

Untuk kesekian kalinya aku membuang napas kasar. Ida tidak ada apa-apanya tanpa harta benda itu. Kenapa tidak pernah terpikir olehku, kalau anak-anak Ida sudah dewasa dan bisa menjadi sainganku.

"Mas, kamu tidak menyesal 'kan menikah denganku?"

Setelah hening beberapa saat, Ida menatapku penuh harap.

"Tentu saja tidak, Sayang. Kamu 'kan cinta pertamaku." Kuusap rambutnya dan berusaha meyakinkan Ida kalau aku baik-baik saja. Padahal dalam hati aku kecewa. Menikahinya seperti membeli kucing dalam karung.

***

"Jadi, aku yang harus mengerjakan?" Kutatap serius wajah Ida yang sedang bersiap.

"Terus mau siapa lagi, Mas? Kalau kita pakai tenaga orang itu harus dibayar. Sementara hasil panennya tak seberapa. Kita cuma menggarap beberapa petak, hasilnya hanya cukup untuk makan. Jadi terpaksa kita kerjakan sendiri."

Aku membuang pandang saat mendengar ucapan Ida. Pagi ini Ida memintaku pergi ke sawah dan menjelaskan apa yang harus kukerjakan. Sama saja saat aku masih dengan Zahra, jadi buruh tani. Kalau tahu begini, mending tidak jadi kunikahi wanita ini. Sebelum menikahinya aku memang kuli di lahan orang tapi masa setelah menikah dengan Ida aku tetap memegang cangkul dan parang. Logikanya Ida luas sawah dan ladangnya.

"Ayolah, Mas. Kita mulai dari nol, kerja keras dan menabung. Siapa tahu, nanti bisa membeli sawah."

"Di masa tua seperti ini, seharusnya kita sudah menikmati hasil. Bukannya baru menabung."

"Rumah tangga kita juga baru dimulai, Mas. Apa salahnya kita memulai dari nol."

Nasi sudah menjadi bubur, pernikahanku sudah terjadi. Kembali pada Zahra pun aku akan lebih sengsara.

Tanpa berkata lagi aku menyusul Ida yang sudah berjalan terlebih dahulu. Berbelok ke garasi hendak membawa motor. Baru saja aku hendak memasukkan kunci pada salah satu motor yang terparkir, Aldi sudah kembali berkacak pinggang di pintu garasi.

"Semua kendaraan ini milikku, tidak ada orang lain yang boleh menggunakannya. Kalau mau naik motor, pakai yang di ujung sana!"

Aku mengikuti arah telunjuk Aldi yang menunjuk pada sebuah motor usang yang hampir tak layak pakai. Motor bebek keluaran tahun 2000 itu bahkan tinggal rangka besi dan jok saja.

"Tidak mau? Kalau begitu beli sendiri motor bagus! Usaha dan kerja keras, jangan mau tinggal enaknya saja." Aldi mendekat lalu merebut kunci yang masih dipegang.

Lemah kuayunkan langkah menuju motor paling ujung yang bahkan starternya saja sudah tidak berfungsi. Kunci kontaknya juga sepertinya tidak pernah dicabut lantaran sudah menempel.

"Jadi kendaraan pun hanya ini yang bisa digunakan?" tanyaku pada Ida setelah berhenti di depannya yang berdiri di dekat pintu gerbang.

"Sudahlah, Mas. Daripada kita jalan kaki. Sawahnya 'kan jauh," jawab Ida sambil duduk di belakangku.

Tak mau lagi menjawab apalagi berdebat, akhirnya aku pun melajukan motor butut ini dengan hati menggerutu. Tiga motor keluaran terbaru milik Ida yang berjajar di garasi itu tidak bisa kunikmati.

Hidupku ternyata tidak berubah setelah menikahi janda kaya raya ini. Terpaksa besok motor yang kutitipkan di rumah Ibu, kuambil lagi. Meski tidak sebagus motor yang ada di garasi Ida, tapi setidaknya lebih baik dari motor yang sedang dikendarai ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
wkwk nyungsep topan buang zahra demi seliingkuh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    60. Tak Terduga

    Dua hari sudah aku bersama Pak Asman di tempat ini. Lumayan terhibur dengan adanya ponsel. Aku bisa mendengarkan musik sambil menganyam. Selama ini aku keluar hanya untuk menjual jaring hasil anyamanku di kios sudut pasar dan membeli bahan. Sekarang aku harus keluar untuk mengisi paket data jika sudah habis. Mudah-mudahan saja aman. "Alhamdulillah ada lemburan, To," ucap Pak Asman setelah menerima telepon dari seseorang. "Siapa yang menelepon?" "Mandor. Katanya akan ada material datang berupa batako dan kita yang bongkar. Mayan kan." Aku menautkan alis. Setahuku dulu saat jadi pemasok batako, yang bongkar itu pekerja dari pabrik batako itu sendiri. "Kita yang bongkar? Emangnya pabrik batako itu tidak punya karyawan?" "Pasti ada lah, anggap saja ini rezeki kita." Pak Asman menepuk bahuku. "Ayi bersiap, To!" Tambah pria itu sembari bangkit dan berganti pakaian. Mau tidak mau aku pun mengikutinya meski agak malas. Semenjak berbicara dengan Mbak Tutik tempo hari dan me

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    59. Kabar Ibu

    Sempat khawatir bertemu dengan orang yang kenal, namun akhirnya aku berhasil kembali dengan ponsel yang sudah kupasang kartu baru. Pak Asman belum kembali, aku pun bergegas menyalakan ponsel yang sudah kuisi batrenya. Meski belum penuh tapi bisa digunakan. Tak sabar aku menghubungi Mbak Tutik terlebih dahulu. Ada dorongan kuat untuk mengetahui kabar Ibu. "Benar ini kamu, Pan? Kamu ganti nomor?" Di seberang sana, terdengar suara Kakak perempuanku itu penasaran. "Iya, Mbak. Sengaja aku mengganti nomor karena Mbak tahu sendiri lah keadaanku." "Sampean di mana, Pan? Keadaanmu baik-baik saja, 'kan?" Masih dengan nada khawatir, Mbak Tutik terus bertanya. Pelan-pelan aku menjelaskan tentang keadaanku sekarang. Tanpa kuminta, aku yakin Mbak Tutik akan merahasiakan ini pada orang lain. Setelah beberapa saat aku bercerita, terdengar helaan napasnya berat. "Si Aldi kayaknya marah besar, Pan. Mbak gak tahu bagaimana jadinya kalau dia tahu keberadaanmu. Saran Mbak, kamu ju

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    58. Takut Ketahuan

    Minggu berikutnya, seperti kata Pak Asman, hampir semua orang pulang. Awalnya aku berniat ikut pulang bersama Dirun ke kampunnya, itung-itung refreshing. Tetapi niat itulah kuurungkan lantaran terlalu beresiko. Merasa aman tinggal di proyek ini lantaran tidak bertemu banyak orang. "Pak Asman tak jadi pulang?" tanyaku pada pria yang sebelumnya nampak antusias bertemu keluarga. Pria dengan ciri khas sarungnya itu menggeleng tanpa bersuara. Aku pun menghentikan aktivitas menganyam setelah semua teman-teman berangkat dan tersisa kami berdua. Meraih tempat tembakau milik Pak Asman lalu mulai melinting. "Males." "Lho, kok, mau ketemu keluarga males. Apa gak kangen sama anak istri?" "Saat ini bukan lagi tentang kangen atau tidak. Tapi tentang siap atau tidak." Aku mengernyit mendengar penuturannya. Belum bisa memahami apa maksud ucapannya. "Kayak mau ketemu calon mertua aja, pake acara siap gak siap." Aku tersenyum kecil sambil membuang asap tembakau. Terdengar helaan panjang lal

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    57. Bersembunyi

    Pov Topan "Mas Toto ikut gak?" Terdengar suara Dirun bertanya pada seseorang. Sementara mataku masih fokus pada tangan yang lincah memainkan alat untuk menganyam jaring. Selain untuk menambah penghasilan, kegiatan ini pun aku lakukan untuk mengusir sepi. Saat rekan-rekanku pergi ke luar, atau main kartu menjelang tidur, aku memilih berkutat dengan benang-benang nilon ini. "Mas! Mas Toto denger, gak?" Dirun mengulangi pertanyaannya dengan suara agak keras. "Mas Toto!" Selanjutnya aku merasakan tepukan di bahu kananku, hingga aku sadar pertanyaan itu ditujukan padaku. Selama tiga bulan aku menggunakan nama Toto, masih sering saja tidak sadar kalau orang lain sedang memanggil namaku. "Oh iya, enggak, aku di sini saja. Kalian kalau mau senang-senang, pergilah!" Aku tersenyum miris karena selama tiga bulan ini belum pernah sekalipun pergi keluar komplek proyek ini. "Aku heran sama Mas Toto yang tahan diam di tempat, seperti yang gak butuh hiburan. Padahal di luar itu banyak hal i

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    56

    Tanpa pikir panjang lagi, Mas Fauzan mengambil dompet dan mengeluarkan uang merah dua lembar. Aku melirik Mbak Wulan, wanita itu sempat terbelalak melihat kartu kredit yang berjajar di dalam dompet suamiku. Aku pun menahan senyum melihat reaksinya. "Sudah lunas, ya. Kalau ketemu sama Topan nanti, tolong sampaikan salam saya padanya. Sekarang kami permisi dulu." Meski masih dalam ekspresi kaget, Mbak Wulan menerima uang itu. Setelah itu Mas Fauzan meraih tanganku lalu melangkah meninggalkan Mbak Wulan yang nampak senang menggenggam uang 200.000. "Mas, kok, mau-maunya bayarin?" "Terlepas benar atau tidak Topan punya utang sama dia, aku cuma ingin masalah cepat selesai. Gak ada gunanya berdebat sama orang seperti itu." "Ya Mas, dulu aja Mbak Wulan itu paling kepo dan suka gosip." "Makanya, mudah-mudahan kedepannya tidak bertemu lagi dengan wanita seperti itu." "Makasih ya, Mas." *** Malam ini kami sedang bersiap. Aku menggunakan gaun warna hitam full payet yang baru s

  • Masakanku Tak Lagi Dimakan    55. Entah di Mana

    "Mbak nggak tahu persis permasalahannya, setahu Mbak, dia diancam oleh anaknya Farida. Dengar-dengar dari orang sih, katanya Topan mengambil padi dari gudangnya Farida tanpa izin anak sambungnya. Aldi tidak terima dan hampir saja mengerahkan massa untuk mengeroyok Topan." Sekarang giliran aku yang menarik napas dalam-dalam. Sampai segitunya kehidupan Mas Topan sekarang. "Seperti itulah Topan sekarang, dia menikah dengan Farida bukannya tambah kaya, malah tambah sengsara. Kalau saja dulu dia mempertahankan rumah tangganya denganmu dan tidak tergoda wanita itu." Mbak Tutik mengusap lenganku. "Jodoh kami hanya sampai di situ, Mbak. Meskipun harus ada yang tersakiti dulu." "Mbak sedih, bahkan di hari-hari terakhir Ibu, Topan tidak bisa menemuinya." Mbak Tutik kembali menunduk. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semua yang terjadi atas kehendakNya, meskipun jalannya harus pahit dulu. Kehilangan Mas Topan bukan hal mudah bagiku. Bersyukur aku bisa melewati semua ini. Menemukan ora

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status